bc

The Secret Husband

book_age18+
199
FOLLOW
1K
READ
possessive
contract marriage
drama
sweet
bxg
campus
enimies to lovers
husband
selfish
stubborn
like
intro-logo
Blurb

“18 tahun dan 21 tahun, bukankah itu terlalu muda bagi Meta dan Briyanda untuk menikah disaat keduanya masih berkuliah?”

Apa dijodohkan?

Meta yang sudah duluan berbadan dua?

Atau karena ingin menjalin hubungan yang lebih serius tanpa harus berpacaran?

Bukan itu jawabannya.

Briyanda yang terkenal dingin dan pelit dalam berbicara itu dimana menjadi asisten Dosen dan lab di kampus dengan segala ketampanan serta pesona dimilikinya memilih menikah muda serta menjadi suami rahasia hanya karena sebuah kalah taruhan dibuat sang istri, Meta.

Seiring berjalannya waktu masalah yang terus saja datang menghampiri pernikahan antara Briyanda dan Meta. Perlahan mulai terbuka satu persatu pribadi dari Briyanda yang selalu saja membuat Meta berurai air mata. Tidak hanya itu saja hadirnya orang baru dimasing kedua belah pihak, membuat Meta nyaman dengan calon tunangannya begitu juga Briyanda bersama cinta pertamanya.

Bisakah keduanya mempertahankan pernikahan mereka yang terjadi karena menebus kalah taruhan atau memililih berpisah?.

chap-preview
Free preview
1. 'PAK'
                “Vulkanik, tugas bahan bangunan udah siap belum?” Tanya Perwira.                 “Belum, aku masih ngerjain tugas Mekanika Rekayasa, serius tadi malam aku pusing banget menentukan mana gaya yang searah jarum dan tidak, aku masih belum ngerti juga nih” Vulkanik meremas rambutnya dengan frustasi bahkan saat ini dia masih saja berusaha memahami untuk menentukan arah gaya bernilai positif atau negatif.                 Keduanya lalu kompak menghela nafasnya serentak karena sama-sama tidak mengerti. Kegelisahan tidak hanya dirasakan keduanya akan tetapi seiisi kelas juga sibuk mengerjakan tugas yang diberikan dari pada mereka harus menghabiskan waktu untuk bermain game sembari menunggu Dosen untuk masuk kelas.                 “Saranin shampo yang bagus buat rambut rontok dong” Celetuk Perwira tiba-tiba. Vulkanik yang tengah serius mengerjakan tugas segera saja menoleh dan menatap sahabatnya itu kaget. “Rambut udah lebat gitu, kalau rontok selama kuliah rasanya gak bakalan tuh kepala jadi licin. Kutu aja gak bisa hidup saking lebatnya rambut lu, emangnya kenapa mau beli sampo anti rontok sih?”                 Perwira memutar bola matanya dengan malas. “Kepala aku udah panas banget ini, kalau diletakin wajan terus diceplokin telur diatasnya, udah masak ampe gosong kali kalau gak dibalikkan.” jawab Perwira. Vulkanik terkekeh geli mendengarnya. “Jangan ketawa kenapa, aku lagi serius nih, akhir-akhir ini rambut aku banyak banget rontok karena terlalu banyak mikir, biasa otak malas digunakan, eh sekali digunakan ya berguguran rambut aku”                 “Otak lu yang masuk kategori cerdas di teknik udah panas gitu suruh mikir, apalagi aku dan Meta.” Jawab Vulkanik, lalu tiba-tiba keduanya terdiam seakan mengingat sesuatu. Tunggu, aku merasa ada yang kurang disini” keduanya secara kompak memandang ke arah sekitar.                 “Sial!” keduanya lalu kompak untuk mengumpat.                 “Buruan hubungi tuh anak sekarang. Dia gak tau apa kalau Pak Robert tidak akan menoleransi sedikitpun keterlambatan” Panik Vulkanik. Perwira segera menghubungi Meta dan kemudian menggelengkan kepalanya setelah mednengar bahwa seorang wanita yang merupakan operator berbicara.                 “Coba hubungi lagi deh, udah dua kali dia gak masuk kelas Pak Robert, setidaknya kalau ada apa-apa tuh anak bisa pakai jatahnya yang terakhir. Ini baru tiga kali pertemuan, masih panjang jalannya lagi masa udah mau dihabisin aja.” Vulkanik memijat pelipisnya yang semakin tambah sakit akibat Meta sahabat mereka tak kunjung menampakkan batang hidungnya.                 “Tetap gak diangkatnya sama sekali” panik Perwira. “Ya Tuhan, nih anak suka banget mencari yang namanya musibah dan malapetaka”                 “Aku yakin kalau dia ketiduran pasti nih” Vulkanik kemudian melirik jam yang ada dipergelangan tangannya. “Lima menit lagi masuk, hubungi terus tuh anak, siapa tau dia keganggu dengan panggilan lu. Intinya terus hubungi sampe dia nyahut bukan Kakak operator.”                 Berkali-kali Vulkanik berusaha untuk menghubungi Meta. Ini bukan pertama kali keduanya merasa panik kala sang sahabat yang tidak menampakkan batang hidungnya. “Apa tuh anak masih kerja kali ya? Aku dengar kalau dia akhir-akhir ini kerja keras banget buat mencicil hutangnya” ujar Vulkanik sembari menunggu panggilannya dijawab Meta.                 “Waktu dia bilang kalau mau jadi pengantar s**u dan koran dipagi hari itu benar? aku kira dia hanya ngomong ngaur doang.” Kaget Perwira. Vulkanik menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan sahabatnya ini.                 “Aku udah bilang ke dia, kalau butuh uang, pinjam aja ke aku dari pada harus kerja begitu. Lagian untuk apa sungkan minjam ke aku, aku bukan rentenir, bank atau pinjol. Minjam sama aku gak pakai bunga, yang ada pinjamannya aku diskon besar-besaran kaya obral baju akhir tahun. Dia juga manusia yang butuh namanya istirahat, kuliah aja udah sibuk ini malah sibuk nyari uang” kesal Perwira. Dia tidak pernah menyangka kalau wanita satu-satunya dalam genk pejuang tangguh ini begitu gigih mencari uang.                 “Kaya lu gak tau aja dia gimana” Celetuk Vulkanik. Dia kemudian menatap layar ponselnya sejenak kemudian menggelengkan kepalanya dengan raut wajah kecewa. “Gak ada jawaban sama sekali”                 “Sial” Rutuk Perwira kesal. “Coba lagi, siapa tau dia ngangkat.”                 Vulkanik masih berusaha untuk menghubungi dan hanya nada dering tunggu saja yang didengarnya, hingga saat dia hendak menutup panggilan telponnya itu, sebuah suara kemudian menghentikan pergerakannya.                 “Ada apa?” Suara serak khas seseorang yang baru bangun tidur, seketika memancing kemarahan dari Vulkanik. “Sialan! Lu mau nyari mata huh! Kita masuk kelas Pak Robert sekarang! Cepetan lu mandi!”                 “Sialan!” kaget Meta yang nadanya jauh lebih tinggi dari teriakan Vulkanik.                 “Masih tidur dia jam segini? Kata lu barusan dia kerja, itu buktinya dia tidur.” Celetuk Perwira. Vulkanik yang mendengarnya hanya menaikkan kedua bahunya ke atas. “Gak tau, biarkan aja dia bergegas untuk kekampus, setelah itu baru kita beri dia wejangan. Aku sudah pusing dengan tugas Mekanika Rekayasa, nih anak malah nambah pusing aja”                 Perwira mendenguskan nafas kasarnya melihat bagaimana kelakuan sahabatanya ini yang sejujurnya paling susah namanya bangun pagi. Makanya diawal ketika dia mendengar bahwa Meta bekerja sebagai pengantar s**u dan koran di pagi hari, dia masih tidak yakin mengingat bagaimana dengan kebiasaan dari Meta sendiri seperti apa.                 Keduanya kembali berkutat dengan tugas mereka hingga mereka tidak menyadari kalau Dosen yang akan memberikan mereka materi di pagi hari ini sudah berdiri tepat di mejanya mengajar. Membuat seisi kelas menghentikan kegiatan mereka dan segera saja menaruh perhatian penuh pada papan tulis dan yang ada didepan.                  Perwira dan Vulkanik saling menatap satu sama lain, mencemaskan salah satu anggota dari mereka yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Jika Dosen yang ada didepan mereka ini sudah masuk, maka batas toleransi keterlambatan masuk hanya ada delapan menit saja. jika lewat dari itu maka tidak ada toleransi sama sekali diberikan.                 Aura dari Pak Robert yang terlihat tidak bersahabat itu menguar dengan begitu kuat, membuat siapa saja yang menatapnya akan diliputi rasa takut. “Hari ini adalah pertemuan ketiga dalam mata kuliah Geologi Teknik. Namun kali ini saya tidak bisa mengajar karena ada rapat kajur yang harus saya hadiri, jadi pertemuan kali ini akan disampaikan oleh–“                 Tiba-tiba seseorang kemudian masuk dengan iris coklat terang yang menatap tajam ke arah mana iris itu tertuju. Banyak yang bilang kalau Pak Robert itu memiliki cloning dan pria yang baru masuk itulah dimaksud.                 “–Briyanda.” Robert menatap Briyanda dan kemudian menepuk pelan bahu asisten kesayangannya itu. “Saya akan menyerahkan kelas ini kepada kamu Briyan”.                 Pria yang dipanggil Briyanda atau Briyan itu kemudian menganggukkan kepalanya dan mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan yang membuat seisi kelas melihatnya menelan saliva dengan berat. “Kalau begitu saya permisi pergi dulu” Robert kembali menepuk bahu Briyanda sebelum dia pergi.                 Ruangan yang di isi oleh empat puluh orang dan hanya dua persen wanita itu akan menjadi saksi dimana Briyanda yang terkenal dengan tidak memiliki hati akan membuktikannya. Pria yang memiliki tinggi 185cm dan berkulit hampir secoklat madu itu kemudian berdehem. “Kalian sudah mengenal saya bukan? Jadi saya merasa tidak perlu lagi untuk memperkenalkan diri. Jadi gak usah buang waktu lagi, saya akan segera menyampaikan materi untuk hari ini. Buku yang menjadi pedoman Pak Robert silahkan kalian buka halaman 47. Siapa yang tidak memiliki buku, sadar diri saja untuk keluar dari pada saya usir secara memalukan”                 Perwira menoleh ke arah Vulkanik. “Bagaimana ini? Meta belum juga datang.” bisiknya.                 “Dia dijalan pasti, tuh anakkan pembalap. Jadi gak bakalan mungkin lama ke sini” cicit Vulkanik.                 “Yang satu model rambut jamet dan satu lagi rambut hitam lebat kaya sarang burung. Kenapa kalian bisik-bisik?” ucap Briyanda yang kini menatap Perwira dan Vulkanik.                 “Kami hanya berbisik karena bingung buku mana yang harus dikeluarkan saat Pak robert memiliki dua buku menjadi referensinya untuk mengajar” Vulkanik seketika merasa bangga memiliki sahabatyang otaknya encer ini bisa bekerja dengan begitu cepat untuk menjawab pertanyaan dari Briyanda.                 “Buku warna biru, penulisnya Djauhari Noor” jawab Briyanda. Dia lalu membuka laptopnya dan menyambungkannya ke infocus kelas. Vulkanik menghela nafas leganya dan Perwira menyunggingkan senyuman bahagianya.                 Tanpa membuang waktu, Briyanda segera saja menyampaikan materinya. Sejenak Perwira dan Vulkanik, keduanya merasa takjub bahwa senior mereka ini bisa menguasai materi dengan begitu baik. Bahkan keduanya sepakat kalau Briyanda lebih bagus mengajar dari Pak Robert karena lebih mudah dipahami. Saat Briyanda yang masih menyampaikan materinya, tiba-tiba konsentrasinya pecah ketika seseorang mengetuk pintu kemudian terdengar bunyi deritan pintu didorong terbuka.                 Seorang wanita lalu masuk dengan wajah tertunduk kemudian berkata. “Maaf Pak, saya kesusahan mencari ojek”                 Briyanda menyipitkan matanya menatap wanita yang ada dihadapannya ini dimana sudah mengganggu dirinya mengajar. Terlebih lagi wanita ini dengan tidak sopannya mengatakan dirinya dengan sebutan ‘Pak’.                 “Kamu tau ini jam berapa?” tanya Briyanda. Dia lalu melipat kedua tangannya didada dan menatap wanita yang ada didepannya ini dari atas hingga kebawah. Wanita yang ada dihadapannya itu terlihat sama sekali bukan seperti seorang wanita jika bukan dari suaranya yang memang menjelaskan dia adalah wanita tulen. “Kamu ini wanita atau pria sih?” sindir Briyanda.                 “Maaf Pak” cicit wanita itu.                 Briyanda menyipitkan matanya, menggelengkan kepalanya heran. “Tau ini jam berapa?”                 Wanita itu menganggukkan kepalanya. “Saya tau Pak, tapi saya berusaha untuk bisa masuk kekelas ini Pak. Terserah bapak mau percaya saya atau tidak, saya baru saja kecelakaan Pak. Jadi saya baru saja keluar dari rumah sakit dan segera saja ke kampus.”                 Perwira dan Vulkanik yang melihat sahabat mereka yang sudah di tempelin banyak perban di wajah dan tangan kirinya yang sudah digips itu membuat keduanya kemudian saling memandang satu sama lain, berbisik serentak. “Tuh anak kecelakaan?”                  “Kamu kira saya akan tersentuh dengan cerita kamu itu?” jawab Briyanda dingin. Dia jelas saja tidak peduli dengan apa yang terjadi karena baginya itulah bukan dari urusannya. Menjadi urusannya sekarang adalah bagaimana ketidaktepatan waktu dari seseorang. Ini adalah sikap yang tidak baik dan sangat dibenci Briyanda.                 “Tidak bisakah Bapak memberi saya kesempatan untuk masuk, padahal saya sudah berniat untuk mengikuti kelas ini. Bau rumah sakit saja masih menempel dibaju saya Pak, saking saya fresh keluar dari rumah sakit” jawab wanita itu dengan nada tidak ada takut sama sekali kepadanya.                 Wanita ini nyalinya kuat banget.                 “Saya mohon izinkan saya untuk masuk Pak” lirih wanita itu dengan nada memelas, akan tetapi masih saja dengan ekspresi menunduk enggan untuk menatap dirinya.                 “Kamu minta belas kasihan saya?” Briyanda menaikkan sebelah sudut bibirnya, dia berdecih sejenak dan melangkahkan kakinya perlahan mendekati wanita yang sudah mengusik konsentrasinya. Mengikis jarak diantara mereka, Briyanda mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah wanita yang tidak ada menariknya sama sekali penampilannya. Dengan suara baritonnya itu, Briyanda membisikkan sesuatu di kuping wanita itu. “Kamu siapa emangnya?” Briyanda terkekeh sejenak. “KELUAR!” Bentaknya dengan kuat.                 Tersentak kaget tidak hanya dirasakan oleh wanita yang ada dihadapan Briyanda, tapi seisi kelas juga ikut merasakakannya. “Dalam hitungan ketiga kalau kamu tidak keluar, saya akan mencoret nama kamu dari ABSEN!”                 Bahu yang sedikit lebih lebar dari wanita biasa itu tampak bergetar, tapi apa Briyanda akan merasa bersalah dan menyesal? Jawabannya adalah tidak. Dia mengarahkan tangannya ke pintu. “Silahkan keluar!”                 Ekspresi yang masih tertunduk lesu itu dan tanpa berani menaikkan kepalanya, wanita itu lalu berjalan dengan langkah kaki yang terseok lemah seakan tidak ada tenaga yang dimilikinya saat hanya ada tekat dia punya untuk bersikeras masuk. Namun sayang, tekadnya itu tidak dipandang sama sekali oleh Briyanda.                 Tinggal berapa langkah lagi buat wanita itu keluar dari kelas, sebuah interupsi membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Metana Alga Bermuda” Sepasang iris sehitam tinta itu secara tidak sengaja bertemu dengan sepasang iris coklat terang milik Briyanda. “Terus tatap saya dengan tatapan itu, maka kamu tidak akan bisa lepas dari seorang Briyanda Jayanegara Yeyar Ages”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook