bc

Syafa Adinda

book_age18+
6.9K
FOLLOW
43.3K
READ
family
CEO
drama
sweet
bxb
another world
spiritual
wife
like
intro-logo
Blurb

Tak habis pikir dengan semua yang dia lakukan. Semua kata-kata manis yang diucapkannya semakin terngiang di pikiranku. Dia adalah Jiddan Muhammd, orang yang selama ini menyakinkan diriku untuk terus bersamanya, untuk terus mencintainya. Ternyata hanya menjadikanku pelarian? Dan baru kusadari setelah pernikahan ini. Kami baru saja seminggu yang lalu melakukan acara sakral yakni sebuah pernikahan yang menurutku hal yang paling membahagiakan, paling istimewa, paling kutunggu saat itu. Semua yang kubayangkan tentang pernikahan ini HANCUR SEKETIKA. Mampukah aku untuk dapat memasuki ruang hatimu? Hey, Syafa Adinda mampukah kamu bertahan setelah luka ini nyata?

chap-preview
Free preview
Prolog - Part 1
°° Tak habis pikir dengan semua yang dia lakukan. Semua kata-kata manis yang di ucapkannya semakin terngiang di pikiran. Orang yang selama ini menyakinkan diriku untuk terus bersamanya, untuk terus mencintainya. Ternyata hanya menjadikanku pelarian? Dan baru kusadari setelah pernikahan ini terjadi. Benar, kami baru saja memutuskan untuk menikah. Tepatnya satu minggu yang lalu. Acara sakral yang menurutku hal yang paling membahagiakan, paling istimewa, paling kutunggu saat itu. Pernikahan bahagia yang aku bayangkan HANCUR SEKETIKA!! Mampukah aku untuk dapat memasuki ruang hatimu? Sanggupkah aku bertahan setelah luka ini nyata? °° Part 1 Hari ini tepat dimana usia ku genap 21 tahun dia datang bersama kedua orang tuanya untuk mengkhitbahku. Ya, dia yang ku idam-idamkan selama ini, dia yang kusebut namanya dalam sepertiga malamku, dia yang mampu membuat hatiku bergetar kala mendengar kumandang adzannya dulu di waktu SMA. Aku tidak meminta kepada Allah harus dia yang menjadi pasanganku kelak, aku berdoa setidaknya kalau bukan dia jodohku semoga aku mendapatakan jodoh yang mempunyai tingkat kealiman seperti dia. Ternyata? Kuasa Allah memang benar adanya. Jiddan Muhammad, lelaki yang ku kagumi atas ke sholehannya, ke pawaiannya dalam menyampaikan dakwah, kepintarannya dalam segala hal dan lagi suara nya yang begitu merdu kala melantunkan ayat-ayat suci al-qur'an. Jiddan termasuk salah satu lelaki yang banyak digemari kaum hawa di sekolahku dulu. Dia termasuk orang yang ramah kepada orang lain tak heran banyak yang menyukainya mulai dari adik kelas, kakak kelas, ataupun yang seangkatan dengannya, karena memang dia pribadi yang baik dan alim. Tak terkecuali aku, aku begitu kagum dengannya. Dia ketua rohis, ketua osis, di percaya guru, ya memang dia seeksis itu di sekolah, banyak yang mengenalinya, lelaki sholeh dengan segala pesonanya. Lelaki yang tidak pernah berduaan dengan lawan jenis, lelaki yang menundukkan padangannya ketika berpapasan dengan yang bukan mahram. Idaman kaum hawa. °° Flashback on Sore itu setelah pulang kajian di Masjid An-Nur bersama bunda, aku melihat ayah sedang bersama temannya sedang berbincang di ruang tamu. "Assalamualaikum," salamku dan bunda. "Waalaikumsalam," jawab mereka. "Sudah pulang Bun?" sapa ayah. "Sudah yah, eh ada Pak Akhmad saya buatkan minum dulu ya Pak," "Tidak usah repot-repot," jawab Pak Akhmad. "Repot bagaimana toh Pak? Tidak repot kok Pak hanya membuatkan minum saja," Setelah itu aku dan bunda melenggang masuk kedalam. Baru saja aku melangkah menuju dapur terdengar seseorang yang baru datang. "Assalamualaikum," ujar orang lelaki tersebut. "Waalaikumsalam," jawab ayah dan Pak Akhmad. "Sini Nak Jiddan duduk sini," ramah ayah kepada laki-laki tersebut. Aku tidak tau siapa lelaki itu, aku hanya samar-samar mendengar percakapan ayah, Paak Akhamd, dan lelaki itu di ruang tamu. Setelah membantu bunda menyiapkan minum aku masuk kedalam kamar dan merebahkan badanku setelah sehari tadi banyak kegiatan yang aku lakukan. "Oh lelahnya," ujarku pelan. Tiba-tiba bunda menggetuk pintu kamarku "Dek, di panggil Ayah itu di depan," ujar bunda. "Eh iya Bun sebentar," jawabku. "Yaudah bunda sama ayah tunggu di depan ya Dek," jelas bunda sambil melangkah menuju ruang tamu. "Iya Bun." akupun bergegas menuju ruang tamu. Alangkah terkejutnya aku, ternyata lelaki yang datang itu adalah kakak kelas di SMA ku dulu yang begitu aku kagumi. Hampir 3 tahun aku tidak bertemu dengannya, dan astaga ada apa dia datang kerumah. Aku tak bisa menyembunyikan raut wajah kaget saat mata ini melihat wajah tampannya. Ibu, ayah, dan Pak Akhmad juga ikut terkejut melihatku diam mematung. "Astagfirullah sadar Syafa!" batinku. Aku tersenyum kikuk kepada ayah dan bunda. "Dek?" panggil bunda. "I-iya Bun," jawabku tergagap. "Sini duduk sini ada yang mau di omongin," ujar bunda. Akupun duduk di samping bunda. Aku tak tau perihal apa yang ingin di sampaikan oleh orang tuaku hingga melibatkan sosok itu berada di sini. "Dek perkenalkan ini adalah anak dari Pak Akhmad bernama Jiddan Muhammad. Kedatangan Pak Akhmad dan Nak Jiddan ini adalah untuk mengajak mu ta'aruf," kata ayah menjelaskan siapa sosok yang ada di depan ku ini. Aku terdiam mencerna semua ungkapan yang ayah jelaskan kepadaku. Aku masih tidak bisa berfikir, dengan semua kejadian yang datang secara tiba-tiba. Mulai dari dia datang dan sekarang apa? dia mengajakku ta'aruf. Oh tuhan apa ini rencanamu? Aku kikuk tak tau harus menjawab apa. Ku toleh bunda, bunda hanya tersenyum kepadaku. Apa ini semua nyata kucubit pelan tanganku. "Ah ... sakit, berarti aku tidak bermimpi. Ya allah ini benar-benar diluar dugaanku Engkau atur dengan sangat indah. Dia yang ku sebut namanya dalam doa, kini datang untukku. Terima kasih Ya Allah engkau telah mendengar dan mengabulkan doa hamba selama ini." batinku dan seketika itu setetes air lolos dari mataku. "Dek, kenapa?" bunda memegam tanganku. Aku menggeleng tersenyum ke arah bunda. "Nak Syafa, benar yang di katakan Ayahmu kalau Nak Syafa masih belum bisa menjawab tidak apa-apa. Mungkin ini sangat mengkagetkan Nak Syafa," kali ini Pak Akhmad yang angkat bicara. "Benar apa yang telah Abiku katakan. Saya datang kesini berniat untuk mengajak mu ta'aruf. Kalau memang kamu masih belum bisa menjawab tidak apa-apa, saya tidak memaksa, saya mau menunggu. Mintalah petunjuk dari Allah kalau pun kamu ragu akan saya, saya siap menunggu jawaban kamu," lanjut Jiddan. Masyaallah rasanya seperti mimpi. Tanganku bergetar aku tak tau yang aku rasakan saat ini, yang pasti aku senang. Akhirnya dia yang kuidam idamkan datang mengajakku ta'aruf. Aku masih menundukkan wajahku dan memegang tangan bunda dengan berkeringat dingin. Membuat jantungku seakan berhenti sejenak. Kucoba beristhigfar menenangkan sedikit rasa yang berkecamuk di dalam diriku, ah bukan sedikit tapi banyak rasa yang berkecamuk. Aku menoleh ke ayah, ayah menatap mataku seakan berkata katakan yang ingin kau katakan, senyum ayah tak pernah pudar beliau menatapku memberi ketenangan dan keberanian untukku. "Baiklah kupikirkan terlebih dahulu, kumantap kan dulu. Maaf sebelumnya mungkin saya butuh beberapa hari ini untuk itu. Hmm mungkin sekitar satu minggu. Masihkah kamu menunggu?" tanyaku balik Ia tersenyum dan menjawab, "Baik kalau itu yang kamu mau, saya insyaallah siap menunggu." Dan suasana ruang tamu kembali menghangat meskipun pikiranku masih melayang kemana-mana. Ayah, bunda dan Pak Akhmad tersenyum dan melanjutkan obrolan mereka. Aku meminta izin untuk kembali ke kamar. Flashback off °° "Dek?" panggil bunda. "Iya Bun, pintunya tidak Syafa kunci kok," Bunda langsung membuka pintu kamar dan berjalan menghampiriku. "Cantik banget dek?" gombal bunda sambil menoel daguku. "Ah Bunda bisa aja bukannya Syafa tiap hari seperti ini, pakai gamis dan yaa tidak ada polesan make up hanya bedak bayi saja bun," Elakku. "Hmm tidak, sepertinya auramu hari ini berbeda Dek." Bunda masih terus berusaha menggodaku. "Masa sih Bun?" Bunda malah terkekeh mendengar jawabanku. Ya setelah dia datang waktu itu untuk mengajakku ta'aruf aku melaksanakan sholat istikharah untuk memantapkan hatiku dan meminta petunjuk dari Allah dan setelah seminggu kemudian dia dan abinya datang untuk mendengar jawaban dariku, atas izin Allah aku menerima ajakannya. Selang beberapa hari dia dan keluarga besarnya datang mengkhitbahku. °° Acara hari ini berjalan dengan lancar, dia berkata kepada ayah akan selalu menjagaku, melindungiku, dia siap menggantikan tugas ayah dalam menjagaku nantinya. Aku bahagia sekali, dia yang kutunggu-tunggu, akhirnya datang. Dan atas persetujuan dari keluarganya dan keluargaku pernikahan kami akan diselenggarakan bulan depan nanti. Aku semakin bahagia, karena sebentar lagi aku menjadi istri, yang kuharap bisa menjadi istri yang taat kepada suami. "Syafa," sapanya dan duduk berjarak disebelahku. "Hmm iya Mas Jiddan," jawabku dengan hati yang berdegub. Ini pertama kalinya aku dan dia berbincang berdua tanpa ayah, bunda, ataupun abinya. Dia menyunggingkan bibirnya dan semakin membuatku terpesona. "Tidak ada, jangan gugup seperti itu. Aku tidak akan memakanmu kok," ujarnya sambil terkekeh. "I-iya mas," aku menundukkan wajahku, pipiku memerah menahan malu. "Sudah makan?" tanyanya. "Alhamdulillah sudah, Mas Jiddan sendiri?" "Alhamdulillah saya juga sudah," Aku hanya menggangguk-anggukan kepalaku saja. Sebenarnya banyak yang ingin ku tanyakan kepadanya mulai dari kenapa dia bisa tiba-tiba datang kerumah sampai mengajak ta'aruf dan mengkhitbahku, malah sebentar lagi kita akan menikah. Dan sejak kapan dia mengenalku, secara dulu di SMA aku hanyalah murid biasa yang tak tenar seperti dia. Semuanya tak pernah terduga. Allah Maha Baik. "Fa?" panggilanya. "Eeh iya mas, maaf kurang fokus," jawabku kaku. "Ada apa? Apa yang kau fikirkan? Ku lihat kamu sering melamun." Aku tersenyum kikuk bingung menjawabnya, secara yang dia katakan memang benar adanya. "Tidak usah kamu pikirkan terlalu jauh dulu, nanti semua yang menjanggal dipikiranmu akan terjawab. Bila nanti ada yang masih belum kamu mengerti atau belum kamu pahami tanyakan saja padaku jangan kamu malu-malu," ujarnya begitu lembut. "Iya mas," jawabku sambil memberanikan diri mendonggak menatapnya. °° Aku menatap diriku di cermin. Riasan make up menghiasi wajahku, kebaya syar'i serta jilbabnya sudah menempel rapi di badan dan kepalaku. Kutatap lekat-lekat diriku di kaca, bayangan akan hidup bersama dengan sosok yang ku idam-idamkan akan kujalankan sebentar lagi. Mengemban kewajiban istri dan berbakti kepada suami, menunggu hitungan menit statusku akan berganti. Aku tersenyum bahagia. Ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku, dan kuharap ini bisa menjadi sejarah yang terjadi sekali dalam seumur hidup. "Dek sudah siapkan?" tanya bunda memasuki kamarku. "Sudah Bun," Aku tersenyum lebar memperlihatkan betapa bahagia nya aku saat ini. "Itu di depan udah ada Rania dan Nabila, bunda suruh masuk aja ya?" "Iya Bun mereka suruh nemenin Syafa," ujarku. Rania dan Nabila adalah sahabatku mulai kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar sampai sekarang ini. Kita melewati semua hal hampir bersama. Aku menganggap mereka lebih dari seorang sahabat, karena mereka termasuk sosok sosok penting dalam hidupku. "Syafa!" teriak mereka berbarengan. "Astagfirullah kebiasaan, biasa gitu gak bisa?" jawabku sewot. "Hehehe maafin Sya. Eh btw kamu udah siap kan Sya jadi istri?" goda Rania yang kini duduk di sebelah kiriku. "Doain yaa, semoga bisa jadi istri yang baik buat Mas Jiddan," "Aamiin," ujar mereka kompak. Sudah kuceritakan semuanya kepada mereka tentang awal mula Mas Jiddan mengajak ku ta'aruf, mengkhitbahku, dan sampai sekarang. Rania dan Nabila juga sudah tau sejak SMA aku menggagumi sosok Mas Jiddan. Karena memang diantara kita tak ada rahasia, jadi kita saling terbuka satu sama lain. °° Aku merasakan grogi yang luar biasa. Tanganku mulai bergetar, badanku berubah dingin seketika, mulai gelisah tak karuan. Tiba-tiba tangan Nabila menggenggam sebelah tanganku, "Sya ada kami disini, gausah grogi. Semuanya akan baik-baik saja kok." Kata Nabila sambil menggenggam erat tanganku. Aku hanya tersenyum kearahnya. "Sebentar lagi kamu bakal jadi istri Sya, kalau aku dan Rania mau ngajak main bakal susah nih." Lanjutnya. "Ah bisa saja kamu bil, insyaallah nanti Mas Jiddan bakal ngizinin kok. Tapi ga bisa sesering dulu," sahutku. "Iyaa iyaa aku tau kok Sya, kita bahagia liat kamu yang sebentar lagi bakal jadi istri," jawab Nabila. "Eh kayaknya beberapa menit lagi akadnya akan dimulai deh," sela Rania. Sepertinya diluar semua sudah siap. Terdengar ayah mencoba mikrofon, "Sudah siyap Nak Jiddan?" tanya Ayah. "Insyaallah," jawab Mas Jiddan dengan tegas. "Bismillah. Saya nikahkan engkau, Jiddan Muhammad bin Akhmad Surya Wijayanto, dengan putri saya, Syafa Adinda Khumairah binti Hermawan Razak dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah Rp 230.000 dibayar tunai," ucap ayah. "Saya terima nikahnya, Syafa Adinda Khumairah binti Hermawan Razak dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," jawab Mas Jiddan dengan sekali tarikan nafas. "Sah?" tanya penghulu yang berada di sebelah abi. "Sah," jawab saksi serentak. Semua orang yang berada diruangan berucap hamdallah. Air mata sudah membanjiri pipiku. Aku terharu dan detik ini aku sudah menjadi istri Mas Jiddan, detik ini pula rasa kagumku berubah menjadi cinta, aku merasa akulah wanita yang paling beruntung dapat hidup bersama Mas Jiddan. Rania dan Nabila sudah berambur memelukku, mereka juga menangis, menangis bahagia pastinya. "Yuk Sya kita keluar!" ajak Rania. Aku hanya mengangguk dan berjalalan bersama Rania dan Nabila kedepan. Saat aku berjalan menuju tempat yang sudah disediakan, aku merasa semua orang yang hadir menatapku dengan raut muka bahagia. Tak terkecuai Mas Jiddan, dia menatapku sangat intens, dia terlihat begitu tampan dan gagah. Badannya terbalut setelan jas hitam yang membuat aura ketampanannya meningkat drastis. Sudah kupastikan pasti pipi ini sudah berubah merah merona, "Ran, Bil aku kok jadi deg degan gini sih. Semua orang menatapku." bisikku. "Udah tenang aja, percaya diri. Kamu sekarang cantik banget. Makanya semua orang melihatmu kagum," jelas Nabila. Aku hanya mengangguk pasrah. Setelah aku sampai di tempat, aku mencium tangan Mas Jiddan. Getaran ini semakin terasa, aku semakin gugup dibuatnya. Dia mengelus pucuk kepalaku dan mencium keningku. Darahku berdesir, aku semakin gugup. "Kita sudah jadi mahram, jadi jangan gugup," Bisik Mas Jiddan tepat ditelingaku dengan senyum yang sangat mempesona. Ya tuhan sepertinya aku harus terbiasa dengan ini semua. Hari ini benar-benar dimana hari yang membuatku spot jantung di tiap detiknya. Semua berlangsung seperti yang di rencanakan, mulai dari akad sampai resepsi semua berjalan semestinya, semua kerabat baik dari Mas Jiddan ataupun dari ku semua datang memberi selamat kepada kita, saudara saudaraku dan Mas Jiddan juga datang meramaikan malam ini. °° Adzan shubuh berkumandang. Aku mengerjapkan mataku, betapa bahagianya saat kutoleh ada sosok yang dulu ku kagumi berada di sampingku. Kutatap lebih rinci setiap bagian wajahnya. Mulai dari mata yang begitu teduh, hidung yang mancung, bibir yang menggemaskan, aku suka semua yang ada pada dirinya. Aku tersenyum melihat mata yang di depanku masih tertutup rapat. Setelah puas memandanginya, aku turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Kami masih berada di rumahku, karena tadi malam resepsi berakhir sekitar pukul 11.30 WIB di tambah lagi badan kita tidak mendukung untuk aku dan Mas Jiddan pulang kerumahnya. Jadi ayah bundaku dan umi abi Mas Jiddan menyuruh kami untuk menginap di rumah dulu. Benar-benar kemarin hari yang tidak bisa kulupakan meskipun setelahnya aku dan Mas Jiddan sangat sangatlah lelah. Setelah resepsi berakhir aku dan Mas Jiddan menuju ke kamarku dan kita langsung tertidur di ranjang. Malam pertama yang melelahkan. Sesudah mandi aku membangunkan Mas Jiddan sepertinya dia sangat kelelahan. Buktinya dia begitu menikmati tidurnya. "Mas bangun, sudah shubuh," panggilku. Dia masih mengeliat ditempat, aku menahan tawa kala melihat wajah polos bangun tidurnya, "Mas?" panggilku sekali lagi. Dan akhirnya dia mau membuka mata, "Ehmm iya ini bangun. Sudah sholat?" sahutnya. "Belum Mas, ini mau sholat," jawabku. "Oh baiklah tunggu aku, kita sholat sama-sama," Ujarnya sambil berjalan menuju kamar mandi. Aku yang mendengarnya kaget bukan main. Dia mengajak ku sholat bersama, maksudnya dia nanti yang ngimamin? Oh ini masih pagi tapi dadaku sudah mengalami spot jantung dadakan, batinku. "Loh kok malah ngelamun Sya?" ucapnya yang membuaku hampir melonjak karena kaget. "Eum maaf Mas," lirihku sambil menyiapkan perlengkapan sholat untuknya. "Yasudah ayo nanti keburu habis waktu shubuhnya," Ajaknya. Setelah menunaikan ibadah aku mencium tangan Mas Jiddan dengan malu-malu, namanya juga masih baru, maksudnya pengantin baru. Buru-buru aku bereskan semua perlengkapan sholat dan tempat tidur kami. Aku harus cepat-cepat keluar dari kamar ini, kalau tidak Mas Jiddan akan tau kaau sekarang pipiku berubah merah. "Mas aku kebawah dulu ya, mau bantu bunda masak," Pamitku sebelum keluar dari kamar ini. "Iya. Nanti aku akan menyusul kebawah," Sahutnya sambil berbaring di kasur dan memainkan handphone nya. "Iya Mas," ucapku sambil melenggang pergi keluar. Dibawah sudah terlihat bunda sedang sibuk dengn alat dapurnya, kuberjalan langsung menghampiri bunda. "Masak apa Bun hari ini?" tanyaku. "Eh sudah bangun Dek, suamimu kemana?" jawabnya tanpa menggubris pertanyaanku. Suami? Lucu juga menyebutnya suami, batinku. Mas Jiddan Mas Jiddan, cuman kamu yang mampu mengalihkan duniaku. Padahal niatku untuk keluar kamar biar bisa menetralkan pipiku yang memerah, eh ternyata malah bikin aku blushing gara-gara bunda menggoda. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum. "Eeh di tanyain malah senyam-senyum begini," sindir bunda. Aku tersadar dari lamunanku ketika bunda mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Apa Bun?" jawabku tersentak. "Mikirin siapa? Kok mukanya merah gitu?" goda bunda. "Ti-tidak ada Bunda, tidak memikirkan siapa pun, ini masak apa Bunda?" elakku sambil mengalihkan pembicaraan bunda, kalau tidak bunda akan terus-terusan menggodaku, padahal wajahku sudah memanas menahan malu. Bunda terkekeh melihat tingkah saltingku, "Masak tumis kangkung, ayam rica-rica sama udang crispy Dek," jawabnya sambil menahan tawa. Dengan cekatan aku memotong kangkung dan membantu bunda memasak lainnya, sambil bercerita tentang banyak hal. Tak terasa sudah jam 06.30 semua sarapan sudah matang dan sudah ditata di meja makan. Ayah juga sudah turun dibawah. Sebentar lagi akan kutinggalkan rumah ini, rumah penuh kenangan dan kebahagiaan. Rasanya enggan untuk pergi dari sini. Kutatap semua penjuru rumah, pastinya aku akan rindu rumah ini. "Dek suruh suamimu turun, kok malah melamun lagi?" pinta bunda. "Aaaa i-iya Bunda," jawabku gugup. Akhir-akhir ini memang aku sering melamun, aku harus mengurangi kebiasaan itu. Takutnya bunda mengira aku sedang tidak baik-baik saja. Aku bahagia cuman rasanya aku enggan untuk pergi dari sini. Kubuka pintu kamarku, dan nampak lah dia sedang duduk diatas kasur sambil memainkan handphonenya. Sepertinya tidak sadar akan kehadiranku, terlihat Mas Jiddan begitu fokus menatap layar handphone nya. "Mas?" panggilku. "Iya?" ujarnya. "Turun yuk, makanan sudah siap," ajakku kebawah. "Iya ayoo," katanya sambil melangkah keluar. Aku berjalan beriringan dengan Mas Jiddan, di meja makan sudah ada ayah dan bunda yang menunggu. "Pagi Bun, pagi Yah," sapa Mas Jiddan. "Pagi," jawab ayah dan bunda. Aku mengambil tempat duduk disebelah Mas Jiddan dan menyiapkan makanan untuknya, "Mau lauk apa Mas?" tanyaku. "Tumis kangkung sama ayamnya boleh," tuturnya. Pagi ini berbeda, pagi ini lebih terasa sejuk dan menyenangkan. Kami kembali makan di meja makan beranggotakan 4 orang. Biasanya hanya ada aku, bunda sama ayah. Tapi kali ini berbeda, setelah abangku dinas keluar kota, kami hanya makan bertiga saja. Abangku bekerja sebagai PNS dan bertugas di luar pulau. Sebenarnya waktu pernikahanku abangku akan datang dan mau mengambil cuti kerja seminggu. Tapi aku dan ayah melarangnya, kami kasian jika abang pulang ke Jawa nanti balik lagi ke Mataram. Sayang uangnya kan. Apalagi tiket pesawat harganya bukan main. Dan untungnya bunda juga ikut meyakinkan abang, akhirnya abang mendengarkannya. Selesai makan aku dan bunda membawa piring piring kotor ke belakang. Ayah dan Mas Jiddan melanjutkan obrolan mereka di ruang keluarga. "Bun, Syafa ke atas dulu ya. Mau beres-beres dulu," izinku setelah mencuci piring. "Iya Dek, niatnya berangkat jam berapa?" "Gatau Bun, terserah Mas Jiddan saja, kalau masalah itu," kataku. "Yasudah," Aku pergi ke kamar, melanjutkan prepare membawa sebagian gamis dan keperluan lainnya. Terdengar suara pintu dibuka, terlihatlah Mas Jiddan disana. "Kita pulang jam 10 ya?" tawarnya. "Terserah Mas aja," jawabku. "Baiklah, yaudah aku mandi dulu aja," "Iya Mas, bajunya aku siapin," ujarku. Setelah itu Mas Jiddan masuk ke kamar mandi. Dan aku kembali berkemas. Jam 10 aku dan Mas Jiddan sudah siap. Aku pamit ke bunda dan ayah. Merekapun mengantar kami ke depan pintu, setelah bersalaman aku dan Mas Jiddan beriringan menuju mobil. Mas jiddan memasukkan barang barang di jok belakang, aku duduk dikemudi depan. Kupandangi sekitar rumah ini. Ahh sepertinya aku akan rindu ini. °° Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Kami sampai di depan rumah sederhana yang begitu nyaman. Rumah bermodel minimalis ini tidak terlalu besar tetapi di lihat dari depan saja sudah bisa menarik perhatian orang untuk melihat tamannya. Taman yang di tumbuhi pohon rindang, dan di pojok taman terlihat kolam ikan, taman yang sungguh asri. "Rumah siapa ini Mas?" tanyaku. "Ini rumahku. Maaf rumahku tidak sebesar rumahmu Syafa. Ya beginilah," ujarnya merendah. "Meskipun rumah ini tidak besar, tapi rumah ini sungguh nyaman. Aku akan betah tinggal disini," kataku bersemangat. "Ayo masuk. Biar aku saja yang mengangkat barang-barang. Kamu masuk duluan aja, ini kuncinya," Kuambil kunci yang Mas Jiddan serahkan dan aku pergi masuk ke dalam. Sesaat aku terdiam setelah pintu berhasil terbuka, benar-benar rumah ini begitu bagus. Kesan pertama saja aku sudah nyaman. Pasti aku akan betah di sini. Kumasuki setiap ruangan yang ada, sepertinya Mas Jiddan orang yang sangat bersih dan rapi. Terbukti rumah ini sangat sangat terawat. Di setiap ruangan tertempel lafadz Allah dan Muhammad. Sungguh-sungguh ashtentic. "Kamar kita di atas Fa," kata Mas Jiddan sambil membawa barang-barang kedalam. "Iya Mas," ucapku mengikuti dari belakang. "Ini di sebelah sini," Aku hanya mengekor di belakang Mas Jiddan. Kami tiba di salah satu kamar, yang kuyakini itu adalah kamarku dan Mas Jiddan. Setelah kamar itu terbuka aku dan Mas Jiddan masuk. Bau harum khas parfum Mas Jiddan menyeruak ke indra penciumanku. Aku suka. Ini kamarnya lebih besar dari kamarku, batinku. Kamar ini di desain dengan sebegitu efisien, barang barang yang tertata rapi dan tidak memakan banyak tempat. Perpaduan warna abu-abu terkesan sangat elegan. Di sudut kamar terletak sebuah rak dinding yang di fungsikan untuk menaruh buku-buku Mas Jiddan, di sebelah kanan kasur terdapat pintu yang ternyata jika dibuka itu adalah walk in closet dan toilet nya Mas Jiddan. Sungguh lelaki ini lelaki yang menyukai keindahan dan kerapian. "Tidurlah Sya," katanya sambil membawa barang barang ke dalam walk in closetnya. "Tidak Mas, aku belum ngantuk. Boleh aku membantu menata? Sekalian membereskan baju bajuku juga," tawarku. "Boleh sini ikut," Akupun mulai menata baju baju ku di tempat yang sudah disediakan. °° [Jiddan Pov] Jujur perasaan ini belum ada untuk dia. Syafa Adinda kini yang menjadi istriku. Baru 2 hari yang lalu kami menikah. Dia adalah anak dari teman abi dulu saat duduk di bangku sekolah. Syafa yang katanya abi perempuan sholehah sudah jelas terlihat, perempuan anggun, santun, cantik, lembut. Entah kenapa setelah abi menyuruh untuk mengkhitbahnya tidak ada penolakan dariku, padahal aku belum tau dia siapa. Aku mau saja untuk mengkhitbahnya. Dan kesan pertama saat kami berjumpa ya memang dia sosok wanita yang cantik, perempuan dengan gamis bewarna merah muda dengan jilbab lebar yang hampir menutupi badannya. Aku ragu sebenarnya tiba tiba mengajaknya taaruf, was-was untuk ditolak. Sebab kita belum mengenal satu sama lain. Dan tanpa kuduga ternyata dia menerimanya dan kita berlanjut sampai menikah. Sampai detik ini dia tidak pernah lupa akan kewajibannya sebagai istri. Dia termasuk istri yang baik melakukan tugasnya dengan baik, melayaniku meskipun belum melayaniku secara batin. Tiba-tiba pandanganku mengarah menatapnya. Terlihat dia sedang menata baju di kamarku. Kami baru saja sampai di sini. Dia begitu telaten menata baju baju itu dengan rapi. Dan tak sengaja dia melihat kearahku. Aku yang gugup langsung mengalihkan pandanganku di layar handphone yang kugenggam. Adzan ashar sudah berkumandang, kami bersiap-siap untuk melaksanakan sholat. Menggelarkan sajadahku dan sajadah Syafa. Tak berselang lama Syafa keluar dari kamar mandi. "Mas kok Mas yang nyiapin? Seharusnya Syafa saja Mas. Ngerepotin Mas kan kalau gini," tegurnya. Aku sempat terdiam aneh juga kenapa aku tiba tiba mempersiapkan ini semua. "Tidak apa-apa. Lagipula hanya menggelarkan sajadah, dan kamu juga sedang mengambil wudhu. Apa salahnya?" ujarku. Terlihat dia tersenyum simpul di wajah ayunya. Aku langsung buru-buru mengambil air wudhu. Entah ada apa denganku. Setelah selesai sholat ashar, kami melanjutkan aktivitas masing-masing. Syafa kembali menata baju-bajunya, sedangkan aku kembali ke kasur mengecek email-email yang masuk. Besok aku harus kembali ke kantor. Aku tidak bisa berlama-lama dengannya. Entah? Aneh rasanya. °°

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.2K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.7K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.3K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook