bc

Ineffable Cafune

book_age16+
1.7K
FOLLOW
23.5K
READ
forbidden
possessive
age gap
goodgirl
boss
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Ineffable Cafune

Because even every second that I pass, I do always see you. As a man. Always like that. I choose you. And will always choose you for now, tomorrow and so on. Without hesitation, without pauses, and without thinking that what I felt might be a mistake.

But you ... did you choose me too?

***

Ana mencintai Ken, selalu seperti itu sejak ia masih remaja. Sifat Ken yang baik dan lembut kepadanya, membuat gadis itu terlena. Terlebih, ada saat-saat di mana Ken terlihat begitu menginginkannya. Sayangnya, semua tak semudah mengedip mata. Cinta Ana kepada Ken, dianggap terlarang. Karena mereka ... adalah paman dan keponakan.

Haruskah Ana mengakhiri perasaannya?

chap-preview
Free preview
Potensi Pria Brengsek
Good reading . . . Mendapatkan pekerjaan di bulan-bulan awal setelah mendapat gelar sarjana, merupakan suatu keberuntungan yang nggak semua orang bisa dapat. Karena di zaman milenial ini, mencari pekerjaan ibarat nyari cowok yang gantengnya subhanallah tapi single available, tapi baik-baik dan nggak jerk, tapi juga nggak belok. Susah, guys! Tapi ... aku merupakan salah satu orang yang berkesempatan mengalami itu. Bukan di bagian cowok ganteng-single-available--nggak-jerk-nggak-belok itu, tapi bagian 'dapat pekerjaan'. Yeah, nyicil lah satu-satu dulu. Kemarin jadi sarjana, sekarang dapat kerjaan, mana tahu besok dapat jodoh sekasta Chris Evans. Hidup itu berproses, bukan? Ya walaupun tempat kerjaku bukan perusahaan super besar dan ter-bonafit di Indonesia, tapi setidaknya kata salah satu seniorku dulu, gaji di sini lumayan untuk fresh graduate. Melenggang sumringah keluar dari lobi, aku menyapa setiap orang yang kulewati. Nggak sedikit dari mereka yang mengerutkan kening menanggapi kelakuanku. But, siapa yang peduli? Euforia orang yang berbahagia memang beda, ya? Alih-alih langsung pergi setelah sampai di depan, kubalikkan badan dan memandangi gedung berlantai lima yang tampak gagah perkasa dan wooh keren ini. "Sampai jumpa Senin depan, Gajah Mada!" gumamku, dengan senyum lima jari bak bintang iklan pasta gigi. Tapi langsung surut seketika waktu si maroon kesayanganku bergetar di saku baju, minta diperhatikan. Aku mendesah, membalikkan badan sambil mengusap gawai dengan ogah-ogahan. "Hm?" Aku melanjutkan langkah menuju halte terdekat. Uang saku dari Tante Dewi sudah menipis sehingga lebih hemat naik bus daripada order ojol. "Dih, jawabnya kok gitu? Kabar buruk nih, pasti!" tebak si cempreng di seberang sana. "Wah, ngedoain nih anak!" Aku berdecak. "Gimana ceritanya kandidat yang udah sampai ke tahap tanda tangan kontrak, tiba-tiba ngasih kabar buruk?" "Kali aja. Siapa tahu HRD-nya baru sadar dari kekhilafannya kemarin, terus batalin ngerekrut kamu jadi pegawainya? Atau bosnya tiba-tiba nggak suka asisten modelan kamu?" "Ye, enggaklah! Malahan, dengan sangat lancarnya aku udah ngasih tanda tangan berhargaku ke surat yang menyatakan, mulai minggu depan seorang Ariana Sakti bergabung dengan GM Grup. Wow!" Aku tersenyum-senyum sendiri di halte yang sepi ini. "Halah, cuma jadi pembantu aja bangga!" "Asisten! Bukan pembantu. Berapa kali sih aku harus koreksi?" Bibirku tercebik. "Sama aja keles. Ujung-ujungnya juga ngerjain hal yang sama!" Aku bertolak pinggang, "Jujur deh, Wid, kamu sebenarnya nggak suka kan aku dapat pekerjaan?" Gadis yang sekarang ini ingin sekali kucekik malah tertawa cekikikan macam kuntilanak. "Ngambekan si Mbak nih! Kan cuma nanya." Aku hanya mendengus sambil celingukan menunggu bus datang. Dua orang remaja berseragam putih abu-abu duduk di bangku yang kududuki. Aku sedikit menggeser p****t. "Anyway, gimana bosnya? Cowok? Tua? Muda? Ganteng?" Bola mataku berputar bosan. "Cowok mulu yang dipikirin. Dasar jomblo!" "Yang penting bukan jomblo sejak lahir kayak situ." Widya terkikik lagi. Bibirku tercebik. "Lagian, belum ketemu bosnya, kok. Besok Senin katanya mau dikenalin. Jangankan cewek atau cowok, namanya aja aku belum tahu." "Lah? Kok bisa?" Aku mengangkat bahu. "Katanya nanti sore baru balik dari Denpasar." "Dinas kali, ya? Maklum, bos gitu kan orang sibuk." Aku bergumam. Sebenarnya, aku juga agak penasaran dengan calon bosku itu. Itu gara-gara tadi selesai dengan urusan tanda tangan kontrak, salah seorang pegawai bertanya pada staf HRD sambil menunjuk-nunjukku dan menanyakan apakah aku adalah asisten baru bos. Setelah diiyakan, dia hanya manggut-manggut dan kemudian bergabung dengan sekumpulan pegawai. Masih sambil lirik-lirik ke arahku. Hell! Belum bekerja di sana saja aku sudah jadi bahan gosip? Well, mungkin saking terkenalnya calon bosku sehingga mereka kelihatan tertarik dengan siapa yang akan jadi asistennya. "Na, hari ini aku gajian loh!" "Terus?" "Besok shoping, yuk? Aku beliin baju kantoran buat kamu." Senyumku langsung merekah. "Seriusan?" "Hm. Aku kasihan sama bos kamu yang pasti langsung ilfil kalau lihat asisten barunya pakai baju buluk." "Heh?!" Aku memekik tersinggung. Widya mengeluarkan tawa kuntinya lagi. "Bercanda, Beb. Pokoknya besok shopping. Oke?" "Oke deh oke." "By the way, congrats ya, sahabatku yang nggak cantik-cantik amat. Akhirnya gelar pengangguran kamu lepas juga." Aku tersenyum tipis. "Thanks." Widya memutuskan sambungan tepat ketika bus yang kutunggu datang. Aku duduk di bangku dekat jendela, tersenyum memandangi jalan yang padat. Nggak sabar bertemu Tante Dewi. Pasti beliau sangat senang anaknya yang wooh keren ini sudah dapat kerjaan. *** "Na, lihat!" Widya mengangkat sebuah rok lipit berwarna krem di depan wajahku. "Cocok buat kamu." Aku mengambil rok itu dan mematutkannya ke kaki. Sambil mengernyit, aku menggeleng cepat. "Nggak-nggak!" "Kenapa?" protes Widya sambil menerima pakaian itu kembali. "Kamu mau bikin aku pamer paha, gitu? Paha di KFC aja ada harganya, masa pahaku gratis?" "Bukan gitu maksudnya." Widya berdecak. "Padahal bagus loh itu. Kamu bakal kelihatan girly pakai itu." "No!" tegasku. Gila saja kalau aku mau memakainya. Itu rok jauh banget di atas lutut. Kalau aku membungkuk sedikit saja, pasti dalamanku akan kelihatan. Matilah aku kalau itu sampai dilihat Tante Dewi. "Oke, oke. Tapi aku tetep mau kamu pakai rok di hari pertama. Titik!" Aku mendesah saat dia kembali menarikku menjelajahi seisi toko. Sebenarnya aku lebih suka memakai celana daripada rok. Karena rok itu ribet, apalagi kalau pas membonceng motor. Harus ditahan-tahan dengan tangan biar nggak kebuka pas kena angin. Tapi karena Widya adalah ratu pemaksa, bisa apa aku selain nurut? Widya berdecak keras saat kepalaku menggeleng lagi menanggapi rok yang dia sodorkan untuk ke sekian kalinya. "Kali ini masalahnya apa?" "Kamu nggak lihat? Itu motifnya enggak aku banget." Aku mengabaikan dengusan gadis itu. "Dan terlalu ... pink." "Masalahnya sama pink apa? Bukannya aku udah berbaik hati muji kalau kamu tuh cocok sama warna apa aja?" Aku mendesis. "Lagian ngapain sih harus pakai rok segala? Ini lagi!" Aku mengacungkan kemeja katun yang kerahnya dihias renda-renda. "Kenapa harus se-cewek ini, sih? Pakai celana bahan sama kemeja longgar aja udah cukup." "Ini anak nggak punya selera fashion banget, sih!" Widya menyentil keningku dengan tanpa perasaan. "Kamu tuh mau kerja, bukan nongkrong!" Aku mengusap-usap keningku sambil cemberut. "Siapa yang bilang kalau celana bahan sama kemeja bukan buat kerja?" "Sekalian aja itu rambut dibotakin biar dikira cowok!" "Kemeja cewek, Sri Widyawati!" sahutku gemas, tapi langsung dibalas pukulan di belakang kepala. Dasar gadis bar-bar! "Panggil gitu sekali lagi, aku taruh kecoak di dalam baju kamu pas tidur nanti!" Aku bergidik mendengar ancamannya. "Lagian, ini tuh buat kebaikan kamu juga. Aku mau di hari pertama kerja, penampilan kamu bikin orang-orang noleh berkali-kali. Kalau first impression kamu bagus, siapa tahu bosnya jadi naksir? Kan lumayan tuh dapat bos." Aku memutar bola mata mendengar ocehannya itu. "Ya, kalau itu bos masih muda, single, available, terus kembarannya Chris Evans atau paling enggak Ji Chang Wook. Nah kalau dia udah tua, buncit, punya istri anak cucu, no way banget, kan? Apalagi kalau ternyata tante-tante cerewet, judes, kayak Bu Dina dosen killer kamu. Iyuh, ngeri disukain gitu!" "Dramatis!" cibir Widya. Aku mengedikkan bahu. "Ayo cari lagi, tapi yang biasa aja." "Ya udah ini aja!" Dia mengambil satu rok lagi dengan asal dan menyodorkannya tanpa melihat dulu bentuk pakaian itu. Aku justru langsung mengambilnya dan mengamati lebih jelas. Rok A-line dengan panjang di bawah lutut, berwarna pastel polos. Sepertinya cocok dengan kemeja dan blazer yang sudah kupilih tadi. "Wooh keren!" "Serius, Na?" Mata Widya membulat tak percaya. "Dari belasan rok yang aku pilihin, kamu malah suka yang ini? Yang biasa-biasa aja?" Aku mengangkat bahu. "Udah yuk, ke kasir. Habis ini katanya kamu mau beli lipstik baru? Entar kita pulangnya kemaleman kalau harus debat nggak jelas segala di sini. Bisa-bisa kena ceramah Tante Dewi sama Om Iqbal lagi." "Kalau dari tadi kamu nggak rewel, kita juga udah selesai belanjanya. Ngaca dong!" gerutunya di belakangku. Aku hanya cekikikan menanggapinya. Setelah membeli lipstik dan beberapa alat make up Widya yang seabrek itu, kami langsung pulang. Tante Dewi mengirim pesan agar kami tidak makan di luar, karena beliau tadi sore sempat meninggalkan makan malam di rumah kami-rumahnya yang kami tempati. "Ada apa sih itu?" Saat sampai di pelataran parkir supermarket yang tak terlalu ramai, kami dikejutkan dengan keributan antara seorang wanita dengan pria tinggi yang berdiri di dekat Audi yang wooh keren! "Jangan salfok ke mobilnya, dong!" desis Widya sambil menepuk lenganku. Aku menyengir. Mobil itu mengingatkanku pada seseorang. "Widih, ditampar!" pekik Widya sambil menggoyang-goyangkan lenganku. Aku mengedipkan mata, terlalu terkejut dengan apa yang terjadi di jarak lima belas meter sana. Wanita itu terlihat marah dengan tangan terkepal, sedangkan pria itu tidak kelihatan ekspresinya karena berposisi membelakangi kami. "Setelah mengambil keuntungan dari adik saya, kamu pura-pura nggak kenal dia? Dasar b******k!" maki wanita itu dengan suara keras yang berhasil mengundang perhatian orang-orang yang lewat. "Pergi yuk, ah." Aku menarik lengan Widya, tapi dia tetap di tempatnya. Huft. Selain bar-bar, kenapa dia juga kepo sekali sih? "Bentar. Seru tahu. Hal kayak beginian nggak setiap hari terjadi." Dasar netizen! "Bukan urusan kit-" "Woooh wooh dipukulin, Na! Gila, tuh cowok cuma diem aja, lagi!" potong Widya dengan hebohnya. Aku ikut menoleh, dan benar saja, wanita itu sudah memukuli sang pria itu secara membabi buta sambil meneriakkan makian-makian kasar. Si pria mencoba menahan, meski kelihatan tidak ingin berbuat kasar. "Ayo pergi. Aku nggak suka tontonan kayak gitu!" Aku kembali menarik paksa Widya, dan kali ini terpaksa dia menurut. "STOP! Anda gila, hah?!" Langkah kami terhenti seketika setelah mendengar bentakan itu. Kami saling berpandangan, lalu sama-sama menoleh ke arah dua orang yang sudah jadi pusat perhatian itu. "Om Aa?" *** "Nggak apa-apa ya kita pergi gitu aja tadi?" Aku menelan nasi uduk buatan Tante Dewi, lalu menoleh pada Widya yang sedang selonjoran di atas karpet sambil menonton televisi. "Emang kenapa?" "Om Ken pasti nggak mau kamu salah paham. Kamu nggak sadar kalau tadi dia kelihatan mau kasih penjelasan ke kamu?" Aku mengingat-ingat kejadian tadi. Saat tahu kalau pria itu adalah Om Aa alias Kendra, aku dengan cepat langsung menarik Widya untuk pergi dari sana. Aku memang sempat melihat gelagatnya yang seperti akan mengejar, tapi kami sudah lebih dulu naik taksi. Tapi ... "Kenapa pendapatku jadi penting buat dia?" Dia berdecak. "Ya karena dia Om kamu." "Dih, siapa bilang? Dia itu cuma sepupunya orang tua angkatku." "Oh, terus siapa yang waktu itu bilang ya, kalau Om Galang sama Om Ken itu lebih dari sekedar sepupu buat Om Iqbal?" sindirnya. Aku memutar bola mata. "Bukan berarti aku sama Om Aa jadi sedekat itu, ya. Kami bahkan nggak pernah bahas urusan pribadi tiap ketemu. Jadi dia nggak perlu jelasin apa-apa sama aku." "Ngakunya nggak dekat tapi kok punya panggilan kesayangan segala," cibirnya. Aku langsung melempar boneka lobak ke arahnya. "Itu sih cuma ikut-ikutan Gio, Rafa, sama Nara!" Widya berdecih mengejek. Aku hanya membiarkannya sambil membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencucinya. Ruang santai dan dapur yang tidak bersekat membuatku tahu kalau sahabatku sejak kuliah itu mengubah posisi menjadi berbaring telungkup sambil memainkan gawai. "Tapi menurut kamu, Om Ken beneran nggak sih, ngelakuin sesuatu kayak yang tante-tante itu bilang?" Aku mendesah. Kukira pembahasan soal Kendra sudah nggak menarik lagi buat dia. "Setiap orang bisa berpotensi jadi b******k, kan?" "Termasuk Om Ken yang kalem itu?" Aku mengangkat bahu. "Bahkan cowok yang gayanya macam ustadz aja bisa kok ngelakuin itu." "Hm ... iya juga sih." Widya mengangguk-anggukkan kepala, lalu kembali menekuri gawainya. Aku kembali melanjutkan cucian. Pikiranku kembali terbayang ekspresi kaget Kendra saat tatapan kami bertemu tadi. Huft. Kurasa, aku tidak akan peduli dengan kehidupan pribadi sepupu Om Iqbal itu. Mau dia berkelakuan berengsek di luar sana, itu bukan urusanku. Beda cerita kalau yang melakukan itu adalah Om Iqbal. Aku nggak akan kasih ampun. Aku nggak akan membiarkan tanteku disakiti. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
94.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook