bc

MENDADAK DITALAK

book_age16+
11.0K
FOLLOW
72.6K
READ
HE
love after marriage
second chance
submissive
goodgirl
sensitive
drama
office/work place
lies
intersex
like
intro-logo
Blurb

Si manja yang cengeng -- Alina Putri -- dijodohkan dengan seorang pria muda yang sukses dalam pekerjaannya, Fatih Alfarizi. Awalnya, semua baik-baik saja. Fatih adalah seorang suami yang penyayang dan bertanggung jawab. Namun, biduk rumah tangga diambang kehancuran ketika tiba-tiba Fatih mengucapkan talak.

Rasa sakit dicampakkan membuat Alina memutuskan untuk pergi jauh. Terpisah oleh jarak hingga datangnya cinta baru di kehidupan masing-masing tak mampu menghapus kenangan indah di antara keduanya.

Akankah Fatih kembali merujuk Alina? Lalu, apa alasan Fatih mengajukan talak sebelumnya? Mungkinkah Alina bersedia kembali setelah tersakiti?

chap-preview
Free preview
Mendadak Ditalak
“Ini uang gajiku selama sebulan penuh. Kuberikan semuanya tanpa sisa. Janji jangan meminta lagi. Sebab, ini nafkah terakhir yang aku berikan. Maaf Alina, aku menjatuhkan talak atas dirimu saat ini juga.” Tak ada yang bisa menarik kata-kata itu di tengah suasana yang sebelumnya terlihat biasa saja. Meluncur bak anak panah terlepas dari busurnya. Alina, tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya. Semula duduk di tepi ranjang, perlahan luruh ke lantai. “Kenapa, Mas? Dosa apa yang sudah aku lakukan sehingga kamu ingin berpisah denganku? Salahku apa?” Air mata terus mengucur tiada henti. Ia tak menyangka jika lelaki yang ia bangga-banggakan dihadapan teman-temannya telah memberi jalan hidup tanpa pilihan. Tanpa sadar, amlop yang ada di tangannya terlepas. Siapa sangka jika gaji yang diberikan oleh Fatih adalah nafkah terakhir untuknya. “Nggak ada, Al. Tak ada yang salah darimu. Hanya saja, aku tidak tega melihat kamu dan ibuku terus bertengkar setiap harinya.” “Hanya karena itukah kamu menjatuhkan talak, Mas? Masalah sepele seperti itukah?” “Bagiku ini masalah yang rumit, Al. Kamu nggak tau, betapa ibu sangat menyayangi kamu sejak awal, padahal pernikahan kita hanya sebuah kebetulan.” “Aku nggak terima. Mestinya, Mas bilang dulu kesalahanku sebelumnya, supaya aku bisa berubah. Gak bisa seperti ini, Mas.” “Maaf, Al. Aku nggak bisa lagi.l Bersamamu. Keputusanku sudah final. Mempertahankan kamu sama dengan mengabaikan ibu. Kalian nggak bisa akur, selamanya nggak akan pernah bisa.” “Mas!” Alina menarik lengan Fatih agar tetap duduk di sisinya. “Maaf, Al. Aku nggak bisa lagi. Maaf!” Fatih menggenggam jemari Alina, dan memgembalikan ke pangkuan wanita yang sudah dinikahi selama enam bulan itu dengan hati yang sangat perih. “Mas ...!” Teriakan Alina pun bahkan tidak mampu lagi menghentikan langkahnya yang sudah pasti. Keinginan menceraikan Alina sudah terbersit sejak dua bulan lalu. Ketika Meri, ibunda Fatih selalu mengeluhkan kondisi keuangan rumah yang morat-marit setelah dipegang oleh menantunya, Alina. Ketidakmampuan Alina mengelola uang milik Fatih menjadikan Meri selalu uring-uringan. Menasehati Alina juga percuma. Sebab, Alina selalu bisa memberikan alasan yang masuk akal perihal ke mana larinya uang yang diberikan Fatih. Tak jarang, Meri mendatangi kantor Fatih, hanya sekadar meminta uang untuk membeli keperluannya. Awalnya, Fatih memaklumi tindakan sang istri sebagai wujud kehati-hatian dalam mengelola uang yang diamanahkan kepadanya. Tetapi, semakin lama Alina tidak lagi memberikan bagian uang belanja untuk ibunya. * “Mas mau ke mana?” tanya Alina ketika pagi menjelang. Fatih pulang dan langsung memasukkan pakaian ke dalam koper. “Mas semalam nggak pulang. Kenapa tiba-tiba pulang dan mau pergi lagi bawa baju sebanyak ini?” Alina terus memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi Fatih tetap bergeming. Alina menyekal lengan Fatih agar menghentikan aksinya. “Mas!“ “Hentikan, Al!” bentak Fatih. Alina terkesiap. Sebelumnya, Fatih tidak pernah sekasar ini, walaupun pernikahan mereka tidak di dasari cinta. “Ingat, kamu bukan lagi istriku.” “Astagfirullah, Mas ....” “Aku ... aku akan menghindari kamu, Al.” “Apa maksudmu, Mas?” “Aku tidak sanggup melihatmu keluar dari rumah ini, aku tidak tega. Maka, berdiamlah di sini sampai kamu benar-benar siap pergi. Selama itu juga, jangan berharap bisa menemuiku. Soal persidangan, akan aku urus tanpa merepotkan kamu.” Tak mampu berkata-kata lagi, cengkeraman tangan pada lengan Fatih mengendur bersamaan dengan tubuhnya yang merosot ke lantai. “Mas ....” Fatih sudah menutup mata dan hatinya untuk tidak memandang Alina. Ia menutup lemari, menyambar koper dan menariknya dengan segera melewati mantan istrinya yang tidak sanggup lagi berkata-kata. Sementara Fatih terus mengayunkan kaki tanpa menoleh. Bagaimanapun, keputusan sudah diambil. Ia tak mungkin mempertahankan wanita yang tidak bisa menyayangi ibunya. Saat menghidupkan mesin mobil, handphone di dalam saku jasnya berdering. “Halo, Sayang. Aku sudah bersiap-siap. Aku langsung ke apartemen, ya?” Fatih bergegas pergi meninggalkan rumah itu. ** “Kamu yakin, apartemen ini tidak diketahui Alina?” tanya Fatih sesaat setelah meletakkan koper di sudut ruangan. “Katanya terserah mau dicarikan apartemen seperti apa? Aku jamin, Alina tidak akan tau,” balas seorang wanita. “Oke, yang jelas, kamu jangan sering-sering datang kemari. Mana tau Alina tiba-tiba menemukan tempat ini.” “Tenang saja, Sayang. Alina itu temannya sedikit. Tidak banyak tau tentang tempat persembunyian semacam ini.” “Baguslah kalau kamu yakin.” “Aku pulang dulu. Keperluanmu sudah aku siapkan. Ada banyak makanan di dalam kulkas. Kalau bosan, bisa pesan makanan cepat saji.” “Terima kasih, Sayang.” “Besok, aku datang ke sini sepulang dari kerja.” Usai berucap, Fatih dihadiahi sebuah kecupan mesra pada pipi kirinya, kemudian memberikan pelukan hangat, sesaat sebelum bergegas meninggalkan apartemen. ** Tidak ada yang lebih menyakitkan selain menjalani sesuatu tanpa adanya pilihan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Alina. Setelah jatuh talak di malam lalu, hari-harinya penuh dengan kenestapaan. Tidak ingin berhenti berjuang, Alina terus mengirim pesan ke handphone Fatih, menanyakan kejelasan alasan sebenarnya talak itu Fatih jatuhkan. Lagi-lagi, hanya hayalan yang ia dapat. Berharap mendapat balasan, bahkan dibuka pun tidak. Hingga dini hari, mata enggan terpejam. Mencoba mengingat kembali, mungkin ada pemicu kemarahan Fatih yang berujung talak padanya, tetapi tetap saja tidak mendapat jawab. Hatinya nelangsa, tangisan tidak juga membuat luka batinnya mereda. Alina terus dan tanpa henti merutuki nasib sendiri, hingga lelahnya terbawa ke alam mimpi. Siang di sebuah cafe, Alina sudah menghabiskan setengah dari isi gelasnya. Sepiring menu sederhana teronggok di hadapan. Tadinya ia mulai bersemangat, tetapi setelah mengingat kembali bahwa tempat ini salah satu favorit Fatih, mendadak kehilangan selera. “Al ....” Seseorang memanggil. Alina menoleh dan langsung mengembangkan senyumnya. “Sudah lama? Maaf, mbak tadi meeting dulu. Bagaimana kabarmu? Baik, kan?” Sederet pertanyaan tanpa memberi jeda. “Baik, Mbak. Setidaknya, saat ini masih sanggup untuk bernafas,” jawab Alina pasrah. Netra menatap kosong ke arak luar melalui jendela kaca. Tangannya sibuk mengaduk-aduk isi gelas menggunakan sedotan. “Kamu tidak sendirian, Al. Ada mbak Nita di sini.” Anita, seorang teman sekaligus kakak bagi Alina. Ia diangkat menjadi anak oleh Bramantyo, papa Alina sejak usia sepuluh tahun. “Alina baik-baik stahunMbak. Meskipun terpuruk, aku tidak akan bunuh diri, kok.” “Habisnya panik banget begitu dapat kabar kalau Fatir menceraikan kamu. Padahal hubungan kalian terlihat baik-baik saja.” “Sudah nasib, Mbak. Aku males membahasnya. Kita langsung cari kontrakan saja,” pinta Alina. “Sabar dulu, Al. Cari kontrakan itu gampang. Kamu sudah pikirkan kelanjutan hidupmu setelah bercerai dari Fatih?” “Maksudnya?” “Itulah makanya mbak selalu mengingatkan kalau kamu harus punya pekerjaan walaupun sudah menikah, untuk mengantisipasi seperti ini. Begitu Fatih menceraikan kamu dan kamu keluar dari rumahnya, maka satu-satunya yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa bergantung pada Fatih.” “Kerja?” “Nah, itu dia!” “Tapi aku nggak punya pengalaman kerja Mbak. Pernah bekerja Cuma beberapa bulan saja, itupun harus terhenti karena mas Fatih tidak mengizinkan.” “Makanya, jadi perempuan itu jangan terlalu tergantung pada suami.” “Kan nggak tau juga kalau nasibku bakal diceraikan secepat ini, Mbak.” “Ya sudah, habis cari kontrakan, kita bahas pekerjaan.” “Mbak Nita, terima kasih banyak karena masih mau mendengarkan keluh kesahku. Maaf, aku selalu merepotkan Mbak Nita.” “Nggak pa-pa, kamu adikku satu-satunya. Jangan nangis, kita hadapi masalah ini bersama-sama.” Anita mengakhiri ucapnya kemudian memberi pelukan penguatan pada Alina, satu-satunya saudara yang ia miliki. Alina sendiri merasa lebih tenang. Setidaknya, ada seseorang yang bisa ia jadikan tempat untuk menggantungkan hidup yang hanya tinggal secuil itu. Ia tak pernah membayangkan akan mengalami nasib tragis seperti ini. Pernikahan yang baru dijalani enam bulan bersama Fatih, membawanya ke tepian jurang kehancuran. Beruntung ada saudara perempuan yang lain, meskipun bukan kandung. Ia bisa sedikit bergantung karena sejak kecil, Alina tidak pernah mendapat cobaan seberat ini. Hidupnya selalu di atas angin berkat Bramantyo yang selalu memanjakan Alina. Sepeninggalan sang mama di usianya tujuh tahun, Alina menjadi pusat perhatian papanya. Hampir tidak pernah mendapat kesulitan dalam hidup, Alina kecil menghabiskan masa remaja bersama Anita yang dipungut Bramantyo dari sebuah panti asuhan. Usia yang hanya terpaut tiga tahun itu, menjadikan Anita lebih dewasa sehingga bisa ngemong Alina yang manjanya luar biasa. Usai menamatkan pendidikan, Alina dijodohkan dengan Fatih, anak seorang sahabat lama. Demi mengabulkan permintaan terakhir papa, akhirnya Fatih menyetujui perjodohan itu. Sedangkan Anita, bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji yang lumayan besar. Sesaat sebelum sakaratul maut, Bramantyo menitipkan pesan agar Anita tidak boleh meninggalkan Alina, dalam keadaan apapun. Alasan itulah yang menjadikan Anita berusaha membuat Alina merasa tidak sendirian ditengah-tengah keterpurukan akibat perceraian. ** “Al, kapan kira-kira kamu pindah ke kontrakan?” tanya Anita setelah meninggalkan kontrakan yang sepakat Alina tempati. “Belum tau, Mbak. Aku masih ingin menemui mas Fatih dulu. Aku butuh penjelasan, Mbak.” “Sebaiknya nggak usah. Toh dia sudah tidak perduli lagi padamu. Semakin cepat meninggalkan rumah itu, akan semakin bagus untukmu, Al. Secepatnya, kamu sudah harus berbenah diri, cari kerja dan cari kegiatan yang positif untuk mengurangi ingatanmu pada laki-laki bre****k itu!" “Iya mbak, aku paham, akan kupikirkan nanti setelah sampai di rumah.” Mereka menuruni mobil setelah sepuluh menit dalam perjalanan. Rasa letih yang dialami Alina membuat tubuhnya sedikit lemah. Apalagi semalaman ia hanya tidur beberapa menit saja. Ia sempat terhuyung begitu menaiki tangga teras. Beruntung Anita sigap memeganginya. Begitu menginjakkan kaki di depan rumah, Alina dikejutkan dengan kehadiran ibu mertua yang sudah menghadang di ambang pintu Next

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook