bc

Home Ice Girl

book_age16+
719
FOLLOW
3.4K
READ
love-triangle
friends to lovers
goodgirl
comedy
sweet
bxg
no-couple
school
like
intro-logo
Blurb

Rumah Thalia dijadikan kost-kost-an oleh ibunya, untuk anak-anak temannya yang rumahnya jauh dari sekolah, padahal gadis itu tidak suka keramaian, tidak suka bersosialiasi, ia sangat dingin dan menyendiri, akhirnya jadi terpaksa harus tinggal dengan orang baru, yang ternyata merubah hidupnya.

cover by: pahingthu

font by: https://www.1001fonts.com/free-for-commercial-use-fonts.html

chap-preview
Free preview
01
Thalia menatap tiga laki-laki di depannya tanpa ekspresi. Ada yang namanya Jeno, Jino, dan yang terakhir Brian. Ia kemudian beralih menatap ibunya. "Ma, apa-apaan ini? Kenapa semua temen sekolah aku ada di sini?" tanya Thalia. "Mulai sekarang mereka bakal tinggal di sini," balas ibu. "Ma, aku anak gadis Mama satu-satunya," "Ya terus? Mereka kan temen sekolah kamu, kamu pasti tau jarak rumah mereka ke sekolahnya itu jauh, makanya mulai sekarang mereka bakal nge kost di sini. Mereka tuh anak temen-temen Mama juga, masak Mama gak mau bantu? Kita kan juga butuh uang tambahan," Thalia mendengus. "Terserah Mama deh," ucapnya, sebelum melenggang pergi ke dapur untuk minum, dan menjernihkan pikirannya. "Kayaknya Thalia gak suka sama kehadiran kita deh, Tante," ujar Brian. "Ah, enggak kok, gak usah dipikirin, dia emang gitukan?" balas ibu Thalia sembari tersenyum. "Sejujurnya kita gak begitu deket sama Thalia, Tante," aku Jino, yang membuat raut wajah ibu Thalia seketika berubah muram. "Thalia suka menyendiri, dia gak deket sama siapapun di sekolah. Jadi... kita sebenernya gak begitu tau soal Thalia." Jeno menyikut Jino, memberi kode padanya untuk berhenti bicara. "Yah, Tante udah sering denger itu dari guru-guru sih sebenernya. Tante harap setelah kalian tinggal sama Thalia, kalian bisa... seenggaknya temenan lah sama Thalia, gak deket juga gak papa. Dan yang terpenting semoga kalian nyaman tinggal di sini," "Pasti Tante!" seru ketiganya.                                     ••• Thalia memberikan kunci kamar pada Jino, Jeno dan Brian masing-masing satu. Sementara kunci cadangan dipegang ibunya. "Dikunci masing-masing, udah ada nomor kamar yang bakal ditempatin kalian ya," kata Thalia, setelah selesai memberikan kunci. "Emang gak ada kost-an lain yang deket sama sekolah ya?" tanya Thalia, tanpa menatap ketiganya. Ia malah memandang lurus celah di antara Jino dan Brian, yang berdiri bersisian. "Ada, tapi orang tua kita percayain kitanya sama mama lo. Kalau di kost-an lain, gak ada yang merhatiin dan mantau kita, sedangkan di sini ada mama lo, yang emang udah orang tua kita kenal, dan kita juga udah saling kenal baik sama mama lo," jelas Jino. Thalia menggaruk bahunya. "Jangan nyusahin mama gue, dia udah capek ngurus rumah sama kerja," ucap Thalia, sebelum berjalan ke kamarnya, yang bersebelahan dengan kamar yang akan ditempati Jeno. Sebelum masuk, ia menatap ketiganya, yang masih berdiri berbaris di tengah ruangan. Tidak tahu kenapa, aura suram Thalia, membuat mereka membeku. "Ini kamar gue," ucap Thalia, sembari menunjuk pintu berwarna hitam yang ada di depannya. "Jangan pernah ada yang masuk ke sini. Di rumah ini juga gak kedap suara, sebisa mungkin jangan bikin keributan. Berisik dikit ya wajarlah, gue maklumin. Dan orang-orang di sekolah jangan sampe tau, kalau kalian bertiga tinggal di rumah gue." Belum sempat ketiganya membalas perkataan Thalia, Thalia sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. "Ampun deh, serem banget..." gumam Jino dengan nada pelan. "Kamar tante di mana ya?" tanya Brian. "Di bawah kayaknya, di sini cuman ada empat kamar," balas Jeno. "Hahh... serem..." dengus Brian, mengingat mereka hanya bertiga dengan Thalia di lantai atas. "Yaelah, emangnya Thalia bakal ngapain sih?" timpal Jeno. Jino dan Brian seketika langsung terdiam. "Udah lah, ke kamar masing-masing, terus beres-beres," kata Jeno sembari melenggang pergi duluan ke kamarnya, dengan pintu warna biru langit. Rumah bertingkat dua ini didominasi warna putih dan pastel, serta hitam untuk beberapa ruangan yang ditempati Thalia. Pintu kamar di lantai atas punya beragam warna, ada biru, merah muda, hijau dan hitam, sedangkan untuk pintu kamar mandi, warnanya putih. Lalu untuk kamar lantai bawah yang ditempati ibu Thalia, berwarna ungu. Cantik, tapi sejujurnya Thalia lebih suka kalau dekorasi rumahnya warna hitam-putih saja, tapi ibunya suka warna-warna cerah dan lembut. Waktu mengubah dekorasi rumah dari warna putih dan coklat juga memakan butuh banyak biaya. Itu sebabnya Thalia tidak senang. Kalau sudah punya rumah sendiri, ia bercita-cita mendekorasinya, sesuai dengan keinginannya. ••• "Loh? Mama mau kemana?" tanya Thalia heran, saat melihat mamanya baru keluar kamar dengan penampilan rapi. "Mama mau ke kantor sayang, ada rapat dadakan," balas mama sambil terburu-buru mengenakan sepatunya. "Aku pikir Mama cuti," ucap Thalia. "Enggak, Mama gak cuti, cuman izin sebentar buat ngurus Jino, Brian sama Jeno yang mau tinggal di sini," Thalia menghela napas. "Ini kan hari minggu Ma," "Ya Mama tau ini hari minggu, rapatnya juga dadakan ini, Mama kira gak akan ada kerjaan hari ini, duh. Siapa juga sih yang mau? Tapi kalau klien yang ini lepas, karir Mama diperhitungkan, soalnya Mama banyak saingan. Nah, kliennya itu minta rapat sekarang, soalnya besok dia keluar kota," "Ma, apa gak bisa cari pekerjaan lain? Mama tuh selama ini kayak b***k," "Ck, kamu ini ngomongnya. Kalau b***k gak dibayar dong," "Penghasilan dari sewain kamar kurang?" Mama menghela napas. "Penghasilan dari sewa kamar tuh cuman buat tambah-tambahan, bukan penghasilan utama." Thalia diam, dan memilih pergi ke dapur, dari pada lanjut beragumen dengan ibunya. Sejak orang tuanya cerai, ibunya jadi banting tulang untuk membiayai hidupnya. Tidak hanya hidupnya, ibu juga kadang kirim uang pada adiknya yang ikut dengan ayah mereka. Dengan alasan penghasilan ayahnya tidak seberapa, jadi kebutuhan adik pasti ada yang kurang, makanya ibu kadang kirim uang untuk adik. Tidak bisa sering karena ayah tidak suka kalau tahu mantan istrinya kirim uang pada Nolan. Nama adik Thalia. Ibunya sering membelikan Thalia barang yang tidak Thalia minta, hanya karena melihat Thalia menyukainya, jadi setelah tumbuh dewasa dan mengerti, Thalia memilih menyembunyikan hobi dan minatnya dari sang ibu. Tidak mau membuat ibunya semakin bekerja keras. Tapi nyatanya sama saja. Entah ibunya yang memang sudah jadi workholic atau bagaimana. Tak-tak-tak. Suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas, memecah keheningan di dapur. Seseorang tak lama memasuki dapur, dengan rambut setengah basahnya, dan handuk bertengger manis di bahunya. Thalia menoleh ke arah seseorang yang baru masuk itu. Ah, Jino. Baru mandi sepertinya. "Mau apa?" tanya Thalia dingin. "Selow dong, gue cuman mau minum," balas Jino dengan kaki yang otomatis mundur beberapa langkah, seolah Thalia akan memotong-motong tubuhnya, padahal gadis itu hanya sedang mengaduk kopi dan gula di dalam gelas. "Gelas di situ," ucap Thalia, sembari menunjuk laci yang berada di bawah meja kompor. "Habis pake cuci, atau gak tandain itu bekas lo, jadi orang gak make bekas lo. Jangan ganti-ganti gelas juga. Gelas yang ada di situ gelas baru, tenang aja," "Oke," jawab Jino singkat, sembari berjalan ke laci yang Thalia tunjuk. Sebenarnya Jino bawa gelas sendiri dari rumah, tapi malah ia lupa bawa dari kamarnya, dan turun dengan tangan kosong. "Mama lo kemana?" tanya Jino basa-basi, agar suasananya tidak angker. "Kerja," balas Thalia pendek. "Hari minggu gini?" "Hhmm," Jino mengerucutkan bibir. Asli, Thalia dingin banget! Tapi Jino tidak menyerah untuk mengajaknya bicara, biasanya cewek-cewek mudah kok diluluhkan olehnya. "Besok kita ke sekolah bareng yuk, pasti seru," kata Jino bersemangat. "Enggak, nanti ketahuan kalau kita tinggal bareng," sahut Thalia.. "Ya emang kenapa sih?" Thalia berdecak. "Mikir yang panjanglah, kalau orang-orang di sekolah tau, gimana komentar mereka? Pasti jadi mikir yang enggak-enggak tentang gue," Jino mengusap tengkuknya. "Tinggal bilang kalau kita emang nyewa kamar di rumah lo kan?" Thalia menghela napas. "Udah, denger aja apa kata gue." Jino akhirnya memilih tidak mengajak Thalia bicara lagi. Dari pada ujung-ujungnya ia kena marah. Yah, menurutnya Thalia tadi itu sedang marah-marah. Selesai membuat kopi, Thalia pun bergegas keluar dari dapur dan meninggalkan Jino sendiri, yang membuatnya menghela napas lega. ••• Jeno hanya tidur-tiduran sedari tadi. Perjalanan dari rumahnya ke sini cukup jauh, memakan waktu sampai berjam-jam. Kalau bukan karena ia dapat beasiswa, ia tidak akan sekolah sampai sejauh ini dari rumahnya. Biasanya ia akan menginap di rumah temannya kalau pulang terlalu sore. Tapi tidak mungkin setiap hari menumpang di rumah temannya. Cukup berat sebenarnya bagi Jeno untuk pisah dengan orang tuanya, tapi yah... hitung-hitung melatih diri kalau nanti sudah kuliah. Meskipun ia berharap, kalau sudah kuliah bisa masuk ke kampus yang dekat dengan rumahnya saja agar tidak perlu nge-kost. "Hah? Tapi ada gak sih kampus yang deket rumah? Kayaknya gak ada deh..." gumam Jeno, sembari menenggelamkan wajahnya di bantal. Kamar di rumah ibu Thalia nyaman. Sudah disediakan fasilitas kasur single serta satu lemari juga. Kasurnya nyaman, dan kelihatan masih sangat baru. Tapi yang kurang, kamar mandinya ada di luar, dan hanya dua. Satu di lantai atas, dan satu di lantai bawah dekat dapur. Jadi sudah bisa dipastikan, mereka harus antri untuk menggunakan kamar mandi nanti. 'Di kamar Thalia, ada kamar mandi enggak ya?' batin Jeno. Ponsel Jeno tiba-tiba berbunyi. Dengan malas ia meraih teleponnya yang ada di pinggir kasur. Ada pesan yang masuk dari ibu Thalia. From Tante Lina: Jen, bisa minta tolong gak? Thalia itu mau belanja buat makan malem, di rumah udah gak ada apa-apa soalnya, Bisa tolong anterin gak? Soalnya belanjaannya bakal banyak. Thalia gak mau Tante suruh minta tolong. Tapi nanti dia kesusahan, apa lagi dia gak bisa bawa motor, maaf ya Jen ngerepotin, Kamu bisa bawa motorkan? Ada motor di garasi, kuncinya di Thalia, To: Tante Lina Gak papa kok Tan, gak ngerepotin, makanannya kan buat saya juga, From: Tante Lina Makasih yaa... Jeno menggembungkan pipi, sebelum beranjak dari kasurnya. Ia melapisi celana pendeknya dengan celana jeans terlebih dahulu, sebelum keluar dari kamarnya. Pas sekali saat ia keluar kamar, ada Thalia juga yang baru keluar dari kamarnya. "Mau belanja ya? Mama lo nyuruh gue anter," ucap Jeno. "Gak usah, lo capek kan?" balas Thalia. "Ya tapi mama lo nyuruh," "Ya bilang aja lo nganterin. Gue bisa sendiri kok," "Ck, jangan gitulah, masak gue bohongin mama lo? Mana kunci motornya? Gue udah cukup kok istirahatnya." Tanpa mengatakan apa-apa, Thalia kembali masuk ke kamarnya untuk mengambil kunci motor. 'Kok ada sih? Orang yang gak berekspresi sama sekali,' batin Jeno. Thalia tak lama keluar lagi dari kamarnya, lalu menyodorkan kunci motor yang diberi gantungan spongebob pada Jeno. "Maaf ya, ngerepotin." Ucap Thalia, dan belum sempat Jeno buka mulut untuk menjawab, Thalia sudah lebih dulu berbalik badan dan pergi. Karena Thalia sudah tahu apa yang akan Jeno katakan. 'Ah, enggak kok, gak ngerepotin.' pasti itu yang mau dia katakan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook