bc

WANNA BE YOURS

book_age4+
1.6K
FOLLOW
11.4K
READ
possessive
love after marriage
friends to lovers
pregnant
goodgirl
billionairess
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Dewasa, 18+

Sraya tidak percaya cinta setelah bercerai dari Nugraha yang begitu dicintainya. Sraya pun mulai mencari beragam cara untuk melampiaskan kekecewaan dan kesedihan besarnya. Termasuk juga meminta Arnawa tidur dengannya. Sraya sudah tidak peduli akan harga diri, ia sudah merasa tidak berarti. Penolakan Arnawa tak lantas membuat Sraya menyerah. Ia bahkan rela berakting dan menjebak dengan maksud agar Arnawa mau tidur dengannya lagi. Dan, ketika pria itu menawarkan pernikahan, Sraya menolak mentah-mentah.

chap-preview
Free preview
01
.............................. "Aku minta maaf, Sraya. Kita ini harus berpisah. Semua demi kebaikan kita bersama. Maafkan, aku tolong. Aku tahu kamu pasti akan sangat kecewa kita berpisah. Tapi, aku melakukan semua ini agar kamu nggak harus menderita karena bersamaku terus, Sayang." "Kamu benar-benar ingin kita bercerai, 'kah? Usia pernikahan kita baru saja satu minggu, Nugraha! Kenapa kamu ambil keputusan yang gila begini? Kalau pada akhirnya, kamu cuma mau berpisah. Harusnya jangan dulu kamu memohon memintaku menikah!" Sraya pun tak kuasa membendung air mata jatuh lebih deras lagi, kala percakapan menyayat hati bersama pria yang dua minggu lalu masih berstatuskan sebagai suaminya, terputar di dalam kepala. Sraya sungguh tak mampu melupakan ucapan Nugraha, menusuk hatinya. Bahkan, setiap hari selalu berputar di benaknya. Jam demi jam harus terbayang juga wajah pria itu. Wanita mana yang akan dapat merasa baik-baik saja, setelah dihadapkan kegagalan membina rumah tangga dengan umur pernikahannya yang belum terlalu lama, tak lebih dari sepuluh hari. Hanya satu minggu aja, tepatnya. Waktu yang sangat terbilang singkat. Mereka tak cukup dapat merasakan kebahagiaan. Bahkan, belum melakukan apa-apa selayaknya suami dan istri. "Kamu bukanlah pria yang pemberani. Kata cinta selama ini, kamu katakan padaku hanya bualan belaka! Pembohong kamu!" Emosi Sraya semakin meningkat, selepas kalimat sarat akan kebencian dilontarkan. Tentu, semua yang ia luncuran untuk sang mantan suami. Pria itu memang tidak ada satu tempat dengannya. Tetapi, ia masih saja dibayang-bayangi oleh wajah dan senyum Nugraha. Walau, begitu ingin dilupakan. "Cinta di mulutmu tiada berguna!" Sraya kembali meloloskan u*****n cukup kasar yang penuh amarah. "Pria pengecut! Aku membencimu sekarang!" Kemudian, wanita itu menghantamkan tangannya ke meja makan terbuat dari kaca. Tidak sampai pecah, hanya menimbulkan warna kemerahan serta rasa sakit menjaliri tangan Sraya. Hal tersebut rupanya tak mampu membuat wanita itu mengaduh atau meloloskan ringisan. "Baik. Akan aku buktikan, kalau aku bisa bahagia hidup tanpamu, Nugraha! Aku akan mengubur semua hal tentangmu! Persetan dengan cinta busukmu!" Sraya tak mengurangi luapan kebenciannya lewat kata-katanya. "Aku akan membuktikan juga, kalau kamu sudah salah meninggalkanku." Wanita itu belum merasa capek berbicara, mengutarakan lisan apa yang tengah dirasa. Senyuman sinis sedari tadi tercetak di wajah, kian Sraya lebarkan bersamaan dengan tangan kirinya yang mengambil kaleng bir diletakkan di atas meja makan. Ia meneguk seluruh isi cairan tersebut, tersisa setengah. Sraya tunjukkan seringaian. "Ada satu pria yang sejak dulu mencintaiku. Aku akan mendapatkan dia. Aku akan buktikan bahwa aku segalanya untuk dia. Aku akan minta dia membantuku menghancurkanmu, Nugraha." "Siapa orang yang kamu maksud, Sra?" Kekagetan tentu dirasakan oleh Sraya, kala suara milik Arnawa meloloskan pertanyaan bernada ingin tahu yang besar. Entah sejak kapan pria itu tiba di rumahnya, Sraya tak tahu pasti. Ia juga enggan untuk memusingkan. Tak penting baginya. Kehadiran Arnawa lebih penting. "Orang yang aku maksud adalah kamu, Arna. Apa kurang jelas dengan fakta bahwa kamu mencintaiku dari dulu?" jawab Sraya santai. Lalu, meneguk bir di kaleng. Setelah semua ditelannya ke dalam kerongkonga, lalu Sraya memilih untuk berdiri. Kepeningan di kepala menyerang dengan cukup hebat, bahkan membuat wanita itu kehilangan keseimbangan tubuh. Nyaris jatuh, namun untungnya Arnawa sigap membantu. Tubuh Sraya dipeluk pria itu tanpa sengaja. "Sudah aku bilang, kamu nggak kuat minum. Kenapa masih maksa banyak habskan bir, Sra? Jangan nyiksa di-" Ucapan Arnawa terpotong karena tiba-tiba mendapat ciuman di bibir dari Sraya. Ia jelas sangat kaget, tetapi tak bisa mendorong tubuh wanita itu untuk menjauh. Balasan dengan lumatan enggan dilakukannya, meski sudah ada hasrat. Tetap diberlakukan pengontrolan diri. tidak mau terlena akan kondisi. Hal pertama ditunjukkan oleh Arnawa, tatkala bibirnya dan Sraya telah dilepaskan wanita itu, yaitu melangkah empat kaki ke belakang. Menjaga jarak agar tak terlalu dekat. "Ap-" "Bagaimana kalau kita having s*x, Arna? Kamu pasti akan mau, 'kan? Bir sudah nggak bisa buat aku lupa dengan masalah. Mungkin saja having s*x bersamamu akan bisa buat aku melayang dan melupakan beban berat yang aku pikul. Dibandingkan aku harus minum bir sampai mabuk." Arnawa bulatkan kedua matanya, tanda jika tak dapat bisa memercayai permintaan diutarakan oleh Sraya. Sungguh konyol dan memalukan sebagai wanita. Ia sangatlah mengenal bagaiman karakter, sifat, serta watak Sraya selama ini. Mereka sudah lam bersahabat. Apa yang baru disampaikan pada diriya, sungguh tidak ingin dipercayai. "Omong kosong!" Arnawa berseru, spontan. "Kenapa kamu bicara begitu, Sra? Jangan gila. Kamu kira dengan lakukan itu juga bisa membuat masalah kamu selesai? Mustahil. Berpikirlah yang rasional," marah Arnawa. "Ckck. Aku memang sudah gila karena aku ditimpa masalah besar! Kamu kira aku akan masin bisa berpikir secara rasional? Kamu jangan ngomong, kalau belum bisa rasakan apa masalahku. Jangan juga berpikiran kamu sudah sangat tahu bagaimana diriku." Arnawa mengepalkan kedua tangan. "Aku mengenal kamu, Sra. Kamu bukan orang yang begini. Kamu adalah wanita cerdas, elegan, dan berkelas. Kamu bukan orang yang mengajakku melakukan hal konyo--" "Hoekk... Hoekk... Hoekk." Keterkejutan melanda Arnawa karena saksikan wanita itu mual mendadak. Sraya yang tengah berlari menuju kamar mandi jadi fokus pandangan dari Arnawa. Sedangkan, kedua kakinya telah digerakkan untuk berjalan, mengikuti Sraya. Ia harus memastikan kondisi wanita itu. Jujur saja, perasaan Arnawa mulai tidak bisa tenang. Ia kian dilanda kecemasan. Muncul pula dalam dirinya keibaan atas keadaan Sraya. Tidak akan mampu melihat wanita itu menderita. "Apa kamu baik-baik saja, Sra?" Arnawa pun langsung lontarkan kalimat dengan lembut, telat setelah berdiri di belakang Sraya. Arnawa lantas menggerakkan tangan kanan menuju ke tengkuk wanita itu. Dilakukan secara halus pijatan-pijatan di sana seraya tak berhenti memerhatikan Sraya yang masih muntah. Arnawa tidak bisa untuk tak peduli akan kondisi wanita dicintainya itu. Jika Sraya menderita dan mengalami sebuah masalah, maka ia akan ikut merasakan sakit. Arnawa pun juga sangat marah dengan perbuatan Nugraha. Saat nanti bertemu pria itu, Arnawa akan membuat perhitungan. Ia minimal harus bisa menyuruh Nugraha meminta maaf pada Sraya. Memang harus demikian dilakukan atas kesalahan sudah dilakukan hingga sebabkan Sraya terpuruk. "Aku nggak apa-apa. Bisa kamu pergi dari rumahku sekarang? Tolong mengerti aku nggak ingin kamu ganggu, Arna. Kamu di sini cuma akan membuat aku nggak tenang. Aku butuh waktu sendiri. Kamu paham?" "Tapi, aku akan membiarkan kamu tetap di sini, kalau kamu mau mengabulkan apa yang aku minta. Soal keinginanku ajak kamu untuk tidur bersama, mencari kepuasaan dan melampiaskan kekecewaanku, Arna." ………………………………………………….. "Ini kenapa terus pusing?" Kalimat keluhan Sraya terlolos dari mulut dengan intonasi begitu kecil. Ia turut memegangi kepalanya yang masih terasa lumayan pening. Sementara, kaki-kaki wanita itu bergerak menuju dapur dalam langkah pelan agar tak sampai kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh. Efek minum satu botol bir kemarin malam belum juga mampu dihilangkan. Memang beginilah yang harus diterima dampaknya. Sraya tak bisa untuk menghindari. Belum ada cara ditemukan. Hanya bisa diantisipasi agar tidak parah. "Arna?" Sraya langsung saja meluncurkan nama dari sahabatnya, tatkala melihat sosok Arnawa berada di areal kitchen set. Ia pun tidak menyangka sama sekali. "Sudah bangun? Aku pikir akan lebih siang kamu bangun, Sra. Syukurlah, sekarang. Apa kamu sudah merasa mendingan? Apa kamu masib merasakan pusing di kepalamu?" Sraya hanya mengangguk sekali guna menjawab apa yang ditanyakan sahabatnya. Sedangkan, arah dari pandangan wanita itu semakin dilekatkan ke mata milik Arnawa yang senantiasa memancarkan keteduhan. "Untuk apa kamu ada di rumahku sepagi ini? Apa kemarin kamu menginap di sini, Arna?" Sraya tentu ingin tahu alasan dibalik keberadaan sahabat karibnya itu. "Iya, aku menginap." Arnawa menjawab santai. Ia menghentikan sejenak kegiatannya yang mengoles selai di atas roti panggang. Tentu, ia akan berikan pada Sraya. "Aku tidur di sofa." Arnawa mengimbuhkan. "Apa sudah merasa baikan, Sraya? Jangan sering minum bir, tolong. Aku cemas." "Nggak mungkin aku meninggalkan kamu pulang saat lagi mabuk. Lain kali, jangan minum kalau aku tidak ada bersamamu, Sraya." Arnawa berpesan dengan serius. "Kamu tahu betapa aku cemas melihatmu terus begini? Kamu mabuk dan sangat kelihatan menyedihkan. Tolong pikirkan lagi kalau kamu mau minum, jangan mabuk." "Terserahku." Sraya menyahut cepat. Intonasinya sedikit meninggi dan juga terdengar dingin. "Aku pengin minum banyak atau nggak, itu pilihanku sendiri. Aku yang menanggung risiko," tambahnya. "Aku juga bisa mengurus diriku sendiri. Kehadiranmu di sini cuma menganggukku. Paham? Kamu boleh pergi sekarang. Bukannya kamu harus ke kantor, Arna? Jadi silakan pergi sekarang," ujar Sraya dingin. Arnawa mengerti jika Sraya mengharapkan agar dirinya cepat keluar dari rumah wanita itu. Namun, tidak akan ia turuti. Harus dipastikan lebih dulu kondisi Sraya membaik, barulah dapat ditinggalkannya dengan tenang. Pengusiran wanita itu tidak akan diturutinya. Meski, Sraya akan marah. "Aku akan pergi, kalau kamu sudah sarapan. Aku buatkan kamu roti. Mau minum teh atau s**u? Akan aku bikinkan untukmum, Sraya mengeluarkan decakan cukup sinis sembari mempersempit jarak membentangi mereka. Tidak butuh waktu lama baginya berdiri tepat di depan sang sahabat. Tatapan kurang suka diperlihatkannya. "Pulanglah." "Aku tidak akan pulang," ujar Arnawa dalam suara tegas sembari memandang sosok Sraya yang melempar tatapan tajam, sarat akan ketidaksukaan sangat jelas. "Tidak mau pulang? Kamu ingin menggang—" "Kenapa kamu sekarang mengusirku, Sra?" Selesai lontarkan pertanyaan, Arnawa pun turut mempertajam sorot matanya. "Apa kamu tidak ingat yang kemarin kamu lakukan padaku? Kamu menciumku." Tepat setelah kalimatnya terucap semua. Ia dapat melihat ekspresi keterkejutan Sraya secara nyata. "Aku yakin kamu lupa karena kamu sedang dalam kondis—" "Siapa bilang? Aku ingat. Bukankah aku juga ajak kamu untuk having s*x? Bagaimana? Apa sudah dibuat keputusan?" tanya Sraya dengan nada menggoda. Lantas, ia berjalan mendekati sang sahabat yang tak jauh berada di depannya. Keseluruhan atensi masih dipusatkan ke sosok Arnawa. "Aku rasa kamu harus mau. Kamu nggak akan pernah dirugikan sama sekali, Arna." Sraya membentuk seringaian. "Kamu akan jadi orang pertama yang akan tidur denganku. Karena, aku belum pernah disentuh oleh Nugraha atau pria lain." "Aku bisa memberi kamu kepuasan tanpa minta imbalan uang atau apapun. Aku cuma kamu untuk bisa menyenangkanku saja." Sraya berkata dengan santai. Plak! Tanpa sadar, Arnawa melayangkan tamparan di pipi kiri wanita yang dicintainya. Sebab, tak memercayai ucapan ia dengar. Namun kemudian, rasa bersalah pun secara cepat menyelimuti diri Arnawa. Ia memeluk Sraya dengan erat. Sedangkan, wanita itu tak merespons. "Aku minta maaf, Sra. Tolong tapi, jaga kata-katamu. Jangan berubah menjadi w************n. Kalaupun aku ingin tidur bersamamu. Itu setelah kita punya ikatan." Selesai lontarkan serangkaian kalimatnya dalam nada begitu serius, Arnawa menatap lekat sosok Sraya. Pelukannya telah diakhiri. "Maksudku adalah menikah." "Aku ingin mengajakmu menikah. Apa kamu mau untuk jadi istriku, Sra? Cara ini yang aku mampu lakukan untuk menunjukkan keseriusanku mencintai ka—" "Nggak, Arnawa. Aku nggak mau menikah. Kamu pikir mudah menikah lagi setelah aku diceraikan Nugraha ketika pernikahan kami baru beberapa hari?" Penolakan keras pun ditunjukkan Sraya dengan nada suara tinggi. "Kamu kira akan mudah melupakan semua luka dan sakit yang aku alami? Jangan coba berpikiran konyol kepadaku. Nggak akan bisa kamu memengaruhi sama janji manis." Tatapan yang tajam tak luput diperlihatkan pada sosok Arnawa. Pria itu menampakkan sorot berbeda. Pancaran rasa iba serta juga kasihan. Itulah yang mendominasi. Sraya jelas saja merasakan muak. Ia tentu tak akan suka. Enggan mendapatkan belas kasihan. "Aku nggak ada maksud memberikan kamu janji yang manis. Aku hanya mau buktikan aku serius tentang perasaanku. Salah satu cara memang dengan mengajakmu meni--" "Hentikan, Arna. Hentikan!" Sraya berseru kencang dalam intonasi semakin tinggi. "Kenapa kamu suka membahas dan katakan soal menikah terus? Aku benci mendengar semua itu, asal kamu tahu!" Sraya tambah marah. Penekanan di setiap kata kian nyata. "Bagiku, pernikahan merupakan hal yang paling nggak aku inginkan, setelah peristiwa aku alami. Aku trauma tentang pernikahan. Nggak ada kebahagiaan seperti yang sering aku bayangkan dulu, sebelum menjalani." Tepat setelah semua kalimatnya terluncur, maka air mata terus tumpahi kedua pipinya. Hantaman rasa sesak semakin menjadi-jadi di dalam d**a. Bayangan Nugraha tiba-tiba muncul di benak. Menimbulkan juga perih pada hatinya. Sungguh dampak yang harus didapatkan mengerikan. Sraya tak sanggup menahan sakit atas kejadian menimpanya. "Jangan seperti ini, Sra. Aku nggak kuat lihat kamu begini. Aku merasakan penderitaan kamu. Ingatlah, kamu nggak sendiri. Ada--" "Kamu nggak akan pernah bisa merasakan penderitaanku. Omong kosong, Arna. Kamu nggak perlu bersimpati banyak kepadaku. Kamu cuma perlu memberi apa yang aku mau." Sraya memotong cepat dengan nada sinis. Tatapan tajam belum berkurang. "Aku akan merasa lebih baik jika melakukan having s*x bersamamu. Aku bisa menjamin. Aku sering membacanya di novel dewasa. Aku rasa akan bagus diterapkan di dunia nyata. Nggak mustahil bisa dilakuka--" "Berhentilah konyol dan berkhayal dengan dunia fantasimu, Sra. Kamu harus banyak melihat kenyataan." Arnawa berujar marah. Rahang wajahnya semakin mengeras. "Nggak usah mencermahiku. Sudah pernah aku ingatkan, kalau kamu nggak mau. Aku bisa mencari pria lain untuk tidur semalam bersamaku. Nggak akan sulit bagiku un--" "Nggak, Sra! Kamu cuma boleh tidur dengan diriku saja. Berikan tubuh kamu seorang padaku." Arnawa memotong kembali.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Bermain Panas dengan Bosku

read
1.2M
bc

Sexy game with the boss

read
1.1M
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
290.7K
bc

HOT NIGHT

read
605.4K
bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

read
884.9K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
923.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook