bc

Merindu Rumah Cinta

book_age4+
1.1K
FOLLOW
30.1K
READ
love-triangle
love after marriage
sweet
like
intro-logo
Blurb

Sean tahu jika keputusannya untuk menikah terlalu terburu-buru. Padahal dia masih terjebak pada cintanya di masa lalu. Namun, dia tidak ingin kehilangan untuk kedua kali.

Izza sudah menarik perhatian Sean sejak perjumpaan pertama mereka. Meski belum sepenuhnya memercayai, Sean tetap ingin melangsungkan pernikahan itu.

Sayang, belum sempat Sean menumbuhkan cinta pada Sang Istri, wanita yang dia harapkan kembali datang.

Sean terjebak pada pilihannya. Ada Izza yang telah resmi menjadi iatri. Sementara cinta lamanya masih tersimpan di hati.

Apa yang harus Sean lakukan? Sanggupkah dia menyakiti wanita sebaik Izza demi mengejar masa lalu yang belum usai?

Cover by: Lina Rahayu

Edited by: Canva

chap-preview
Free preview
Prolog: Penolakan
“Namanya Nadia Helena. Orangnya baik banget. Mama pasti suka sama dia,” ujar Sean dengan senyum lebar. Dia menunjukkan selembar foto kepada mamanya.  “Mama percaya sama kamu. Kalau kamu suka, cepat lamar dia. Jangan kelamaan, nanti malah diambil orang, lho.”  “Sean agak ragu, Ma.”  Sang Mama mengerutkan kening mendengar alasan Sean. Dia tahu kalau anaknya memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Lalu, apa yang membuat Sean merasa ragu? Dari caranya berbicara, Sean jelas menyukai wanita bernama Nadia Helena itu. Mungkinkah Nadia yang tidak tertarik pada Sean?  “Ragu kenapa? Kamu sudah pernah mencoba mengutarakan perasaan?” Sean menggeleng.  Bagi Sean, dekat dengan seorang wanita adalah hal lumrah. Dia sosok yang memesona. Bukan hanya karena wajah tampan dan senyum manisnya. Sean merupakan pebisnis sukses. Meski bukan seorang bos, dia cukup dikenal di kalangan para pengusaha.  Terlahir sebagai anak kedua dari keluarga terpandang, Sean tumbuh menjadi pribadi cemerlang. Terkadang dia memang terlihat tidak serius dalam melakukan sesuatu, tetapi bukan berarti dia ceroboh. Dia pria yang bisa diandalkan dalam hal apa pun.  “Sean ragu kalau Nadia mau menerima Sean,” kata Sean lemah.  Jujur saja. Ini pertama kalinya Sean merasa benar-benar menyukai seorang wanita. Dulu, dia hanya menganggap kaum hawa sebagai hiburan. Dia berganti pacar semudah berganti menu makanan. Tinggal menunjuk wanita yang diinginkan, lalu dia akan mendapatkan.  Berbeda dengan Nadia. Gadis itu seolah tidak melihat pesona dalam diri Sean. Padahal Sean sudah berkali-kali memberi tanda ketertarikan padanya. Entah karena Nadia tidak menyukai Sean atau ada alasan lain. Nadia tidak pernah menanggapi usaha Sean setiap kali mendekatinya.  “Kenapa begitu? Kamu kan belum mencoba. Dia belum punya pasangan, kan?”  “Sean sudah berusaha mengumpulkan informasi. Nadia tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun.”  “Terus, kenapa kamu ragu?”  “Dia seperti menghindar kalau Sean dekati.”  “Cari tahu alasannya, dong. Bisa jadi dia minder atau malah menunggu kamu memberi kepastian.”  “Dia termasuk pengusaha kuliner yang sukses, jadi tidak mungkin dia merasa minder.”  “Nah, bisa jadi dia mau kamu lebih tegas.”  Sean terdiam lama. Dia selalu menunda untuk mengungkapkan perasaan. Nadia tidak sama dengan wanita-wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita itu mandiri. Dia seperti tidak membutuhkan orang lain, termasuk Sean.  Setiap Sean berniat untuk menawarkan bantuan, Nadia pasti menolak. Setahu Sean, para wanita paling suka kalau diperhatikan begitu. Bukankah pria memang diciptakan untuk meringankan beban mereka?  “Nadia seperti menolak kehadiran orang lain dalam hidupnya, Ma. Seolah dia mempunyai dunia sendiri dan tidak ada yang boleh memasukinya.”  “Jadi, tugas kamu adalah mencari tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Setiap orang punya pendirian yang berbeda. Mungkin Nadia punya sesuatu yang disembunyikan dan dia belum siap berbagi dengan orang lain.”  “Bisa jadi, Ma.” Sean menghela nafas. “Terima kasih untuk sarannya. Sean akan coba lebih peka.”  “Gitu, dong. Sean yang Mama kenal selalu penuh semangat dan tidak mudah menyerah.”  Benar sekali. Begitulah Sean Samudra Walzer. Pria yang suka mengukir senyum agar orang di sekelilingnya bahagia. Dia akan mengerahkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan. Kenapa kali ini harus ragu?  Tidak ada yang akan mengetahui hasilnya sebelum mencoba. Dia hanya perlu berusaha sebaik-baiknya dan menunggu. Segala bentuk keberhasilan didapatkan setelah dikerjakan dengan serius, bukan?  ***  Bangunan itu masih menimbulkan rasa tenang di hati Sean. Sejak melihatnya empat tahun lalu, dia terus mengingat kafe Nadia. Berada di sebuah g**g yang lumayan sempit tidak membuat usaha Nadia sepi pengunjung. Sekarang bahkan semakin ramai.  Enam buah meja bulat berada di teras kafe yang luas. Dilengkapi dengan empat kursi pada setiap meja. Warna putih mendominasi tempat itu. Di bagian dalam, terdapat beberapa ruangan khusus bagi pelanggan yang menginginkan privasi. Alunan musik klasik setia menemani para tamu yang berkunjung.  Mengusung konsep makanan nusantara, kafe Nadia menjadi favorit banyak orang, termasuk Sean. Apalagi didukung dengan pelayanan yang memuaskan. Semua karyawan dilatih terlebih dulu sebelum benar-benar melayani para tamu.  “Kamu datang lagi?” Nadia muncul dengan senyum ramah seperti biasa. Sean membalas seraya mengedipkan mata.  “Sedang sibuk?” tanya Sean setelah Nadia duduk di hadapannya. Wanita itu mengetukkan telunjuk ke meja beberapa kali sambil menatap Sean penuh selidik.  “Kenapa? Kamu mau membicarakan apa kali ini? Tentang saudaramu yang kaku itu? Atau tentang pekerjaan yang membuatmu bosan? Atau ... tentang wanita yang kamu sukai?”  Sean tertawa mendengar ada nada sindiran dalam kalimat Nadia. Dia memang suka menceritakan segala hal. Bukan karena dia hobi bercerita, tetapi ingin menghabiskan banyak waktu bersama wanita itu.  Nadia bukan pribadi yang mudah menceritakan tentang dirinya. Sampai saat ini, Sean hanya tahu jika dia hidup bersama ibunya. Nadia lulusan SMK tata boga. Selepas menyelesaikan sekolah, dia langsung membuka kafe. Katanya, dia butuh banyak uang untuk merawat sang ibu yang sedang sakit.  Beberapa kali Sean mencoba mencari tahu tentang Nadia. Namun, hasilnya tidak pernah sesuai dengan keinginan. Entah bagaimana, wanita itu seakan menutup rapat jati dirinya. Ketika tahu Sean diam-diam menguntitnya, dia secara tegas melarang.  “Jangan cari tahu tentang diriku, Sean. Aku akan menceritakan segalanya saat sudah siap. Kalau kamu tetap bersikeras, lebih baik kita tidak usah berteman lagi.” Sejak itu, Sean berhenti. Lebih tepatnya, terpaksa menahan rasa penasaran. Dia memutuskan untuk menunggu Nadia bercerita. Sayang, sampai saat ini, Nadia tetap bungkam. Setiap Sean menyinggung masalah pribadi, Nadia langsung mengalihkan.  “Kamu cemburu kalau aku punya kekasih?”  Tawa Nadia berderai. Dia menyibak rambut lurusnya yang hanya menyentuh bahu. Mata wanita itu menatap lekat Sean. Keduanya larut saat menyelami kejujuran dari mata mereka masing-masing.  “Kamu terlalu berharap,” sangkal Nadia. Dia mengibaskan tangan berkali-kali di depan wajah Sean.  “O ya? Aku kecewa sekali.”  Ucapan Sean membuat Nadia membatu di tempat. Meski pria itu sering menggodanya, dia terus saja berdebar-debar. Padahal dia tahu, kalau mereka sulit untuk bersatu. Ada banyak hal yang harus Nadia pertimbangkan jika ingin memulai sebuah hubungan. Apalagi dengan sosok seperti Sean.  “Jangan mulai, Sean.” Mata Nadia membola ketika Sean meraih tangannya. Genggaman Sean begitu lembut. Kedua mata Sean seolah menghipnotis Nadia agar terus menatap pria itu.  “Kali ini aku serius, Nad. Menikahlah denganku. Kamu tahu kalau aku mencintaimu, bukan?” Nadia menelan ludah. Dengan berat, dia melepaskan tangannya.  “Maaf, Sean. Aku tidak bisa.”  Walaupun sangat terpukul dengan penolakan Nadia, Sean  berusaha menutupi. Suaranya sedikit bergetar saat bertanya, “Kenapa? Apa ada pria lain?”  “Ya dan aku tidak bisa meninggalkannya.”  Sean menggeleng cepat. “Bohong. Aku tidak pernah melihat ada pria istimewa di sekelilingmu.”  “Karena aku memang menutupinya,” kata Nadia, tidak ingin dibantah. “Dari awal aku sudah bilang kalau kita hanya bisa berteman. Itu sebabnya aku tidak ingin kamu tahu tentang diriku.”  “Tapi sejak awal kamu juga tahu kalau aku tertarik padamu.”  “Ya. Aku tahu.”  “Lalu, kenapa kamu membiarkanku terus datang?”  “Karena aku pikir kamu akan menyerah.”  “Menyerah? Kamu bercanda?” Sean tersenyum getir. “Terima kasih karena sudah membuatku menyia-nyiakan empat tahun ini. Sepertinya aku salah menilaimu.”  Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Hati Sean terlanjur kecewa. Nadia bahkan tidak mengejarnya ketika dia terburu-buru meninggalkan kafe. Itu kali terakhir mereka bertemu. Setelah menolak Sean, Nadia menghilang entah ke mana. Tak satu pun dari pegawai Nadia yang bisa mengatakan kepada Sean di mana keberadaannya.  Sean patah hati dan perasaan cintanya membelenggu sampai waktu yang lama. Dia tidak pernah tahu jika cinta bisa sesakit itu. Selama ini, dia terlalu percaya diri. Yakin jika tak ada wanita yang bisa menolaknya. Ternyata ditolak sangat menyakitkan, apalagi jika kita benar-benar tulus mencintai.  Seharusnya Sean tidak pernah meninggalkan Nadia. Seharusnya dia tetap mengejar Nadia. Dia terjatuh dalam lubang penyesalan. Jika dia sedikit berusaha, mungkin Nadia tidak akan menghilang seperti ini. Iya, kan?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

PATAH

read
514.7K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
453.4K
bc

CEO Dingin Itu Suamiku

read
151.4K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Rujuk

read
908.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook