bc

Please.... Love Me!

book_age16+
276
FOLLOW
1K
READ
family
HE
mate
goodgirl
drama
bxg
humorous
friendship
lies
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Nayla berharap mendapatkan kekasih setampan aktor Korea. Namun, harapan tak kunjung terpenuhi sebab dia harus mematuhi perintah absolut dari sang malaikat kegelapan, Toni.

Bekerja di bawah asuhan sang bos sarkartis, akankah impian Nayla bertemu aktor Korea terwujud atau ia harus berpuas memandang foto pria Korea dari layar monitor?

chap-preview
Free preview
1
Hujan mengguyur jalanan di Jakarta. Air membasahi aspal dan membuat udara menjadi lembab. Sebagian orang memilih untuk berteduh di emperan toko sembari berharap langit segera cerah. Di dalam mobil, Nayla terlindung dari rintik hujan. Radio mendendangkan lagu pop dan Nayla pun bersenandung, “Cinta…. Cinta…. Penuhi harimu dan penuhi waktumu. Cinta… Cinta…. Aliri darahmu dan aliri jiwamu.” Andai wanita itu berada di kantor, mungkin ia akan menerima sorakan bercampur cemoohan yang memohon agar segera menghentikan tindakan kriminal, yakni membuat orang sekitar menghadapi risiko tuli karena mendengar nyanyian sumbang milik Nayla. Namun, behubung Nayla sedang tidak ada di kantor, plus dia berada di dalam mobil, maka ia bebas berdendang riang.  Sepanjang perjalanan Nayla tak pernah merasa muram. Ia bersyukur telah menyelesaikan wawancara tepat waktu sehingga ia tak perlu merasakan dinginnya guyuran hujan. Brrrrrr, Nayla tak ingin sakit. Ia sangat takut pada dokter … kecuali dokter berparas tampan dan membuat jantung berdisko ria. Nah, untuk yang satu itu Nayla rela merasakan sakit. Toh ia akan mendapatkan perawatan penuh cinta dan mungkin ia pun bisa mendapatkan sedikit asupan gizi untuk menyejukkan kebutuhan rohaninya. Atau ia tak perlu sakit karena Toni aka atasan tukang perintah dan tak pernah mengenal arti dari belas kasih kepada sesama umat manusia. Sungguh, jangan pernah meremehkan ancaman Toni. Sakit? Toni akan berkata, “Apa gunanya paracetamol? Antibiotik tersedia bebas di apotek. Silakan selesaikan tugas atau angkat kaki dari Intermezzo.” Urusan keluarga? Hohoho, Toni akan beralasan, “Mau nikah? Nggak, kan? Atau lahiran? Mas dan Mbak, saya ingin tanggung jawab Anda sekalian dalam menyelesaikan tugas.” Bah, Nayla terkadang merasa tengah melakukan wajib militer. Oke sih, kalau Nayla mendapatkan surat panggilan wamil di Korea. Sekali lagi, garis bawahi kalau perlu cetak miring dan dipertebal kata “Korea”. Mungkin ia akan mengalami kisah indah percintaan dengan seseorang. Kembali ke realitas, Nayla tak pernah mampu mewujudkan impiannya pergi ke negeri gingseng tempat Won Bin pujaannya berada. Kalaupun ada artis atau penyanyi Korea yang datang ke Indonesia, pasti Nayla tengah melakukan pekerjaan penting. Inginnya Nayla minta izin. Oke, izin saja dan Toni akan langsung melempar tatapan setajam belati. Sampai jumpa kisah romantis, selamat datang realitas pahit. Itu sangat menohok. Bekerja di Intermezzo, Nayla merasakan asam dan manisnya dunia penulisan. Berhubung divisi tempat Nayla bekerja berada langsung di bawah kepemimpinan Toni si penyebar kemalangan, maka Nayla mau tak mau harus menerima segala dukacita. Pernah, tengah malam Nayla mendapat kiriman surel dari Toni yang meminta rincian laporan wawancara. Gila! Kenapa Toni harus menggunakan waktu di saat Mbak Kunti mulai melakukan perburuan pria tampan? Hantu penggemar pohon beringin itu pun setidaknya masih bisa memandang mas-mas ganteng, sementara Nayla? Beruntung Nayla selalu mampu melayani keinginan Toni. Jika tidak, hmmm lebih baik tidak usah dijelaskan. Sampai di tempat parkir, Nayla segera bergegas menuju lobi. Kemeja dan celana jinsnya terkena rintik hujan. Sedikit basah namun tidak mengurangi kenyamanan. Merapikan rambut, Nayla tak ingin terlihat kusut di hadapan Miranda, sahabat sejati sekaligus juru selamat di saat Nayla merasa hampir menjejak pintu neraka. Tak masalah jika Nayla berjumpa Lucifer tampan yang menawarinya apel cinta dan nikmat dunia, namun jika yang menyambutnya adalah iblis merah bertanduk? Lupakan saja, itu menyeramkan. Masuk ke dalam lift, Nayla menekan angka yang menuju lantai di mana ia bekerja. Sesampainya di sana, Nayla hanya bisa tersenyum kecut menyaksikan kawan-kawannya sibuk dalam kerjaan masing-masing. Miranda tampak khusyuk merapikan puluhan dokumen yang terserak di atas mejanya. Lalu, ada Clara yang mencorat-coret entah dokumen jenis apa, Nayla tidak mau tahu.  Bergegas menuju kubikel, Nayla meletakkan tas jinjingnya dan mulai menyalakan monitor. Melirik ke samping, ke kubikel yang dulu ditempati Mia, salah satu teman Nayla yang telah menikah dengan Rafael, bos ganteng pemilik Intermezzo. Semenjak Mia dipinang Rafael, wanita itu memutuskan untuk keluar dari Intermezzo dan fokus sebagai penulis blog. Wajar, andai kau menikah dengan lelaki yang kekayaannya dijamin tujuh turunan tak akan surut, Nayla pun pasti akan melakukan hal yang sama: keluar dari dunia persilatan. Kubikel Mia kini ditempati oleh Rei. Jangan tertipu dengan namanya yang kelihatan modern. Rei bukanlah tipikal pria berambut pirang dengan tubuh bak patung Yunani. Rei memiliki ciri-ciri sebagai berikut; tubuh dan wajah tambun, mata sipit, kulit putih, berkacamata, dan gemar mengonsumsi makanan tak sehat. Terkadang Nayla juga sering mendapatkan teguran dari Rei karena ia senang menyanyikan lagu Korea dengan pelafalan yang mengenaskan. “Nayla,” katanya. “Suaramu itu lebih bagus jika digunakan untuk mengusir nyamuk.” Astaga, mungkin Ray tak pernah merasakan sambitan maut Nayla. Tunggu saja, akan tiba waktunya ketika pendekar Nayla mengeluarkan ilmu silatnya. Nantikan saja! Selain itu, ucapan Ray jelas melukai harga diri Nayla sebagai penggemar 2PM dan Super Junior. Di negara yang menjunjung tinggi demokrasi ini, tak bisakah Nayla mendapatkan kesetaraan? Tak masalah jika Nayla belum mendapatkan pasangan sekeren Orlando Bloom, namun setidaknya ia pun menginginkan kisah romantis miliknya sendiri. Andai hidup seindah drama Korea, mungkin saat ini Nayla akan dijemput pangeran berkuda putih yang menawarkan surga padanya; menggenggam jemari Nayla, menawarkan sebuket mawar, dan berkata…. “Nay, ada titipan dari Pak Toni.” Ia bisa menerima tumpukan map dari Miranda dan kembali ke realitas. *** Duduk di hadapan laptop, berkali-kali Toni merevisi tulisan yang diserahkan padanya. Ia sungguh tak mengerti kinerja bawahan yang diserahkan ke divisinya. Anak SD pun lebih mahir mengurai kata daripada manusia-manusia yang mengaku mengerti seluk-beluk dunia penulisan. Toni tak peduli dengan segala macam alasan yang dikemukakan oleh bawahannya, yang ia inginkan hanya satu: kesempurnaan. Menghela napas, Toni mulai menyentuh pinggiran kacamatanya. Sesekali ia berpikir mengenai tema-tema tulisan yang dipercayakan padanya. Kemajuan teknologi membuat sebagian pembaca beralih ke media modern semacam e-book dan artikel di blog. Tentu, Intermezzo sendiri mengikuti perkembangan zaman dan sering mengadakan perlombaan untuk mencari penulis baru namun…. Talenta untuk menarik seseorang membaca itu sungguh amat jarang. Tak bisakah Toni mendapatkan kemudahan dalam bekerja? Ia tak bisa menyelesaikan segalanya seorang diri. Toni membutuhkan seseorang dengan kinerja yang tak tercela. Mungkin ia harus…. “Permisi.” Dunia Toni pun teralihkan oleh kehadiran Nayla. “Masuk,” perintahnya. Nayla tampak enggan memasuki ruang kerja milik Toni. Kedua matanya menyisir sekitar, seolah ia akan menemukan boneka jelangkung. Jujur, Nayla menduga Toni sebagai pengikut aliran sesat. Bisa saja pria itu sebenarnya adalah vampir yang menyamar dalam wujud manusia. Aha, mungkin Nayla bisa mencoba untuk menyiramkan air suci untuk mengungkap identitas sejati seorang Toni. “Kamu mau berdiri terus atau masuk?” Berdeham, Nayla pun masuk dan menyerahkan sebuah map yang berisi hasil wawancara. Toni bahkan tak mempersilakan Nayla untuk duduk, sungguh, ia memang seorang gentleman.  Tak berani mengambil inisiatif untuk duduk, Nayla hanya bisa pasrah. Oh kaki, jangan sampai engkau melebar. “Bagus,” ujar Toni sembari membuka lembar per lembar kertas. “Saya setuju tapi….” Nah, ada tapi. Mungkin Nayla perlu mempersiapkan sekop untuk menyadarkan Toni. Oke, mana sekop? “Saya akan lebih senang jika kamu meruncingkan materi ini,” lanjut Toni. “Jangan hanya menulis berdasarkan sudut pandang narasumber. Kamu juga harus memperhatikan pendapat orang luar.” Nayla tidak menjawab, pikirannya sibuk mencari sekop yang entah ada di mana. “Silakan pergi.” Oke, sekop, datanglah pada Nayla. Mengangguk, Nayla pun meninggalkan ruangan dengan langkah gontai. *** Kata siapa iblis hanya bersemanyam di neraka, buktinya Nayla telah menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, seganas apa mahluk yang disebut dengan iblis. Tidak bisakah Toni memuji kinerja bawahannya? Haruskah pria itu melempar lumpur ke wajah Nayla? Oh, andai Toni tahu, seberapa keras perjuangan Nayla hanya sekadar mengumpulkan kalimat demi kalimat dari narasumber, menyusunnya dalam satu paragraf padu, lalu sebelum akhirnya artikel itu terbentuk sempurna. Sialnya, Toni memilih untuk mencekik Nayla dengan ucapan sarkatis. Ugh, Nayla perlu mencari dukun untuk mengusir jin serta dedemit yang bersarang di kepala Toni. “Itu wajah asemnya minta ampun.” Seruan Miranda berhasil menyadarkan Nayla dari transnya. Wanita cantik itu bersender di dinding kubikel, blus bermotif kupu-kupunya terlihat kontras dengan aneka kumpulan foto penyanyi Korea yang menghiasi kubikel Nayla. Kedua manik mata Miranda menatap Nayla yang kini duduk sembari membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya. “Nda,” keluh Nayla, “aku tersiksa secara lahir dan batin.” “Terus?” “Hibur aku.” Miranda mengangguk. “Oke. Ikuti aku. Tarik napas … lalu, lepaskan secara perlahan melalui mulut. Mulut ya, Nay, bukan hidung. Jangan lupa ucapkan mantra, ‘Aku bahagia.’ Ucapkan mantra itu tiga kali dan rasakan perbedaannya.” Entah mengapa Nayla lebih tertarik menggampar Miranda daripada melakukan ritual suci tersebut. Memijat pangkal hidung, Nayla merasa bahwa hidupnya akan berakhir detik itu juga jika dia tak segera menemukan sang juru selamat. “Nda, aku sedang dalam masalah.” “Ya.” “Butuh bantuan.” “Bisa dimengerti.” “Yang baik dan benar.” “Bukannya tadi sudah aku berikan?” Kesal, Nayla mencerca, “Ya kali pelatihan bernapas model ibu-ibu melahirkan bisa mengusir stres. Nda, aku butuh sentuhan cinta. Cinta yang hangat.” Kali ini tanpa ragu Miranda menunjuk Rei dan berkata, “Rei, Nayla butuh sentuhan cinta.” *** Ketika seseorang merasa telah menemukan tambatan hati, maka manusia tersebut akan merasa semesta terhenti—menciptakan ruang waktu bagi sepasang kekasih untuk menatap belahan jiwa yang ditakdirkan Tuhan.  Angin berbisik dan mendorong sepasang jiwa yang telah lama dipisahkan itu untuk saling menyentuh roh yang telah lama terpisah dari nubuatnya. Tak peduli seberapa keras seseorang berusaha menjauh dari pasangan jiwanya. Tak peduli seberapa banyak alasan yang diciptakan untuk membuktikan bahwa apa yang mereka rasakan itu hanyalah sebatas ilusi, tidak nyata. Tetap saja dewi cinta mendorong hati untuk meminta penyatuan—merapatkan jarak dan meniadakan kerinduan. Maka kini tak ada lagi yang namanya kegalauan jika ia yang melengkapimu telah merengkuh separuh hatimu. Menghela napas, Nayla merasa jenuh. Novel yang dibacanya pun tak mampu mengusir pengap yang ada. Akhirnya Nayla memutuskan untuk memasukkan novel yang dipegangnya ke dalam laci.  Menatap layar monitor, Nayla tak kunjung menemukan kata-kata yang cocok untuk menjelaskan profil koki ternama yang diwawancarainya.  Menjelaskan seseorang dengan sudut pandang yang berbeda. Huh, andai menulis itu semudah bernapas, pastinya tidak ada orang seperti Toni yang gemar menilai kesalahan orang tanpa memperhatikan kelebihan orang yang dinilainya. Kemarin Nayla harus membantu Miranda mengedit beberapa artikel karena Toni secara tiba-tiba meminta wanita itu untuk membuat artikel untuk kolom “orang masa kini”. Miranda paling tidak senang jika harus menerima pekerjaan dari Toni, maka wanita itu pun selalu menyeret Nayla untuk menemaninya dalam lembah penderitaan.  Sungguh, Miranda adalah sahabat sejati yang memiliki moto, “Mari seret kawanmu dalam lembah kesengsaraan.” Nayla harus melakukan sesuatu.  Oh ide, ke mana perginya dikau. Nayla membutuhkan bantuanmu. Sayang seribu sayang, Tuan Ide tengah pergi ke suatu tempat. Ia lupa bahwa ada seorang wanita bernama Nayla yang tengah berjibaku dengan sang penguasa kegelapan, Toni.  “Demi seluruh koleksi lagu Korea yang ada di ponselku!” seru Nayla.  Geram, Nayla mulai menekan tombol delete pada keyboard.  Rasanya ia masih tak puas dengan hasil tulisan yang dibuatnya. Haruskah Nayla menyepi ke pantai sembari berharap ada dewa ganteng yang iba pada penderitaan Nayla? “Nay,” panggil Rei yang ada di samping kubikel Nayla. “Yang kerja di sini bukan hanya kamu doang, lho. Bisa nggak kalau stres itu disimpan sendiri?” Dalam hati Nayla mengumpat. Ia lupa bahwa selain Toni, ia pun memiliki satu dedemit yang harus dibasmi, yakni Rei. “Maaf,” kata Nayla. Sengaja ia menggunakan nada centil hanya sekedar menunjukkan bahwa ia tidak takut dengan Rei. “Aku kira kamu tengah berada di mana gitu.” Tidak ada balasan.  Akhirnya Nayla pun menyimpulkan bahwa Rei pun menganggap pekerjaan lebih penting. Nayla menyentuh tetikus dan menggerakkan kursor ke folder MP3. Tanpa ragu Nayla mengeklik lagu yang disukainya. Suara manis sekelompok pria yang diiringi music pop pun memenuhi ruang dengar Nayla. Rasa suntuk telah pergi dan kini Nayla siap untuk menyelesaikan tugas. Masa bodoh dengan Toni, hidup terlalu indah untuk diabaikan. Yeah, life goes on.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook