bc

IMPERFECT WEDDING

book_age4+
1.1K
FOLLOW
10.3K
READ
revenge
possessive
family
arranged marriage
CEO
billionairess
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Radika akan menuntaskan dendam pada Arsa di masa lalu. Ia akan memberikan pelajaran setimpal untuk semua penghinaan didapatkannya. Kini, Radika sudah sukses. Ia pengusaha dengan kekayaan cukup berlimpah. Radika merasa yakin akan bisa membalas semua dendam pada Arsa. Terlebih, ada orang lain juga yang membantunya.

Radika pun berusaha mengabaikan perasaan pada Sasmita, saat mereka berdua sudah mengikat janji suci . Pernikahan bukan untuk hidup bersama atau menjalin hubungan romansa dengan Sasmita seperti dulu. Radika mengedepankan ambisinya, memberlakukan pengabaian atas rasa cinta yang masih dimiliki untuk Sasmita. Namun, saat wanita itu terluka karenanya, Radika tidak bisa tinggal diam. Ia begitu merasakan penyesalan besar.

chap-preview
Free preview
01
Dua mata elang milik seorang pria berusia 25 tahun tengah fokus menelisik dan membaca satu demi satu kata yang terangkai rapi dalam beberapa lembar kertas dokumen. Raut keseriusan begitu tampak di wajahnya. Pria itu duduk di atas sofa dengan posisi bahu sedikit menegang walau dia telah mencoba untuk tetap rileks dan tenang, tetapi tubuhnya malah menunjukkan reaksi yang berlawanan dengan apa yang dia tanamkan dalam benaknya. Alis sebelah kanan pria itu kemudian terangkat naik karena perhatiannya cukup mampu tersita oleh sederetan kalimat yang tertulis di lembaran kertas tersebut. Namun detik berikutnya, ekspresi datar sudah terukir dengan sempurna di wajah pria itu dan segera menutup dokumen yang dipegangnya lalu meletakkan benda tersebut di atas meja. Kini dia mengalihkan pandangan ke arah samping, tepatnya pada sosok seorang pria yang berusia empat tahun di atasnya. Dia hendak mengonfirmasi sesuatu yang ada kaitannya dengan apa yang tertulis di dalam dokumen tersebut. "Pernikahan? Apa maksud lo Wira?" tanyanya sambil melayangkan tatapan menyelidik. Pria bernama Wira itu tak langsung menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya. Dia terlihat santai dan asyik memainkan handphone miliknya. Berbanding terbalik dengan si penanya yang memancarkan aura keseriusan. "Jawab pertanyaan gue, Wira!" Wira mendengus pelan lalu menghentikan aktivitas chatting yang dia lakukan. "Enggak usah pakai emosi segala lo Radika. Gue pasti jawab," balasnya santai. Giliran si penanya alias Radika yang bersikap cuek dan tidak memberi respon lanjutan. Pria itu mengambil botol air mineral dari atas meja kemudian menengnggakisinya hingga hanya tersisa seperempat. Emosinya suka tak terkontrol jika sudah membicarakan masa lalu. "Mengenai pernikahan yang tercantum di dokumen. Gue sengaja menyertakannya dalam kesepakatan yang akan kita buat dengan mereka." Radika menghadiahkan tatapan tajam ke arah rekan kerja sekaligus sahabatnya itu. Dia butuh penjelasan yang lebih mendetail agar dapat memahami semua ini lebih lanjut. "Tujuan lo apa?" tanyanya to the point. Wira masih menunjukkan sikap santainya atas pertanyaan sang sahabat karena menurut Wira masalah tersebut tidak perlu diperdebatkan terlalu serius. Namun reaksi yang diperlihatkan Radika memang sesuai dengan dugaannya. "Tujuan gue ya pengin menghancurkan mereka. Apa lagi?" "Kenapa nggak sekalian aja lo ambil alih perusahaan mereka? Supaya si Arsa itu bangkrut," tanggap Radika sinis dan masih menatap sahabatnya dengan tatapan tajam yang sarat emosi. Wira berdecak. Dia bisa memaklumi pemikiran Radika yang belum terlalu 'cakap' dalam melakukan taktik menjatuhkan lawan dalam dunia bisnis. "Kalau gue ambil perusahaan dia gitu aja. Bukan berarti si Arsa bakal bangkrut. Gue rasa dia punya usaha di bidang lain. Si Arsa bukan lawan yang mudah dihancurkan atau kita lawan. Gue tahu dia tipe orang yang seperti apa." Emosi Radika tiba-tiba memuncak. Dia meremas botol air mineral yang berada di tangan kanannya. Kilatan amarah kini tampak di mata Radika. "Lo benar, Wir. Untuk meraih kesuksesan saja diperlukan waktu yang tidak pendek dan sedikit. Begitu juga dengan kehancuran. Menurut gue, kehancuran akan terasa semakin menyakitkan jika dibarengi dengan penderitaan yang tiada akhir." "Gue ingin si Arsa merasakan penderitaan itu secara perlahan-lahan tapi mematikan. Dia harus membayar lunas harga diri gue yang dia pernah injak-injak dulu." Salah satu sudut bibir Radika terangkat membentuk seutas senyuman sinis. Wira pun tak mau kalah. Di wajahnya juga terukir sebuah senyuman yang di dalamnya tersimpan berbagai macam misteri. Dia mengambil cangkir yang ada di atas meja kaca lalu menyeruput nikmat kopi yang sudah mulai dingin sambil melirik ke arah sang sahabat, masih dengan senyum misterius miliknya. "Kita bakal buat dia menderita pelan-pelan. Maka dari itu gue mencantumkan syarat pernikahan di dalam kesepakatan. Gue yakin dia pasti menerima tanpa penolakan yang berarti," ucap Wira santai. Dia tidak ingin terlalu direpotkan dengan masalah ini. Radika mendengarkan setiap kata yang dilontarkan sahabatnya. Tatapan tajam pria itu kini berubah menjadi pandangan menyelidik. "Si Arsa hanya perlu bayar setengah dari total pinjaman yang dia lakukan di perusahaan dengan adanya syarat pernikahan tersebut?" Radika memastikan sekali lagi. Wira hanya mengangguk kecil. Dia menyeruput kembali kopinya sebelum memberikan jawaban pada sang sahabat yang tampak penasaran walau Radika berusaha menyembunyikan dengan memasang ekspresi datar. Tapi Wira sudah paham betul bagaimana karakter Radika karena hampir tujuh tahun lamanya mereka berteman dan tiga tahun belakangan bekerja sama membangun bisnis di bidang properti. "Tentu, Rad. Dan gue berani jamin kalau Arsa bakal dengan senang hati menerima kesepakatan yang gue buat ini karena dia merasa tidak akan dirugikan. Padahal yang ada malah sebaliknya," balas Wira dengan nada bicara yang meremehkan. Meski secara kasat mata status Radika hanya 'bawahan' di perusahaan milik Wira namun sesungguhnya posisi pria itu cukup kuat dan diperhitungkan sebab Radika mempunyai sekitar 10% saham di perusahaannya. Jika dibandingkan dengan Wira, dia memang tak ada apa-apanya. Tapi saham yang Radika miliki tidaknya dapat menjadi s*****a untuk melawan Arsa. Bukan perkara yang mudah untuk mendapatkan semuanya bagi Radika. Dia harus menapaki kariernya mulai dari paling dasar hingga bisa berada di posisi sekarang. Kerja keras dan perjuangan selalu menemani pria itu di hari-hari susahnya dahulu. "Sebentar lagi lo bakal nikah berarti Wir. Baguslah lo akhirnya punya pendamping hidup yang pasti dan berhenti gonta-ganti perempuan terus. Playboy tobat," ucap Radika dengan nada bercanda, menghapus ketegangan yang sedari tadi bergelayut dalam dirinya. Wira menaikkan salah satu alis. Tak lama kemudian dia tertawa pelan dan menoleh ke arah sahabatnya. "Gue belum siap nikah kali. Gue masih pengin bebas. Gue mau minta bantuan lo malah. Lagian Sasmita terlalu baik buat playboy kayak gue." "Apa maksud lo?!" Tatapan Radika menajam hanya dalam hitungan detik, efek mendengar nama seseorang yang disebutkan oleh sang sahabat. Tangan kiri pria itu sudah mengepal kuat. Sedangkan tangan kanannya mencengkram kerah kemeja Wira secara refleks. .................... Wira dapat merasakan bahwa Radika tengah tak terima dengan perkataan yang ia lontarkan. Dia belum pernah melihat sahabatnya yang sangat emosi sampai lepas kendali. "Gue akan jelasin ke lo. Jadi lo nggak perlu terbawa emosi seperti ini." Wira melepas cengkraman tangan pria itu dari kerah kemejanya dengan sedikit kasar. "Sorry, gue kaget denger ucapan lo tadi." Radika sadar tindakannya sudah tak terkontrol hanya karena menyangkut seseorang yang pernah sangat berarti untuknya di masa lalu yakni Sasmita. Wira berdecak kesal. "Ckckck. Dari sikap yang lo tunjukkin, gue bisa tahu kalau perasaan lo masih ada untuk dia," sindirnya lalu memandang ke arah Radika. Namun pria itu membuang muka. Bagaimana tidak? Selama ini Radika selalu menyangkal di hadapan Wira jika dia tidak masih memiliki perasaan apapun pada Sasmita. Dari mana Wira mengenal sosok perempuan itu? Sebenarnya ia hanya mengenal Sasmita dari informan yang dia suruh untuk menyelidiki seluk-beluk keluarga Arsa. Walau belum pernah bertemu dan mengobrol secara langsung dengan Sasmita, Wira yakin jika dia adalah perempuan polos dan tegar meski dengan keterbatasan fisik yang ia miliki. Sekitar empat tahun yang lalu Radika juga bercerita bahwa dia pernah mencintai seorang perempuan namun keluarga perempuan itu tak menyetujui hubungan mereka karena dia hanya berasal dari keluarga miskin, kakak tertua perempuan itu bahkan pernah melakukan tindakan kasar padanya. Dia ingin sekali membuktikan pada mereka jika ia mampu memiliki banyak uang suatu saat nanti dan membayar harga dirinya yang telah diinjak-injak. Ketika Wira tahu jika perempuan yang dimaksud sang sahabat adalah Sasmita. Mulailah dia mengajak Radika ikut serta membalaskan dendam pada Arsa dan Ardisti. Setidaknya Wira tahu jika bukan hanya dia seorang yang pernah menjadi korban dan ingin memberi pelajaran atas sikap sombong yang selalu dibanggakan oleh dua orang itu, terutama Arsa. "Lo hanya perlu jelasin ke gue. Jangan ungkit yang lainnya," peringat Radika dengan nada datar namun tatapannya masih tajam. Dia tidak suka membahas masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam dan tentu tak penting baginya lagi. Wira kembali berdecak. "Ckckck. Bisa ya lo bohongi diri lo sendiri Radika. Munafik!" komentarnya cukup pedas karena kesal sendiri melihat tingkah Radika yang menurutnya tidak mau berterus-terang dan tengah menyembunyikan sesuatu. Radika tetap menunjukkan ketidaksukaannya lewat tatapan mata yang kian menajam. "Bukan urusan lo! nggakbpenting juga lo ngurus hidup gue!" balas pria itu dengan nada sinis. "Lo bisa bohonglah sama gue. Tapi gue yakin hati lo membantah ucapan lo sendiri." Wira tidak ingin kalah, dia sengaja memancing. "Terserah!" Radika nyaris berteriak karena marah. Dia bangkit dari sofa dan hendak pergi namun Wira mencegatnya. "Sorry, kalau gue nyinggung perasaan lo Radika." Wira sadar sahabatnya itu sedang berada dalam mood yang sangat buruk dan sedang tidak ingin bercanda. Radika berdiri dengan tatapan lurus ke depan dan tangan kanan mengepal. "Kalau lo enggak mau jelasin ke gue mendingan gue cabut dari sini! Gue malas denger perkataan lo yang hanya memojokkan gue!" ucap Radika kasar. Dia tidak bisa mengontrol emosi bahkan perkataannya sekarang. "Oke, gue minta maaf," ucap Wira mengalah. Radika tak bersuara. Tapi dia memilih untuk duduk kembali lalu mengambil botol mineral yang tergeletak di sofa dan menengnggakisinya hingga tidak tersisa. Dia sepertinya butuh waktu barang sejenak guna menenangkan diri. Reaksi yang dia ditunjukkan memang suka berlebihan jika sudah menyanngkut Sasmita beserta kedua kakaknya itu. "Gue yakin Arsa bakal melibatkan Sasmita dalam pernikahan ini. Alasan lain kenapa gue mencantumkan syarat pernikahan dalam kesepakatan yakni karena gue ingin menyelamatkan Sasmita dari kemungkinan menjadi korban akibat kesombongan dan keserakahan Arsa," jelas Wira serius. Dia sendiri menyadari alasannya itu tidak masuk akal dan sulit dipercaya. Radika masih diam. Namun gendang telinganya senantiasa siap siaga menangkap secara rinci kata-kata yang diucapkan Wira. "Ck, sebegitu pedulinya kah lo sama dia?" nada tak suka terdengar keluar dari mulut Radika. "Gue akui kalau gue belum pernah bertemu atau mengobrol secara langsung dengan dia. Entah kenapa firasat gue bilang, Sasmita hanya akan menjadi korban. Lo sudah tahu sendiri kan bagaimana sifat kedua kakaknya itu? Apalagi si Arsa," lanjut Wira menambahkan. Radika tampak tak tertarik. dia memasang ekspresi wajah datar. "Dari informan yang gue percaya, Sasmita sempat beberapa kali ingin dijodohkan dengan pemuda dari kalangan atas. Gue memang bukan pria baik-baik, tapi hampir semua pemuda yang ingin dijodohkan dengan dia itu berengsek setahu gue, suka mainin perempuan lah," sambungnya. Wira harap Radika bisa memahami betul maksud perkataannya. Radika diam beberapa saat sebelum akhirnya buka suara, "Haruskah gue peduli? Pentingkah gue tahu?" dia bertanya dengan nada sinis. Radika melayangkan tatapan tajam yang menusuk pada Wira. Salah satu sudut bibir Wira terangkat setelah mendengar ucapan sang sahabat. "Gue percaya hanya lo yang mampu melindungi dia saat ini Radika," sahutnya mantap. "Terserah! Gue nggak peduli!" Senyum misterius mengembang di wajah Wira. "Tolong lindungi dia lewat pernikahan ini, Rad. Gue percaya hanya lo yang bisa menjaga Sasmita. Lo pernah nanya ke gue bagaimana caranya membalas kebaikan yang gue lakukan ke lo? Nah, anggap aja menikahi Sasmita adalah permintaan khusus dari gue. Dan lo nggakboleh nolak, Rad!" Ya tujuh tahun yang lalu, Radika bertemu tidak sengaja dengan Wira di sebuah kedai kopi, disaat dia tengah putus asa dan tak tahu bagaimana melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya setelah lulus SMA sebab Radika tidak memiliki cukup uang untuk biaya kuliah. Di sisi lain dia tak ingin merepotkan kedua orangtuanya yang kala itu sedang mengalami masalah keuangan. Wira kemudian menawari Radika untuk bekerja di kantornya. Dia tentu menerima tawaran tersebut, walau harus berpisah sementara waktu dengan keluarganya sebab lokasi kantor utama Wira berada di Jakarta dan secara otomatis Radika juga harus melanjutkan kuliah di sana. Kini dia telah kembali ke kota asalnya. Wira mempercayakan Radika untuk menjadi pimpinan kantor cabang perusahaannya di kota ini. Dia bisa bernapas lega karena tak mesti tinggal berjauhan dengan keluarganya lagi. Perjuangan Radika tidak mudah. Kuliah sambil bekerja terasa begitu melelahkan dan cukup menguras tenaga serta pikiran. Dulu posisinya di perusahaan hanya sebagai pegawai biasa. Radika tidak menyangka jika dia akan mendapatkan posisi yang tak pernah sekalipun dia pikirkan. Mungkin semua ini berkat hasil dari kerja kerasnya beberapa tahun belakangan di perusahaan. "Lo boleh minta apapun ke gue tapi untuk pernikahan ini gue nggak bisa. Mending lo cari orang lain buat dilibatkan, jangan gue." Sebuah penolakan tetap meluncur dari mulut Radika meski Wira telah melarangnya. "Orang lain? Menurut gue lo orang yang paling tepat, Rad. Lo jauh lebih mengenal Sasmita dibandingkan dengan gue. Apalagi kalian pernah punya hubungan khusus, "kan?" Emosi Radika semakin meninggi, terlihat dari rahang wajahnya yang mengeras. "Jangan ungkit masalah lain! Terserah lo mau ngomong apa! Yang jelas gue nggak mau ikut campur! Jangan pernah berani lo maksa gue!" peringatnya keras. Radika bangkit dari sofa sambil menahan amarah. Lalu berjalan menuju pintu, berniat keluar. "Yakin lo kalau nggak ingin melindungi dia? Apa lo bakal sanggup lihat dia bersama pria lain? Terlebih lagi sama gue? Lo masih punya kesempatan sebelum penyesalan datang, Rad," tanya Wira dan seketika membuat Radika menghentikan langkahnya sebentar di depan pintu. Namun tiga detik kemudian, dia sudah meraih dan menarik gagang pintu agar daun pintu terbuka sepenuhnya. Dia berjalan keluar dari ruangan tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya. Tangan Radika yang dia masukkan ke dalam saku celana mengepal kuat. ............................... Sasmita memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah kafe tepat pada pukul satu siang. Perempuan itu mengusap peluh yang menempel di areal sekitar dahi dengan tisu lalu memoleskan bedak tipis hampir di seluruh wajahnya. Sasmita juga menyisir rambutnya yang berantakan dan memilih style kuncir kuda. Tak lama kemudian handphone miliknya berdering menandakan ada panggilan masuk. Sasmita langsung mengambil benda tersebut dari dalam tasnya. Tidak tampak ada senyuman menghiasi wajah perempuan itu ketika menatap layar handphone dimana nama seseorang yang meneleponnya tertulis di sana. "Aku sudah sampai di lokasi, Kak," ucap Sasmita tanpa ingin berbasa-basi mengatakan salam terlebih dahulu. Nada suaranya pun terkesan dingin dan tak tersentuh. ".................." "Baik. Aku akan segera bergabung," dia memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan si penelepon. ".................." "Tidak perlu berterima kasih, Kak." Nada bicara Sasmita semakin terdengar dingin. Ditambah dengan wajahnya yang tak menampakkan ekspresi apapun, datar dan sedikit terlihat pucat walau sudah dia coba tutupi dengan polesan make up. "..............." "Aku baik-baik saja. Aku bisa naik sendiri. Jangan khawatir, Kak," balas perempuan itu acuh. "..............." "Jangan membahas hal itu lagi, Kak. Maaf aku harus menutup teleponnya," ucap Sasmita lalu menekan sebuah icon di layar touchscreen ponselnya hingga mengakibatkan sambungan telepon antara ia dan sang kakak pun berakhir. Sasmita memasukkan benda berbentuk persegi panjang tersebut kembali ke dalam tasnya. Dia mengambil tongkat yang dia letakkan di jok kursi samping pengemudi. Perempuan itu lantas membuka pintu mobil. Kedua kaki dan juga tongkatnya menyentuh tanah secara bersamaan. Tangan kanan Sasmita bertumpu pada badan mobil sedangkan tangan kiri perempuan itu sedikit menekan tongkat guna membantunya berdiri. Setelah berhasil, dia segera menempelkan tongkat tersebut di ketiak sebelah kiri lalu menutup pintu mobil. Sasmita sejenak diam di tempatnya berdiri untuk mengatur keseimbangan antara tubuh dan alat penyangga yang hampir 10 tahun setia menemaninya itu. Meski sudah cukup lama, terkadang Sasmita masih suka kehilangan keseimbangan ketika berjalan alhasil dia harus pintar-pintar menyelaraskan langkah kaki serta tongkatnya agar tidak terjatuh. Hari ini Sasmita memilih kemeja polos lengan panjang warna biru dipadukan dengan skinny jeans dan flat sandals. Kafe tampak lengang, tak banyak pengunjung yang menghabiskan waktu makan siangnya di tempat ini. Perempuan itu mulai melangkah secara perlahan-lahan menuju tangga yang terhubung dengan lantai dua kafe. Ekspresi datar selalu terpatri sempurna di wajah Sasmita. Pandangannya lurus menatap ke depan tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang tengah mengamati gerak-geriknya. ............................ Fokus Radika tak mau teralihkan dari sosok itu yang tak lain adalah Sasmita, terhitung sejak matanya secara tak sengaja menangkap sosok perempuan yang sudah tujuh tahun tidak pernah dia jumpai itu turun dari sebuah mobil yang tepat terparkir di sebelah mobil miliknya. Radika tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Dia sempat tertegun beberapa saat dan mengabaikan mitra bisnis yang sedang melakukan sambungan telepon dengannya. Kehadiran Sasmita begitu menyita perhatian Radika. Dia tak menduga akan bertemu Sasmita lebih cepat, meleset dari perkiraannya. Hari ini Wira memang mengatur jadwal untuk bertemu Arsa di kafe yang terletak di sekitaran kota Denpasar guna membicarakan kesepakatan. Radika tidak menyangka jika Sasmita juga akan ikut hadir dalam acara yang Wira dan dia rencana. "Untuk penandatanganan kontrak nanti kita lakukan dua hari ya, Pak. Terima kasih telah bersedia menjalin kerja sama dengan perusahaan kami." ".............." "Sama-sama, Pak. Selamat siang." Radika lali menutup sambungan telepon tanpa melepas pandangannya dari sosok Sasmita, terutama sorot yang dipancarkan perempuan itu melalui dua manik hitamnya. Saat menelisik jauh ke dalam mata Sasmita, hati Radika mendadak berdenyut. Walau bertahun-tahun lamanya tidak pernah bertemu, dia masih dapat menyelami bagaimana perasaan perempuan itu. Sasmita semakin rapuh, begitulah pikir Radika. Sosok yang sedang berdiri dengan tongkat penyangganya itu jauh lebih terlihat lemah dari pada dulu ketika mereka berdua menjalin hubungan. Meski secara kasat mata Sasmita tampak kian mandiri, terbukti kini perempuan itu sudah dapat mengendarai mobil sendiri. "Aku ingin belajar naik mobil, Radi. Aku pengen kayak orang normal lainnya dan membuktikan kalau aku bisa. Aku nggaklemah." Salah satu sudut bibir Radika sedikit terangkat tatkala otaknya memutar kembali sebuah memori masa lalu, dimana Sasmita mengutarakan keinginannya sambil tersenyum lebar. Radika masih mengingat memori tersebut dengan jelas. "Kamu berhasil," gumamnya pelan tanpa sadar. Kaca mobil Radika tidak tembus pandang dari luar. Jadi Sasmita tak akan tahu jika seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya dulu sedang memperhatikan dirinya dengan saksama sekarang. ........................ Sasmita langsung mengedarkan pandangan ketika baru saja menginjakkan kaki di lantai dua guna menemukan keberadaan kakak-kakaknya. Menaiki beberapa anak tangga cukup menguras tenaga Sasmita, pasalnya dia sedikit mengalami trauma karena beberapa waktu yang lalu perempuan itu sempat terjatuh dan menyebabkan kaki kirinya terkilir. Tampak dari kejauhan seorang wanita dengan tinggi sekitar 160 cm setengah berlari menghampiri Sasmita. Nama wanita itu adalah Adisti. Dia merupakan kakak Sasmita yang nomor dua sedangkan kakak sulungnya bernama Arsa. "Aku bisa sendiri, Kak," tolak Sasmita dengan nada halus saat Adisti hendak membantu dia berjalan. Wanita itu hanya mengangguk seraya tersenyum hangat ke arah adik bungsunya. "Kakak kira kamu tidak akan mau datang sayang," ucap Adisti lembut. Mereka berdua melangkah beriringan menuju sebuah meja dimana ada Arsa dan seseorang yang tampak tengah melakukan diskusi. "Aku pasti datang Kak," jawab Sasmita menyunggingkan senyum sangat tipis nyaris tak terlihat. Meski dia tak ikut menjalankan perusahaan peninggalan orangtua mereka, tapi jika ada masalah yang berkaitan dengan perusahaan maka Sasmita akan melibatkan diri sebagai bentuk rasa tanggung jawab kepada mendiang ayah dan ibunya. Kali ini perusahaan tertimpa masalah lagi. Arsa meminjam sejumlah uang pada rekan bisnisnya untuk modal merintis usaha di bidang lain dan menggunakan perusahaan sebagai jaminan. Pinjaman Arsa pun sudah jatuh tempo dua bulan lalu, dia tidak bisa membayar lunas semua hutang-hutangnya. Alhasil perusahaan terancam akan diambil alih. Tak sengaja Wira dan Sasmita saling bersitatap saat perempuan itu berhasil mengambil posisi duduk di salah satu kursi kosong. Wira melemparkan senyum bersahabat pada Sasmita di awal pertemuan perdana mereka. Namun yang dia peroleh sebagai balasan hanyalah tatapan dingin serta ekspresi datar Sasmita. "Perkenalkan ini adik bungsu kami," ucap Adisti sopan pada Wira. Sasmita mengulurkan tangannya lalu memperkenalkan diri. "Sasmita Yudistia." Senyum bersahabat tetap terpampang di wajah Wira. Dia menjabat tangan perempuan itu. "Wira Krishna Saputra. Panggil saja saya Wira," balasnya dengan nada ramah. Momen jabat tangan di antara mereka hanya berlangsung singkat karena Sasmita menarik kembali tangannya. Seketika nama Radika muncul di benak Wira, dia penasaran bagaimana raut muka sang sahabat saat berjumpa dengan Sasmita. Wira yakin sahabatnya pasti sudah bertemu perempuan itu di areal parkir, mengingat Radika sedang menerima telepon dari mitra bisnis mereka di mobil. Jadi Wira memutuskan untuk meninggalkan sang sahabat dan lebih dulu menemui Arsa serta Adisti. "Baiklah kami menyetujui kesepakatan yang Anda ajukan," putus Arsa tanpa pikir panjang setelah membaca dokumen yang berisi sejumlah kesepakatan tersebut. Tujuannya saat ini adalah segera melunasi hutang dan tidak mengorbankan perusahaan. Tentu saja juga tak merugikan dirinya. Sudut bibir kanan Wira sedikit terangkat naik. "Anda yakin?" tanyanya basa-basi. Arsa mengangguk mantap. Dia membubuhkan tanda tangan pada lembaran-lembaran kertas sebagai bentuk resmi dari kesepakatan yang sudah dia setujui. "Yakin. Kami tidak akan merubah keputusan yang telah kami tetapkan," tanggap Arsa enteng terkesan arogan sembari menyerahkan dokumen tersebut pada Wira. "Jika Anda membatalkan kesepakatan yang ada. Maka Anda harus mempersiapkan diri menerima konsekuensi yang kami cantumkan dalam dokumen ini." Wira memainkan jari-jarinya di atas dokumen. "Kapan pernikahan akan diselenggarakan?" tanya Arsa mengalihkan topik pembicaraan. Dia ingin menuntaskan permasalahan ini segera agar bebannya berkurang. Sasmita menoleh ke arah Arsa saat mendengar 'pernikahan bisnis', senyum kecut menghiasi wajah perempuan itu. Kembali dia harus dihadapkan dengan situasi yang hampir 3 kali pernah dialami. Namun kali ini Sasmita tidak bisa berkelid seperti sebelum-sebelumnya. "Sesegera mungkin. Dari pihak Anda siapa yang akan ambil bagian?" Wira balik bertanya. Dia dan Arsa seolah-olah sedang membicarakan sebuah bisnis bukan pernikahan. Ralat, pernikahan yang memang didasarkan bisnis belaka. "Adik bungsu gue, Sasmita," jawab Arsa seenaknya lalu menyalakan sebatang rokok. Dia sama sekali tak memikirkan atau mau tahu bagaimana perasaan dan pendapatan sang adik tentang pernikahan ini. "Lo yang bakal nikahin adik gue kan? Lo Adiknya Wirya? Gue kenal baik sama kakak lo. Jadi perusahaan Putra Kencana lo yang pegang? Lebih baik pernikahan kalian segera digelar biar urusan gue juga cepat selesai," lanjut pria itu sembari menengnggakbir yang ada di dalam gelas dan menatap sekilas Wira. "Bukan dia yang akan menikahi adik Anda tapi saya Radika Danindra," suara berat milik seseorang berhasil mengundang kekagetan Arsa, Adisti serta Sasmita secara bersamaan. Mereka bertiga lantas menoleh ke arah pemilik suara berat tersebut. Deg!  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
120.1K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
289.1K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.4K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Fake Marriage

read
8.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook