bc

Liontin Pesona

book_age18+
5
FOLLOW
1K
READ
dark
others
tragedy
sweet
heavy
serious
mystery
scary
horror
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Sinta yang ingin disukai banyak orang dan mempunyai seorang kekasih nekat melakukan apa saja, mulai dari operasi plastik sampai memasang susuk, namun semuanya gagal.

Sampai suatu malam dia bertemu laki-laki misterius yang memberikan sebuah kalung liontin, kalung itu pun mengubah hidupnya seperti impiannya. Tapi, ada harga untuk semua itu.

chap-preview
Free preview
1. Kepala Tiga
Sinta membenturkan kepala ke arah dinding, beberapa wanita yang melihat itu bukannya mencegah tapi malah tertawa senang seakan itu adalah hiburan. "Bagus, sekarang mandi pakai air bekas pelan," pinta gadis berambut pendek sebahu sambil menyerahkan seember air bekas mengepel itu. Dengan air mata berlinang ditambah dahi yang terasa nyeri Sinta segera mengguyur dirinya dengan air itu. Ketiga wanita di hadapannya tertawa puas. "Cukup untuk hari ini, ayo cabut!" Judith--wanita yang paling berkuasa diantara mereka bertiga segera pergi dari sana disusul dua anak buahnya Nindya--wanita berambut pendek dan Fanny. Setelah trio kucing garong--julukan Sinta kepada ketiganya keluar, Sinta hanya bisa terduduk pasrah di toilet. Timbunan lemak di lehernya terlihat jelas saat dia tertunduk. Kacamata bulat yang dia kenakan dia lepas dan lap menggunakan baju basahnya. Dia berdiri perlahan dan melihat cermin kemudia melihat betapa jelek dan menyedihkan dirinya itu. "Dasar gak guna," umpatnya kepada diri sendiri. Setelah membersihkan ala kadarnya dia segera keluar dari toilet itu. Kepala tiga membawa banyak masalah di hidupnya tidak hanya sekadar pertanyaan "_Kapan kamu akan menikah?_" dari orangtuanya tapi juga hal yang barusan. Sinta jelek, gendut, dan tentu selalu dirundung trio kucing garong. Sinta tidak bisa menolak hal itu atau dia akan dipecat dari pekerjaannya menjadi karyawan tetap di perusahaan itu karena salah satu dari mereka adalah anak direktur utama, setelah tiga tahun bekerja dan baru diterima menjadi karyawan tetap. Dia tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kerja kerasnya selama ini. Jadi, dia hanya bisa menerima nasib buruknya. Dulu, Sinta pergi ke kota untuk alasan mengubah hidup dan mengindar dari pertanyaan kapan akan menikah juga permasalahan tentang umur yang sudah kepala tiga itu. Kini, dia tau susahnya menjadi anak rantau tapi tetap dia tidak akan menyerah pada keadaan ini atau Sinta akan mengakui bahwa dirinya kalah. Dia terus berjalan lesu sampai ke gang sempit yang ada dan mulai berjalan ke dalam. Untungnya jarak kosan terbilang cukup dekat. Sinta menatap nanar ke arah kosan kecil di hadapannya itu, kosan terpencil dan cukup jauh dari jalan raya. Butuh waktu tujuh menit untuk sampai ke kosan sewaannya dari kantor, dan tiga menit dari jalan raya menuju ke kantornya, jadi pas sepuluh menit berjalan kaki menuju ke arah kantornya itu. Sinta segera membersihkan diri dan mengobati jidatnya yang benjol. Hanya obat merah dan pleseter sebagi obat jidat lebarnya itu. *** _"Dasar jelek!" "Gendut!" "Dekil, ih." "Siapa juga yang mau temenan sama orang cupu kayak kamu, haha." "Udah gendut, dekil, bau, rambut kayak genderuwo hidup lagi." Suara itu terus terdengar semakin lama semakin ramai saja, banyak bisikan, cacian, makian dan hinaan di dalamnya. Gadis kecil berambut ikal itu hanya bisa menangis di depan orang yang menghinanya, dia terlalu takut untuk membalas mereka lagi. Jumlah mereka lebih banyak dan walau gadis berkacamata bulat itu pernah melawannya, dia tetap kalah. Tidak ada yang membelanya. "Kenapa sih aku itu jelek!?" tanyanya sambil menangis. "Siapa yang bilang kamu jelek, kamu itu cantik apa adanya yang kamu butuhkan hanya percaya diri saja," jawab sang ibu dengan lembut. Kata-kata itu yang selalu dia pegang, dia menjadi percaya diri. Tapi, lama-kelamaan hinaan itu semakin menjadi-jadi perlahan menusuk hatinya yang pura-pura kuat dan akhirnya patah. Kini dia dihadapkan oleh masa yang sama menjengkelkannya seperti masa sekolahnya selama dua belas tahun itu. Kepala tiga menjadi alasannya. "Kapan kamu akan menikah?" tanya ibunya. "Iya, kamu itu udah gak mudah lagi udah kepala tiga alias umur tiga puluhan." "Sinta juga masih usaha cari kok, Bu, Pak," jawab sang anak dengan wajah ditekuk. Itu saja setiap hari pertanyaan orangtuanya yang selalu menghantui. "Coba ubah penampilanmu biar ada pemuda di desa ini yang tertarik," saran si ibu yang akhirnya disetujui sang anak. Walau begitu dia tetap kesal karena kata kedua orangtuanya dulu yang penting jadi diri sendiri tapi nyatanya apa dia disuruh berubah demi jodoh. Sang anak semakin menciut dan rapuh. Setelah dia berubah bukannya banyak cowok yang suka malah dia menjadi bulanan para gadis desa lainnya. Setelah hal itu dia sudah tidak tahan dan pergi merantau ke kota dengan memberikan sepucuk surat di atas meja ruang tengah sebagai tanda berpamitan._ Sinta terbangun dari tidurnya, dia melihat sekitar dan langit-langit bercat kusam juga bocor dengan sarang laba-laba yang menghiasi. Dia bernapas lega, ternyata itu hanya mimpi. Mimpi buruk untuknya. Setelah melihat jam, segera dia bergegas pergi ke kantor. Seperti biasa saat tiba di kantor tidak ada yang menyapanya kecuali satu orang. "Pagi, Sinta," sapa lelaki bernama Daniel yang juga baru masuk. "Pagi," sahut Sinta dengan senyuman yang paling lebar. Seketika hatinya berbunga-bunga. Selain tidak mau dia dipecat menjadi karyawan tetap, Daniel juga menjadi salah satu alasan dia tetap bertahan. Dia selalu baik kepada Sinta yang selalu tidak dianggap, diremehkan, bahkan dirundung itu menjadikan Daniel adalah pujaan hatinya. "Kenapa tuh jidat kamu?" tanya Daniel sambil menujuk jidat Sinta yang diberikan plester bergambar dinosaurus. Mereka bersamaan memasuki _lift_ setelah pintunya terbuka. "Oh, ini kemarin kepentok lantai karena lembur di kantor terus ketiduran dan jatuh dari kursi, hehe," jawab Sinta sambil nyengir. "Aduh, sakit gak, sih?" Daniel mendekat ke arah Sinta dan melihat lebih dekat jidatnya. Jantung Sinta seketika menjadi pacuan kuda yang berlomba sangat cepat dengan wajah memanas. Ingin sekali rasanya Sinta menghentikan waktu dan menikmati momen ini selamanya. "Ehem, kalau mau mesra-mesraan jangan di sini dong. Di sini tempat orang buat kerja," ujar Nindya seketika membuat Daniel menjauh. "Pa ... pagi," sapa Daniel kikuk kepada trio kucing garong yang kemudian masuk ke dalam memisahkan jarak Sinta dengan pujaan hatinya itu. Tapi, tidak masalah karena perhatian Daniel beberapa saat lalu mampu mrmbuat Sinta senyum-senyum sendiri. "Aw," ringisnya sambil melihat ke arah Fanny. "Ups, sori kaki loe kelebaran, sih," kata Fanny sambil tersenyum miring. Sinta tidak lagi berani tersenyum di dalam _lift_ cukup di dalam hati. Setelah _lift_ sampai di lantai lima dan terbuka mereka ke luar dan kemudian menuju divisi masing-masing, berbeda dengan Sinta yang masih diam mematung di depan _lift_. Dia menarik napas panjang untuk mengurangi rasa gugupnya karena dia harus presentasi tentang pemasaran produk mereka yang sudah mencapai target bulan ini. Itulah kenapa dia sekarang ada di lantai lima, bukan lantai satu tempat gudang dan para produk akan dijual. Sinta memegang tas hitam berisi berkas presentasi dengan erat dan mulai berjalan menuju ke ruangan itu. Dia sangat takut karena Ridwan yang merupakan CEO di kantor ini tidak menyukainya dan lagi-lagi karena penampilan juga umurnya itu. "Akhirnya!" gumam Sinta senang. Setelah cukup lama dihadapkan pada tatapan tajam dan dingin milik Ridwan yang menghujam, Sinta bisa ke luar dari ruangan itu dengan lega. Selanjutnya dia akan ke lantai satu menuju gudang dan menemui klien mereka untuk melihat permintaan mereka satu per satu. "Eh, Daniel kenapa mau naik _lift_ lagi?" tanya Sinta heran sekaligus senang. "Iya, mau turun ke bawah lupa ada berkas yang ketinggalan di mobil," jawabnya. Hanya diam yang ada di antara keduanya, Sinta sesekali curi pandang ke arah Daniel yang menatap jam tangannya. "Anu, Mbak. Eh, maksudnya Sinta mau gak akhir minggu ini jalan sama aku?" Pertanyaan mendadak Daniel itu membuat Sinta lupa bernapas untuk beberapa saat, dia langsung mengangguk tanpa ragu dan detik berikutnya pintu terbuka. "Sampai jumpa hari minggu, nanti aku WA alamat dan jamnya." Daniel melambaikan tangan kemudian menuju ke arah pintu ke luar. Sinta memegang jantungnya yang sudah seperti gendang perang, dipukul bertalu-talu dengan cepat. Detik berikutnya dia melihat ke kiri dan ke kanan setelah memastikan tidak ada orang Sinta melompat kegirangan dan dengan senandung serta senyuman lebar menuju ke arah gudang kantor. Hari ini mungkin adalah hari terbaiknya, bertemu Daniel selalu menjadi obat pelepas lelah untuknya. "Hmm, apakah mungkin aku sebaiknya menyatakan cinta saat kencan nanti?" tanyanya dalam hati sambil mengecek seluruh barang yang tersedia, kemudian meminta laporan dan pergi ke luar untuk menemui klien. Sepulang menemui klien Sinta berniat membeli baju baru dan mekap baru untuk kencannya dengan Daniel. Senyum tidak lepas dari bibirnya seharian membuat trio kucing garong mengamuk dan memperlakukannya dengan lebih kejam. "Mau ngapain loe sama Daniel, hah?! Sok pakai mesra-mesraan lagi di _lift,_" geram Fanny. "Ka ... kamu mau apa, Fan? Kenapa, kamu bawa gunting?" tanya Sinta ketakutan. Baru saja dia memberikan laporan kepada ketua divisinya, Sinta sudah dicegat trio kucing garong dan di toiletlah mereka sekarang ini. "Oh, ini. Buat ini." Dengan sadis Fanny langsung menggunting rambut ikal hitam milik Sinta dengan tidak beraturan ada yang panjang dan pendek. "Jangan!" seru Sinta sambil menangis. Mereka bertiga tertawa. "Itu hukuman karena loe kecentilan," ujar Judith kemudian mereka bertiga ke luar dari toilet. Sinta mengumpulkan rambutnya yang sudah jatuh ke lantai, mencoba memasangnya seperti orang bodoh dengan air mata berlinang. Dia kemudian bercermin dan betapa mengerikan rambutnya itu, di bagian tengah botak, sebagian pendek, sebagian lainnya panjang. Dengan tangan gemetar Sinta meminta izin pulang dengan alasan tidak enak badan, dia tau ini tidak profesional namun apa boleh buat dia tidak bisa bekerja jika begini. √ Karena Sinta terhitung tidak pernah izin maka ketua divisi mengizinkannya. Dengan meletakkan tas hitam miliknya di kepala seperti saat berlindung dari hujan walau kenyataannya sangat terik, Sinta berlari menutupi rambut tengah yang botak tidak peduli tatapan aneh dari orang-orang di jalan. Tidak hanya itu yang membuat Sinta jadi pusat perhatian, tapi juga karena dia tidak menggunakan alas kaki. Sepatu hak tinggi miliknya dimasukkan ke dalam tas agar lebih mudah berlari. Dengan keringat mengucur deras membasahi wajah dan bajunya akhirnya Sinta sampai dan segera masuk ke dalam. Dia harus mencari cara agar tampil sempurna walau rambutnya mengerikan. *** Gaun terusan sampai bawah lutut berwarna cokelat bermotif bunga kecil berwarna pastel dengan lengan buntung dilapisi jaket motor yang sudah dimodifikasi dengan membuang merek belakangnya agar lemak di lengan Sinta tidak terlihat menemani kencan dengan Daniel hari ini. Tidak lupa sepatu hak tinggi berwarna senada. Sepatu yang selalu dia pakai ke kantor dan hanya itu sepatu satu-satu miliknya. Untuk menutupi rambutnya itu Sinta memakai rambut palsu, jadi dia tidak bisa membeli baju baru dan mekap karena uangnya habis. Baju yang Sinta pakai sekarang adalah baju milik ibunya dulu, memang terlihat bahwa itu baju zaman dulu. Dengan berjalan kaki Sinta menuju ke arah kantor, setelah itu mencari di ponsel tempat pertemuan mereka. "Di sini." Daniel melambai ke arah Sinta yang baru saja masuk dan menjadi pusat perhatian karena pakaiannya yang terbilang aneh. "Lama nunggu ya? Maaf ya, soalnya aku ke sini jalan kaki," jelas Sinta. "Gak, Mbak. Baru aja kok." "Eh, eh, panggil apa tadi?" tanya Sinta tidak suka dipanggil mbak karena terlihat tua. Dia lebih suka Daniel bersikap tidak formal padanya agar terasa lebih dekat walau umur mereka terpaut tujuh tahun. "Eh, iya maksudnya Sinta," ralat Daniel. "Kamu ganteng banget hari ini," puji Sinta tanpa malu ke arah Daniel. Dia memang benar-benar tampan, rambut cokelat dengan potong crew cut, jaket kulit hitam dengan kaus senada, celana jeans hitam dengan bolongan di bagian lututnya sangat kontraks dengan kulit Daniel yang putih. "Makasih," sahut Daniel. Setelahnya mereka memesan makanan, mengobrol sampai sore, kemudian menuju ke taman menjelang malam. Sinta mengepalkan tangannya untuk mengumpulkan keberanian menembak Daniel jadi pacarnya. Dia sangat berharap dan cukup percaya diri karena sikap pria di sampingnya itu seperti menyukainya. "Daniel," panggil Sinta. "Ya." Daniel melihat tepat ke arah manik mata hitam Sinta. Dua manik mata itu saling menatap dalam. Tanpa diminta perlahan tubuh mereka menjadi semakin maju, dan saat kedua bibir itu akan bertemu dering ponsel Daniel mengacaukan semuanya. "Maaf, sebentar ya." Daniel langsung berdiri dan sedikit menjauh dari kursi taman sambil mengangkat telepon. Sinta memukul-mukul kursi taman bercat biru langit itu sambil memegang dadanya, perutnya terasa menggelitik seperti dihinggapi banyak kupu-kupu. "Sedikit lagi, ahhh!" Jerita Sinta tertahan. "Maaf, aku harus pulang," kata Danie kembali duduk. "Gak apa, aku cuma mau tanya. Mau gak kamu jadi pacar aku?" tanya Sinta akhirnya punya keberanian setelah kejadian beberapa saat lalu. "Akan aku kasih jawabannya lusa, ya. Maaf aku buru-buru, duluan ya." Daniel berdiri, melambaikan tangan. Sinta masih terduduk di tempat itu, sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Dia berhasil mengatakannya. Sesampainya di rumah Sinta melompat kegirangan, tidak sia-sia dia mengeluarkan banyak uang untuk rambut palsu itu, dan tidak sia-sia juga dia membuang merek jaket yang biasa diberikan saat membeli motor. "Naif," bisikan itu membuat Sinta langsung melihat ke arah tembok di belakangnya. Seketika tubuhnya merinding.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.9K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.5K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook