bc

Sweet but Pervert

book_age18+
1.5K
FOLLOW
8.3K
READ
like
intro-logo
Blurb

Yara terpaksa dijodohkan menggantikan sang kakak yang kabur dari rumah. Setahu Yara, dia adalah seorang CEO berusia tiga puluh tahun. Enam tahun lebih tua dari Yara.

Namun pada hari H pertemuan antara dua keluarga. Yara malah bertemu dengan Sam seseorang dari masa lalunya yang ia benci.

Akankah Yara bisa menerima Sam pada akhirnya?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Yara bergeming memandang bayangan dirinya pada cermin di meja rias, tatapannya kosong, setengah melamun. Pikiran Yara sibuk memikirkan apa yang akan ia terima tak lama lagi. Ia mengernyit sedih. Ia juga merasakan amarah dalam diri yang tak bisa ia luapkan. Ia tidak mengerti. Tidak pernah menduga hal ini terjadi. Kenapa kakaknya kabur dari rumah? Bukankah mereka cukup dekat? Apa ia tidak cukup baik untuk dipercaya sehingga kakaknya pergi tanpa mengatakan apa pun padanya? Dan lebih dari semua itu. Kenapa dirinya harus dijadikan sebagai ganti sang kakak? Serendah itu kah nilai pernikahan di mata keluarganya? Bagaimana bisa orang tuanya tenang-tenang saja menggantikan sang kakak dengan dirinya untuk dijodohkan dengan seorang CEO berusia tiga puluh tahun? Dia enam tahun lebih tua dari Yara. Tidakkah mereka berpikir jarak itu bisa membuat perbedaan yang begitu jauh di antara mereka berdua? Lalu, apa laki-laki itu tidak memprotes atau apa, sebelumnya ia akan dijodohkan dengan Bisha -kakak Yara- yang cantik dan sempurna. Sedangkan Yara? Jelas tidak bisa dibandingkan dengannya. Yara meremas jari-jari tangannya yang saling bertaut. Ia takut. Ia takut akan ditolak oleh seseorang yang bahkan tidak ia sukai. Lagipula, orang gila mana sih yang mau dijodohkan dengan dirinya? Tetapi, bagaimana jika laki-laki itu lebih tua dari dugaannya? Apa ada seseorang yang bisa menjadi CEO sesukses itu di usia muda? Mustahil, kan? Beberapa waktu sebelum Bisha kabur dari rumah. Orang tua mereka selalu membangga-banggakan si laki-laki itu. Dia tampan, anak baik-baik, bisa diandalkan. Yara percaya saja, karena semua orang yang kaya akan orang tuanya anggap sebaik mereka sendiri. Haruskah dua perusahaan itu disatukan? Tidak cukup besarkah perusahaan milik orang tuanya sendiri sampai harus mencari relasi untuk bergabung? Kenapa pula harus menempuh jalan ini, sih? Tidak ada kah jalan yang lebih baik dan lebih waras selain perjodohan? Yara mendengus kesal. Ia memandang bayangan wajahnya sendiri di cermin. Ia akui ia memang tidaklah cantik, tidak terlalu. Tapi sejelek apa pun dirinya, ia tetap memiliki harapan bisa menikah dengan seseorang yang tampan. Gadis mana sih yang tidak mengharapkan laki-laki tampan dan sempurna? Yara hanya menjadi salah satu di antara mereka. Ia hanya gadis biasa yang mengharapkan kisah cinta layaknya dalam kisah dongeng. Yara jarang sekali berpenampilan seperti ini. Biasanya ia hanya memakai kaos oversize dan celana jeans sobek. Lihat dirinya sekarang. Yara memberengut ke arah cermin. Saat ini ia memakai gaun berbunga-bunga selutut. Jadi mirip benar dengan penampilan Bisha. Kalau kakaknya itu memang cocok berpenampilan feminim semacam ini. Dia cantik sekaligus imut. Sedangkan Yara? Apakah ia cocok? Ia merasa seperti troll yang didandani memakai gaun balerina. Bayangkan saja, seburuk itu lah dirinya. Rambut panjangnya yang biasa dikuncir sembarangan terpaksa digerai sekarang. Ia merasa gerah dan hal ini jelas semakin menyulut amarahnya. Yara mendesah keras-keras. Setengah berharap keluhan yang tidak ia luapkan bisa membuat perjodohan ini dibatalkan. Jujur saja ia tidak bisa berhenti berpikir bahwa laki-laki yang akan ia nikahi mungkin terlihat sama tuanya dengan sang ayah. "Oh, tidak. Sialan," Yara menggeleng-geleng. Setidaknya bisakah ia melepas hair pin ini? Rasanya tidak nyaman sekali. Yara baru akan melepas hair pin berbentuk bunga sakura itu ketika pintu kamarnya menjeblak terbuka. Tanpa diketuk terlebih dulu! Yara ingin meraung saking sebalnya. Sang ibu melangkah masuk. Ayami Yamaguchi, wanita paruh baya berusia empat puluh enam tahun. Namun tetap terlihat cantik di usianya sekarang. Ia memiliki lesung pipi yang terlihat setiap kali ia bicara, tersenyum mau pun tertawa. "Ayo kita berangkat sekarang, Yara. Keluarga Sato sudah dalam perjalanan," ucapnya. Yara mengangguk tanpa suara. Lalu bangkit dan mengikuti langkah sang ibu. Seumur hidupnya ia habiskan menjadi anak pembangkang. Melakukan hal-hal yang disukainya. Yah, walau bukan tanpa alasan. Ia memang tidak pintar, jadi ia tidak mau disalahkan karena nilai-nilai sekolahnya selalu buruk. Ia juga sering membolos kursus yang orang tuanya atur untuk dirinya. Ia lebih suka melukis atau menggambar sketsa di taman bermain. Ia selalu membawa buku sketsa ke mana-mana. Bahkan di kelas saat jam pelajaran berlangsung, ia lebih suka menggambar. Dan tidak hanya sekali dua kali buku sketsanya disita. Dulu, Zen yang sering mengambil buku sketsanya kembali. Mengendap-endap di ruang guru seperti pencuri. Yara tertawa kecil teringat pada tingkah temannya yang satu itu. Sudah bertahun-tahun lalu lamanya. Terkadang ia merindukan saat-saat ia masih bersekolah. Ah, Yara jadi sangat merindukan Zen dan Kira. Akhir-akhir ini mereka jarang bertemu karena Zen mulai sibuk dengan pekerjaannya. Ia menjadi fotografer sekarang. Kira sendiri, gadis tengil yang satu itu, masih terobsesi menjadi selebgram. "Ingat, bersikap yang sopan pada mereka," kata Ayami Yamaguchi mengingatkan. Yara mengangguk dan tersenyum masam. Dengan terpaksa masuk ke dalam mobil dan pasrah orang tuanya membawa ia ke tempat pertemuan dua keluarga. Di sebuah hotel mewah yang Yara lupa namanya. Yah, seperti ia peduli saja. Yara membuang muka memandang keluar jendela. Ambil sisi positifnya, ia berusaha menghibur diri sendiri. Setidaknya jika ia sudah menikah, maka ia akan bebas dari kekangan orang tuanya. Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang bisnis dan tidak memiliki bakat apa pun mengenai itu. Jadi pastilah suaminya kelak akan mengijinkan ia melakukan hal-hal yang ia sukai. Dan awas saja jika tidak, Yara memberengut. Jika bahkan suaminya sama ketatnya dengan orang tuanya, maka habis sudah. Hidup terkekang selamanya. Yara tidak perlu repot-repot mengingat perjalanan ini dalam otaknya. Ketika sampai di tempat tujuan pun, ia tidak memedulikan pelayan yang beramah tamah padanya. Ia terus melangkah di belakang punggung orang tuanya. Sering sang ibu menoleh untuk memastikan Yara tidak memasang wajah masam lagi. Membuat Yara menggulirkan mata padanya. Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan VIP yang secara khusus di pesan oleh keluarga Sato. Bukan main. Yara memandang sekeliling dengan takjub, melupakan sopan santun yang sudah dikatakan seribu kali oleh sang ibu untuk ia lakukan di hadapan keluarga Sato. Hanya untuk makan malam saja mereka memesan ruangan semenakjubkan ini? Yara menggeleng-geleng, gila benar mereka itu. Yara sendiri lebih suka makan okonomiyaki di pinggir jalan. "Ah, Kawa, teman lamaku!" Yara melonjak kaget. Perhatiannya tertarik pada seorang laki-laki sejangkung sang ayah. Beberapa rambutnya sudah memutih. Yara nyaris tersedak ludahnya sendiri saat melihat laki-laki tua itu. Dia, kah? Rasanya ia ingin kabur saat itu juga. Tetapi sang ibu sudah lebih dulu mencengkeram lengannya dan menarik dirinya mendekat ke meja. "Minami," ucap sang ibu dengan senyum ramah. Yara menoleh pada wanita yang nampaknya seumuran dengan ibunya. Wanita itu juga cantik. "Ayami, rasanya sudah lama sekali tidak bertemu," Wanita itu menyambut ibunya dengan suka cita, lalu keduanya mencium pipi satu sama lain. Yara setengah lega karena ibunya sudah tidak mencengkeram lengannya lagi. "Wah, Yara. Kau manis, Nak," Minami Sato memandang Yara penuh perhatian. Yara nyengir, membuat ibunya langsung menginjak kakinya. "Aw, ma-maksud saya, terima kasih, Bibi," kata Yara terbata-bata. "Tidak, tidak, jangan memanggilku bibi, kau akan menjadi putriku, Yara. Panggil ibu saja dan tidak perlu seformal itu padaku." Yara tersenyum dan berusaha bersikap kalem. Walau dalam hati serasa seperti disambar petir. Kalimat wanita ini mengingatkannya pada laki-laki tua tadi yang membuatnya ingin lari. "Baik, Bi- maksudku, Ibu." Ayami menepuk-nepuk bahu putrinya seolah penuh sayang. Kemudian ia berbalik untuk menyapa laki-laki tua tadi. Begitulah mereka bergantian saling menyapa. Dunia Yara serasa berputar. Ia pusing bercampur mual dan gugup. Sampai ia tidak menyadari kehadiran satu orang lain di antara mereka. Seseorang yang baru muncul dari pintu masuk dan kini bergantian menyalami orang tuanya. "Yara, sapalah Sam," ucap sang ibu sambil menariknya untuk berbalik. "Ap-apa?" Yara masih setengah linglung saat diseret untuk berbalik. Dan tepat saat ia melihat laki-laki yang kini tersenyum ramah padanya. Yara merasa telah disambar petir dua kali. Tiga puluh tahun apaan! Yara jelas-jelas tahu laki-laki ini! Dulu letak sekolah dasar mereka bersebelahan. Tentu masuk akal sulit untuk melupakan laki-laki semacam ini. Ia memiliki tipe wajah fennec yang jarang dimiliki orang pada umumnya. Selain itu, karena laki-laki itu adalah sosok yang membuatnya seumur hidup mudah merasa tidak percaya diri. Dulu, dia mengatakan bahwa dirinya membenci Yara hanya karena penampilannya seperti laki-laki. Mana mungkin Yara bisa melupakan makhluk semacam itu yang sudah menghancurkan kepercayaan dirinya. Dan lihat dia sekarang! Berdiri di sana dengan mudahnya seolah tidak memiliki dosa. Bahkan tersenyum dan mengulurkan sebelah tangan untuk menjabat tangan Yara. Yara merasa sesuatu bergejolak dalam dirinya. Ia memandang laki-laki itu dengan marah. Samuel Sato. Siapa sangka mereka akan bertemu di sini. Pasti ada yang salah di sini. CEO kebanggan, apa-apaan. Walau tidak pernah satu sekolah dengannya. Tapi Yara tahu seperti apa dia. Si biang keonaran. Terkenal di mana-mana karena ulahnya. Dasar i***t. Benar juga, kenapa Yara tidak pernah menyadari bahwa marganya adalah Sato. Ayami Yamaguchi menepuk bahu Yara pelan, Yara langsung tersadar. Ia mendongak memandang sang ibu, berharap ibunya menjelaskan yang ingin didengarnya. Bahwa bukan Samuel yang akan dijodohkan dengannya. Karena orang t***l pun tahu kalau Samuel seumuran dengan Yara! Namun sang ibu memberi isyarat untuk menjabat tangan Samuel karena semua orang memperhatikan mereka. Dengan sangat terpaksa Yara menjabat tangan Samuel. Sengaja meremasnya keras-keras, berharap tulangnya remuk atau apa lah. Samual tetap tersenyum. Yara muak sekali melihatnya. "Senang berkenalan denganmu," ucapnya ramah. Yara mendesis. Berkenalan katanya. t***l benar. Apa si b******k ini sudah lupa padanya? "Nah, kalau begitu mari duduk," ajak Kenichi Sato dan kembali tertawa, memulai obrolan lagi setelah keheningan panjang. Yara mendudukan diri di hadapan Samuel. Seperti ini lah mereka di atur untuk duduk. Ia tidak bisa membantah. Yara terus menatap Samuel dengan tajam. Pasti ada kesalahan, pikirnya. Yara terus menunggu seseorang akan mengatakan bahwa ada kesalahan di sini. Ia tidak habis pikir, hal terakhir yang ia dengar saat orang tuanya membahas rencana perjodohan dengan sang kakak, adalah bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh tahun. Apakah orang tua Samuel bodoh tidak bisa menghitung usia anak mereka sendiri? Samuel tidak menoleh pada Yara lagi karena setiap kali ia memandang Yara, Yara selalu menatapnya tajam dan dingin. Makan malam dimulai di selingi obrolan orang tua mereka. Yara hanya menjawab pertanyaan sesekali. Selebihnya terus memandang Samuel, seolah dengan memandangnya saja bisa membayar kebenciannya. Samuel sendiri bicara cukup banyak, mengenai perusahaan atau apa lah yang Yara tidak mengerti. Tiap kali ia bicara, Yara mendapat dorongan besar untuk menendangnya. Namun sayang, bahkan jarak mereka terlalu jauh untuk Yara raih dari bawah meja dengan kakinya. "Ah, ya. Jadi kurasa pertunangan ini bisa dilaksanakan secepatnya," ucap Kenichi Sato, laki-laki yang sempat ia kira akan dijodohkan dengan Yara yang tenyata adalah ayah Samuel. Yara tentu bersyukur ia hanya salah paham. Tapi mendapat Samuel sebagai gantinya, sama-sama membuat Yara ingin kabur saja. Ah, tidak. Menendang wajah Samuel sekali lalu kabur. Itu ide yang lebih baik. "Ya, kenapa tidak? Ide yang bagus, kan, Yara?" Ayami menoleh pada putrinya dan menginjak pelan kaki Yara di saat yang sama. Yara tersentak sadar. "Apa?" Semua orang sedang menatapnya saat ini. "Oh, tentu, semua keputusan ibu adalah yang terbaik," Yara menjawab sesuai perintah sang ibu. Walau ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Samuel menoleh, alisnya bertaut dan memandang Yara serius sekarang. Terlihat terkejut dan tidak menyangka di saat yang sama. Yara langsung balas menatapnya tajam. Samuel berpaling lagi pada sang ayah. "Kalau begitu dilakukan lusa pun tidak masalah," Minami menimpali yang langsung disambut tawa oleh orang tua mereka. Apa, sih yang mereka bicarakan? Yara memotong steaknya lagi, agak susah payah sebenarnya. Ia tidak terbiasa makan dengan segala sopan santun ampas macam ini. "Tapi, Ibu, bukankah sebaiknya menunggu sampai aku menyelesaikan beberapa tugas dengan klien perusahaan. Ada begitu banyak hal yang harus kuurus. Bukannya aku tidak suka, hanya saja akan lebih melegakan bagiku jika aku lebih memiliki waktu luang untuk mengurus semuanya." Yara mengunyah potongan steaknya dengan ganas. Lihat, sok penting sekali cara bicara si b******k itu. "Ada benarnya juga," kata Kawa Yamaguchi setengah bergumam. "Biar mereka memiliki banyak waktu luang juga. Seperti kita dulu, eh?" Ia melempar pandangan penuh arti pada Kenichi yang langsung tertawa keras. "Benar, kesenangan masa muda, eh?" Ayami dan Minami tersipu dan menyembunyikan tawa kecil di balik punggung tangan mereka. "Jadi, kapan sebaiknya pertunangan dilaksanakan?" Yara tersedak. Sang ibu langsung menepuk-nepuk punggungnya. "Maaf," ia membungkuk sedikit. "Tak apa, sayang, jangan meminta maaf," kata Minami, ia terlihat cemas. Entah benar-benar cemas atau berpura-pura, Yara tidak tahu dan tidak peduli juga. Tapi, pertunangan? Membahas pertunangan di pertemuan pertama mereka? Gila. Benar-benar gila. "Jadi, Sam, menurutmu kapan waktu terbaik untuk pertunangan kalian?" Kenichi Sato menanyai putranya. Samuel yang saat itu sedang memperhatikan Yara langsung menoleh. Ia berpikir sejenak. "Kurasa, akhir tahun mungkin." Yara tidak tahu apa yang sedang Samuel pikirkan. Tapi jelas dia juga sama gilanya. Akhir tahun tidak kurang dari tiga bulan lagi! Memangnya apa yang ia pikirkan? Apa ia kira Yara akan mau bertunangan dengannya setelah semua yang telah ia lakukan di masa lalu. Jangan harap! Yara baru akan membantah ketika sang ibu mengusap bahunya lagi. "Yara pasti setuju, kan?" Ia tersenyum namun Yara yakin ibunya setengah mengancam. Ia memandang Samuel sesaat dan mengangguk. Mengabaikan euforia yang mendadak meledak dalam ruangan. Yara menjatuhkan pandangan pada steaknya yang tersisa setengah. Ia tidak memiliki selera makan lagi. Takdir benar-benar gila memasukannya dalam situasi macam ini. Yara bisa saja menerima dengan sedikit senang hati jika laki-laki itu bukan Samuel. Ia masih bertanya-tanya, sebenarnya siapa laki-laki yang berusia tiga puluh tahun itu. Mungkin dia lebih baik. Di mana dia sekarang? Tidak mungkin Yara salah dengar. Ataukah. Yara bergeming. Ataukah Samuel memiliki kakak dan kini ia dipaksa untuk menggantikan kakaknya sama seperti Yara sendiri? Yara mengangkat wajah, Samuel sedang memerhatikannya. Laki-laki itu tersentak dan cepat-cepat mengeluarkan sesuatu dari saku. Rupanya sebuah ponsel. "Akan lebih baik jika kita bertukar nomor ponsel," ia tersenyum ramah. Yara mendesis, terus mempertahankan tatapan kebenciannya. Lalu dengan terpaksa mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangan dan membacakan nomor ponselnya pada si b******k itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook