bc

The Romance of Jasmine Tea

book_age18+
206
FOLLOW
1K
READ
powerful
brave
superhero
drama
bxg
mystery
ambitious
magical world
kingdom building
tricky
like
intro-logo
Blurb

Jira Sieli War, gadis cantik sebagai Jenderal kota Bunga. Melakukan perjalanan menemukan bunga melati untuk menyelamatkan penguasa kota Bunga. Terjebak asmara dengan pendekar hebat bernama Zuan Furo Kay.

Kisah mereka unik karena selalu bermasalah dan penuh petualangan. Tidak mudah membawa bunga melati dan ramuan teh melati ke masyarakat, itu membuat kisah cintanya bersama pendekar Zuan menjadi berwarna.

Cover by Aloegreen

Font : Milasian Circa by PicsArt

chap-preview
Free preview
Prolog
  Berhasil merebut sebagian wilayahnya kembali, kota Bunga menjadi lengkap. Namun, mereka sedih karena penguasa kota terluka parah. Menurut tabib kota, ratu Rui Cenchana terkena serangan dalam dari perang. Diperkirakan tidak bisa hidup dalam waktu lebih dua bulan. Itu memberi efek yang sangat besar. Semua tumbuhan dan bunga menjadi layu meskipun warnanya tidak hilang. Harum seluruh kota perlahan memudar. Seiring hari, semua bunga dan buah kehilangan rasanya. Membuat warga resah dan sedih. Kekuatan kota bunga perlahan melemah. Satu-satunya cara adalah menemukan penawarnya, yaitu teh dari ramuan bunga melati yang langka.    "Maafkan aku, Tuan Putri Sanna. Penguasa kota harus segera meminum penawarnya." ujar tabib sambil mengangkupkan tangannya.    Putri Sanna sangat gelisah. Menatap ibunya yang terbaring lemah.   "Tapi di mana kita mendapatkan bunga melati? Apa memang tidak ada ramuan lain? Sora, cepat periksa Ibu dengan benar! Kau ahli pengobatan yang hebat, 'kan? Periksa sekali lagi!" seru Putri Sanna menyuruh adiknya, Pangeran Sora.   "Kakak, jawabannya tetap sama. Kita harus temukan bunga melati itu," jawab Pangeran Sora dengan sedih.   Putri Sanna bingung. Dia berlutut di samping Ibunya.    "Ibu, penguasa kota bunga, Rui Cenchana. Bangunlah, Yang Mulia! Bunga membutuhkanmu." ujar Putri Sanna frustasi.    Dia menangis sambil menutup wajahnya. Semua orang menundukkan kepala, kecuali Jenderal perang kota bunga, Jira Sieli War. Gadis itu berdiri cantik dengan pakaian merah muda, hiasan bunga di kepala dan membawa seruling. Wajahnya sendu melihat pemimpinnya terbaring lemah. Bingung sedang berpikir sesuatu.    'Kota bunga bisa kehilangan pesona dan wibawanya. Penguasa kota harus sembuh. Kalau tidak, keharuman dan keindahan tidak akan ada lagi. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,' batin Jira.    Perlahan Jira melangkah sambil memegang erat serulingnya. "Tuan Putri Sanna. Aku bersedia mencari bunga melati untuk penguasa kota." ucap Jira serius.    Seketika semua orang menatap Jira.    "Jangan gegabah Jenderal Jira. Kalau kau pergi, bagaimana dengan keamanan kota?" tanya Putri Sanna.    "Pangeran Sora adalah orang yang hebat. Dia ahli bela diri dan pengobatan. Kekuatannya tidak diragukan lagi. Selagi aku mencari bunga melati, Pangeran Sora harus menjaga seluruh keamanan kota." jawab Jira memberi saran.    "Aku setuju. Aku akan menjaga kota dan merawat penguasa kota." jawab Pangeran Sora mengangguk kuat.    Jira juga mengangguk. Putri Sanna menatap Jira dan adiknya bergantian.    "Kalian yakin?" tanya Putri Sanna ragu.   "Tentu, Tuan Putri. Yang Mulia Rui harus sembuh. Kalau tidak, kota bunga bisa hancur." jawab Jira sedih.    "Tapi, bagaimana dengan lukamu? Lenganmu masih sakit, 'kan?" tanya Tuan Putri Sanna.    Jira memegang lengannya yang sakit sambil tersenyum. "Sakitku tidak sebanding dengan sekaratnya kota Bunga, Tuan Putri."    Tiba-tiba tabib kota berbicara. Membuat Jira dan semua orang memandangnya. "Di mana kau akan mencarinya? Banyak bunga di setiap penjuru kota. Hanya bunga melati yang tidak ada. Di negeri ini, bunga itu sangat langka. Meskipun kau menemukannya, itu akan sangat sulit, Jenderal," jelas tabib itu.   Jira membungkukkan badannya dengan mengangkat seruling di depan, "Akan aku lakukan, Tabib." ucapannya sangat meyakinkan.   Jira kembali menegakkan badan dan tersenyum. Tersentak saat Putri Sanna memeluknya. Jira sampai mundur beberapa langkah.    "Aku mohon padamu, selamatkan Ibuku. Selamatkan kota ini, Jira. Kau Jenderal yang hebat, aku yakin kau bisa menemukan bunga langka itu. Aku dan kota Bunga bergantung padamu." ujar Putri Sanna sambil menangis.   Jira melepaskan pelukan Putri Sanna dengan senyum. "Aku terima, Tuan Putri. Sebelum dua bulan, aku akan kembali dengan bunga melati yang banyak. Aku janji!" ucap Jira tersenyum cantik.   Tuan Putri Sanna mengangguk. Jira pamit pergi dari istana kota. Kabar jika Jira pergi mencari bunga langka sudah menyebar dengan cepat keseluruh sudut istana kota. Saat Jira keluar gerbang, semua yang tinggal di istana mendoakannya. Dia berlari menuju rumahnya, tidak menghiraukan sapaan orang-orang yang senang dengannya. Gadis cantik dan pemberani. Selalu bermain seruling dengan merdu, membuat tumbuhan dan bunga ikut menari. Namun, serulingnya juga setajam berlari. Alat musik sekaligus senjata perang. Dia hanya melawan dengan seruling meskipun pandai menggunakan pedang. Anehnya, kekuatan yang Jira miliki berbeda dengan yang lain. Dia hanya bisa merubah warna bunga dan tumbuhan, selain itu tidak bisa. Karena itu rumah Jira sangat berbeda dan mencolok. Setiap hari dia mengganti warna tumbuhan di rumahnya. Pohon warna-warni, itu hanya ada di rumah Jira.    Sesampainya di rumah, Jira segera mengemasi barang-barang. Beberapa pakaian, senjata kecil, dan sisa uang yang dia miliki. Semua ada dalam kain besar yang tertali rapat.    "Aku tidak punya banyak waktu. Mumpung masih muda, buatlah hal yang baik. Sekalian aku berkelana dalam waktu singkat, haha. Aw, sshh, lenganku masih sakit gara-gara perang." gumam Jira sambil berbenah. Tidak memperdulikan lukanya yang terasa perih. "Sepertinya lukaku terbuka," lanjut Jira.    Meringis semakin sakit, dia memegang lengannya. Sedikit darah merembes dari pakaian ke tangan. Jira melihat darah itu dengan dahi mengkerut. Mengingat peperangan perebutan wilayah yang membuat kotanya akan hancur jika penguasa kota Rui tidak sembuh.    "Luka ini tidak sebanding dengan kota Bunga yang sekarat." gumam Jira.    Tiba-tiba seseorang memanggilnya dengan sangat keras membuat Jira kaget. Jira segera menuju halaman depan dan menemui orang itu. Dia terbelalak. "Pangeran Sora? Kenapa Pangeran kemari?" tanya Jira tanpa sopan. Dia terlalu kaget dan masih memegang lengannya yang berdarah.    Bukannya menjawab, Pangeran Sora justru mendekat dengan ekspresi khawatir. Dia meneliti lengan Jira, tetapi Jira memundur.    "Jira, sudah kuduga lukamu terbuka. Aku ke sini untuk mengobatimu. Aku mengejarmu tadi, kupikir kau sudah pergi. Syukurlah masih sempat, biar aku lihat lukamu!" pinta Pangeran Sora menggebu-gebu.    Jira sedikit ternganga kemudian tertawa renyah. "Ah, Pangeran sangat perhatian. Ini luka kecil, sebentar lagi juga kering. Pangeran tidak perlu susah payah." jawab Jira dengan gerakan tangan menolak.    "Ck, masuk, Jenderal Jira!" titah Pangeran Sora.    Jira mengangguk ragu. "Baik!"    Jira masuk dengan paksaan Pangeran Sora yang mengikutinya di belakang.    "Duduk dan perlihatkan lukamu, cepat!"    Jira hanya mengangguk pasrah dan mendekatkan lukanya.   "Jira, kau tidak mau menurut. Kalau aku memerintahmu sebagai pangeran, baru kau menurut. Teman macam apa kau ini?" ucap Pangeran Sora sambil menyobek pakaian Jira di lengannya yang berdarah.    "Hei, apa yang Pangeran lakukan?" tanya Jira ingin menarik tangannya kembali, tetapi ditahan Pangeran Sora. "Diam! Kau mau sembuh tidak?"    Seketika Jira terdiam. Melihat Pangeran Sora mengambil kantung di pinggangnya. Dahi Jira berkerut, berpikir jika itu adalah obat. Dugaannya benar, kantung itu berisi bubuk berwarna hijau dan Pangeran Sora menuangkan bubuk itu ke tangannya. Jira semakin heran saat Pangeran Sora menutup mata dengan berucap tanpa suara seakan membaca mantra. Lalu, mengoleskan bubuk itu ke lukanya. Jira meringis menahan perih.    "Tahan saja. Obat ini sangat mujarab. Dalam semalam lukamu akan sembuh." ujar Pangeran Sora tanpa menatap Jira yang mendesis sakit.   'Dia pasti ada maunya,' batin Jira.    "Terima kasih. Pangeran sangat murah hati." ucap Jira tersenyum manis.   Melihat sang pangeran yang usianya lebih muda darinya itu masih mengobati lukanya. Namun, wajahnya sangat murung.    "Ada yang menganggumu, Pangeran?" tanya Jira di sela ringisannya.   Pangeran sekaligus temannya itu tersenyum pahit tanpa mendongak. "Aku tidak sehebat dirimu dalam bela diri. Apa aku bisa menggantikan posisimu sementara waktu?"    Jira tersentak. 'Ternyata dia tidak percaya diri. Jujur, aku juga tidak tega memberikan tanggung jawab ini pada Pangeran Sora. Dia masih terlalu muda, tapi kemampuannya cukup hebat di banding yang lain,' batin Jira.   "Hmm, apa kau mau bertukar posisi denganku, Pangeran? Tabib kota bilang kalau perjalananku sangat sulit." goda Jira tersenyum manis.   Pangeran Sora mendongak dan melepaskan tangan Jira paksa. "Aku saja tidak yakin bisa menjaga kota. Bagaimana bisa melakukan pencarian ke seluruh penjuru negeri? Kau sudah gila, ya!?" pekiknya.    "Haha, justru itu kau harus tetap di sini. Yang Mulia Rui membutuhkan keahlianmu untuk membuatnya tetap bertahan sampai aku membawa bunga melati untuknya. Jangan berkecil hati, Pangeran. Kau yang terbaik saat ini. Aku bergantung padamu. Yakinlah jika kau bisa melindungi kota Bunga. Aku khawatir jika musuh kembali menyerang dan memanfaatkan keadaan." ujar Jira serius di akhir ucapannya.    Pangeran Sora mendesah, "Aku berharap ada ksatria atau pendekar yang membantuku. Dengan begitu aku bisa lega."   "Jangan jadi pengecut, Pangeran! Bergantung pada orang lain itu bukan sifat pemberani! Kalau kau mengaku temanku, maka beranilah sepertiku! Jangan merengek seperti anak kecil!" seru Jira menasehati dengan tegas, sampai Pangeran Sora melotot kaget.    "Kau... Teman yang menakutkan!" balas Pangeran Sora.    Jira memudarkan kerutan di dahinya. Tersenyum merasa bersalah dan meminta maaf sambil menunduk.   "Huft, baiklah. Jika Jenderal yang hebat Jira sudah bicara, apa dayaku? Haha, aku, prajurit, dan tabib di sini akan bekerja keras. Kau tidak akan berjuang sendirian!" seru Pangeran Sora dengan semangat.    Senyum Jira merekah. "Bagus! Putri Sanna sementara akan memimpin kota. Dia sangat baik, bersama penasehat pasti tidak akan terjadi masalah. Jujur, Pangeran, aku cemas karena Yang Mulia Rui sakit parah."    Pangeran Sora mengangguk membenarkan Jira. "Aku akan mengantarmu sampai perbatasan!" pintanya.    "Tidak perlu, Pangeran! Aku akan bawa Cen Cen. Lebih baik kau kembali ke istana kota." saran Jira setelah menggeleng.    "Baiklah, hati-hati, Jira. Kami semua mempercayaimu. Aku pergi dulu." ujar Pangeran Sora dan Jira mengangguk dengan senyum. "Kabari aku jika kau dalam bahaya. Biar aku bisa mengerahkan bantuan!" teriak Pangeran saat sudah agak jauh.    Jira hanya tertawa dan mengangguk. Melambaikan tangan pada Pangeran Sora yang sudah hampir tidak terlihat. Dia menghembuskan napas panjang.    "Dia penuh perhatian. Kota Bunga beruntung punya pangeran seperti dia. Sayangnya ragu dengan kemampuannya sendiri." gumam Jira masih memandang jalanan.    Kembali meringis saat bubuk obatnya bereaksi. Memegang lengannya dengan perlahan sambil masuk ke dalam kamar. Dia menyelesaikan berbenahnya yang tertunda dan mengganti pakaian. Tentu saja masih warna merah muda yang membalut tubuhnya. Dia tidak terlihat seperti Jenderal, melainkan gadis cantik yang ramah.    Membawa persediaannya yang sangat ringan dan mengunci setiap pintu rumahnya. Seruling bambu selalu tertancap di ikat pinggang dan rambut tertata rapi. Jira menuju belakang rumah di mana Cen Cen sudah siap untuk pergi jauh bersama Jira. Meringkik dengan percaya diri seakan menyuruh Jira naik. Jira tersenyum lebar. Kuda putih itu selalu mengerti dirinya. Kuda yang menemani Jira disetiap perjalanannya.    "Hai, Cen Cen. Kali ini akan sangat melelahkan. Ayo kita pergi cari bunga langka itu! Kau siap?" tanya Jira menepuk leher kudanya.    Ringkikan sekali lagi menjadi jawaban, membuat Jira tertawa. Dia naik ke punggung Cen Cen dan pergi. Berhenti sebentar saat sampai di perbatasan kota. Jira menatap kotanya dengan murung. Semua bunga di sana seakan mengantar Jira dengan harapan kesembuhan. Berubah menjadi penuh tekad, Jira keluar perbatasan. Tidak tahu akan mencari ke mana. Dia menyusuri jalan sampai malam dan berhenti di tengah hutan.   Jira menatap sekeliling. Hijau yang sangat tua, tidak peduli daunnya masih muda, tetap saja warnanya hijau tua. Jira tahu dia berada di hutan kembar. Sebelah sisi hutan akan ada jurang pemisah hutan lain yang semua daunnya berwarna hijau muda. Turun dari kudanya dengan mata masih meneliti. Tidak ada bunga sama sekali, hanya pohon dan semak belukar. Jira menuntun tali kudanya, berjalan mencari tempat istirahat. Sunyi tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia maupun hewan besar. Jira menatap langit yang cerah. Hujan tidak akan turun dan dia bisa istirahat dengan tenang.   Berhenti di sebuah pohon besar yang beberapa akarnya keluar dari tanah. Mengikat kudanya di pohon dan menyuruhnya istirahat. Jira menghela napas lelah dan duduk bersandar pohon. Menata rambutnya yang sedikit berantakan lalu menatap kudanya yang mulai tertidur.    "Cen Cen, jadilah kuda yang baik, ya. Temani aku untuk selamatkan kota." gumam Jira mengelus kepala kudanya.    "Di sini tidak ada yang kita cari, kita lanjut besok. Hoamm, aku ngantuk sekali. Selamat malam, Cen Cen." gumam Jira lagi lalu memejamkan mata.    Tidur dalam kondisi duduk bukanlah hal baru bagi Jira. Sayangnya, instingnya bekerja dan membuatnya kembali terjaga. Matanya spontan terbuka. Tanpa bergerak, mengawasi dengan waspada. Mendengar pergerakan yang sangat hati-hati seakan mengancam dirinya. Dengan tenang Jira sudah bersiap diri.   Tiba-tiba bunyi nyaring empat pedang tercabut dari sarungnya dan menghunus tepat di depannya. Bersamaan dengan Jira yang bangun sambil mencabut seruling dan menepis semua pedang tajam itu. Empat orang itu memundur hampir jatuh. Jira berdiri tegak memandang tajam.    'Perampok? Di hutan ini?' batin Jira.    Penampilan mengerikan yang Jira yakini sebagai perampok. Heran karena Jira melawan, tetapi mereka berubah meremehkan.    "Oh, merah muda yang sangat cantik! Kenapa kau ada di tempat ini? Aku pikir kau pengembara dan aku akan merampok kudamu." ujar salah satu dari mereka dengan senyum remeh.    Jira semakin menatap mereka tajam. Empat orang yang membawa pedang dengan baik. Jira pikir mereka pandai bermain pedang.    "Tunggu dulu! Dia adalah Jenderal di kota Bunga. Jangan tertipu dengannya!" seru salah satu dari mereka menunjuk Jira dengan pedangnya.    Jira tersenyum bodoh, "Haha, kau mengenalku, ya? Terima kasih, aku hanya gadis biasa." ujar Jira sambil mengibaskan tangannya. Tidak waspada dan terlihat ceroboh.    Mereka tersentak. "Jenderal... Kota Bunga? Kau? Hahaha, lelucon apa ini?" tawa orang yang pertama kali bicara. Tampak sangat menonjol dari ketiga temannya. Jira hanya melirik.    "Diam, Teruwang! Dia seorang Jenderal! Ayo kita pergi kalau tidak mau dalam masalah!" ujar yang mengenal Jira membentak orang yang bernama Teruwang itu. Seketika Teruwang berhenti tertawa. "Masa bodoh! Tidak mungkin dia Jenderal! Hanya gadis lemah yang tersesat! Hiyaaaa!!!" seru Teruwang menunjuk Jira dan menyerang.    Mata pedangnya mengarah tepat ke perut Jira. Ketiga temannya hanya diam menyaksikan. Mereka heran karena Jira hanya diam. Namun, dalam sekali tangkis, pedang Teruwang jatuh dan dia tidak berdaya. Teruwang mundur beberapa langkah gemetar tidak percaya. Teman-temannya juga ikut mundur ketakutan. Teruwang menoleh ke belakang meminta bantuan. "Jangan diam saja! Ayo serang!"    Mereka saling pandang lalu menyerang Jira. Gerakan yang sama, hanya dengan satu tangkisan tiga pedang itu jatuh. Teruwang terkejut lagi. Dia kembali ikut menyerang. Kali ini Jira tidak diam. Dia rasa sedikit bermain tidak masalah. Mempermainkan mereka yang hanya bisa mengayunkan pedang tanpa mengenai Jira meski seujung pakaiannya. Jira terkikik saat mereka merasa lelah dan berhenti dengan sendirinya. Jira kembali berdiri tanpa beban di dekat kudanya.    "Hei, kenapa berhenti? Ayo main lagi!" ajak Jira semangat.    Mereka kompak menggeleng dengan napas terengah.    "Siapa kau?" tanya Teruwang sambil memasukkan pedangnya dalam sarung.    "Iya, kau berkelahi tanpa melukai kami, justru menganggap ini permainan? Satu perempuan lawan empat laki-laki. Kenapa kau tidak takut?" tanya yang lain.   Jira tersenyum menatap mereka satu per-satu. "Benar, aku Jenderal dari kota Bunga. Namaku Jira Sieli War. Siapa kalian? Kenapa ingin mengambil kudaku?" jawab Jira sekaligus bertanya.    Mereka tersentak. "Sudah aku bilang. Dia itu seorang Jenderal!" ujar yang mengenal Jira.    Jira hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala. Teruwang merasa sangat bersalah. Dia perlahan mendekat dengan menangkupkan tangan. Tiba-tiba berlutut di depan Jira, membuat Jira terkejut. Sedikit ternganga kala Teruwang menangis dan perampok lain ikut berlutut di sampingnya.    "Jenderal! Tolong maafkan kebodohan kami. Aku tidak mengenalimu sama sekali. Ampuni kami!" isak Teruwang membungkukkan badan di ikuti tiga perampok lainnya.    "Jangan begitu! Aku bukan Jenderal menyeramkan seperti kalian kira. Aku lebih suka bercanda. Bangunlah, ceritakan diri kalian dan jawab pertanyaanku!" pinta Jira sambil duduk.   Para perampok itu ikut duduk dengan baik. "Aku Teruwang, ketua mereka. Kami perampok dari bukit sana." Teruwang menunjuk arah barat. "Maaf sudah berniat mengambil kudamu, Jenderal. Kami merampok satu tempat ke tempat lain. Hah, hidup kami memang buruk. Hukumlah kami! Akan sangat beruntung di hukum oleh Jenderal ramah sepertimu." lanjut Teruwang memohon lagi dengan tangan terkantup.    Jira berpikir sebentar. "Emm, Teruwang? Boleh aku memanggilmu dengan paman Uang? Namamu mirip uang, haha." tawa Jira ringan. Mereka terheran lagi. "Aku tidak akan menghukum kalian. Asalkan kalian mau menurutiku." sambung Jira.    Mereka mengangguk cepat. "Apapun, Jenderal. Kami akan mengikuti perintahmu. Kami bersedia menjadi pengikutmu." ujar Teruwang. Tiba-tiba Teruwang berubah ekspresi. Dia berbisik pada temannya. "Malunya kalah sama perempuan cantik. Siapa yang sangka kalau dia Jenderal?"    "Jangan kalian pikir karena aku perempuan jadi terlihat lemah. Kota Bunga bahkan lebih dari itu." Jira mendengar bisikan Teruwang, membuat mereka terkejut. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.8K
bc

T E A R S

read
312.4K
bc

OLIVIA

read
29.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
145.8K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
919.2K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook