bc

Dangerous Wedding

book_age18+
440
FOLLOW
1.5K
READ
family
love after marriage
fated
mate
goodgirl
drama
sweet
coming of age
first love
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Fatrial dokter spesialis paru yang tidak mendapatkan cinta pertamanya, ia frustasi dan merasa perlu untuk melupakan cintanya agar hidupnya kembali normal, sehingga ia putuskan untuk menerima saran teman perawat dengan menulis sebuah proposal nikah yang akan ia serahkan pada seorang ustad, ustad habib namanya.

Fatrial mendapatkan biodata seorang perempuan bernama Veve, yang bekerja sebagai guru SLB. Keputusan untuk menerima Veve dalam hidup Fatrial jelas membutuhkan waktu yang panjang. Di saat ia sedang ber ta'aruf dengan Veve, sosok Aina kembali dalam hidupnya, yang membuat Fatrial semakin ragu untuk menerima Veve. Namun seiring berjalannya waktu, pun seiring Fatrial yang mencoba melihat siapa Veve dan kehidupannya, justru dari sana ia memiliki kemantapan untuk maju.

Ia melihat Veve perempuan sholehah yang bisa menuntunnya menjadi pribadi yang lebih baik, hanya saja dalam pernikahan yang belum tumbuh cinta itu justru menjadi jurang ujian bagi Fatrial dan Veve. Keraguan yang datang silih berganti. Rumahtangga yang baru dibangun itu siap hancur setiap saat, apalagi Aina terus datang dan mencoba kembali merebut Fatrial.

Namun takdir tak pernah salah datang pada pemiliknya, sekuat tenaga Fatrial dan Veve berusaha mempertahankan rumahtangganya, mencoba seribu cara agar bisa saling mencintai

chap-preview
Free preview
Cinta Pertama yang Membatu
Sudah hampir satu tahun Fatrial bekerja sebagai dokter internship di Rumah Sakit Mardi Waluyo, serangkaian studi kedokterannya yang cukup panjang dan melelahkan telah usai. Tidak perlu keluar pulau Jawa atau bahkan sampai ke Papua, Fatrial beruntung bisa bekerja tak jauh dari orangtua dan yang terpenting satu rumah sakit dengan seseorang yang selama tiga tahun terakhir ini membatu di hatinya. Langkahnya terhenti, saat sepasang visualnya menangkap sesosok wanita berambut lurus sebahu dengan jas putih berjalan menuju poliklinik. Sejenak Fatrial menahan napas untuk menormalkan jantung yang sudah naik ritmenya, tepat ketika mata itu menangkap sosoknya. Ada getaran luar biasa yang terus bergejolak tiap kali melihat wanita itu. "Aina.." Nama yang tiap malam menghantuinya, yang setiap saat membuka segala kemungkinan masa depan yang ingin ia bangun. Berharap waktu berhenti saat hatinya tak lagi mampu menahan desiran yang kian menyiksa. Rasa itu sudah ia pendam sejak masih ko-as dulu, Fatrial tak mampu mendekat seinci pun pada Aina, selain karena Aina sosok populer di kalangan para mahasiswa dulu, Fatrial juga tak memiliki keberanian mendekatinya lebih jauh. Ia selalu merasa belum siap jika harus mengutarakan perasaan itu di saat masih ko-as, mengingat tugas dan beban belajar sebagai calon dokter tidaklah mudah, Fatrial menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan perasaan sekaligus melamarnya. Gemuruh di hatinya tereduksi saat bayang-bayang Aina telah lenyap dari pandangannya. Fatrial menarik napas dan melanjutkan langkahnya menuju ruang Radiologi. Dokter Ferdian menyambutnya dan memberikan selembar kertas foto hasil rotgen pasien yang baru selesai dikerjakan. Ia mengamati dengan cermat hasil rotgen yang baru keluar hari ini, terutama pada broncus. Pasien kali ini mengidap bronchitis kronik. Penyakit pada saluran broncus karena virus, sehingga ada penebalan pada batang bronchial yang menyebabkan penderita susah bernapas. Tidak parah, tapi jika dibiarkan bisa mengarah pada paru-paru Obstruktif Kronik. Fatrial menaruh hasil rotgen di atas map berwarna putih, lalu mengambil selembar kertas berisi keterangan tertulis hasil rotgen pasien, dalam lembar kertas putih itu juga terdapat kesimpulan yang bertuliskan 'Paru: tampak peningkatan corak vaskuler dengan penebalan peribroncial di perihiler hingga paracardial kanan kiri dengan tramline sign.'. "Veve Fitria," suara Fatrial menyebut nama pasien yang tertulis dalam lembar tersebut, "Namanya tidak asing ya." Gumamnya sambil mengerutkan alis berpikir. Dokter Ferdian tersenyum, lalu menyeruput segelas teh yang ia bawa dari kantin rumah sakit sejak satu jam yang lalu sebelum Fatrial datang, tentu sudah tak lagi hangat. "Namanya pasaran mungkin. Banyak nama-nama seperti itu." Sahut dokter Ferdian dan disambut tawa oleh Fatrial. "Bisa jadi begitu." "Jadi Kapan nih saya nerima undangan darimu?" dokter Ferdian mengalihkan pembicaraan, pertanyaan yang seketika membisukan mulut Fatrial. Tawa yang tadi membahana sekejap lenyap. Nyaris setiap penghuni rumah sakit yang dekat dengannya selalu melayangkan pertanyaan seperti itu. "Jangan ditunda-tunda lagi. Segera lamar perempuan yang kamu sukai, atau kalau tidak, kamu bisa meminta bantuan seseorang untuk dikenalkan dengan perempuan yang baik. Tidak baik menunda-nunda nikah. Menikah itu ibadah paling banyak pahalanya, jadi sebaiknya disegerakan." Tambah dokter Ferdian, diakhiri dengan senyum merekah. Fatrial justru tersenyum getir. Dadanya bergemuruh dan pikirannya seketika tertuju pada Aina. Mau sampai kapan aku menunda niat baik untuk menikah? "Saya, bingung, Dok. Sebenarnya saya ingin sekali melamar seseorang, tapi entah kenapa saya masih ragu. Saya takut ditolak." Fatrial tertunduk, gelisah. "Kalau kamu takut ditolak, takut mengungkapkan perasaanmu, lantas apa kamu bisa memiliki wanita itu?" pertanyaan balik dari dokter Ferdian melompatkan jantung Fatrial. Benar apa yang dokter Ferdian katakan. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki Aina jika ia takut mengungkapkan isi hatinya. Sampai kapan menyimpan rasa? "Katakan saja sebelum kamu menyesal karena dia telah bersama yang lain." Ritme jantung Fatrial naik. Tidak, ia tidak sanggup melihat Aina bersama lelaki lain. Bertahun-tahun ia berdoa agar berjodoh dengan Aina, apa yang akan terjadi andai Aina menikah dengan lelaki lain. Mungkin ia bisa gila. "Katakan sebelum terlambat. Kalau berjodoh, Allah akan memudahkan semua. seberat apa pun jalannya, jika dia jodohmu pasti akan kembali padamu, pun sebaliknya." Kali ini Fatrial memilih mengangguk, nasihat dari dokter Ferdian cukup merobohkan keangkuhan hatinya. Sudah bukan masanya menunggu waktu, Aina dan dirinya sudah masuk usia menikah, maka niat baik itu harus segera dilakukan. Detik itu juga, Fatrial kembali membangun keyakinan dan keberanian dirinya. "Orangtuamu bagaimana?" "Hemm, dari orangtua menyerahkan semua keputusan pada saya, Dok." Dokter Ferdian tersenyum mengusap punggung Fatril, seolah memberi dukungan kuat. Dialah lelaki selain ayahnya yang begitu Fatrial percaya, nasihat dan dukungan dokter Fatrial memberi pengaruh besar bagi kehidupannya. "Alhamdulillah, itu tandanya jalanmu semakin lebar dan mudah, sudah saatnya kamu mengemudi untuk menjemput takdirmu. Saya mendukung dan mendoakanmu sepenuhnya, dan kalau bisa jangan lama-lama." Fatrial terkekeh sambil mengangguk begitu saja, "Insya Allah, doakan saya ya, Dok." @@@ Percakapan dengan dokter Ferdian tempo hari benar-benar membekas di hati Fatrial. Semua nasihat yang beliau sampaikan menjadi lecutan keberanian yang hingga detik ini kian membesar, membuatnya harus segera meminta izin pada ibunya. "Kalau Ibu sih terserah kamu, Ibu tidak menuntut banyak, hanya saja kamu harus mempertimbangkan banyak hal ketika memilih wanita. Bukan berarti harus seorang Dokter atau dari keluarga terpandang, bagi Ibu pribadi asalkan dia baik dan memahami dirimu itu sudah cukup." wanita berumur lima puluh lima tahun itu selalu membuka kesempatan pada Fatrial. Toh ia pribadi juga bukan seorang dokter, hanya ibu rumah tangga biasa, dan dulunya juga berasal dari keluarga sederhana, status yang berbeda jauh dengan ayahnya Fatrial. "Memang kamu sudah punya calon?" tanya ayahnya yang baru saja masuk ruang makan dan segera mengambil posisi duduk di samping istrinya. Perlahan Fatrial mengangguk, "Sedang saya usahakan, Ayah." "Kalau begitu terserah kamu saja." sahut ayahnya, pun tak jauh berbeda dengan ibunya. Fatrial adalah anak terakhir dari empat bersaudara, tak banyak tuntutan layaknya kakak-kakaknya yang kini telah berumahtangga semua. Kini ia sudah mendapat lampu merah dari orangtuanya, maka bukan saatnya menunggu waktu lagi. Saat itu juga ia berusaha menghubungi Aina dan mengajaknya makan malam di luar, ia akan mengatakan semua dan berharap besar Aina bisa menerima. @@@ Beberapa kali Fatrial merapikan kemejanya yang berwarna biru dongker dengan lengan dilipat sampai siku. Penampilannya malam itu jauh lebih necis daripada biasanya ketika di rumah sakit. Ia telah menyiapkan pertemuan malam ini dengan sangat baik. Memilih rumah makan yang romantis, juga hiasan bunga di atas meja yang ia pilih sendiri. Ia hanya bisa berharap Aina akan menerima cintanya nanti, tentu sekaligus ia akan melamarnya. Tiga hari dalam kekalutan dan dilema sudah cukup meyakinkan dirinya bahwa hanya dengan mengutarakan cinta, semua kekalutan itu akan lepas. Ia merasa yakin bahwa cintanya akan diterima. Selama ini Aina tidak terlihat dekat dengan siapa pun, termasuk ia pribadi cukup mengenal keluarga Aina. Kesempatan emas pasti akan datang padanya. Fatrial duduk di depan meja yang sudah tertata dua gelas kosong, bunga dan tisu. Setengah jam berlalu penuh kegugupan, beberapa kali ia melirik jam tangan, juga pintu masuk restoran. "Akan ku bangun masa depanku dari sini." Gumamnya mantap. Tak lama kemudian Aina memasuki pintu restoran yang terbuat dari kaca. Ia memakai dres selutut berwarna toska dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai. Ritme jantung Fatrial naik dan mendadak tubuhnya menegang. Sosok itu telah hadir dengan penampilan yang nyaris membiusnya. "Maaf menunggumu lama." Aina mengambil posisi duduk di depan Fatrial, membuat degup jantung Fatrial kian memburu. "Oh, tidak apa-apa." Suara Fatrial terdengar kaku dan gugup, namun sesegera mungkin ia berusaha menguasai dirinya dengan memulai percakapan, "Kau ingin pesan apa?" tanyanya sambil menyodorkan buku menu yang sudah tersedia di meja. Aina meraihnya dan membuka lembar demi lembar, memilih menu apa yang pas untuk perutnya malam itu. Ia begitu menjaga pola makan dan jenis makanan seperti apa yang harus ia konsumsi tiap harinya. Wajar karena dia seorang dokter, dan paling memperhatikan penampilannya. Setelah mereka selesai memilih menu, segera seorang pelayan datang mencatat apa saja yang mereka pesan. "Tunggu sebentar ya, Mas, Mbak." Kata pelayan itu, lalu melangkah pergi. "Apa yang ingin kau bicarakan? Sepertinya penting." Fatrial menahan napas sejenak, berusaha menormalkan ritme jantungnya. Keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya. Kegugupan jauh lebih berat dibandingkan ketika ia presentasi di depan para dokter senior atau ketika melakukan operasi. "Aina, sebelumnya aku minta maaf jika ini terkesan mendadak, tapi, sudah lama aku ingin mengatakannya padamu." Aina mendorong tubuhnya lebih maju, menunggu dengan sedikit tegang. "Katakan apa itu?" Kembali Fatrial menarik napas, sesekali menundukkan wajahnya untuk mengubah rona wajah yang sudah memanas lebih dulu sebelum satu kata terucap dari mulutnya. "Aku menyukaimu." Secepat mungkin Fatrial melontarkan kalimat itu dengan menahan napas. Aina melotot kaget sampai mengalihkan pandangan karena bingung. Entah kenapa justru sesak yang dia rasakan, bukan kebahagiaan. "Aku mengatakan ini, tak sekedar untuk menyampaikan perasaanku saja, tapi, tapi juga sekaligus melamarmu. Apa kau mau menikah denganku?" Seketika mata Aina berkaca-kaca, menahan sesak yang justru kian menyiksa. Berat untuk ungkapkan semua, tak ingin rasanya menghancurkan kebahagiaan yang baru saja tumbuh. Ia menarik napas dalam-dalam. "Fatrial aku, aku.." begitu berat untuk menjelaskan semua. "Kenapa?" tanya Fatrial, mulai was-was. "Aku, aku tidak bisa." Jantungnya seolah melompat dan sesak seketika. "Apa maksudmu? Kau menolak?" tubuh Fatrial menegang, ia berusaha mencengkeram erat kedua tangannya yang tertumpu di atas lutut. "Aku sudah dijodohkan dengan orang lain, Fatrial," kata Aina di antara air mata yang berusaha ia tahan agar tak meluncur kembali, "Maafkan aku." Lemas, bahkan untuk menarik napas pun sulit, seolah batang broncus Fatrial terisi penuh lendir dan virus, tak mampu mengatakan apa pun, hanya diam menatap Aina dengan hati hancur. Ini pertama kalinya ia mengungkap cinta, juga menjadi pertama kalinya ditolak. Andai ia ungkapkan perasaan itu sejak dulu, mungkin masih ada kesempatan. Kini ia hanya bisa menelan ludah, lamarannya ditolak dan tak ada kesempatan untuk meriahnya kembali. Aina akan segera menikah dengan lelaki lain. Ya Allah, Fatrial tak sanggup menahan sesak yang membuat napasnya nyaris putus. Sejujurnya Aina jauh lebih hancur daripada dirinya. Sudah lama ia menyimpan perasaan pada Fatrial, namun karena Fatrial tak juga mendekat, hingga akhirnya ia putuskan menerima perjodohan yang dilakukan ayahnya. Saat hati saling bertaut itu tak menemukan pintu keluar, saat cinta terpendam itu tak mampu menumbuhkan kebahagiaan, maka hanya penyesalan yang datang. Apa yang bisa Aina lakukan selain pasrah, mengingat ia begitu takut pada ayahnya, tentu tak mungkin mengatakan bahwa sesungguhnya ia juga memiliki perasaan yang sama. "Aku yakin kau akan mendapat perempuan yang jauh lebih baik dariku." "Siapa yang lebih baik darimu?" kepala Fatrial tertunduk, membendung air mata. "Fatrial, meskipun kita tidak bisa bersama, kita masih berteman selama bertugas di rumah sakit, kuharap semua kejadian hari ini tak memutus hubungan pertemanan kita. Maafkan aku, aku tak bermaksud menyakitimu." Fatrial mengangkat kepalanya. Menatap Aina kembali dengan masih tersirat harapan dari matanya yang sembab. Sesungguhnya ia tak siap ditolak. "Aku mengerti, Aina." "Perjodohan itu adalah permintaan Ayah. Kau tahu kan Ayah orang yang keras dan bertemperamen buruk, sedikit pun aku takut membantah apalagi menolak keinginannya. Sejujurnya aku tak mau dijodohkan, namun demi kebahagiaan Ayah dan Mama, aku rela mengorbankan apa pun." Fatrial hanya bisa mengangguk, tak ada kata yang sanggup ia lontarkan, yang terwujud hanya mata bengkak dan sembab. Itu sudah cukup menegaskan bahwa ia amat terluka. Aina merasa sangat bersalah melihat mata Fatrial berkaca-kaca, seolah menjadi cambukan paling perih di hatinya bahkan sekujur tubuhnya. Tanpa pikir panjang Aina memutuskan untuk pergi meninggalkan Fatrial, tentu untuk menenangkan diri. Tak sanggup berlama-lama di sana. Setelah Aina pergi, perasaan Fatrial kian hancur. Matanya kosong menatap pintu kaca yang baru saja dilewati Aina. Aku bukan lelaki yang mudah mencintai perempuan, lalu aku harus mencari di mana sosok yang bisa menggantikanmu?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook