bc

Deal

book_age18+
1.1K
FOLLOW
6.3K
READ
contract marriage
dominant
dare to love and hate
drama
sweet
bxg
supernatural
naive
like
intro-logo
Blurb

Arafi tidak pernah lagi mengenal harapan dan bahagia sejak kehilangan yang ia alami bertubi-tubi. Dirinya bahkan sudah tidak pernah menikmati hidup seperti pria seusianya. Dia juga menutup segala aksesnya untuk berhubungan dengan Tuhan.

Sampai ia dipertemukan dengan seorang wanita yang dijodohkan dengannya agar ia bisa mendapatkan pekerjaan setelah satu tahun menganggur, seorang wanita yang cantik tapi menolak untuk mengandung.

Kesepakatan itu yang akhirnya membawa mereka pada kehidupan rumah tangga yang tidak biasa.

chap-preview
Free preview
1.Hilangnya gadis tersayang
Mendung kian pekat, tak berapa lama hujan turun dengan deras disertai petir yang menyeramkan. Seakan langit ikut berduka dengan kepergian seorang gadis polos yang cantik dan disukai semua orang. Seorang lelaki berseragam putih dan celana abu-abu berdiri di sisi pohon yang berada dekat dengan sebuah makam baru. Walaupun hujan dan petir menggelegar dengan hebatnya, ia seakan tidak takut tersambar dan masih berdiri diam dengan tubuh yang sudah basah kuyup. Tak ada satupun yang akan tahu bahwa ia sedang menangis karena hujan yang juga turun sama derasnya. Matanya hanya menatap pada satu titik, dimana seorang pria dewasa tengah bersimpuh di atas gundukan tanah yang baru saja menelan satu tubuh yang sangat berharga bagi orang-orang terdekatnya semasa hidupnya. Tubuh dari orang yang sangat ia kagumi dan ia sayangi diam-diam. Tubuh dari orang yang sempat ia sukai senyum dan kepolosannya. Yang berhasil menarik perhatiannya dengan mudah. Pria itu terisak pelan saat melihat pria dewasa di depan sana meraung dengan sangat memilukan. Pria itu yang ia tahu adalah kakak dari gadis yang disukai nya, yang tetap bertahan di atas makam adiknya walaupun semua orang sudah pergi. Lalu ia melihat seorang wanita yang juga ikut menangis sambil memeluk pria itu, mereka adalah orang-orang yang punya rasa sakit yang tidak jauh berbeda dengannya. Yang juga sama kehilangannya dengan yang ia rasakan. Dan saat ia melihat kedua orang itu pergi, dengan langkah yang lesu dia berjalan mendekat. Tersenyum ke arah nama di batu nisan yang bahkan tidak kalah manis dengan orang yang mempunyai nama itu. "Hai, Orin!" sapa nya sambil bersimpuh di samping makam. Tangannya bergerak mengusap batu nisan pelan. "Kamu kedinginan engga?" tanyanya lirih. Dia menunduk, membiarkan air mata kembali jatuh. Sesungguhnya ini bukan kehilangan pertama yang dialaminya, tapi tentu saja rasanya tetap sakit. Apalagi ini adalah pertama kali dia menaruh hati pada seorang gadis. Gadis yang tidak sengaja ia tolong dan langsung membuatnya jatuh cinta karena kecantikan dan sikap baiknya. "Hujannya deres banget, aku aja kedinginan. Kamu kedinginan juga engga? Aku harus gimana buat bikin kamu engga kedinginan, Rin? Apa aku harus masuk ke dalam situ juga? Hiks." tangisnya semakin membuatnya sakit, tapi dia tidak bisa berhenti. Karena jika ia menahan tangisnya, perasaannya akan semakin sakit. "Aku pengecut, Rin. Harusnya aku berani deketin kamu dari lama, tapi aku terlalu banyak berpikir dan akhirnya aku kehabisan waktu. Dari dulu aku selalu gengsi ngungkapin perasaan ku, bahkan sama kakak ku dulu yang selalu manjain aku pun aku engga pernah bilang makasih atau semacamnya sampai dia pergi." Kepalanya terjatuh ke atas tanah yang basah, tapi ia tidak perduli sekalipun sekujur tubuhnya terbalut tanah yang menjijikan itu. "Aku suka kamu, Dek. Aku sayang kamu, harusnya kamu denger ini sebelum kamu pergi supaya aku engga nyesel setengah mati kayak gini. Haruskah aku aja yang pergi, toh engga akan ada yang nangisin aku sedikitpun. Tapi kamu... Kamu berharga buat semua orang, kamu jadi kesayangan semua orang, dan kepergian mu bikin semua orang kesakitan," ujarnya di tengah isak yang kian tidak terdengar tapi membawa rasa pedih yang luar biasa. "Kak Rafi.. Kak Rafi, kayak gitu kamu selalu memanggil ku dan aku bahagia luar biasa cuma dengan dipanggil sama kamu. Waktu itu juga, aku bahagia karena berhasil bikin kamu duduk di boncengan ku tanpa tahu kalau itu jadi yang pertama dan terakhir. Kalau aja aku tahu, aku akan langsung ngutarain perasaan ku saat itu juga ke kamu. Harusnya Tuhan kasih tahu aku kalau memang dia ada supaya aku engga senyesel ini," racaunya. Tiba-tiba dia tertawa dengan sangat miris. "Pada kenyataannya 'dia' memang engga pernah ada, karena 'dia' engga pernah dengerin doa ku buat engga ngambil orang yang aku sayang lagi," lirihnya dengan raut wajah dingin dan tanpa ekspresi. ** "Selamat ya, Raf! Abang bangga karena kamu bisa jadi mahasiswa terbaik, padahal selama kuliah harus sambil nyambi kerja karena Abang engga bisa bantu banyak." Arafi tersenyum dan menepuk bahu kakak sepupunya pelan. "Abang udah ngelakuin banyak hal supaya aku bisa tetep sekolah bahkan sekarang sampai lulus kuliah. Kalau Abang sama Teh Andin engga nampung aku, aku pasti udah ada di panti asuhan," ujarnya. "Engga boleh ngomong begitu, Rafi. Kita keluarga, udah sewajarnya kita saling bantu. Lagian karena ada kamu, rumah ini jadi engga terlalu sepi karena sampe sekarang Teteh sama Abang belum dipercaya sama Tuhan buat punya momongan," sahut Andin sambil menata makanan yang baru saja selesai ia masak. Arafi tersenyum miris. Lihat kan? Duta dan Andin sama-sama orang yang baik, orang yang mau menampung Rafi saat dirinya tiba-tiba menjadi sebatang kara dan tidak ada keluarga lain yang mau mengijinkan nya tinggal. Tapi Duta yang hanya seorang PNS biasa, dengan keuangan yang tidak seberapa tanpa berpikir panjang langsung membawa Rafi pulang ke rumah yang dia dan istrinya beli dengan susah payah. Orang-orang yang sebaik ini bahkan harus menerima cobaan dengan tidak adanya momongan di usia pernikahannya sudah akan menginjak dua belas tahun. Bukankah Tuhan begitu kejam? Hingga tega membuat kebaikan dua orang ini sia-sia dan tidak bisa mendapatkan apa yang selama ini mereka inginkan meskipun mereka adalah hamba yang taat dan tidak pernah meninggalkan ibadah. "Tapi nantinya kan kalau Rafi udah nikah juga pasti pindah rumah, Yang. Iya engga, Raf?" Rafi tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Masih jauh kayaknya, Bang. Aku mau kerja dulu, cari uang yang banyak biar bisa balas budi Abang sama Teteh," katanya. Duta langsung menggeleng tegas, "Balas budi apa sih, Raf? Memangnya apa yang udah kita kasih ke kamu? Kami cuma nyediain tempat tinggal sama makan, sedangkan uang sekolah kamu dari dulu kamu bayar dari harta peninggalan Paman sama Bibi. Terus pas kuliah kamu juga bayar dari hasil kerja sambilan mu, kita engga bantu kamu apa-apa. Jadi apa yang mau kamu balas?" "Bang, dulu aku masih ingat waktu semua keluarga Bapak tiba-tiba berpura-pura miskin saat orangtua Abang tanya siapa dari mereka yang mau nampung aku. Padahal tanah mereka berhektar-hektar, tapi mereka rata-rata beralasan kalau hidup mereka aja pas-pasan apalagi harus sampai ngerawat aku? Sedangkan Abang dan Teh Andin yang waktu itu baru aja menikah, langsung mau nerima aku tanpa berpikir banyak. Bahkan kalian sampai nerima omongan kalau gara-gara ngerawat aku, kalian jadi belum dikasih momongan sampai sekarang. Tapi aku engga pernah liat kalian ngeluh, bahkan walau satu rumah aku engga pernah dengar kalian bertengkar. Dari situ, udah kelihatan betapa besar hutang yang harus aku bayar sama kalian," tutur Arafi. Duta berpandangan dengan Andin, lalu ia tersenyum pada Arafi. "Kalau begitu, jadilah sukses. Bikin kami lebih bangga lagi dari ini, Raf. Buktiin ke mereka yang ngeremehin kamu, kalau kamu bisa sukses atas usaha mu sendiri," punya Duta. Arafi mengangguk dengan senyum lebar. "Pasti, Bang," janjinya. ** Hari kian larut, tapi mata Arafi masih tidak mau untuk dipejamkan. Ia bangun, berdiri di sisi jendela yang langsung berhadapan dengan jalanan yang tidak terlalu besar namun selalu ramai dilewati pengendara. Hari sudah menginjak pukul sebelas malam tapi jalanan di depannya masih tampak ramai, bahkan beberapa pedagang keliling mangkal tidak jauh dari rumahnya. Sudah berapa lama dirinya hidup tanpa mengenal Tuhan? Lebih tepatnya sudah berapa lala dirinya lari dan mengingkari adanya Tuhan? Arafi bahkan tidak pernah lagi melakukan shalat meskipun itu shalat ied yang hanya dilakukan setahun dua kali. Dirinya selalu beralasan macam-macam jika Duta dan Andin mengajaknya. Ah dia ingat. Sudah hampir lima tahun sepertinya. Terhitung dari sejak kepergian Orin, dia sudah tidak pernah lagi melakukan ibadah apapun. Kepergian gadis yang menjadi cinta pertamanya itu seakan menutup segala akses yang menghubungkan Arafi dengan Tuhan. Dia merasa marah karena Tuhan kembali mengambil orang yang di sayangi nya dengan mudah. Mungkin setiap orang tidak akan menyangka Arafi orang yang seperti itu, karena wajahnya yang kalem dan selalu tersenyum ramah pada semua orang itu sangat mencerminkan pria-pria yang taat pada Agamanya. Tapi kenyataannya tidak. Arafi adalah pemberontak yang sejatinya hanya meyakini apa yang ingin dia yakini. "Kalau kamu masih ada, kamu akan tumbuh secantik apa lagi, Rin? Sedangkan dulu aja kamu udah mencolok karena terlihat jadi yang paling cantik," monolog Rafi. Bibirnya tersenyum sedih, memutar kembali memori tentang senyum Orin yang begitu membuatnya terpesona. "Aku masih inget waktu kamu sama temen mu jingkrak-jingkrak di deket gerbang sekolah. Lucu," lanjutnya. Wajahnya ia dongakkan menatap langit malam yang hadir dalam versi lengkap dengan adanya bulan dan bintang. "Kalau aja kamu masih ada, mungkin sekarang aku bisa dengan percaya diri deketin kamu atau bahkan memikirkan buat ngajak kamu nikah biar bisa nikah muda kayak Bang Duta dulu." Arafi tersenyum simpul, membayangkan momen yang tidak akan pernah bisa terjadi. "Aku masih punya rasa itu, Rin. Aku bahkan engga bisa jatuh cinta sama wanita mana pun lagi," lirih nya. Sejak kepergian Orin, Arafi memang tidak menampakan perubahan besar di depan semua orang. Tapi jauh di dalam dirinya, tidak ada lagi yang sama. Arafi hidup bagai pria tak normal yang tidak pernah tertarik pada perempuan. Bahkan saat memasuki dunia kuliah, dimana dia beberapa kali di dekati teman seangkatan atau adik tingkat nya, semua Arafi tolak secara baik-baik. Hatinya tidak pernah terbuka untuk siapapun. Tidak pernah jatuh pada hati mana pun, karena saat hatinya pernah jatuh, wanita yang dia cintai tidak bisa menangkapnya hingga Arafi berdarah-darah. Mungkin dengan itu, secara otomatis hatinya membangun pertahan diri yang tinggi dan kokoh untuk tidak mengizinkan siapapun masuk. "Aku tahu kamu lagi senyumin aku dari atas sana," katanya tersenyum kecil. **

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
287.6K
bc

Satu Jam Saja

read
593.1K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
450.8K
bc

Billionaire's Baby

read
278.8K
bc

Istri Muda

read
391.6K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.0K
bc

Yes Daddy?

read
797.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook