You and I, are Destiny

"ENGGAK!!" Tiba-tiba, gelas berisi air lemon yang bersisa setengahnya lagi itu terlepas dari genggaman tanganku begitu saja, jatuh meluncur ke tanah dan menumpahkan isinya ke mana-mana. Tumpah meriah seperti hatiku yang hancur berantakan. Beruntung gelasnya tidak pecah dan aku tidak perduli meskipun hal itu sampai terjadi. Ku rasa, beberapa tamu undangan yang berdiri tak jauh dari posisiku pun spontan memusatkan perhatiannya padaku. Tapi demi Tuhan, aku tidak perduli! Aku ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Tapi tidak sebelum aku menghilangkan diriku sendiri dari kerumunan para tamu undangan di sini. Tubuhku seketika membeku, darah pun seakan berhenti mengalir, napasku seolah habis tersedot sehingga rasa sesak mendera di sekitar dadaku. Sakit sekali. Sakitnya melebihi dari saat aku terjatuh ketika sedang belajar bersepeda. Sekarang aku merasa lemas, lunglai dan tidak kuat lagi untuk sekedar menopang kedua kakiku yang sudah seperti agar-agar tak bernyawa. Aku nyaris ambruk tapi dengan sigap seseorang menangkap tubuhku agar tidak terjatuh merosot ke tanah yang beralaskan rumput yang dingin. "Ada apa denganmu?" tanyanya berbisik, aku bahkan mendadak lupa dengan nama pria yang menopang tubuhku sekarang. Aku tidak sanggup berkata apapun. Aliran sungai kecil sudah terbentuk di kedua belah pipiku. Jantungku serasa di hantam oleh palu gada yang berwujud transparan. Aku tidak kuasa jika harus bertahan di tempat menyakitkan ini. Aku gak sanggup! Perlahan aku melepaskan diri dari lingkaran tangan kekar yang melingkupi bahuku, memundurkan langkahku secara teratur agar bisa menjauh dari tengah-tengah tamu undangan yang kembali asyik terfokus ke arah panggung di depan sana tanpa mau memperdulikan keadaanku yang sudah berlinang air mata. Menyakitkan! Dua manusia itu kenapa teramat tega menusukku dari belakang? Mereka kenapa jahat sekali padaku? Apa salahku pada mereka? Sampai-sampai sahabat dan pacarku itu begitu tega menghunus hatiku. Menghunus dengan sangat kejamnya sampai-sampai aku merasa sesak dan sulit bernapas. Dengan senyuman bahagia yang terpancar di masing-masing raut wajahnya, aku lihat mereka pun saling menyematkan cincin pengikat di jari manisnya secara bergantian. Riuh tepuk tangan lantas menyeruak dari mereka yang turut berbahagia akan pasangan terkejam yang pernah kukenal seumur hidupku ini. Aku kecewa? Tentu saja. Perlakuan mereka berdua sungguh tidak bisa termaafkan. Tidak sama sekali. Kenyataan yang mereka tunjukkan di malam ini bahkan telah berhasil membuat duniaku jungkir balik dalam sekejap. Mengoyak hatiku menjadi serpihan-serpihan tak kasatmata.