bc

Nikah Muda

book_age12+
342
FOLLOW
2.4K
READ
possessive
love after marriage
confident
drama
sweet
bxg
campus
city
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

[SEKUEL OF THE SWEET DEVIL]

"Kalian udah kenalan?" tanya Dimas

"Ngapain? Nggak penting juga." balas pria itu sambil melirik sinis.

"Eh, penting tau, siapa tau nanti motor kamu mogok di jalan sepi, terus secara kebetulan aku lewat, jadi kan bisa bantu." balas Armia dengan sewot.

"Kamu doain motor aku mogok?" balas pria itu dengan sinis.

Armia memutar matanya, "Enggak, aku cuma doain kita jodoh." balasnya sambil memeletkan lidah.

chap-preview
Free preview
01. Armia
[SEKUEL OF THE SWEET DEVIL] ×××××××××××××××××××××××× Aku memajukan bibir sambil sesekali melirik ke arah abang yang sedang memasangkan sepatu pada kakinya. Ia masih berusaha mengabaikanku meski aku sudah berusaha ngambek, padahal aku berharap kalau ia berbelas kasih sedikit untuk mengizinkanku ikut dengannya. Dengan tatapan memelas, aku menatap nenek yang duduk di sebrangku dan memperhatikan kami. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk membuat nenek membantu aku membujuk abang yang masih mengeraskan hatinya. Entah kenapa ia bersikukuh untuk melarangku ikut dengannya, padahal aku sangat bosan berada di rumah. “Ajak adek kamu itu, bang. Dia merengek pengen ikut dari tadi.” Ujar nenek kepada abang setelah peka terhadap kode dariku. Aku tersenyum kecil karena berharap kalau ucapan nenek bisa mengubah pikiran abang, jadi aku bisa ikut dengannya. Sore ini, ia sudah sangat rapi karena katanya ada teman yang mengajak renang di kampusnya dulu. Sekarang ia sudah tamat dan sibuk mengajar, hanya saja, saat di akhir minggu seperti ini, ia memang sering ada kegiatan dengan teman-temannya dan aku selalu saja ingin mengekorinya ke manapun. “Enggak.” Tolaknya sambil berdiri dan bersiap untuk meninggalkan kami karena ia langsung menyandang tasnya di bahu. “Bang.” Aku menarik tangannya dan menatap dengan sangat memelas dan berusaha membuat wajah semenyedihkan mungkin, “Ikut.” Ujarku lirih. “Di sana nanti teman abang cowok semua, Armia.” Ujarnya menyebut nama depanku dengan penuh penekanan dan mata melotot. Oh iya, namaku adalah Armia Guandya, anak pertama dari 2 bersaudara. Usiaku saat ini adalah 17 tahun, sedangkan adikku laki-laki, namanya Alfren dan usianya 3 tahun di bawahku. “Ya tapi kan yang masuk kolam renang bukan cowok semuanya.” Ujarku. “Kamu mau ngapain sih ke sana? Mau malu-maluin abang lagi?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan cepat sambil melotot tak terima dengan tuduhannya, “Sejak kapan aku malu-maluin abang?” “Waktu abang lagi pdkt terus kamu datang ngelabrak cewek itu dan bilang kalau kamu pacarnya abang.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan, seolah aku tidak akan mendengarkan dengan jelas jika ia berbicara pelan saja. “Ya lagian abang aneh, masa mau duluan dari pada aku.” Ujarku berusaha memberikan alasan yang logis. “Abang udah tua, kalau kamu kan belum, fokus aja belajar dulu, nggak usah mikir-mikirin pacaran segala.” Jelasnya. Oh iya, abangku itu memang sudah cukup tua. Namanya Arez Dani Levaro dan usianya sudah 24 tahun, tapi masih menjomlo sebab aku selalu menggagalkan rencana kencan dia. Nanti kalau dia punya pacar, aku takut pacarnya akan posesif dan menghalangiku ikut ke mana-mana lagi. Memang dia bukan abang kandungku, tapi abang dari orang tua kami yang bersepupuan, hanya saja kedekatan kami memang seperti saudara kandung. Sejak kecil, kami memang terbiasa bersama karena orang tua yang sama-sama sibuk dan kami dititipkan ke rumah nenek Tina, jadi sampai sekarang masih menjadi kebiasaan terus membuntutinya ke mana-mana. “Yaudah, pergi sana, ambil baju renang kamu. Lebih dari 10 menit, abang tinggal.” Ancamya. “Awas aja aku ditinggal.” Ancamku membalas dan berlari secepatnya ke dalam kamar untuk mengambil perlengkapan ngikutin bang Arez. Begitu selesai menyusun pakaian, aku segera mengambil flatshoes dan memakainya dengan asal saja, yang penting tidak membuat bang Arez kesal karena harus menunggu lama. Kami kemudian naik motornya dan pergi menuju ke kampusnya dulu. “Nanti di sana jangan kegenitan.” Pesan abang. “Apa?” tanyaku pura-pura b***k. Mana bisa aku tidak kegenitan, orang niatnya juga untuk mencari yang ganteng-ganteng. Sayang banget keluar rumah kalau nggak lihat yang menyejukkan mata. Kan bagus kalau bikin mata sehat, jadi nggak perlu makan sayur lagi deh. Ah, entah teori aneh apa itu, yang penting aku menikmati wajah cogan-cogan kalau di luar rumah. “Nanti di sana jangan kegenitan.” Ulang bang Arez dengan suara yang lebih kuat, bahkan hingga pengendara motor lain melihat ke arah kami. “Iya.” Jawabku saja biar dia diem. Malu juga kalau dia ngomongin kegenitanku sambil teriak-teriak malu-maluin kayak tadi. *** Begitu kami tiba di kolam renang Universitas Negeri Sevit, kami langsung membeli tiket masuk karena kata bang Arez, teman-temannya sudah masuk lebih dulu sejak 5 menit yang lalu. Tanpa membuang waktu lama, kami langsung menghampiri mereka ketika melihat posisi mereka yang cukup menyorot apalagi dengan seruan memanggil nama bang Arez dan lambaian tangan. “Ngikut mulu nih Mia, kayak abangnya bakal diculik aja kalau nggak diekorin.” Sindir bang Yoan-salah satu teman bang Arez. Aku memang sudah cukup sering bertemu dengan teman-teman bang Arez dan mereka hanya bisa menggelengkan kepala karena aku terus mengekori teman mereka itu. “Biarin aja.” Desisku membalasnya. “Pemanasan aja duluan, gue mau ganti baju dulu.” Ujar bang Arez. “Aku bang?” tanyaku padanya. “Kamu mau renang juga?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala dengan semangat saat melihat kolam renangnya juga tidak begitu ramai, jadi aku bisa leluasa saat sendirian karena aku yakin kalau bang Arez akan sibuk dengan teman-temannya. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk mengganti pakaian dan bang Arez menungguiku di pembatas ruang ganti antara wanita dan pria. “Udah.” Ujarku langsung mengajaknya ke kursi pinggir kolam renang tadi. Ia langsung menyusun barang-barang pentingnya ke dalam tas dengan cukup aman, lalu melakukan pemanasan sebelum memulai renang bersama teman-temannya. “Nggak masuk bang Dim?” tanya bang Arez pada bang Dimas yang memang masih duduk di kursi dan belum berganti pakaian. Ia menggelengkan kepalanya, “Lagi nunggu pakaian renang, tadi gue abis dari tempat kerja langsung ke sini, jadi nggak sempat bawa-bawa pakaian renang.” Jelas bang Dimas. “Kalau gitu, gue masuk duluan ya.” Pamit bang Arez dan diangguki oleh bang Dimas. “Kamu jangan lupa pemanasan. Nanti kalau mau renang, jangan dekat anak laki-laki.” Pesannya padaku. Aku mengangguk pasrah, tapi kemudian duduk di kursi sambil melepaskan jam tanganku dan menyimpannya ke tas. “Mia udah kelas berapa?” tanya bang Dimas. Aku mengangkat kepala dan menatapnya sejenak, “Kelas 12 bang, bentar lagi tamat.” “Rencananya mau kuliah di mana?” “Nggak tau bang, masih belum kepikiran.” Jawabku. Di tengah pembicaraan kami, ada seorang cowok yang datang sambil melemparkan totebag kepada bang Dimas, “Godain anak gadis orang mulu.” Ujarnya mengira bang Dimas sedang menggodaku. Bang Dimas menepuk punggungnya, “Jangan lapor yang enggak-enggak sama Renta.” Ujarnya penuh ancaman, lalu setelah itu pamit pergi ke ruang ganti pria, “Gue mau ganti baju dulu.” Cowok itu datang dan duduk di sampingku. Ia sempat menatapku sejenak dan secara kebetulan, aku juga sedang menatapnya hingga jadilah kami bertatap-tatapan dengan pikiran masing-masing. Aku masih betah menatapnya saat kurasa ia membuang pandangan. Aku memperhatikan wajahnya dengan cukup detail meski menyadari bahwa ia terganggu dengan tatapanku. Ketika bang Dimas sudah kembali, ia meletakkan totebagnya di tumpukan tas teman-temannya, “Kalian udah kenalan?” tanya bang Dimas pada kami. Aku menggelengkan kepala, sementara cowok di sampingku malah bersifat sombong dengan menolak perkenalan dan berkata, “Ngapain kenalan? Nggak penting juga.” Ujarnya dengan santai. Aku menatapnya tajam, “Eh penting tau. Siapa tau aja nanti mobil kamu mogok di jalan, terus aku lewat dan bisa bantuin.” Balasku. “Dia emang gitu, Mia. Orangnya rada cuek gitu lah, apalagi sama cewek.” Ujar bang Dimas memberikan penjelasan. Aku menganggukkan kepala mengerti, “Oh, homo.” Ujarku memaklumi. Cowok itu melotot padaku, entah karena tebakanku salah atau justru benar, aku sendiri tidak mengerti. Aku berusaha membalas sifat cueknya dengan tak peduli dan memilih untuk berenang meski hilang sudah satu kesempatan untuk dekat dengan cogan. “Udahlah, abang mau mandi dulu.” Pamit bang Dimas pada kami sambil terkekeh geli karena dugaanku tadi. Sepertinya diam-diam, bang Dimas juga setuju terhadap apa yang aku ucapkan padanya. Setelah kepergian bang Dimas, aku berdiri karena hendak masuk ke dalam kolam renang juga. Sebelumnya, aku menghadap ke arah cowok cuek itu dan mengulurkan tangan padanya, “Masih nggak mau kenalan juga? Nggak nyesal nih?” tanyaku padanya. Ia menatap tanganku, lalu mengangkat kepala dan menatapku dengan sinis untuk seperkian detik, sampai akhirnya ia kembali buang muka dan memainkan ponselnya seolah tak melihat keberadaanku di dekatnya. Sebenarnya aku masih cukup penasaran dengan namanya, apakah mengandung es hingga bisa sedingin itu. Atau aku ini tidak begitu cantik dan menarik hingga ia semudah itu mengabaikanku? Aku benar-benar meninggalkannya sendirian dan masuk ke dalam kolam renang. Melihat bang Arez dan teman-temannya sedang lomba renang, maka aku segera menepi dan hanya bermain di sudut kolam saja, menikmati waktuku sendirian meski itu kurang menyenangkan. Aku tersenyum lebar saat cowok cuek tadi menatapku sejenak, seperti memang sedang mencari keberadaan diriku, tapi setelah mata kami bertemu, ia justru membuang pandangan dengan sinis. “Untung ganteng, jadi masih bisa dimaklumi kalau songong kayak gitu.” Desisku sendiri. “Arsen, nggak mandi lo?” teriak bang Dimas. Aku melihat ke arahnya, lalu ke arah orang yang ia panggil Arsen. Aku mengangguk begitu mengetahui bahwa namanya adalah Arsen. Namanya juga cukup ganteng untuk mengimbangi wajahnya. “Arsen, ayo berenang.” Ajakku padanya dengan sok akrab. Ia berdiri dari kursi dan berjalan mendekati tepi kolam yang agak dekat dengan bang Dimas tanpa melihat ke arahku. “Gue balik.” Ujarnya. Memangnya aku transparan sampai dia bisa-bisanya mengabaikanku seperti itu. “Nggak mandi lo?” tanya bang Dimas. Arsen menggelengkan kepalanya, setelah itu berlalu melewatiku. “Arsen, hati-hati ya pulangnya, takutnya ban motor lo bocor di jalan terus nggak ada kenalan yang bisa bantuin.” Pesanku padanya dengan cukup kuat. “Heh, kegenitan kan kamu.” Aku memutar tubuhku dan melihat bang Arez sedang berada di belakangku memasang wajah sinisnya. Aku hanya cengengesan saja. “Dia itu lebih tua 3 tahun dari kamu.” Jelasnya. “Serius? Bukan sebayaku, bang?” “Bukan, makanya jangan sembarangan sok akrab, pake acara manggil-manggil namanya lagi.” tegur abang, lagi-lagi aku hanya nyengir saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook