bc

King of Alpha

book_age18+
711
FOLLOW
5.8K
READ
alpha
dark
forbidden
possessive
brave
king
luna
werewolves
mythology
passionate
like
intro-logo
Blurb

"Ingat perkataanku Mate. Sekali saja kau mencoba kabur-..." Lexus membelai pipi Eca sayang, tatapan matanya tak ingin lepas dari wajah cantik dan polos Eca.

"--Aku tak segan memasung kedua kaki indahmu dan mematahkan kedua tanganmu agar tak memeluk pria lain!"

"Kau mengerti Mate?!"

***

Sekelompok mahasiswa semester akhir yang melakukan penelitian demi mendapatkan nilai kelulusan yang memuaskan tak sengaja memasuki dunia aneh yang berisi makhluk mitologi. Makhluk yang mereka anggap adalah fantasi keberadaannya, kini nyata adanya di hadapan mereka. Mereka berusaha mencari jalan untuk kembali ke dunia mereka. Sayangnya, satu persatu anggota kelompok mati dan mereka yang tersisa terjebak menjadi tawanan sang Alpha.

Tak ada jalan keluar, kecuali kematian.

Cover by TheMochi`sMommy Made with Canva

chap-preview
Free preview
Episode 1 | Tentang Rencana
"Bagaimana persiapannya? Sudah selesai?" tanya gadis berambut cokelat dengan iris yang serupa. Pria itu menoleh, "Sebentar lagi. Aku harus menyiapkan perbekalan kita yang belum mencukupi." "Baguslah. Persiapan kita kali ini harus matang, jangan sampai ada yang tertinggal!" perintahnya mutlak. Pria berambut ikal itu mengacungkan jempolnya, lalu melanjutkan memeriksa persiapan dan peralatan lainnya di gudang. Kaki jenjangnya menggiring tubuh molek nan indah itu keluar dari gudang yang sumpek. Penuh peralatan tajam dan kasar yang bisa membahayakan kulit mulusnya yang bersih. Dengan tatapan cokelat madunya yang tenang, gadis itu keluar. Menyusuri lorong, dengan pintu di setiap sisi kanan dan kirinya. Baju hitam di lapisi jaket kulit selalu menjadi andalannya saat kuliah. Rambut lurus panjangnya ia ikat kuncir kuda. Jatuh memanjang di sepanjang punggung mungilnya. "Eca!" Gadis itu, Rebecca Raluna, menoleh ke belakang. Ia melihat gadis berkulit putih dengan rambut pirang berlari ke arahnya. Napasnya tersengal-sengal dengan wajah memerah. "Milly? Ada apa?" Gadis yang di panggil Milly itu mengangkat tangannya, isyarat Eca jangan bertanya karena Milly tengah menormalkan pernapasannya. "Ca! Gue nyariin lo ke gudang. Tapi lo nya udah pergi duluan!" Eca memutar matanya kesal, "Kalo lo mau bahas mengenai resiko tempat penelitian, mending gak usah deh! Gue capek dengernya. Males!" Eca akan membalik tubuhnya namun tertahan Milly yang memegang kedua pundaknya. "Eh! Enggak! Enggak! Jangan pergi dulu!" Milly menunjukkan raut melasnya. "Apalagi?" Eca menanggapi malas. Sahabatnya satu ini, selalu menggagalkan rencana penelitiannya. Mengatakan jika tempat yang akan ia teliti sangat berbahaya, banyak ancaman dan tempatnya pun sangat jauh dari pemukiman. Beberapa hari yang lalu, saat Eca mengatakan ia telah memilih tempat penelitian untuk study terakhirnya sebagai mahasiswi arkeologi pada Milly. Sahabatnya itu langsung tidak setuju, mengatakan hal mustahil yang menurut Eca adalah cerita dongeng anak kecil. "Gue serius Ca! Tempat itu bukan tempat aman. Keberadaan tempat itu di peta, bahkan tidak di jelaskan. Dan sekarang lo mau kita-kita pergi ke tempat berbahaya, yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa?!" Eca menatap sahabatnya heran, "Lo kenapa sih? Jadi marah-marah sama gue, cuma karena masalah tempat penelitian?" "Harusnya lo bersyukur, dengan tempat itu yang belum pernah terjamah. Kita bisa nemuin banyak artefak kuno yang berusia ratusan juta tahun! Yang lebih spesialnya, kita bahkan gak perlu skripsi buat lulus!" Ruangan persegi dengan empat orang berbeda gender itu terdiam menyaksikan dua sejoli yang berargumen panas. Mereka satu kelompok dalam tugas penelitian akhir semester, terdiri atas Reno, Davis, Frans, Betris, Milly dan Eca. Mencari situs-situs bersejarah dan kuno menjadi penentu akhir kelulusan mereka. Reno, si pria berambut lurus lah yang menyarankan untuk pergi ke sebuah bangunan kuno di tengah hutan Forks. Hutan yang banyak di tumbuhi pohon-pohon tinggi, sehingga cahaya matahari terhalang untuk menembusnya. Juga banyak lumut-lumut tebal yang tumbuh di sepanjang pohon dan tanah karena suhu kelembaban yang tinggi. "Jangan nyalahin Eca! Ini udah kesepakatan kita bersama. Dan bangunan kuno itu adalah tempat yang paling sempurna." Reno angkat bicara. Memecah ketegangan dua sejoli yang bersahabat. "Gue tau kalo Milly adalah sahabat lo Ca! Tapi gue harap lo jangan pilih kasih!" sindir Betris muak. Milly menatap nyalang, "Maksud lo ngomong kaya gitu apa?! Lo ngremehin gue!" "Jangan kepedean deh, gue cuma nyadarin Eca dari hasutan lo!" Betris menatap balik Milly. "Kalo punya mulut tuh di jaga! Gue ngomong kaya gini juga buat keselamatan kita semua, gue gak mau kita kenapa-kenapa." Milly menatap Eca, "Ca! Please, lo pertimbangin buat jadiin tempat itu penelitian kita. Gue bisa kok, bantu cariin tempat yang lebih aman." tawar Milly. "Heh! Milly! Lo itu baru masuk kelompok kita, jangan belagu deh! Dasar kelompok buangan!" Betris berujar pedas, "Pantes aja, si Yura ngeluarin lo dari kelompoknya!" Milly merasa geram, "Lo tuh--" "STOP!!" Eca melerai keduanya, "Kalian tuh, apa-apaan sih! Berantem kaya anak kecil!" Menatap sahabatnya tajam, "Mil! Gue tau kekhawatiran lo sama gue gimana, tapi ini bukan saat yang tepat!" tatapan matanya mulai melemah, "Bangunan kuno itu ide dari Reno sebelum lo gabung ke kelompok kita. Maaf sebelumnya, bukannya gue mau ngebahas masalah internal kelompok lo yang dulu. Tapi, rencana ini udah kita rancang dari satu minggu yang lalu." "Tapi tempat itu berbahaya!" Milly kekeh pada pendiriannya. Belum sempat Eca menjawab, Reno menyela lebih dulu, "Atas dasar apa lo ngomong tempat itu berbahaya?!" "Gue bisa kok, bertanggung jawab jika itu tempat aman. Meskipun terletak di tengah hutan sekalipun!" sambung Reno. Pasalnya Reno adalah salah satu anggota pecinta alam dan penakluk gunung. Banyak hutan yang telah ia tempuh, jalanan terjal dan bebatuan besar tak menjadi penghalang bagi Reno. Itulah mengapa, Eca, Betris, Davis dan Frans percaya sepenuhnya pada Reno mengenai tempat itu. Mereka yakin, Reno adalah nilai plus bagi kelompok mereka. Karena menurut Reno, saat ia mendaki gunung satu tahun lalu. Tak sengaja ia tersesat dan menemukan sebuah bangunan tua, bahkan temboknya pun terbuat dari batu alam kuat dan tebal. Reno yang kala itu tersesat, menandai jalan menuju bangunan kuno tersebut. Lantas dirinya mencari jalan keluar dengan memberi signal SOS. Milly tampak kesal, Betris menunjukkan senyum mengejek. Menertawakan kekesalan Milly yang kalah, bahkan dengan sahabatnya sendiri. Davis dan Frans yang sejak tadi duduk tegang, kini terdiam. Tanpa mengucap sepatah kata lagi, Milly keluar ruangan dengan bantingan pintu yang keras. Eca menyandarkan bahunya lelah, sepasang kelopak matanya menutup. Pundak mungilnya luruh tak bertenaga. Reno menghampiri Eca, menepuk bahunya, seakan memberikan kekuatan. "Keputusan lo udah tepat, gak salah gue pilih lo sebagai ketua penelitian di kelompok ini!" Eca diam, mengacuhkan kalimat Reno padanya. Nyatanya hatinya gelisah, sahabatnya, Milly pasti kecewa. Tapi, sebagai ketua kelompok, Eca harus mengambil keputusan tegas. Ia harus bersikap profesional, di sini Eca bertanggung jawab dengan nilai teman-temannya yang ia pikul, bukan sebagai sahabat Milly. Jelas, ini berbeda konteks. "Eca!" Sentakan pada bahunya membuat Eca tersadar, di hadapannya Milly menatap dirinya kesal. "Gue panggilin dari tadi diem aja, mikirin apaan sih?!" "Sorry... Gue cuma capek, tidur bentar juga mendingan." Eca memaksakan senyum, "Lo tadi mau ngomong apa?" Milly menunjukkan raut cerianya kembali, "Gue minta maaf soal kemarin. Gak seharusnya gue ngomong gitu ke kalian, gue akan ikut penelitian sama lo." Eca tersenyum lega, "Thanks buat pengertiannya. Sorry, gue juga kelepasan kemarin." Milly memeluk Eca erat, lalu melepaskan pelukannya, "Persiapannya udah beres? Ada yang bisa gue bantu?" Eca berpikir, "Coba lo tanya sama Davis. Tadi sih bilangnya masih ada beberapa yang belum beres." "Oke. Lo mau nganter gue ke tempatnya Davis?" tanya Milly. "Sorry Mil. Gue harus ketemu sama Reno," Milly menunjukkan raut baik-baik saja, "-Ada yang harus gue bahasa sama dia, masalah penelitian ini." "Oke. Gapapa kok, gue bisa sendiri." Eca tersenyum, "Lo udah ketemu Davis kan? Di gudang tadi?" Milly mengangguk. "Bagus deh. Kalo ada apa-apa atau butuh sesuatu lo bilang aja ke dia. Dia orangnya santai kok." "Yaudah. Gue pergi dulu ya!" sambung Eca. "Hati-hati Ca!" "Sip!" balasnya sembari mengacungkan ibu jari ke belakang. Milly berbalik arah. Menuju gudang tempat dimana Davis berada, setidaknya Milly dapat membantu sebelum hari keberangkatan mereka tiba, tepatnya satu minggu lagi. Mengenyahkan semua peringatan dan larangan dari Ibunya akan ancaman yang menanti di bangunan kuno itu. *** "Bisa kau carikan pasak besi? Sepertinya aku lupa menyimpannya dimana," pinta Davis pada Milly. Milly yang tadinya duduk sembari men-ceklist data menatap Davis, lalu beranjak dari kursinya. "Lo nyimpennya dimana? Di kardus apa di dimana?" "Kalau aku tau, aku tak akan meminta bantuan mu!" jawab Davis ketus. Pria berambut ikal itu sebenarnya pria yang baik, hanya saja semenjak Milly menyatakan ketidak-setujuannya pada keputusan kelompok mereka. Davis menjadi tidak suka pada Milly, meskipun Milly adalah sahabat dari Eca. Gadis cantik yang Davis kagumi dan hormati. "Ngeselin lo jadi manusia!" Davis acuh mendengarnya. Ia masih sibuk memilah barang-barang yang penting dan tidak terlalu penting untuk penelitian. Milly membuka setiap kotak yang ada di gudang, satu persatu ia cek dan lihat. Setidaknya, beberapa pasak besi harus ia temukan. Milly hanya malas jika berada satu ruangan dengan orang yang tak menyukainya. Jika bukan karena kesalahannya pada Eca, sahabatnya. Sudah pasti, Pria berkaca mata itu akan Milly tendang jauh-jauh darinya. Di saat hening melanda keduanya, Davis menoleh. Ia melihat Milly yang kesusahan membongkar kardus yang lumayan tertutup rapat. Menghembuskan napas kesal, Davis menghampiri gadis itu. Membantunya. "Sudah ketemu?" "Sudah! Tapi susah!" Tanpa kata, Davis membantu mengangkat kardus yang terletak di antara tumpukan kardus lainnya. Dengan susah payah keduanya mengangkat kardus itu dan berhasil! Keduanya saling berpandangan dan tertawa bersama. "Astaga lucu sekali! Hanya karena satu kardus kita menjadi seperti ini." Milly tertawa melihat wajah Davis yang terkena debu, membuatnya hitam dan kotor. "Hei! Kau pun juga sama!" Puas tertawa, Milly merebahkan tubuhnya yang lelah di atas lantai tanpa alas. Memedulikan kaosnya yang kotor karena debu, "Gue capek banget." Davis menoleh, "Aku malah lebih capek dari dirimu," ikut merebahkan dirinya di atas lantai, bersama Milly. Milly diam tak menimpali ucapan Davis. "Apa yang membuatmu tidak menyukai tempat penelitian kita?" "Kau tau? Hanya karena Eca, kau dapat di terima di kelompok kami." sambung Davis. "Ya. Gue tau, gak ada satu pun kelompok yang mau nerima gue kecuali kalian. Gue makasih banget, tapi soal gue yang keberatan sama tempat penelitian itu emang bener." Davis melihat Milly dari samping. Wajah manisnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut pirangnya menjadi indah ketika di tempa sinar matahari. "Kenapa?" Milly membalas tatapan Davis, "Lo... Percaya sama mitos?" Kernyitan tercetak jelas di dahi pria berambut ikal tersebut, "Maksudnya? Makhluk halus?" Berdecak sebal, Milly mengerucutkan bibirnya, "Kok malah makhluk halus sih?! Bukan Davis! Tapi makhluk immortal!" "Makhluk immortal?" "Iya!" "Kaya serigala?" "Iya!" Lalu tatapan mata Davis terlihat serius. Menatap lama manik milik Milly yang tak kalah garang balas menatapnya. Davis tertawa, "Berapa banyak novel fantasy yang kamu baca? Halu mu ketinggian!" celutuk Davis. "Kurang-kurangin deh, baca novel kaya begituan. Gak berguna juga 'kan?" Mendengar hal tersebut, Milly kesal. "Gue ngomong apa adanya!" "Lo gak mikir, kenapa tempat itu gak pernah terjamah sama orang asing? Apalagi menurut penjelasan Reno, itu masih sekitar daerah pendakian!" "Mustahil Vis! Pasti dari dulu udah banyak orang yang berbondong-bondong buat dateng ke tempat itu! Tapi nasib mereka yang gak beruntung." "Kamu ngomong apa sih Mil? Ngaco!" Davis bangkit dari terlentangnya. "Lagi pula, tau dari mana kamu soal tempat itu? Bisa aja kan itu cuma dongeng?" Milly menyusul bangun dari lantai. Duduk bersebelahan dengan Davis. "Tempat itu mengerikan. Bahkan makhluk immortal itu ada, percaya sama gue!" "Jangan memengaruhi aku dengan cerita konyol mu! Sekarang kita harus menyelesaikan persiapan atau Eca akan sangat marah besar!" Davis meninggalkan Milly yang masih duduk di lantai. Milly menghembuskan napas kasar, "Gue takut. Gue takut kalian celaka karena keputusan kalian. Tapi gue udah berusaha, sebisa mungkin, gue akan jagain kalian." *** Eca memasuki ruangan bernuansa abu-abu gelap. Cahaya yang minim masuk membuat keadaan sekitar terasa gelap. Gorden tebal dan panjang menjuntai ke bawah, menutup akses luar agar tak masuk ke dalam. Eca mengedarkan pandangannya, ia melihat Betris yang asyik menciumi rahang Reno. Menggoda dengan bibir sensualnya dan jari lentik yang bercat merah itu meraba tubuh atas Reno yang terbuka. Pria berwajah blasteran itu tampak menikmati cumbuan Betris pada tubuhnya. Berbeda dengan Eca yang merasa muak dan ingin muntah. "Ehm!" Eca berdehem keras. Mengalihkan atensi keduanya, Betris tampak terganggu dengan kehadirannya sedangkan Reno menampilkan wajah tenangnya. Tak terganggu dengan Eca yang mendatangi ruangannya. "Ada apa?" Betris mendengus tak suka, Reno menyuruh Betris untuk turun dari pangkuannya. Betris menurut, lalu ia berjalan menuju salah satu ruangan di pojok kanan. Yang sepertinya kamar si pria itu. "Gue mau bahas soal penelitian itu." "Baik. Duduklah dulu, kita bicara empat mata." Eca menurut, gadis berambut panjang itu duduk di sofa beludru yang nyaman dan mewah. "Kau tidak menganggap kekasihmu yang sedari tadi melihatku, seperti macan betina yang kelaparan." Sekilas Eca melihat Betris yang menatap dirinya tajam. Seakan-akan ia dan Reno tengah menikmati waktu berdua bagai sepasang kekasih. Reno mengalihkan pandangannya pada wajah Betris yang terpoles riasan mencolok. Reno tertawa pelan, "Keluarlah Betris. Gue ada urusan sama Eca." "Yakin, kau mengusirku Reno? Demi gadis seperti ini?" Betris menilai tampilan Eca dari atas hingga bawah. Eca memutar netranya bosan, "Gue gak punya banyak waktu! Masih banyak yang harus gue lakuin buat persiapan penelitian kita!" Eca menyindir, bermaksud Betris sadar akan kehadiran dirinya yang tidak di harapkan. "Betris keluarlah!" Dengan menghentak kakinya kesal, Betris keluar dari ruangan Reno. Bantingan keras dari pintu membuat Eca berjengit kaget. Ia mengelus dadanya yang berdebar kencang, "Astaga. Gue yakin, lo gak waras kalo mau sama cewek modelan Betris kaya gitu!" Reno tertawa kencang mendengarnya, "Apa yang salah? Betris cantik, sexy dan manis. Sebagai pria normal, gue gak sanggup nolak." "Dasar cowok b******k!" maki Eca. Reno memberikan senyum tipis, "Lo juga cantik Ca." Eca menoleh, mengernyit heran. "Gak waras lo! Gue saudara lo, kalo lo lupa!" "SAUDARA. TIRI. ECA!" tekan Reno. "Terserah! Gue kesini bukan mau bahas omong kosong sama lo. Tapi tentang penelitian itu!" Reno memutar bola matanya, "Apalagi Ca?! Gue udah bilang sebelumnya kan? Gue berani bertaruh tempat itu aman!" "Bener apa yang Milly bilang. Tempat itu gak ada identifikasi yang jelas, bahkan hanya sekedar informasi lokasinya aja gue gak bisa cari! Gue mulai ragu." "Gimana kalo tempat itu berbahaya? Bahkan belum ada catatan yang datang ke tempat itu dan lo ngajakin gue sama yang lain ke sana?" sambung Eca. "Lo gak percaya sama gue?" tanya Reno. Eca mengalihkan pandangannya pada Reno, "Percaya sama gue, Ca! Gue bakal jagain lo. Seperti pesan almarhum Papa dan Mama." Eca menatap saudara tirinya dengan mata bulatnya, Eca bukan gadis bodoh yang tak mengerti jika Reno menaruh hati padanya. Pria yang menyukainya berakhir dengan menjadi saudara tirinya ketika Papanya menikah dengan Mama Reno tiga tahun lalu. Naasnya Papa dan Mamanya meninggal dalam kecelakaan mobil setahun silam. Tidak ada satu pun yang mengetahui jika Reno adalah saudara Eca. Bukannya apa-apa, Eca hanya ingin seperti ini dan selamanya akan seperti ini. Biarkan hanya Eca dan Reno yang tau jika keduanya bersaudara, meskipun hanya saudara tiri. Reno bangkit dari duduknya, memeluk saudara tirinya yang dilema. Reno tau, ini keputusan sepihak yang ia ambil dan ia mengumpankan Eca sebagai ketuanya. Tapi, ini demi kepentingan bersama. Nilai kelulusan mereka bergantung pada dirinya. Terlebih, Reno tak ingin membuat Eca menyesal karena keputusannya. Tanpa sengaja, Betris yang tadinya keluar malah kembali lagi karena tas tangannya yang ketinggalan. Sialnya ia malah mendapati pemandangan pria yang di sukainya tengah memeluk Eca. Tangannya mengepal keras, raut marah tercetak di jelas di wajah cantiknya. "Dasar penggoda!" ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.0K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
570.0K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook