bc

Madness of brothers (indonesia)

book_age16+
1.8K
FOLLOW
15.2K
READ
possessive
others
badboy
goodgirl
stepbrother
drama
sweet
school
brothers
sisters
like
intro-logo
Blurb

Gianina Alea Zhafir dia mengalami trauma parah setelah penculikan bertahun-tahun, ketika dia kembali ke keluarganya dalam terluka parah, Gian selalu bermimpi kejadian masa lalunya setiap malam, dalam bawah sadarnya dia selalu hanya meringkuk disudut gemetar ketakutan.

ketiga kakaknya, Bastian, Gionino, dan Aldrian, selalu menjaga dan melindunginya dengan sangat Possesive sehingga membuat Gianina sangat bergantung pada perhatian ketiga kakaknya, Gian selalu mengagap mereka akan selalu perhatian selamanya, harus menerima kekecewaan.

Disaat-saat Gian merasa depresi karena kakaknya, Bara yang ternyata teman masa kecilnya tanpa sadar selalu membuatnya nyaman selain ketiga kakaknya, dan mulai tergantung padanya.

namun, tiba-tiba Gian berpikir, jika Bara tidak ada, apa yang terjadi padanya?

chap-preview
Free preview
Chapter 01
SATU “Semua itu tentang masa lalu yang seharusnya dilupakan, karena rasanya yang memang tidak layak di kenang. Tetapi masa lalu terkadang bisa menjadi jawaban untuk sesuatu yang sekarang terulang.” . . —Madness Of Brothers— . . Dalam tidurnya ia gelisa, dalam napasnya ia sesak, dari matanya yang tertutup, air kepedihan bergulir perlahan. Gianina tercekat terbangun dari mimpi. suara napas memburu terdengar dari bibir pucatnya yang pecah-pecah dan berdarah. dulu akan ada seseorang disamping tempat tidurnya ketika dia membuka mata karena mimpi mengerikan. kini, hanya dirinya sendiri dalam kedinginan, memaksa jiwa untuk kembali waras dalam kesesatan. Dia menjerit. seberapa keras itu? bahkan jika dia mematahkan tenggorokannya hingga hancur, tidak akan ada yang peduli. kedua tangan mengepal hingga urat biru menonjol, gigi gemeretuk tak terkendali. tubuh gemetar seakan kesakitan. kenapa kamu menyakitiku? kenapa?! kenapa!!! Jarum jam saat itu menunjukkan pukul lima pagi. Gian menahan napas tegang. Dengan cepat ia turun, meloncat dari ranjang. kesadarannya yang kacau, dalam benaknya hanya rasa takut yang membakar menyisakan kepanikan tak berkesudahan. ketakutan itu membuat tubuh ringkihnya gemetar, membuat giginya sampai gemeretuk menyisakan nyilu yang dia abaikan. semakin lama tubuhnya semakin tak terkendali. gemetar, gemetar dan terus gemetar bahkan yang ia lakukan hanya bergerak tidak tentu arah. dengan guratnya menampilkan wajah bingung, panik dan takut, membuat bibirnya bergumam tidak jelas. Tidak peduli jika tangannya yang di penuhi luka dan diperban, ia akan tetap meraih benda apapun di dekatnya, seperti ada program perintah ditubuhnya. Sampai akhirnya matanya berhenti dan terpaku pada pil-pil obat diatas meja laci tempat tidur. dia menjerit histeris, dengan putus asa dia mencoba meraih obat itu seperti penyelamat hidup satu-satunya. dia menuangkan beberapa butir obat, menelannya langsung dengan terburu-buru hingga membuatnya sampak tersedak dan terbatuk-batuk. tangan putih pucat yang penuh perban itu begitu gemetar tak kendali, meraih gelas dengan panik. naas gelas itu terjatuh dengan suara nyaring menyentak kesadarannya. air dan pecahan gelas tercecer dilantai keramik yang dingin. Gian gemetar ketakutan seakan seseorang membentaknya dengan marah. Air matanya jatuh deras, ia berjongkok memungut pecahan gelas di lantai sambil bergumam kata maaf berkali-kali. entah kepada siapa kata maaf itu ditunjukan? Seseorang datang, dengan mata melotot melihat keadaan gadis yang selama ini diam-diam terluka sendirian itu kini sedang berjongkok di sisi ranjang memungut pecahan gelas. “Apa yang lo lakukan?!” Sam berteriak panik. “Maaf ... maaf...” “Berhenti! tangan lo berdarah lagi.” Sam meraih telapak tangan kiri Gianina yang gemetar, di lihatnya tangan itu. terdapat beberapa goresan terkena pecahan kaca gelas. telapak tangan kanan Gian yang sudah di perban karena luka kemarin kini basah terkena air. Dan sekarang, giliran telapak tangan kirinya yang terluka. “Maaf ... maaf...” “Berhenti minta maaf. tenang, oke? ini cuma gelas. Gua panggil dokter Ryan.” ucapnya dengan lembut. “Maaf ... tolong maafkan aku ... maaf...” “Gian, tenang. Lihat gue,” Sam menyentuh pipinya, “lo pasti baik-baik aja. Ngerti?” Sam menuntun Gianina yang terlihat ketakutan menjauh dari pecahan kaca yang berserakan. * Hampir satu jam lebih dokter Ryan memeriksa keadaan Gianina sebelum akhirnya keluar dan menemui Sam yang kini dengan rambut berantakan, terlihat begitu khawatir di depan pintu kamar. Dokter Ryan mengangguk padanya, mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Lalu mereka berdua menuju ruang tamu yang berada di lantai bawah. “Bagaimana, Dokter? Apa kondisinya makin parah?” Sam bertanya parau. Bagaimana ini bisa terjadi? Seharusnya semua yang terjadi seperti apa yang dikatakan dokter yang menangani sepupunya itu, kondisi Gian akan membaik jika orang terdekatnya selalu mendukung dan membantu dengan cara selalu memberi perhatian lebih. Dokter Ryan menghela napas pelan. Dilihat dari perawakannya, dokter itu terlihat lebih tua dari usianya. Dokter Ryan sukses menjadi seorang psikiater di usia yang masih terbilang muda, yaitu 28 tahun. Meskipun masih muda, Dokter Ryan adalah dokter terbaik di indonesia. itu sebabnya ayahnya Sam dulu merekomendasikannya sebagai dokter yang menangani sepupunya. “Begini, kondisinya cukup rentan saat ini, di mana pasien kemungkinan besar akan bertambah parah jika dibiarkan dan tanpa di tangani dengan tepat. Untuk kasus Gianina, saat ini dia sedang dalam proses pengobatan. Sebenarnya ia akan sembuh dari traumanya jika saja dia bisa menangani ketakutannya akibat masa lalu dan tentu saja itu dengan adanya orang-orang terdekat pasien. Sakit mental tidak akan pernah sembuh total tetapi kita sebagai orang terdekat pasien harus membantunya untuk membuat kondisi pasien menjadi lebih baik.” “jadi, Dokter, sepupu saya akan sembuh?” tanya Sam berhati-hati. Dokter Ryan mengangguk, tetapi juga menggeleng. “Seperti yang sebelumnya saya jelaskan, pasien akan sembuh jika dia berhasil melewati fase ini. Tetapi bisa jadi justru bertambah parah jika pasien tidak berhasil melewatinya. Itu sebabnya kalian sebagai orang terdekat, harus ikut membantu dengan selalu ada di sampingnya.” “Itu artinya hanya ada dua kemungkinan, sembuh atau...” Sam tidak meneruskan kalimatnya karena merasa tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi. * Sam kembali ke kamar adik sepupunya setelah Dokter Ryan pamit untuk kembali ke rumah sakit. tanpa mengetuk pintu, Sam masuk. Di sana Gianina berada, sedang duduk bersandar dikepala ranjang, menatap lurus keluar jendela kamar dengan tatapan kosong. Sam berjalan mendekat kemudian duduk di sisi ranjang, dekat kaki Gianina. Ia ikut melihat keluar jendela yang terhubung langsung dengan balkon kamar. Matahari sudah mulai terlihat. hari ini Sam memang tidak masuk sekolah karena tanggal merah, sedangkan Gian sudah hampir tiga hari tidak masuk sekolah. Sam memang sengaja datang waktu subuh karena kebetulan semalaman ia menginap di rumah Celin dan berniat mengunjungi rumah sepupunya. tidak disangka saat datang keadaan rumah tidak terkunci, bahkan lampu dalam keadaan mati. Dan saat itu juga ia mendengar suara gelas pecah dari kamar atas. “Apa mereka tidak pulang lagi?” orang yang ditanya hanya diam. Rahang Sam mengetat saat sadar diamnya gadis itu adalah iya. Adik sepupunya ditinggal sendirian lagi di rumah besar ini. Sudah beberapa hari ketiga kakaknya tidak pulang. “Jadi semalaman lo sendirian? berengsek!” Sam mengumpat. apa yang di pikirkan ketiga cowok b******k itu? Yang mengaku sebagai seorang kakak tapi malah melantarkan adik perempuannya yang sedang sakit. “Berapa kali gue bilang, kalo ada apa-apa telepon gue, Gian!” kata Sam penuh emosi. Gian menoleh, memberi Sam tatapan ; buat apa? Menurut Gian, nggak ada gunanya harus menelpon orang hanya untuk meminta ditemani. Ia bukan orang sakit yang harus 24 jam dijaga. “Lo butuh orang yang menemani lo di saat seperti ini, Gian.” Bibir Gian bergetar, akhirnya dia berani bicara, “Gue, ngg-” “Lo sakit, Gi, lo sakit. berapa kali gue harus bilang kalo lo sakit dan butuh seseorang?” sergahnya cepat, tahu apa yang akan dikatakan Gian padanya. Sam si cowok yang berperawakan tinggi dengan wajah yang sering terlihat tengil itu sekarang menatap Gian serius. “Jangan menutupi segalanya sendirian lagi ... gue mohon sama lo, stop nyimpen semuanya seakan lo nggak pernah percaya siapapun...” Wajah Gianina hanya menunjukkan ekspresi datar. Membuat siapa pun tidak akan bisa menebak perasaannya. sejak dua bulan lalu, sikap Gianina penuh dengan lontaran sinis dan sarkas. Yang kadang ditunjukan dengan senyum dangkal yang terkesan getir. Apa yang dikatakan Sam benar. Gian tidak pernah percaya pada siapa pun sekalipun itu adalah keluarga atau sahabat. Ia mamang pernah sempat percaya pada satu orang dan itu hanya kepada cowok yang saat ini diam-diam ia rindukan. Bara tidak ada kabar sama sekali. Gian mengerjap, kembali mengeraskan hati. Cowok itu seakan hilang tanpa jejak dan jelas Gian harus melupakannya. “Seseorang?” Gian berdecih sinis. Seseorang seperti apa memangnya? Orang yang seperti apa pun, atau berjenis apa pun itu, menurutnya tidak akan mengubah segala yang terjadi pada hatinya. Tidak akan. “bilang...” cewek itu menatap lurus pada Sam, “orang seperti apa yang lo maksud? Apa yang perhatian? Bersimpati? Yang peduli? Cih!” ejek Gian sarkas. Sam diam dengan ekspresi yang sulit diartikan, menatap sepupunya yang saat ini tampak tersenyum sinis padanya. “Pergi deh,” Gian mengibaskan tangannya mengusir Sam, “kalo ingin beromong kosong bukan di sini tempatnya.” Sam menatap lekat adik sepupunya itu, dia melirik kedua tangan Gian yang terbalut perban. Sepertinya Dokter Ryan telah mengobati lukanya, dan mengganti perbannya. Sam tadi tidak sempat melakukannya karena panik menghubungi Dokter Ryan dan menenangkan Gianina. Luka sayatan di pergelangan tangan Gian juga masih belum sepenuhnya sembuh. hampir semua tangan Gian di balut perban. Dan itu karena kecerobohan Sam menjaga gadis itu. “Lo selalu berkata logika tentang perasaan. Lo tahu segalanya soal itu.” Sam berdiri. “Lo juga pasti tahu, kalo orang yang terbiasa peduli, saat orang itu lelah diabaikan, dia hanya akan pergi dan berhenti, hanya pada satu orang.” “Yang nggak gue ngerti, Gian. sebutan apa yang pantas buat orang yang selalu peduli sama orang lain, tapi malah mengabaikan orang yang peduli terhadapnya?” Gianina masih terdiam saat melihat punggung Sam yang menjauh lalu menghilang dari pandangan, cowok itu perlahan menutup pintu kamarnya. Perkataan Sam yang terakhir menyentil hatinya, itu adalah gambaran seperti apa dirinya selama ini. Ia selalu peduli terhadap orang lain meski selalu diabaikan. Tapi tanpa sadar ia telah mengabaikan orang yang peduli padanya. Satu bulir air mata jatuh membasahi pipinya di susul ribuan tetesan lainnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan yang terbalut perban, kali ini ia terisak. bahunya berguncang. Sesuatu yang menyakitkan tidak selalu karena orang lain. Sering kali diam-diam tanpa sadar kita justru menyakiti diri sendiri. Gian masih ingat beberapa bulan lalu saat dirinya baru menginjakkan kaki di Indonesia. tujuan awalnya adalah untuk mengingat kembali luka lama bukan mendapat luka baru seperti sekarang. Gian menatap lurus jendela kamarnya, matahari mulai meninggi, dan ingatannya melayang pada saat dia terbangun dengan mimpi itu untuk pertama kalinya semenjak tinggal di Indonesia. Gian ingat pernah mengalami hal ini, ketika mimpi tadi pagi terulang untuk kesekian kalinya. Ingatan yang lebih menyakitkan dari masa lalu kembali menerpa hatinya yang rapuh. Bibirnya yang kering sedikit melengkung membentuk senyum tulus. Ia akan menata hatinya sedikit demi sedikit, dengan cara mengingat masa lalu untuk gambaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama dan menjadikan kepingan itu pelajaran dalam hidupnya. Sinar matahari pagi menerpa wajahnya yang pucat. Ia terpejam lalu mengembuskan napas berkali-kali. Dia akan mencoba. mencoba untuk iklas, mencoba untuk melihat. Ingatan Gian melayang, terhenti di memori saat pertama kali Gian menginjakan kaki di Indonesia. Dipaksa untuk merasakan bagaimana sakitnya tidak di percaya oleh ketiga kakaknya. Rasa sakit saat diabaikan dan di benci tanpa tahu letak salahnya? Rasa sakit saat ia bertemu dengan orang-orang di masa lalunya ... dan rasa sakit ketika secara perlahan, mimpi buruknya yang merupakan kejadian masa lalu membuatnya kembali melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menyayat pergelangan tangannya menggunakan pecahan gelas. Seharusnya ... Gian masih berada di rumah sakit, saat ini. Tapi lagi-lagi ia bersikeras untuk pulang. Keadaannya memang masih lemah, tapi ia tidak mau jika berada di rumah sakit lebih lama. Gian menghela napas. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

I Love You Dad

read
282.6K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

GAIRAH CEO KEJAM

read
2.3M
bc

Long Road

read
120.5K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.2K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook