bc

The Light of Murder

book_age18+
1.8K
FOLLOW
20.4K
READ
revenge
family
doctor
tragedy
mystery
friendship
like
intro-logo
Blurb

Bara Tanunggala Kusuma, mahasiswa kedokteran yang ingin serba sempurna. Tetapi, hanya karena terjebak di dalam lift, ia memiliki gangguan optic. Matanya melihat cahaya merah yang mengelilingi orang-orang tertentu, ia juga melihat orang-orang yang dikelilingi cahaya biru, termasuk Dara, gadis dingin yang tak sadar membuat hatinya hangat hanya karena tatapan matanya. Sikap gadis itu terhadapnya berubah semenjak kematian yang menimpa ayahnya. Bara menemukan keanehan pada gadis itu.

Setiap ia ingin tahu tentang cahaya itu, kejadian-kejadian pembunuhan mengikutinya. Pembunuhan-pembunuhan yang akhirnya tetap menjadi misteri, tidak ada jejak, beberapa diantaranya bahkan diduga dengan putusan bunuh diri.

Lalu apakah ia dapat mengerti makna dari cahaya yang ia lihat? Apakah itu hanya ilusi atau pertanda? Apakah dengan asumsi yang dimilikinya ia dapat mencegah kasus pembunuhan lainnya?

•••

Picture : Ibispaint x

Element : gradientbrush by cava

Font : Kollektif, Contrail one

chap-preview
Free preview
PROLOG
Rumah sakit tidak pernah sepi, setiap hari pasti ada orang yang mengunjungi rumah sakit untuk kesehatannya, baik hanya sebatas cek kesehatan, tindakan preventif seperti vaksinasi, ataupun pengobatan. Sore itu, RS Thamrin yang terkenal sebagai rumah sakit swasta dengan kualitas pelayanan terbaik, seorang pria menggendong wanita paruh baya yang tak sadarkan diri menarik perhatian dengan suara juga wajah paniknya. "Tolong... Tolong selamatkan ibu saya!" Teriakan lantang pria membuat orang-orang berseragam putih menghampirinya. Seorang wanita paruh baya yang tak sadarkan diri ditidurkan diatas ranjang beroda yang tergeletak tak jauh dari pintu. "Tolong selamatkan ibu saya, dok! Ibu tiba-tiba muntah darah dan nggak sadarkan diri." Pria berjas putih mengangguk ringan, dia berbicara pada rekan-rekan medisnya. "Kita bawa ke ruangan." Tim medis berbaju putih yang tak lain adalah perawat mendorong ranjang roda itu dengan sedikit berlari, sementara sang dokter memimpin jalan dengan pria muda yang terlihat lusuh membawa pasien di sampingnya. "Ibu punya riwayat masalah pencernaan. Sudah cukup lama." Dokter mengangguk mendengarkan.  Sampai pada pintu ruangan IGD, dokter dengan beberapa perawat masuk membawa pasien sementara satu perawat berdiri di ambang pintu mencegah pria yang membawa pasien agar tidak ikut masuk. "Mohon untuk menunggu di luar. Apakah anda sebagai wali pasien?" Pria itu mengangguk. "Silakan untuk mengisi administrasi." Pria itu tetap diam namun mengangguk, dia berbalik arah menuju tempat administrasi yang berada di koridor pertama. ••• Sudah sekitar 15 menit menunggu semenjak ia kembali dari ruang administrasi, belum ada satu tim medis pun yang keluar dari ruangan. "Bang Indra!" Pria itu menoleh dengan tatapan kosong, gadis dengan seragam putih abu lengkap dengan tas ransel yang digendongnya berlari menghampiri pria yang terduduk lemas di kursi tunggu. "Gimana kondisi ibu?" Tanyanya sambil terengah. Pria itu tidak menjawab. "Bang Indra!" Ceklekkk Pintu ruangan terbuka, dokter dan dua perawat keluar, berbarengan dengan itu pria yang baru saja dipanggil Indra bangkit dari kursinya dan menghampiri tim medis. "Gimana dok?" "Pasien mengalami pendarahan dalam lambungnya, kami sudah melakukan tindakan utama untuk menghentikan pendarahan , namun pasien tetap membutuhkan tindak lanjut, pasien membutuhkan operasi untuk menutup luka dalam dinding lambung." "Silakan dok, lakukan apapun untuk menyelamatkan ibu saya." "Operasi harus dilakukan secepatnya, namun ada beberapa resiko yang mungkin muncul selama proses operasi..." Dokter menjelaskan dengan sangat detail tentang apa-apa yang mungkin akan terjadi ketika melakukan tindak operasi. "Jika wali pasien berkenan, silakan untuk mengisi pernyataan persetujuan dan menyelesaikan proses administrasi." Dokter menerima selembar kertas dengan papan jalan dari perawat, lalu ia serahkan pada Indra. Indra menerima dengan baik kertas itu, lalu ia mulai membaca kata demi kata yang tertulis dalam surat pernyataan yang ia terima.  Ia lalu menyerahkan kembali kertas yang sudah sebelumnya sudah ia tandatangani. "Dok, apakah biayanya bisa dibayar saat ibu saya selesai operasi?" "Silakan menghubungi bagian administrasi mengenai hal tersebut, saya permisi untuk menyiapkan ruang operasi." Dokter itu tersenyum ke arah Indra, setelah itu meninggalkannya berdua dengan gadis yang masih mematung di belakang. Indra juga hendak beranjak namun lengannya dicekal. "Jangan bang." Indra membulatkan matanya, "Apa?!" Gadis itu menatap wajah kakaknya penuh harap, "Tadi abang dengar sendiri dokter bilang kemungkinannya enam puluh banding empat puluh, itu artinya potensi gagal empa puluh persen!" Indra meletakkan kedua tangannya diatas bahu adiknya. "Masih ada enam puluh persen harapan kita, selama masih banyak kemungkinan kenapa kita nggak coba?" Gadis itu menunduk, menatap lantai rumah sakit sambil menggoyang-goyangkan kakinya. "Dara... Mari kita percaya pada enam puluh persen peluang, demi ibu." Setelah diyakinkan kakaknya, gadis itu hanya mengangguk lemas, ia menatap kursi tunggu yang berderet panjang lalu duduk sambil menyandarkan dirinya pada tembok. "Abang ke ruang administrasi dulu." Tak menunggu jawaban dari Dara, Indra sudah berjalan meninggalkan dirinya yang masih tak yakin apakah keputusan mereka tepat. Dara percaya dokter akan bekerja sebaik mungkin, tetapi jika ia memikirkan resikonya, banyak sekali resiko yang bisa terjadi baik saat operasi maupun indikasi pasca operasi. Pintu ruangan terbuka, Dara bangkit. Ia melihat ibunya yang terbaring dengan wajah pucat, dibawa oleh beberapa perawat ke ruang operasi.  Dara gusar di tempat, ia lalu memutuskan untuk menyusul Indra yang kemungkinan masih di ruang administrasi.  Benar saja, dia melihat Indra yang masih berdiri sambil menulis sesuatu di salah satu meja administrasi. Ia menghampiri kakaknya. "Dara?" Indra sedikit terkejut ketika tahu gadis itu berada di sampingnya. Namun tak lama pandangannya kembali beralih pada berkas-berkas di depannya. "Abang boleh minta tolong nggak? Di depan rumah sakit ada ATM tolong ambilkan tujuh juta untuk tambahan biaya rumah sakit." "Atm?" Indra merogoh saku celananya kemudian mengambil kartu persegi berwarna biru dari dalam dompetnya. "Maafin abang Ra, uang tabungan buat kuliah lo abang pakai dulu." Indra menyerahkan kartu itu di depan Dara. Dara mengulum bibirnya, ia menerima kartu itu lalu mengangguk. "Ngak apa-apa bang, yang terpenting sekarang kesehatan ibu ." "Yaudah Dara pergi dulu ." Pamitnya kemudian. ••• Tangan kiri gadis itu sudah dipenuhi puluhan lembar uang seratus ribuan dengan lima puluh ribuan. Ia memiringkan kepalanya kala kartu atm yang tadi dipakai tidak kunjung keluar dari mesin. "Ahh ini kenapa?!!" Keluhnya sambil mengetuk-ngetuk mesin. Dirasa tak bisa mengatasi ini, Dara membuka pintu lalu mencari orang disekitar yang mungkin bisa membantunya. "Umm.. Permisi." Dara menghentikan pria seumuran dengannya yang baru saja keluar dari bilik ATM yang berjajar di sebelahnya. "Kartu ATM saya nggak bisa keluar dari mesin. Bisa tolong bantu?" Ucapnya kikuk. Pria yang diajaknya bicara sempat menautkan alisnya tetapi tak lama ia mengangguk. Drtt.. Drtt.. "Halo?" "Apa?!! ngomong yang jelas bang?!" "Nggak ada gimana? Ibu udah masuk ruang operasi." "Apa?" "Dara kesana sekarang." Gadis itu terlihat kalut, dia bahkan melupakan kartu ATM nya dan berlari kembali memasuki rumah sakit. Pria yang tadi berniat membantunya pun menatap kepergian gadis itu dengan menggaruk tengkuk kepalanya bingung. Dara berlari dengan tergesa-gesa menuju ruangan ibunya berada, melewati koridor dengan tatapan kosong, dia tidak ingin mempercayai perkataan kakaknya, dia bahkan ingin percaya bahwa hari itu hanya mimpi buruk baginya. Tetapi Dara benar-benar tersadar saat sudah berada di depan ruang operasi, kakinya terhenti di depan ruang operasi yang pintunya tertutup, dari sana ia dapat mendengar teriakkan Indra yang terus memanggil ibunya, terasa sangat memilukan. Saraf-saraf kaki Dara mendadak lemas, ia menarik napas panjang, kakinya belum mampu menemui ibunya dan kakaknya, dia menutup mata cukup lama, tangis Indra kembali menyadarkan dirinya bahwa kejadian itu bukan mimpi, Dara membuka matanya menatap nanar ke arah pintu, air matanya terjatuh begitu saja, dengan kekuatannya yang tersisa dia  berjalan lunglai menuju pintu ruangan. "Ra, ke sini sekarang. Ibu sudah nggak ada."  "Ibu sudah nggak ada Ra! Abang di ruang operasi sekarang, di samping ibu." Kalimat itulah yang tadi ia dengar di telepon.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.5K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook