bc

Menggapai Rindu

book_age18+
1.5K
FOLLOW
11.0K
READ
revenge
love-triangle
goodgirl
CEO
drama
sweet
brilliant
lies
secrets
like
intro-logo
Blurb

Rindu Alsava Ayunina, wanita cantik berusia 25 tahun itu menolak ide gila sang mertua untuk mengizinkan Rendraーsuaminyaーmenikah lagi. Selepas penolakkan itu, masalah datang silih berganti hingga mengakibatkan bahtera rumah tangganya porak-poranda.

Terlambat bagi Rendra Aditya, kenyataan yang baru ia ketahui membuat pria 27 tahun tersebut menyesali perceraian yang terjadi. Saat Rendra ingin memperbaiki hubungannya, ia justru tertampar kenyataan bahwa Rindu tengah menjalin hubungan dengan Zavin Bagaskara--seseorang yang mendekati Rindu sebab maksud tertentu sekaligus pria yang membantunya bangkit dari kesulitan.

Begitu banyak rahasia yang ternyata Rendra sembunyikan dari Rindu. Setelah semua terbongkar, adakah kesempatan bagi Rendra untuk bisa kembali pada sang istri? Ataukah ia harus merelakan Rindu bersama Zavin?

chap-preview
Free preview
Menolak
"Aku tidak setuju!" Kalimat itu adalah jawaban Rindu saat ibu mertuanya meminta agar dia memberi izin pada suaminya untuk menikah lagi. "Ibu ... Rendra sudah menikah dan aku istrinya. Aku tidak ingin dimadu, titik!" tegasnya tidak ingin dibantah. Mempunyai madu? Tidak. Rindu menolak meski itu hanya dalam mimpinya saja dan sekarang ... hal itu adalah kenyataan yang ada di depan matanya jika dia setuju agar Rendra menikah lagi. Ia membayangkan di rumah ini ada dua kamar untuk istri. Kursi di meja makan bagian kanan dan kiri akan diduduki oleh istri pertama dan istri kedua dan Rendra berada di kursi tengah. Belum lagi saat menonton mereka akan duduk bersisian bertiga. Yang lebih parah adalah setiap malam suaminya akan bergantian tidur dengan istri-istrinya dan ... "Tidak!" teriak Rindu menggeleng keras. Teriakannya membuat Wina ikut terkejut. Bayangan terakhir adalah alasan paling kuat atas penolakannya untuk dimadu. Membayangkannya saja dia sudah hampir gila apalagi jika hal itu sampai menjadi kenyataan. "Ri ... tolong mengerti posisi kita. Perusahaan sedang diambang batas kehancuran dan kamu masih saja memikirkan diri sendiri!" omel Wina--ibu mertua Rindu. Wanita paruh baya itu berulang kali mengatur napas karena merasa lelah meyakinkan menantunya jika ini adalah jalan keluar terakhir yang mereka punya. Rindu menatap ibu mertuanya tak percaya. Memikirkan diri sendiri? Astaga! "Aku tidak memikirkan diri sendiri, Bu. Justru aku berpikir untuk kebaikan kita semua. Kebaikanku, Rendra, keluarga ini dan perusahaan. Apa kata orang di luar sana jika tahu Rendra menikah lagi ... bahkan alasannya hanya karena perusahaan butuh suntikan dana," jelas Rindu berusaha meyakinkan Wina bahwa ide gilanya itu malah akan mencoreng nama baik keluarga Pangestu. "Apa peduliku pada ucapan mereka!" sanggah Wina cepat. Matanya menatap tajam pada Rindu menandakan jika dia sudah tidak punya stok kesabaran lagi sekarang. "Aku sudah susah payah merayu temanku yang kaya raya itu untuk bisa memberikan bantuan pada perusahaan, tapi kamu!" Menunjuk menantunya tepat di depan wajah. "Kamu malah menghalangi semua rencanaku! Kamu tahu? Aku melakukan semua ini, karena aku tidak ingin miskin!" akui Wina yang lantas membuat Rindu menganga. "Apa?" tanya Rindu merasa pendengarannya bermasalah. Dia kira mertuanya melakukan ini karena peduli pada Rendra, tapi ternyata alasannya adalah takut miskin. "Iya, itu benar. Aku tidak ingin menjadi sepertimu dan ibumu! Selain itu ... aku juga ingin cucu. Sudah tiga tahun kalian menikah, tapi kamu masih belum juga hamil. Apa kamu mandul?" Bagaikan petir di siang bolong. Rindu mengerjap beberapa kali, mencerna ucapan Wina. "Ibu," gumamnya sudah berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis, hatinya merasa sakit seperti ditusuk pisau yang tajam. "Kenapa? Memang benar, 'kan, sekarang kalian sudah miskin? Dan benar juga, 'kan, jika kamu mandul?" Ucapan Wina semakin menghujami jantung Rindu dengan duri mawar. "Ibu cukup!" Rasanya ini sudah keterlaluan. Sebutan miskin tidak ia permasalahkan lagi karena itu sudah biasa ia dengar sejak 2 tahun terakhir, tapi sekarang? Apa hanya karena dia belum bisa hamil lantas ibu mertuanya menyimpulkan bahwa dia mandul? "Apa? Kamu selalu saja membela diri. Sekarang kamu mau membela diri dengan cara apa? Semua yang aku katakan adalah kebenaran," katanya dengan senyum sinis. "Coba saja kamu lakukan tes kesuburan. Jika hasilnya bagus, itu bisa kamu jadikan alat untuk membela diri," seloroh wanita cantik berambut sebahu dari arah pintu utama. Letak ruang keluarga yang tidak jauh dari pintu depan membuat ucapan Hesti, putri sulung dari Wina itu terdengar cukup jelas. Keduanya menoleh dengan raut yang tentu saja berbeda. Rindu menatap Hesti dengan sendu seakan tahu jika ucapannya adalah sindiran untuknya. Sementara Wina tersenyum lebar merasa bangga atas kepintaran Hesti yang membantunya di saat yang tepat. Wanita berpakaian formal itu pun mendekati keduanya dengan berjalan berlenggak-lenggok bak model di atas red carpet. Wajah cantik dan tubuh molek yang Hesti miliki menjadi daya tarik untuknya disukai oleh banyak pria. Sayang, di usia yang menginjak 34 tahun ini dia sudah dua kali menjanda. "Kenapa kalian tegang sekali? Ayo duduk. Ceritakan padaku, apa yang kalian berdua perdebatkan kali ini?" Dia melewati adik iparnya dan memberi senyum manis pada Rindu yang semakin merana karena sekarang dia harus menghadapi dua orang wanita licik seorang diri. Hesti menyimpan tas laptop yang ia bawa sekaligus dengan tas miliknya. Duduk di sofa dua dudukan diikuti Wina yang memilih menghempaskan diri di sofa tunggal. "Kamu tidak tahu apa yang kami bahas, tapi kenapa bisa menjawab?" tanya Wina. Rindu ikut duduk, namun memilih di sofa berbeda. "Perdebatan kalian terdengar sampai ke garasi. Aku mendengar selewat tentang mandul tadi. Di sini yang mandul tidak mungkin Ibu 'kan?" sindirnya pada Rindu. "Kamu dengar? Lebih baik sekarang kamu pergi untuk melakukan cek pada rahimmu itu, Ri. Dan ingat, jangan sampai membawa kabar buruk karena jika iya, kamu tidak bisa membela diri," ledek Wina tak berbelas kasih. "Itu benar. Jangan sampai surat hasil pemeriksaan menuliskan kalau kamu itu man-dul." Hesti benar-benar sengaja mengeja kata yang bahkan sama sekali tidak ingin Rindu dengar. Keduanya tertawa-tawa seperti sedang menonton komedi lucu dari pelawak. "Kamu akan terlihat sangat menyedihkan nantinya. Seorang wanita mandul yang miskin harus mengurus ibunya yang hampir mati karena--" "Diam!" teriak Rindu geram. Kedua matanya sudah berlinang air mata. Napasnya memburu menahan amarah. Hatinya teramat sakit mendengar lelucon Wina dan Hesti. Dia bagai ditimpa batu besar, sesak. Kedua wanita di depannya menghentikan tawa. "Wah, wah. Lihat ... menantu kesayangan Ibu sudah berani berteriak pada kakak iparnya. Dia semakin kurang ajar saja," ucap Hesti sarkas, menatap Rindu tajam. "Itu benar," timpal Wina. "Kamu tahu, Hes, dia menolak untuk dimadu. Selain keras kepala, miskin, tidak tahu diri, ternyata dia juga egois." Hesti menganga, menggelengkan kepalanya penuh drama. "Aku pikir dia adalah istri yang baik, tapi ternyata ...." Kedua matanya membulat menatap Rindu tak percaya. "Apa kamu tidak sadar kenapa Rendra memintamu untuk keluar dari perusahaan? Itu karena kamu sangat tidak berguna di sana. Selain tidak ada kemajuan pada perusahaan, suka menghamburkan uang dan--" "Lalu apa Kak Hesti berguna untuk perusahaan?" Rindu menyeka wajahnya yang basah dengan cepat. Sudah cukup, pikirnya. Hening. "Apa dengan bergabungnya kakak di sana perusahaan bisa berkembang pesat? Tidak. Apa dengan adanya Kak Hesti di sana maka Rendra bisa terbantu? Tidak juga. Kamu tahu, Kak? Setiap malam Rendra selalu mengeluh padaku tentang prestasimu yang wah itu di perusahaan." Kedua wanita di depannya bungkam. "Dan sekarang ... perusahaan malah ham-pir bang-krut." Rindu menekankan ucapannya pada dua kata terakhir untuk memperjelas prestasi apa yang ia maksud tadi. "Bukan hanya itu saja--" "Hei--" Hesti menunjuk Rindu dengan marah merasa tak terima. Tubuhnya tak lagi bersandar. "Sebentar, Kak," potong Rindu mengangkat tangannya agar Hesti tidak menyela. "Kalian sudah bicara banyak tentangku tadi. Jadi sekarang giliran aku yang bicara," tegasnya menatap Hesti di depannya dengan tajam. "Selain itu ... Kak Hesti sudah dua kali menikah, tapi tidak ada satu pun anak dari hasil pernikahannya. Bagaimana jika kita tes kesuburan bersama-sama?" tawar Rindu. Dia mengalihkan tatapannya pada Ibu mertua. "Aku hanya ingin memberi tahu. Jika aku harus dites, maka Rendra juga harus melakukannya. Kenapa Ibu khawatir? Usia pernikahan bukan kepastian dari apakah pasangan akan mendapat keturunan atau tidak. Ibu bisa tanyakan pada Kak Hesti jika tidak percaya." Sekali lagi, Rindu membungkam mulut keduanya. Tatapannya pada Wina berubah lembut. Rindu menarik napas dalam. "Ibu ... aku memang tidak begitu paham pada apa yang terjadi pada perusahaan, tapi jika yang dibutuhkan adalah dana, kita bisa mencoba mencari investor dan meyakinkan mereka. Ya, itu tidak mudah, tapi usaha tidak akan mengkhianati hasil dan soal cucu, aku mohon Ibu bersabar sebentar lagi," pinta Rindu penuh harap. Wina tersenyum dan menatap menantunya. "Sayangnya kesabaranku sudah habis kali ini. Aku tetap akan meminta Rendra untuk menikah lagi. Itu adalah keputusanku." "Ibu--" "Selain ingin cucu dan mendapatkan suntikan dana, keluarga ini juga sudah tidak membutuhkanmu lagi. Kamu sekarang sudah miskin." Ucapan Wina benar-benar membuat Rindu kelu. "Kalau begitu bukan aku yang egois, tapi Ibu. Ibu tega menjual kebahagiaan Rendra demi obsesi dan kepentingan Ibu sendiri," ucap Rindu dengan tatapan kosong dan putus asa. Ternyata dia dinikahi karena kekayaan yang dia punya. Setelah sekarang dia miskin, rasa sayang untuknya juga ikut musnah. "Apa! Dasar menantu tidak tahu diri! Beraninya kamu berkata begitu!" pekik Wina marah. "Meminta Rendra untuk menikah lagi adalah pilihan yang tepat. Aku sudah tidak sudi mempunyai menantu sepertimu! Sebagai seorang Ibu, aku ingin Rendra mempunyai istri yang bisa membahagiakannya dan yang pasti itu bukan kamu! Mengerti!" tegasnya. Rindu mengangguk lemah dan memberi senyum tipis. "Aku sangat mengerti." "Baguslah." "Dan sebagai seorang Ibu, ibuku juga mempunyai harapan yang sama. Ingin putrinya mendapatkan suami yang hanya menyayangi dan mencintaiku saja," balas Rindu semakin membuat Wina marah. "Permisi." Rindu berdiri dan berlalu ke lantai atas menuju kamarnya. Kedua wanita di ruang keluarga menatap kepergiannya dengan kesal hingga punggungnya menghilang di ujung tangga. "Sial! Dia semakin pintar melawan kita sekarang!" gerutu Hesti. "Apa pun yang terjadi, Rendra harus tetap menikah lagi," tekad Wina. Begitulah mereka, buah jatuh tidak jauh dari pedagangnya adalah peribahasa yang tepat. Baik Wina ataupun Hesti selalu mengedepankan kedudukan dan harta. Wina yang berasal dari keturunan kelas atas menjadikannya terbiasa dan enggan melepas kehidupan mewahnya. Sialnya hal itu ia turunkan pada putrinya sampai kedua mantan suaminya dulu merasa tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan dan gaya hidup Hesti yang selalu menghamburkan uang. Itu juga alasan Rendra memberikan Hesti posisi milik Rindu, agar kakaknya itu belajar tentang tanggung jawab dan merasakan bagaimana lelahnya mencari uang sendiri. Tak berapa lama terdengar suara berisik dari arah tangga yang mengejutkan keduanya. Rindu turun dengan tergesa dan wajah panik. Dia menenteng tas miliknya dan satu tangan memegang erat ponsel. "Ibu, aku pamit ke rumah sakit dulu," ucapnya cepat tanpa menoleh. Dia berlari mengambil kunci mobil miliknya dan membuka pintu bagasi. Debuman keras dari pintu yang tertutup mengakhiri drama yang menantunya buat. Wina memijat pelipisnya, merasa pusing seperti tahu apa yang akan terjadi setelah ini. "Pasti akan ada yang meminta uang dengan jumlah besar lagi," keluhnya. "Atau dia ke rumah sakit untuk cek kesuburan?" terka Hesti. "Astaga. Bagaimana jika Rendra bertanya?" Keduanya membelalak, panik. "Ri, aku pulang!" Teriakkan seorang yang mereka kenal membuat keduanya tegang. Hesti mengambil barang-barangnya cepat dan berlari ke kamarnya. Melarikan diri sebelum adiknya membahas masalah yang dia ciptakan di kantor tadi. "Ri!" "Rendra," panggil Wina lembut ditambah senyum manis, berdiri dan menghampiri putranya. "Ibu." Rendra meraih tangan Ibu dan mengecupnya takzim. "Apa Ibu melihat Rindu? Atau dia ada di kamar?" Dia melepas kancing kemeja di kedua tangan dan melipat lengan kemejanya hingga ke siku. "Ri--Rindu ... itu ... seperti biasa dia pergi ke rumah ibunya. Seminggu ini dia sudah lebih dari tiga kali pergi ke sana," dusta Wina. Jangan sampai Rendra tahu jika Rindu ke rumah sakit untuk mengecek kesuburan meski itu hanya dugaannya saja. Untunglah dia berhasil menutupi rasa gugupnya dengan senyuman. Rendra mengangguk maklum. Keadaan mertuanya yang memburuk akhir-akhir ini menjadikan istrinya harus bolak-balik mengurus rumah dan ibunya. "Baiklah, aku akan ke kamar, Bu." Wina mengangguk setuju. Lebih baik putranya berdiam diri di dalam kamar dari pada bertanya lebih jauh tentang istrinya. Setelah Rendra berlalu, mertua Rindu itu menghela napas lega merasa aman. Namun hal itu tak berlangsung lama karena ternyata Rendra mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga. "Bu." Wina menoleh cepat, ia kembali tegang. "I-iya. Apa ... ada yang tertinggal?" "Tentang jawaban Rindu. Apa jawaban darinya?" tanya Rendra yang rautnya berubah sendu, perasaannya harap-harap cemas. "Bu." "Sudah. Dia sudah menjawab." "Apa katanya?" Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook