bc

Menyesal Bertemu Mantan

book_age18+
1.3K
FOLLOW
7.3K
READ
love-triangle
drama
tragedy
sweet
addiction
like
intro-logo
Blurb

Anaya sangat gembira menyambut hari pernikahannya yang tinggal hitungan hari. Meskipun pernikahan ini terjadi karena hasil perjodohan orangtuanya, dia tak masalah karena laki-laki yang dijodohkan dengannya adalah teman masa kecilnya. Laki-laki yang menurutnya pada waktu itu adalah suami idamannya kelak. Namun sebuah peristiwa mengerikan membuatnya hancur dan berniat membatalkan pernikahan yang tinggal di depan mata. Ia pun juga berniat ingin bunuh diri.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Anaya dan kenapa ia selalu bergumam mengatakan menyesal bertemu mantan? Siapa mantan yang dimaksud dan apa yang tlah terjadi menjelang pernikahannya? Apa juga yang tlah dilakukan mantannya tersebut padanya?

chap-preview
Free preview
Ajakan Bertemu
Kata orang penyesalan itu datang di akhir, kalau di awal itu namanya pendaftaran. Dulu aku tertawa saat jokes ini dilempar teman untuk mengejek teman lainnya. Aku pun ikut-ikutan meledek temanku dengan jokes ini. Namun sekarang aku mengerti dan tak pernah ketawa lagi sejak kalimat itu akhirnya tersemat untukku. *** Aku mengerjapkan mata dengan kepala yang terasa berat. Lalu mencoba memfokuskan pandangan ke depan. Ada yang aneh dengan diriku. "A–apa ini? D–darah?" Rasa gugup menyelusup ke da da. Suaraku sampai bergetar saat mengatakannya. Tanganku refleks menyentuh bagian bawah perut karena merasakan hal aneh di bagian itu. Rasa perih ikut menyertainya. Badan yang toples tanpa sehelai benang pun menambah kesan horor untukku. Tidak! Itu tidak mungkin. Hal itu tidak mungkin terjadi. Aku menyadarinya. Namun aku lupa dengan apa yang telah terjadi padaku. Aku tak bisa mengingat apapun. Itulah yang membuatku sulit menerimanya. Kutarik selimut sampai menutupi batas leher. Lalu sorot mataku mengarah ke atas nakas samping tempat tidur. Di sana terlihat ada selembar kertas yang bertindihkan pulpen diatasnya, yang membuatku penasaran ingin mengambilnya. "Untuk Anaya." Untukku? Rasa gugup diam-diam menyelusup di da da. Aku merasa kenal dengan tulisan tangan ini. Kulanjutkan membaca tulisan dibawahnya dengan tangan bergetar. "Terima kasih atas malam yang indah dan menggairahkan ini. Aku sangat menikmatinya. Kamu wanita sempurna. Setiap lekukan tubuhmu kunikmati dengan rasa puas. Terima kasih juga atas jatahku yang akhirnya kudapatkan setelah sekian lama meminta tapi tak jua diberi, dan terima kasih karena akulah orang yang pertama membobol gawangmu." Membobol gawangku? Jadi darah itu? apa jangan-jangan dia yang ... Mataku mengembun seketika. "Sekarang silakan berbahagialah dengan pasanganmu. Aku sudah rela. Namun ingat, rahasiakan apa yang terjadi malam ini kalau tidak ingin beberapa potret kemesraan kita tanpa busana tersebar ke luar dan menjadi konsumsi publik, terutama calon pengantinmu. Nanti akan kukirim kado pernikahan untukmu. Tunggulah Anaya–ku." Demian. Air mata luruh seketika. "Tidak!" teriakku karena paham dengan apa yang telah terjadi. *** "Anaya, buka Nak, ini Ibu!" Panggilan Ibu tak kutanggapi. Aku hanya menatap sebentar ke arah pintu tapi tak berniat untuk membukanya. Setelah pulang dari hotel terkutuk itu, aku langsung ke lantai atas, masuk kamar dan menguncinya. Bodoh. Kenapa bisa aku sebodoh itu mau menemui Demian? Aku memukul kepalaku sendiri. Rasanya ingin mengulang hari kemarin dan menolak ajakan Demian untuk bertemu. Mantanku itu bilang dia ingin minta maaf dan ingin memberi kado lebih dulu untuk pernikahanku nantinya. Namun ternyata itu jebakan, dia sudah membohongiku. Aditi juga. Orang yang kuanggap teman ternyata srigala berbulu domba. Dia juga datang dan bersandiwara seakan memang ada pesta untuk merayakan rencana pernikahanku. Tanpa menaruh curiga aku mempercayai begitu saja tanpa cek dan kroscek dengan apa yang ada di lapangan. "Kenapa, Bu?" Terdengar suara lain di sana, itu suara Mas Fadil bertanya, tapi tak kupedulikan. Aku masih menangis menyesali apa yang telah terjadi. "Nggak tahu ini adikmu. tiba-tiba pulang subuh begini langsung naik ke atas sampai lupa bayar taksi. Untung ada Mbak Lala ngasih tahu. Sudah beres sih, sudah Ibu bayarkan. Pas Ibu naik mau tanya dia, pintunya dikunci dan nggak mau dibuka. Ibu panggil juga nggak nyahut, Dil," cerita Ibu pada abangku tersebut menjelaskan. Dari nada bicaranya tampak khawatir. Namun aku belum bisa menenangkan Ibu karena diri sendiri saja butuh ditenangkan dan bukan sekarang waktunya. Yang kubutuhkan sekarang adalah sendiri dulu tanpa gangguan siapapun. Aku belum sanggup cerita kalau aku telah dinodai Demian dan sudah tidak suci lagi. Keperawanan yang sudah kujaga dengan baik harus diambil paksa seseorang dan itu bukan Mas Aksya, calon suamiku. Bagaimana ini? Pernikahan kami tinggal tiga hari lagi dan sesuatu yang buruk baru saja menimpaku. Apa aku sanggup jujur padanya, pada keluarganya kalau aku sudah tidak perawan. Kalau aku baru saja diperkosa? "Oh, biarin lah Bu, paling juga sudah tidur. Perkara lupa bayar taksi 'kan sudah beres." Mas Fadil menganggap enteng kondisiku tanpa tahu kisah sebenarnya. "Heh! Bukan seperti itu, Dil. Masalahnya kata Mbak di bawah, dia pulang dalam keadaan nangis. Disapa, dipanggil juga nggak dengar. Langsung nyelonong gitu ke atas. Nggak kayak biasanya. Ibu jadi khawatir, Dil. Mana dia pulang subuh begini. Ibu takut dia kenapa-napa sebelumnya." "Lah, gitu ya, Bu." Tiba-tiba ketukan bertubi-tubi terdengar tak sabaran. "Nay, buka Nay! Ini aku, Masmu dan Ibu mau bicara. Kamu kenapa?" Gantian, giliran Mas Fadil yang menggedor-gedor keras pintu kamar. Mendengarnya membuatku semakin menenggelamkan kepala dibawah bantal. Kesal bercampur sedih. Aku ingin bicara tapi ada rasa malu yang sangat besar juga menghalangi. "Nay, buka nggak! Kalau sampai hitungan ketiga belum dibuka juga, maka pintu ini bakal kudobrak!" Mas Fadil mengancam dan Aku tak suka mendengarnya. Apa dia tidak bisa membiarkan adiknya sendirian dulu? Tak ingin diganggu. Aku memutuskan pergi ke kamar mandi. Dengan langkah gontai kaki ini menuju ke sana. Bahkan rasa nyeri yang masih terasa di bawah perut tersebut tak kuhiraukan. Kuhidupkan kran shower hingga pancuran air tersebut mulai membasahi tubuhku yang teramat kotor. Aku menangis keras bersamaan dengan terdengarnya kucuran air yang berhasil menenggelamkan suara tangisku. Kubiarkan ia membasuh tubuh ini yang masih mengenakan pakaian lengkap. Berharap noda tak kasat mata pada tubuh ini segera hilang. Namun titik hitam apa ini? kenapa makin kugosok, noda itu tidak kunjung hilang? Kugosok lagi dengan tenaga yang lebih kuat, tapi titik hitam itu malah menyebar dan menutupi seluruh tubuhku hingga aku merasa sangat kotor. Ini kenapa? Ibu … tolong! Terkejut. Pintu terbuka. "Anaya!" Tiba-tiba ada Ibu di depan pintu kamar mandi. "Ibu?" Apa aku bermimpi? Bukankah pintu kamar telah kukunci? Kenapa Ibu bisa masuk? Pasti berhasil didobrak Mas Fadil. "I--ini Bu, kotor. Kenapa nodanya tidak mau pergi?" tanyaku setelah Ibu berdiri di hadapan, mengamatiku dengan cemas. kutunjukkan noda itu padanya dan tanganku masih menggosoknya dengan kuat. "Kotor? Noda apa, Nay? Tidak ada apapun di sana. Kamu kenapa?" Namun aku tak percaya dengan ucapan Ibu. Beliau pasti bohong! Aku melihatnya! Noda itu masih ada. Tanganku masih berusaha menghilangkannya. "Dil, cepat ambilkan handuk!" "Ya Allah, Nay. Kamu ini kenapa Nak? Kenapa mandi seperti ini? Kamu jadi basah kuyup. Nanti kamu sakit." Lirih Ibu bicara. Nada suaranya ikutan bergetar. Aku tak peduli. Sambil menangis aku terus menggosok tubuhku dengan kasar. "Ini lihatlah! masih ada Bu," rengekku tak percaya. "Nay, sadar! Kamu kenapa?" Tubuhku diguncang Mas Fadil dengan kuat, tapi bagiku semua itu tak ada rasanya. Hambar. Rasa sakit di da da lebih mendominasi. "Cepat bawa adikmu keluar dari sini, Dil." "Iya, Bu." *** "Bagaimana keadaan Anaya, Bu?" Kudengar Ayah bertanya pada Ibu. Sekarang aku terbaring di tempat tidur dengan pakaian kering. Ibu yang menggantinya. Mereka bahkan memanggilkan dokter Arumi ke sini. Dokter keluarga kami. "Belum tahu, Yah. Dokter belum memberikan keterangan apapun karena Anaya berontak saat ingin diobati. Dia tadi masih meracau kalau tubuhnya kotor." "Kotor?" "Iya, Yah. Ibu juga tidak mengerti. Dokter baru saja memberikan obat penenang karena kata dokter Arumi, Anaya seperti berhalusinasi dan dia belum tahu apa penyebabnya. Aku masih bisa mendengar pembicaraan Ibu dan Ayah hingga rasa kantuk tersebut muncul perlahan dan membuatku tak sanggup lagi membuka mata. Semua gelap. *** "Kamu pembohong!" "A–apa Mas? Bohong apa?" Aku berbalik dan menatap Mas Aksya bingung. Langkahku yang ingin ke kamar mandi terhenti seketika. Mas Aksya berpakaian. Ia juga melempar pakaianku yang tergeletak di lantai dengan kasar ke arahku, sinyal memintaku ikut mengenakannya segera. "Kamu tidak perawan kan? Mana noda itu? Mana darah perawanmu? Aku tidak menemukannya di seprei ini." Lelaki yang baru saja meneguk manisnya madu bersamaku menatap dengan nyalang, penuh kemarahan. Tercengang, aku terdiam kaku seketika. Tak mengira kalau Mas Aksya akan menanyakan hal tersebut. Ia ternyata tahu kalau aku sudah tidak perawan. Lalu bagaimana menjelaskan semuanya kalau aku sebenarnya telah diperkosa tiga hari yang lalu. Mungkinkah ia akan percaya? Maukah ia menerima keadaanku apa adanya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook