bc

Geliat Hasrat di Tanah Rantau

book_age18+
4.7K
FOLLOW
48.5K
READ
love-triangle
possessive
arranged marriage
scandal
drama
female lead
city
coming of age
passionate
seductive
like
intro-logo
Blurb

Cathy tidak pernah menyangka kalau dirinya harus menikah dengan Dean, anak tunggal dari seorang pemilik toko Emas terbesar di wilayahnya. Kekayaan keluarga Dean seolah tidak terhitung bilangan. Namun sikap Dean sangat berbading terbalik dengan kedua orang tuanya.

Dean lebih memilih untuk menjadi seorang guru seni. Hingga suatu hari dia mendapatkan panggilan untuk mengikuti pendidikan profesi guru di Yogyakarta dan mengharuskan dirinya meninggalkan Cathy dan kedua putrinya.

Dean bukan seorang playboy, dia juga bukan tipe penikmat jajanan luar karena istrinya selalu memberikan kepuasan baik dalam hubungan ranjang maupun pelayanan lainnya. Namun berada jauh dari Cathy membuat dia terjebak pesona seorang Naya yang dengan mudahnya menggeliatkan hasratnya.

Selama Dean di Jogja, Cathy dengan sabar mengurus kedua putrinya. Bagaimanakah nasib rumah tangga Cathy ke depannya, akankah Cathy memaafkan kekhilafan Dean atau dia lebih memilih mengakhiri hubungan rumah tangga mereka.

chap-preview
Free preview
Seksi
“Pulanglah, Mamah tidak tahu bagaimana menjawab lamaran dari mereka?” pinta Mamah. “Cathy usahakan, Mah,” jawabku sekenanya. “Berjanjilah secepatnya pulang, kepulanganmu menentukan nasib keluarga kita.” Mamah kembali mengiba. Aku pun hanya bisa mengiyakan tanpa niat sedikit pun untuk merealisasikan apa yang sedari awal mamah pinta padaku. Pulang …. Pulang yang bukan hanya sekedar pulang. Namun, kepulangan yang akan menjadi langkah awal yang akan mengubah hidupku. Kepulangan yang mungkin akan menjadi akhir dari karirku. Padahal aku begitu nyaman berada di sini, jauh dari gunjingan tetangga dan keluarga besar yang kerap menyuruhku menikah dengan duda kaya, bahkan lebih parah dari itu. Bibiku, yang jelas garis darahnya adalah adik kandung dari Mamah. Dia malah menawariku jadi kupu-kupu malam di sebuah klub ternama yang menghargai darah perawan dengan ratusan juta rupiah. Gila! Itulah yang membuatku berada di kota ini, merantau dan meninggalkan Mamah sendirian di rumah. Bukan karena aku tak sayang, tapi kemiskinan kami di sana sering menjadi olok-olokan para tetangga sehingga aku sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum membawa kesuksesan. Akhirnya, Ibu kota memberi satu kesempatan buat gadis miskin sepertiku. Berawal dari penjaga butik batik milik Ny. Laudya, kini aku menjadi perancang busana di butik ini. Bayaran dari satu gambar desainku setara dengan tiga bulan penghasilan Mamah. Aku pun bisa sedikit demi sedikit membayar hutang-hutang Mamah. Hutang yang sudah bertumpuk bertahun-tahun semenjak kepergian papah. Aku, bahkan masih bocah ingusan yang tak mengerti apapun saat itu. Namun, akulah yang harus bahu membahu melunasi semua hutang Mamah setelah Joshua Carlos, kakak dan saudara kandungku satu-satunya menikah. “Cathy … Lo belum tidur kan?” teriak Naura dengan menggedor pintu kamarku. Dengan langkah malas, aku pun berjalan mendekati pintu. Bagaimanapun Naura adalah satu-satunya sahabatku di kota ini. Dia juga tidur di butik batik Ny. Laudya bersebelahan kamar denganku. “Hey, what’s wrong?” teriaknya begitu melihat wajah kusutku. “Gue dipaksa pulang buat nikah.” “Apa …!” teriaknya tepat di depan wajahku. “Gila, lebay banget Lo,” makiku sambil berlenggang memasuki kamar hanya dengan hotpants dan kaos tanpa lengan yang mencetak tubuh seksiku. Seksi? Semua orang bilang begitu, maka aku pun semakin mengagumi tubuh sintal anugerah Tuhan ini. Rambut panjang sepunggung yang hitam dan lurus selalu aku ikat untuk membuat penampilanku selalu rapi. Tinggiku 165 cm dengan berat badan yang ideal 55 kg, p****t dan d**a yang berisi padat, tapi rata di bagian perut. Kaki dan leher jenjangku sering membuat pelanggan pria yang datang menemani sang istri berbelanja justru malah fokus padaku. Seksi kan? Aku memang terlalu menarik untuk diabaikan, begitu komentar Naura saat memergoki para pria menatapku dengan mata lapar seolah ingin menerkamku bulat-bulat. Apalagi saat aku memakai dress dengan kerah V shape yang memperlihatkan putihnya kulit leherku dengan d**a yang membusung, sudah pasti air liur mereka hampir menetes kala melihatku. “Lo beneran mau balik buat nikah?” tanya Naura ketika aku kembali menjatuhkan badan di atas ranjang. “Aku masih betah di sini, hidupku nyaman, Ra.” “Terus, siapa yang memintamu pulang untuk menikah?” tanya Naura dengan mimik wajah yang begitu penasaran. “Mamah lah, Lo pikir di rumahku ada siapa lagi selain beliau.” “Oh iya, Bang Joshua sama istrinya kan tinggal di sini juga. Lo ke sini sama mereka, iya kan?” Aku pun mengangguki perkataan Naura karena memang istri Bang Joshua yang membawaku ke ibu kota untuk bekerja di butik ini. “Lo mau dinikahin sama siapa?” Aku mengangkat bahu, Mamah hanya mengatakan kalau yang melamarku adalah orang terkaya di wilayahku, aku ingin menebak keluarga Demetria. Namun, itu tidak mungkin. Mereka mana kenal dengan mamahku, si janda miskin yang punya utang di sana-sini hingga pihak keluarga pun mengucilkan kami karena takut dimintai utang. “Jangan-jangan lo mau dinikahin dengan duda kaya lagi,” kekeh Naura. Aku langsung menimpuknya dengan guling. Tawa dia semakin kencang saja, terserahlah. Biarkan dia bahagia melihat kegalauanku ini. Galau antara pulang atau tetap bersembunyi di sini. Aku menutup mata. Tak kupedulikan omong kosong Naura yang terus menebak siapa kira-kira pria yang akan menikahiku. Aku benar-benar tertidur tanpa tahu jam berapa Naura keluar dari kamarku. Toh, kami cuma berdua di butik Ny. Laudya. Bebas saja dia keluar masuk kamarku, begitu pun denganku. Jam lima pagi aku baru terbangun dengan pintu kamar yang terbuka lebar. “Sial, kebiasaan nggak ditutup,” makiku pada Naura yang mungkin masih berkelana bebas di alam mimpi. Aku segera masuk ke kamar mandi, guyuran air dingin di pagi hari selalu membuatku lebih rileks. Aku sudah terbiasa mandi pagi-pagi sejak kecil meskipun butik baru akan buka jam sembilan pagi dan para pekerja akan tiba satu jam sebelumnya. Namun, aku sudah bersih dan wangi jauh sebelum Naura membuka mata. Masih dengan mengenakan kimono, aku langsung duduk di depan meja kerja. Meja tempat aku menarikan pensil di atas kertas putih hingga membentuk sebuah desain baju indah sesuai dengan keinginan pelanggan. Burkat kombinasi batik untuk acara pertunangan salah satu anak anggota dewan perwakilan rakyat yang sekarang sedang aku garap. Kemarin Ny. Laudya memanggilku ke ruangannya dimana ibu dan anak gadis yang terlihat begitu cantik dengan penampilan berkelas menungguku untuk membicarakan rancangan busana pertunangan si gadis sesuai dengan imajinasinya. Aku selalu mendengarkan setiap keinginan pelangganku, mencatatnya dalam satu buku kecil yang tak pernah lupa dibawa saat ada tamu khusus datang ke butik ini. Iyalah tamu khusus, kalau tamu biasa, mereka akan memilih baju, gaun atau apapun yang sudah tersedia dan terpampang di setiap sudut butik yang luasnya tiga kali lipat dari luas rumahku. Done. Jam setengah tujuh satu rancangan telah selesai aku gambar, tinggal dikirimkan pada Ny. Laudya untuk ditanyakan pada si pemesan apakah sudah sesuai dengan keinginan atau harus ada yang diperbaiki. Rambutku sudah kering, aku melepas kimonoku dan berdiri di depan cermin. Salah satu kebiasaan aneh setelah banyak orang memujiku seksi. Rasanya tak rela menyerahkan tubuh ini untuk dijajah satu laki-laki yang akan dengan leluasa mengeksplore semua bagian yang mereka sukai. Lihat saja, bahkan dadaku membusung dengan puncak kemerahan. Ah, aku membalikan badan dan segera mengambil satu rok span motif batik di atas lutut dengan atasan kebaya embos berwarna coklat s**u. Rambutku diikat tinggi agar tidak menghalangi kegesitan gerakku melayani pelanggan yang datang. Ny. Laudya sudah sering menyuruhku hanya fokus mendesain model busana baru untuk koleksi butiknya, tapi aku selalu menolak. Aku tidak betah kalau harus berdiam diri tanpa ikut membantu pekerja lain melayani pembeli yang datang. Tidak bisa dipungkiri, inspirasiku sering datang kala sedang berbincang dengan calon pembeli yang mencari model batik yang sesuai untuk mereka. “Sempurna.” Satu kata yang akan selalu aku ucapkan setelah selesai berdandan dan melihat pantulan wajah dan badanku dari cermin yang berukuran tujuh puluh kali dua ratus sentimeter yang terpasang di kamarku. Jam tujuh aku berjalan keluar dari kamar hanya dengan membawa dompet kecil tempat aku menyimpan uang jajan harian. Tujuanku sepagi ini adalah mencari sarapan. Satu hal yang sering membuat aku ditertawakan Naura. Aku paling tidak bisa menahan lapar. Sebelum jam delapan, perutku harus sudah terisi atau aku akan terus menceracau kelaparan karena cacing-cacing yang menetap di dalam sana sudah terbiasa diberikan jatah makan sepagi ini. “Ra, mau nitip nggak?” tanyaku bersamaan dengan gerak tangan yang membuka pintu kamar Naura. Kosong, kamar Naura kosong tak berpenghuni. Aku berjalan ke arah kamar mandi dan membukanya. Sama saja, di sana juga tidak ada Naura. Kemana dia sepagi ini? Biasanya, dia baru terbangun saat aku hendak membeli sarapan. Aku berjalan menuju pintu belakang butik karena pintu depan masih terkunci dan hanya bisa dibuka oleh office girls kepercayaan Ny. Laudya. “Naura?” desisku dengan mata terbelalak mendapati dia yang baru menutup pintu belakang. Kami memang diberi masing-masing satu kunci untuk keluar masuk butik lewat pintu belakang. Aku yang tidak terbiasa melihat Naura sepagi ini sudah rapi dengan rambut yang masih basah merasa heran. “Kamu dari mana?” tanyaku yang membuat Nuara terjangkit kaget. “Cathy …,” pekiknya yang melihatku seperti melihat hantu. “Aku, aku habis beli sarapan,” gagapnya menjawab pertanyaanku. Aneh? Jawaban seperti apa itu. Bukannya dia tidak bisa makan pagi, suatu kebiasaan yang berbanding terbalik denganku. Naura baru akan menyantap sarapannya jam sembilan atau sepuluh meskipun aku membelikan nasi uduk, nasi kuning atau nasi campur sekitar jam setengah delapan atau jam tujuh pagi. “Tumben,” desisku tidak mau terlalu mencampuri urusan Naura. “Aku mau beli sarapan, tinggal ya,” pamitku yang hanya diangguki Naura. Anak kunci yang masih berada di lubangnya pun aku putar kembali. aku meninggalkan Naura yang sudah berjalan ke kamarnya. Bian? Dari ambang pintu aku melihat Bian, pacar Naura melajukan mobilnya menjauh dari bangunan butik. Pergaulan di sini memang keras, aku tidak pernah mengelak soal itu. Namun, aku akan selalu menjaga tubuhku untuk orang yang benar-benar layak dan sudah sah sebagai suamiku. Bukan aku berikan secara cuma-Cuma pada pria tanpa status yang bisa bebas meninggalkanku kapan saja. Jomblo, itulah statusku. Status yang aku pilih untuk melindungi diriku dari hubungan bebas pra nikah yang sudah menjadi sesuatu yang sangat lumrah. Aku lebih rela Mamah menjodohkanku dengan pria yang menurutnya baik daripada harus menikah dengan pacarku dengan keadaan sudah tidak perawan lagi. Ponselku berbunyi, Mamah kembali menelepon. Aku yakin dia akan menyuruhku untuk pulang seperti semalam. Maka, aku biarkan saja dan terus melangkahkan kaki mendatangi kedai nasi kuning dan nasi uduk kesukaanku. “Hai cantik, nyari sarapan?” sapa Rudy, pemuda gagah yang berprofesi sebagai satpam salah satu bank besar yang ada di negeri ini. “Iya, aku lapar.” “Aku juga lapar melihatmu ….”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Revenge

read
13.3K
bc

The CEO's Little Wife

read
625.7K
bc

After That Night

read
8.1K
bc

BELENGGU

read
64.2K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
6.6K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.4K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook