bc

My Lover

book_age18+
111
FOLLOW
1K
READ
drama
like
intro-logo
Blurb

Bertemu kembali denganmu.

Menatap sempurnanya wajah cantikmu.

Menghancurkan keheningan yang selama ini telah menguasai relung diafragma di dadaku, sedetik setelah kembali kutatap mata indah milikmu.

Kau yang dulu amat sangat kucintai.

Tapi dengan tega, kau meninggalkanku, membawa separuh nafas dan jiwaku bersamamu.

Membuatku kehilangan arah dan tujuan, sampai aku berharap pada Tuhan, untuk membawa sisa nafasku saat itu juga.

Barra Pradipta Anugrahing.

Jika dahulu aku meminta Tuhan menghukumku dengan memisahkan aku darimu, karena aduan dunia yang mengaku cemburu pada sosok sempurnamu.

Tapi sekarang dengan satu jentikan dari kebesarannya, semua yang dulu kutinggalkan telah kembali.

Tuhan yang selalu berbaik hati, sepertinya tengah mengajakku bercanda, dan menghadirkanmu kembali kedalam kehidupanku.

Aku yang dengan tidak tahu malu berani mencintaimu dan aku juga yang memilih pergi meninggalkanmu, karena besarnya rasa takut yang kala itu menguasaiku.

Ratna Manggalih.

Aku membutuhkanmu, tak akan kurelakan kau kembali padanya, sebaik apapun dia, aku tidak akan melepasmu.

Akan kugunakan segala cara, meski aku harus mematahkan kakimu, agar kau tak lagi bisa melangkah pergi dan meninggalkanku.

Emka Abheek Adirata.

Kisah cinta sang dokter tampan dengan kekasih masa lalunya, pertemuan yang tidak sengaja antara mereka berdua, membuat hati mereka yang dipenuhi rasa marah dan kecewa, kembali berkobar dan mulai menabuh genderang perang.

Tapi di sisi lain, benarkah cinta itu telah sirna sepenuhnya, dan takdir mereka membuat hubungan yang pernah terputus harus terjalin kembali oleh keadaan.

Akankah mereka bersatu?

Di saat salah satunya sudah memulai lembar cinta yang baru.

Lembar cinta yang penuh luka dan lebih banyak air mata.

chap-preview
Free preview
1.DESTINY
BARRA POV. Berkas rekam medis itu terlepas dari genggamanku, jemariku mulai gemetar, diikuti laju nafas yang kutarik semakin cepat. Tubuhku mulai menegang, di saat membaca nama yang tertulis di sampul map tebal berwarna biru itu. Nama yang dulu begitu sering kuucapkan, pemilik nama itu adalah perempuan yang dulu sangat kupuja, yang menguasai isi kepalaku. Tapi sepertinya cinta dan perhatianku membuatnya muak dan memilih pergi meninggalkanku, mencampakkanku, dengan membawa separuh jiwa dan nafasku. "Dokter," panggil perawat di sampingku yang bernama Anggi, panggilannya yang lembut membuatku tersadar dari rasa terkejut sesaat yang tengah kurasakan. Anggi memungut rekam medis itu dan menyerahkannya padaku, kuterima berkas itu dengan cepat, membuka lembarannya dan kembali membaca, sembari berdehem beberapa kali untuk mengembalikan kesadaranku, karena leherku terasa tercekat membuatku hampir tak bisa bernafas. "Pasien dengan, Nona Ratna Manggalih?" tanyaku, dengan suara pelan, seakan aku tengah berbisik dengan lawan bicaraku. Pandangan matanya tertuju padaku, dengan bola mata membulat sempurna, seakan ingin terlepas dari pelupuknya berada. Sedetik kemudian, tangan kirinya meraih masker yang menutup sebagian wajahnya, dilepasnya masker itu dengan cepat, membuat wajahnya kini terpampang jelas di hadapanku. Tatapannya membuatku hanya mampu terdiam dengan d**a yang mulai bergemuruh, jantungku berdetak lebih kencang mulai Takikardia. Telapak tanganku berkeringat, sembari berusaha berdiri lebih tegak, tak lupa membenarkan masker yang kupakai. Dia mulai menurunkan kakinya dari atas brankar dengan selang infus yang masih menempel di tangan kirinya dan mulai melangkahkan kakinya berjalan mendekatiku. Suara roda tiang infus mulai terdengar berdecit mengikuti setiap langkah kakinya, yang semakin mendekat padaku. "Nona, Anda tidak boleh turun dari brankar, mari naik dan silakan berbaring!" sergah Anggi dengan cepat mendekat, meraih dan menahan kedua bahunya. Dia bergeming, masih memandangku dan terdiam, dan tidak berkata apa pun adalah kebiasaannya saat dia merasa ragu. "Bar...ra," ucapnya terbata, membuat dadaku serasa terhantam sebuah batu mendengar suara itu, suara yang dulunya mampu membuatku bahagia. "Nona kenal dengan Dokter Barra?" tanya Anggi tiba-tiba, setelah mendengarnya mengucapkan namaku. "Mohon bantuannya, Nona, hari ini saya yang akan menangani operasi Anda," ucapku, menyodorkan tangan kananku padanya. Aku adalah dokter, meski aku benci pada seseorang, aku harus tetap profesional, tidak boleh mencampuradukkan masalah pribadi dan profesi, meskipun itu ucap logikaku, bukan berasal dari dalam hatiku. "Batalkan operasinya, Suster!" serunya tiba-tiba dengan suara meninggi, membuang mukanya dari hadapanku dengan muka kesal. "Apa maksudmu?" tanyaku mulai tersulut emosi, mendengar nada bicaranya. "Batalkan operasinya, atau bila ada, saya minta dokter diganti, saya tidak mau dia yang menangani saya!" bentaknya pada Anggi, sembari menunjukku dengan jari telunjuk. "Apa maksud Anda, Nona?" Suaraku ikut meninggi, tanganku meremas map rekam medisnya lebih erat, karena jujur sangat sulit untukku saat ini untuk menahan amarah ini lebih lama. "Aku tidak mau kau menyentuhku lagi!" Matanya memerah, dengan pandangan tajam, seakan aku adalah barang busuk yang begitu menjijikkan di matanya. "Jadi begini perlakuanmu setelah pengkhianatan yang sudah kau lakukan, Cih, dasar perempuan tak tau malu!" seruku dalam hati, mengeratkan gigiku, tak sampai hati jika aku berteriak, setidaknya aku masih punya harga diri. "Aduh!" erangnya tiba-tiba, jatuh terduduk di hadapanku. Peluh mulai bercucuran di dahinya, meskipun ruangan kami berada sangat dingin dan terasa menusuk untuk kulit telanjang. Hampir saja aku berlari mendekat, mengikuti instingku sebagai dokter yang melihat pasien kesakitan, tapi untungnya Anggi mendahuluiku untuk membantunya. "Nona, mari saya bantu," ucap Anggi memapah tubuhnya kembali naik ke atas brankar. "Ada apa ini, Dok?" tanya Andi yang tiba-tiba datang, berjalan mendekat padaku. Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, membuat Andi terlihat kebingungan dan memilih mendekat padanya yang tengah dibantu Anggi. "Andi, kamu lapor pak Bowo, pasien menolak dokter penanggung jawab, cepat!" perintah Anggi dengan muka garang melirikku yang memilih diam saja. "I...iya," jawab Andi terbata bata, memandangku mengangguk dan bergegas berlari keluar dari ruangan transit pasien. "Jika pasien tidak ingin saya yang melakukan tindakan, kita batalkan saja, suruh dia tanda tangan formulir penolakan tindakan, saya masih banyak pasien yang butuh bantuan!" ucapku setelah melihat dokter Bowo datang bersama Andi. Aku adalah seorang dokter, dan sudah berusaha menahan egoku di depannya, tapi dengan tidak tahu malu, dia justru bersikap arogan di depanku, dengan taruhan dirinya sendiri yang harus gagal menerima tindakan hari ini. "Dokter, bagaimana ini?" tanya Anggi padaku yang akan beranjak pergi. "Sudah, Suster, saya yang meminta, jangan memaksa, ataupun meminta dia melakukan tindakan," ucapnya mencekal tangan Anggi. "Tapi, Nona!" seru Anggi dan beralih memandangku, tapi tak lama butuh waktu lama, Anggi pun dengan cepat menunduk menghindari kontak mata denganku. "Tidak apa-apa, Suster, saya kembali ke ruang rawat inap saja," ucapnya dengan senyum yang terlihat dipaksa. Aku memilih untuk pergi dan menemui pak Bowo yang berjalan tergopoh-gopoh mendekat padaku, dan setelah kujelaskan duduk permasalahan dia hanya mengangguk dan memintaku menangani pasien selanjutnya. Aku sendiri kadang tidak percaya dengan diriku, apa yang sebenarnya kulihat dari dirinya, sampai membuatku mencintainya dengan membabi buta. FLASHBACK 2 tahun lalu. Aku kembali setelah 4 Tahun menempuh pendidikan subspesialisku di sebuah universitas luar negeri, kembali menginjakkan kakiku di rumah ini terasa sangat berat untuk kulakukan, rumah ini adalah tempat kami hidup bersama, walau kami belum menikah. Tempat pertama yang aku datangi adalah kamar tidur kami, kurebahkan tubuhku di atas ranjang, memeluk bantal miliknya, aku masih bisa mencium bau harum tubuhnya di ranjang ini, seakan dia masih ada di dalam rumah ini. Kuremas kertas yang ada di genggamanku, kubiarkan tangisan yang selama ini kutahan, aku meraung dengan kencang sembari terus memanggil namanya. Sampai aku lelah, dan tanpa sadar ingatanku kembali mengingat masa 4 tahun yang lalu, saat terakhir aku memandang wajah cantiknya. *** "Besok aku berangkat, Sayang," Aku bicara sembari merebahkan kepalaku di atas pangkuannya, yang sedang membantuku untuk mengepak semua keperluan yang akan aku bawa, karena besok siang, aku sudah harus berangkat. "Hm," jawabnya dengan bergumam dan kembali memasukkan beberapa baju ke dalam koperku. "Kok gitu, kamu nggak kangen pisah sama aku?" tanyaku merajuk, berganti merangkul pinggangnya. Tak berapa lama, terdengar tawa yang menggema dalam kamar tidur kami, wanita yang kuajak bicara ini sedang tertawa sambil menggelengkan kepalanya, berulang kali. "Astaga, Barra, kamu berangkat saja belum, mau kangen gimana," jawabnya membelai rambutku, namun, tak lama dia melepas rangkulanku dengan paksa, kemudian berdiri menuju kearah lemari, kembali mengambil beberapa barang milikku. Aku hanya bisa mencebik, dan merasa sangat kesal, inilah sifat kekasihku yang akan kutinggalkan selama 4 tahun lamanya, sungguh tak berperasaan. Di saat aku tengah merajuk, dia justru tertawa terpingkal-pingkal karena ucapanku, meski dia 4 tahun lebih muda dariku, tapi karena kecerdasan yang dia miliki membuatnya mampu mempersingkat masa belajar formal, sehingga pendidikannya sekarang sudah menyamaiku. Di usiaku yang sudah menginjak 29 tahun, dan telah memegang gelar dokter spesialis bedah, aku masih bernafsu meneruskan pendidikanku untuk mendapatkan mendapat gelar subspesialis yang sudah lama aku impikan. Saat aku mengatakan keinginanku padanya, kalian pikir dia akan nangis, karena tidak ingin ditinggalkan terlalu lama, maaf sekali, kalian salah besar. Satu akibat yang harus aku terima, saat memilih bersama dengan wanita mandiri, dia tak akan pernah menahanku, hanya untuk bermanja-manja, masa depan sangat penting baginya dan pendidikan adalah prioritas utamanya. "Sayang...," panggilku mencoba menggodanya lagi dengan suara manja, menepuk nepuk ranjang di sebelahku. "Apaan sih!" bentaknya dengan alis mata yang menyatu, dan kembali sibuk dengan barang-barang di tangannya. "Cuddle, yuk," ucapku merebahkan diri di atas ranjang dengan pose menggoda yang sering aku lakukan. "Apa sih, yang jelas kalo ngomong kamu, udah bikin catatan apa aja yang butuh, kalau lupa bagaimana, seenggaknya kalau kamu gak mau bantu aku nyiapin keperluan kamu, sana kamu keluar biar aku yang lakuin!" bentaknya lebih keras padaku. "Omongan kamu pedas banget sih, Yang!" seruku tidak terima, membuatku memilih untuk tengkurap, tidak mau lagi menggodanya, "Aku kan cuma ingin mesra-mesra'an, tapi kenapa malah di bentak-bentak, salahku apa sih?" tanyaku dalam hati dengan perasaan dongkol. "Mulut aku memang tajam dari dulu, Sayang!" ujarnya, membuatku memilih mengalah dan berbalik badan memeluk guling. Selama beberapa menit, aku masih mendengar langkah kakinya mondar mandir, sampai akhirnya aku mendengar suara koper yang ditutup dengan keras. Membuatku menoleh dan menemukannya berjalan mendekat padaku, membuatku refleks terbangun dan menyambutnya. Tapi bukannya memelukku yang tengah merentangkan tangan, dia mengangkat tangan kirinya dan memukul pahaku dengan keras, sampai suara pukulannya terdengar mengerikan di telingaku. "Aduh, Yang, kenapa kamu pukul aku sih?" tanyaku sembari mengusap paha yang terasa nyeri bukan main. "Kamu sih, udah syukur kamu aku bantuin, ini malah gelendotan gak jelas!" bentaknya sambil bertolak pinggang. "Kamu tuh sekarang jahat banget, nggak kayak dulu, perasaan dulu kamu itu lemah lembut, kenapa sekarang garang sih?" tanyaku protes, namun, alih-alih mendapat perhatian, yang terjadi aku justru tidak dia pedulikan, karena kesal, kutendang semua bantal dan guling yang tertata rapi di atas ranjang sampai jatuh ke lantai berceceran. Setelah puas, aku memilih menyender di kepala ranjang, menekuk wajahku dan memilih bermain ponsel, tapi tak lama aku jengkel sendiri karena masih tidak dipedulikan olehnya. Semakin dekat waktu keberangkatanku entah kenapa kami berdua semakin sering bertengkar, aku sendiri jadi sensitif, dengan sesuatu yang sebenarnya sepele. "Yang...," panggilku kesekian kalinya. "Apa!" bentaknya dengan tatapan tajam padaku, membuatku menghindari kontak mata dengannya, karena aku mulai takut, jika dia sedang seperti ini. "Kamu beneran nggak papa, aku tinggal selama 4 Tahun?" tanyaku lirih. "Denger ya, Bar, cuma 4 Tahun 'kan, aku bahkan bisa nunggu selama 10 tahun, jika itu yang kamu mau!" jawabnya. "Nanti kalo aku pergi, kamu jangan lupa tiap hari chat aku yah, walaupun aku gak bisa langsung balas, seenggaknya kalau aku udah istirahat langsung aku bales kok, Yang," "Kamu itu kenapa sih, kita kan cuma pisah sementara bukan selamanya," jawabnya dengan suara melembut, mendekat padaku, dan akhirnya memelukku. "Gimana kalau kita nikah dulu, Yang, baru aku ngelanjutin sekolah lagi," Tiba-tiba sebuah ide brilian muncul di kepalaku, tapi entah apa salah ucapanku, dia kembali memukul pahaku lebih keras, dan melepas pelukannya. "Nikah, kamu pikir nikah segampang itu, emang kamu udah bisa membahagiakan orang tua kamu, apa yang sudah kamu kasih buat mereka, Hah!" bentaknya semakin histeris. "Ya elah, Yang, itu nanti bisa kita pikirin sambil jalan," jawabku sembari mengusap pahaku yang terasa semakin nyeri. "Dih ogah, aku mah tata dulu hidup kamu, baru kalau udah sukses kita kawin, paham'kan?" "Iya deh, iya," ucapku menyerah. Ratna selalu membawa-bawa nama orang tuaku, selalu mengingatkanku untuk membalas budi pada orang tuaku dulu, baru setelah itu membangun masa depanku, sebenarnya ucapannya tidak salah, hanya saja aku sudah sangat mantap dengannya. Aku takut kehilangan, apalagi LDR bukanlah hal yang mudah, karena jarak dan berkurangnya intensitas bertemu. Mungkin sebaiknya aku tidur, berdebat dengannya terus menerus tidak akan ada gunanya, aku selalu kalah, karena dia selalu bisa menjawab ucapanku. "Bar," panggilnya, sembari menoel-noel pipiku, membuatku yang sudah berbaring memunggunginya, berbalik arah dengan malas. "Apa sih, Yang?" tanyaku agak malas setelah mendengar omelannya yang bertubi-tubi. "Aku akan setia nunggu kamu sampai kamu pulang, percaya sama aku, aku nggak akan mengecewakan kamu," ucapnya memandangku serius, membuatku bingung apa maksud ucapannya. "Maksudnya, Yang?" Jelas aku tau, Ratna adalah perempuan setia, tapi entah kenapa ucapannya barusan seperti mengandung arti lain. "Ya kali aku bakal selingkuh, enak dong cewe lain yang bakal dapetin kamu, gelar sudah berderet panjang sampai nggak bisa di baca, trus aku lepas kamu, gitu?" "Maksud kamu apa sih, Yang?" tanyaku masih tidak paham. "Dengar yah, Dokter Barra Pradipta Anugrahing, kalau kamu berani selingkuh dari aku, aku bisa buat karir kamu hancur dalam sekejap, dengan banyaknya rahasia kamu di tangan aku, aku juga bisa meracuni kamu tanpa jejak, kamu tau kan aku punya koneksi dengan laboratorium penelitian, kalau kamu...," Buru-buru kututup bibirnya dengan jari telunjukku, karena melihatnya bicara dengan mata yang berkobar, membuatku semakin takut. "Iya, aku udah paham, dan aku tau apa yang akan terjadi padaku, kalau berani mengkhianatimu, Yang," jawabku pelan, sembari menarik nafas dalam-dalam. Kekasihku ini sangat cantik, pintar, dan juga dewasa, kecantikannya dia dapat karena dia campuran ras Kaukasia dan Asia, akan tetapi, di samping itu dia punya sifat jelek yang tidak bisa aku rubah sampai sekarang. Satu sifat buruknya yang sudah mendarah daging adalah sifat pendendamnya yang sangat luar biasa, tapi apa yang bisa kulakukan, aku sudah takluk di dalam genggaman tangannya, sejak pertama kali kami saling mengenal, membuatku memilih mengabaikan satu sifat itu tanpa mau lagi berdebat dengannya. FLASHBACK END. Aku tidak tau harus berterima kasih pada Tuhan atau marah padanya. Bertahun tahun, aku mencoba mencarinya untuk mendapat jawaban, sampai aku lelah dan mulai menyerah. Tapi Tuhan kembali menghadirkan nya di hadapanku, di saat aku sudah sampai di titik melupakan. Takdir seperti memberiku kesempatan untuk membalas dendam, membuat hidupnya seperti di neraka, seperti yang pernah kurasakan. "Kau yang sudah memulainya, dan sekarang akulah yang akan mengakhirinya, kau tunggu saja, aku akan membuat hidupmu sengsara!" NB: Takikardia: Denyut jantung yang lebih cepat dari biasanya. Brankar : Alat untuk memindahkan pasien, terkadang brankar juga disiapkan di ruang OK, untuk mempermudah perpindahan pasien. Subspesialis: Subspesialis atau konsultan itu merupakan dokter dengan kemampuan yang lebih dalam dari dokter spesialis.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook