bc

It's OK, I Remember

book_age16+
811
FOLLOW
3.4K
READ
contract marriage
arranged marriage
arrogant
dominant
boss
sweet
bxg
nerd
city
like
intro-logo
Blurb

Sagita Cayne itu seorang nerd, sebutan gadis norak sudah melekat dalam dirinya. Bagi Sagita, Orion Mikelson merupakan penolong sekaligus cinta pertamanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan gadis itu saat mengetahui pria yang dijodohkan dengannya ternyata adalah Orion.

Pernikahan mereka yang awalnya Sagita kira sebagai mimpi yang menjadi kenyataan, berubah dalam sekejap menjadi pernikahan kontrak. Sekarang Sagita menyesal menerima perjodohan itu karena kini hanya luka yang diterimanya setiap hari. Sagita harus rela menahan luka saat menyaksikan sang suami selalu bermesraan dengan kekasihnya. Terlebih Orion tak sebaik yang Sagita duga selama ini, pria itu begitu dingin dengan mulutnya yang pedas, selalu berhasil membuat hati Sagita layaknya cermin yang hancur berkeping-keping.

Bagaimanakah nasib pernikahan mereka? Benarkah keajaiban itu ada sehingga perasaan Sagita yang bertepuk sebelah tangan pada sang suami kelak akan terbalas?

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1
            Pagi itu langit terlihat sangat cerah, pemandangan di kota dipenuhi dengan orang-orang yang hilir mudik menjalankan aktivitas mereka.             Seorang gadis yang memiliki paras yang cantik dan manis, namun penampilannya yang sederhana telah menutupi kecantikannya itu. Hanya segelintir orang saja yang menyadari betapa cantik dan manisnya dia. Gadis dengan penampilan yang sangat sederhana, rambutnya dikepang dua dan memakai sebuah kacamata, berlari dengan tergesa-gesa sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Hari itu merupakan hari penting dalam hidupnya. Hari itu adalah hari di mana dia akan mengikuti sidang akhir kuliahnya.             Di lain pihak, seorang pria dengan penampilannya yang mempesona, yang selalu berhasil membuat para gadis mengaguminya, pria itu sedang mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dia memiliki paras yang sangat tampan dengan postur tubuh yang bisa dikatakan ideal untuk seorang pria. Pria itu mengendarai mobilnya sambil asyik mendengarkan musik yang mengalun merdu. Terlalu menikmati alunan musik hingga dia tidak menyadari seorang gadis tengah melintas di depannya. Tentu saja pria itu sangat terkejut sehingga dengan cepat dia mengerem mobilnya.             Dia menyaksikan tepat di depan matanya beberapa kertas beterbangan, jantungnya berdetak dengan sangat hebat. Dia yakin baru saja telah menabrak seseorang. Tanpa ragu dia segera turun dari mobil untuk melihat kondisi orang yang telah ditabraknya.             Kelegaan yang tiada terkira dirasakan oleh pria itu, seorang gadis yang baru saja dia tabrak terlihat baik-baik saja. Rupanya mobil yang dikendarai pria itu berhenti sesaat sebelum menyentuh tubuh sang gadis. Gadis itu duduk dengan ekspresi membeku yang menandakan betapa terkejutnya dia.             "Kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?"             Gadis itu menengadahkan kepala dan menatap wajah seorang pria yang nyaris menabraknya. Untuk sesaat dia menatap tanpa berkedip wajah pria itu, hingga akhirnya dia kembali mendapatkan kesadarannya. Dia menatap sekeliling dan betapa terkejutnya ketika melihat dokumen-dokumen pentingnya telah berserakan di tanah. Dengan segera dia memungut kertas-kertas dokumennya yang berserakan, pria yang menabraknya itu pun membantunya memungut kertas-kertas tersebut.             Akan tetapi, beberapa kertas dokumennya jatuh ke genangan lumpur sehingga membuatnya kotor, beberapa tulisannya tak lagi terbaca karena terkena lumpur hitam.             "Yaah, dokumenku. Bagaimana ini?"             "Ada apa?" tanya sang pria karena mendengar gerutuan gadis itu.             "Dokumenku ... data-dataku ... kotor seperti ini, padahal sebentar lagi sidangnya akan dimulai."             "Sidang? Maksudmu sebentar lagi kau akan mengikuti sidang akhir kuliahmu?" Sang gadis menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan si pria tampan.             "Apa kau membawa file dokumennya?"             "Iya, aku membawanya."             "Kalau begitu cepat ikut aku!"             "Memangnya kita akan ke mana?"             "Tentu saja mengeprint ulang dokumen-dokumenmu."             "Tapi waktu sidangnya tinggal 45 menit lagi, pasti tidak akan keburu."             "Sudahlah, cepat ikut aku. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku." Sang pria mengatakannya dengan penuh percaya diri diiringi sebuah senyuman yang membuat jantung gadis itu berdebar dengan kencangnya.             Mereka menaiki mobil mewah pria itu dan mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi menuju tempat rental komputer.             Tidak lama mereka mencari, hingga berhasil menemukan sebuah rental komputer. File-filenya telah diprint ulang dan dokumen penting gadis itu telah kembali utuh. Namun, yang menjadi permasalahan mereka sekarang adalah, sanggupkah mereka sampai di kampus tepat waktu di saat waktu untuk sidang tinggal menyisakan 10 menit lagi? Pria itu kembali melajukan mobilnya dengan kencang menuju kampus sang gadis.    ***               Berkat si pria yang melajukan mobil dengan kecepatan layaknya pembalap F1, mereka dengan cepat telah sampai di depan kampus. Pria itu dengan cepat turun dari mobil tapi si gadis tetap diam di dalam mobil sambil mengusap-usap d**a seolah tengah menenangkan kerja jantungnya yang ekstra cepat selama di perjalanan.             "Hei, apa yang kau lakukan? Cepat turun!"             "Percuma sidangnya sudah dimulai. Aku sudah terlambat," kata si gadis yang meyakini dirinya sudah terlambat.             Tapi tindakan pria itu membuat si gadis tercengang. Pria itu membuka pintu mobil dan menarik tangan gadis itu. Setelah itu, dia berlari sambil menggenggam erat tangan si gadis.             "Ka-kau kenapa?" tanya sang gadis, terheran-heran.             "Aku akan mengantarmu sampai ke tempat sidang. Aku akan membantumu meyakinkan dosen-dosenmu agar mereka mengerti situasi kita. Sudah kukatakan semuanya akan baik-baik saja." Pria itu kembali memperlihatkan sebuah senyuman yang sekali lagi telah membuat jantung sang gadis berdetak dengan kencang.             Mereka terus berlari, hingga akhirnya tiba di tempat sidang. Seorang gadis berlari menghampiri mereka berdua.             "Kau ke mana saja? Aku pikir kau tidak datang."             "Maafkan aku, Metta. Terjadi masalah di jalan. Apa sidangnya sudah dimulai? Apa namaku sudah dipanggil?"             "Belum. Tadi ada sedikit masalah jadi waktu sidangnya diundur, sebentar lagi sidangnya akan dimulai."             "Haah, syukurlah. Itu artinya aku tidak terlambat." Kegembiraan yang saat ini dirasakan gadis itu membuat dia melupakan keberadaan seorang pria di sampingnya.             "Sepertinya aku sudah tidak perlu menjelaskan apa pun pada dosenmu. Syukurlah, kau tidak terlambat. Aku ikut senang."             Si gadis tersentak kaget, dia memutar lehernya ke arah pria yang nyaris dia lupakan keberadaannya. Padahal berkat pria itulah dirinya berhasil tiba di kampus tepat waktu. "Ah ya, terima kasih atas bantuanmu," katanya tulus.             "Tidak. Tidak perlu berterima kasih, ini sudah tanggungjawabku. Kau nyaris terlambat karena aku,” ucap pria itu ramah. “Aku pamit dulu, sampai jumpa."             "Ya, sampai jumpa. Sekali lagi terima kasih." Pria itu melangkahkan kaki meninggalkan dua gadis yang tidak berhenti menatap dirinya seolah lupa cara berkedip.             "Sagita, siapa pria itu? Dia Keren sekali."             "Ah, aku lupa menanyakan namanya."             "Ja-Jadi kalian baru berkenalan hari ini?"             "Hm, dia itu penolongku. Berkat dia, aku berhasil sampai tepat waktu."             Gadis itu ... Sagita ... sejak pertama kali melihat pria itu, bayangannya tak bisa hilang dari pikirannya. Sagita, gadis polos yang tidak pernah berpacaran meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun itu, untuk pertama kalinya merasakan jantungnya berdetak dengan sangat kencang ketika menatap seorang pria. Pria yang tidak dia ketahui namanya, telah menjadi cinta pertama bagi Sagita.     ***                             Pria itu ... Orion ... melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dia sadar telah melewati waktu janjian bersama teman-temannya. Dia terus melajukan mobil dengan kencang, hingga akhirnya tiba di tempat tujuan, di mana teman-temannya sedang menunggu.             "Oi, Orion ... lama sekali kau?" Seorang pria yang sedang duduk di sebuah kursi bersama dua temannya, mengatakan hal itu begitu melihat sosok Orion.             "Benar, tidak biasanya kau terlambat?" Pria lainnya ikut mengatakan hal itu.             "Maaf, tadi terjadi sedikit masalah di jalan. Aku nyaris menabrak seorang gadis."             "Benarkah? Lalu bagaimana gadis itu? Apa dia terluka parah?"             "Tadi sudah kukatakan nyaris menabrak, itu artinya aku tidak benar-benar menabraknya."             "Lalu kenapa kau lama sekali jika kau tidak menabraknya?"             "Aku membantu gadis itu mengeprint ulang dokumennya yang kotor gara-gara jatuh ke genangan lumpur. Dia akan mengikuti sidang akhir, aku hanya merasa semua yang dia alami adalah tanggungjawabku, jadi aku membantunya."             "Hooo, begitu."             "Eh, Orion ... apa gadis itu cantik? Apa kau meminta nomor teleponnya atau alamatnya?"             Orion memutar bola matanya, malas menghadapi teman-temannya yang selalu bersemangat setiap kali membicarakan wanita. Terutama temannya yang bernama Frans. "Haah ... kau tidak berubah ya, Frans? Sorot matamu langsung berkobar-kobar mendengar hal yang berhubungan dengan wanita," katanya.             "Ya, kau tahu sendiri kan aku belum punya pacar, siapa tahu gadis yang kau tabrak tadi itu ditakdirkan untukku," ucap Frans sambil terkekeh. Orion dan temannya yang lain hanya mendengus sebagai respon.             "Rasanya itu tidak mungkin, pemikiranmu berlebihan," sahut Orion sembari menggelengkan kepala.             "Atau bisa jadi justru gadis itu ... gadis yang ditakdirkan untukmu, Orion?"             "Hahahaha ... itu hal yang lebih mustahil lagi." Orion tertawa hingga kedua matanya menyipit sempurna.             "Kenapa kau bisa seyakin itu?"             "Karena gadis itu bukan tipeku. Penampilannya sangat norak. Dia sepertinya gadis yang sangat lugu dan polos. Sama sekali bukan tipeku."             "Hoo, begitu. Tapi kau begitu peduli padanya." Frans terus menggoda Orion yang diikuti temannya yang lain karena kini terdengar suara siulan saling bersahut-sahutan.             "Sudah kukatakan, aku hanya merasa bertanggungjawab saja jika dia sampai gagal dalam sidangnya karena aku. Aku hanya kasihan padanya. Sudahlah, tidak perlu membahas hal tidak penting seperti ini. Ayo, kita mulai pesta makan-makan dan minum-minumnya. Karena kejadian menyebalkan tadi, aku jadi lapar," ujar Orion, dirinya menatap lapar pada berbagai makanan yang sudah terhidang di atas meja.             "OKE!!!"             Keempat pria itu melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Seharian itu mereka menghabiskan waktu bersama. Orion tertawa bersama dengan ketiga teman prianya tanpa sedikit pun mengingat tentang Sagita. Berbeda sekali dengan Sagita yang justru tidak bisa berhenti memikirkan Orion semenjak pertemuan mereka yang tanpa sengaja itu.   ***               Seorang pria paruh baya yang usianya sekitar 45 tahunan sedang berjalan menuju ke ruangan kerjanya. Terlihat semua orang memberikan salam begitu berpapasan dengannya. Pria itu berjalan sambil diikuti beberapa bawahannya.             Begitu tiba di ruangannya, pria itu duduk di sebuah kursi dan mulai membaca beberapa dokumen yang tergeletak di atas meja. Perlahan dia membuka lembar demi lembar dan membaca tiap kata yang tertulis dalam dokumen.             Setelah selesai membaca isi dokumen, pria itu menengadahkan kepala dan menatap ke arah seorang pria yang sedang berdiri di depannya. Pria itu tidak lain adalah sekretaris sekaligus orang kepercayaannya.             "Jadi perusahaan kita berhasil dikalahkan lagi oleh mereka?"             "Benar, Pak. Mereka berhasil memenangkan proyek. Mereka menawar dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang kita tawarkan."             "Perusahaan Cayne, aku sudah muak pada mereka, sering sekali mereka berhasil mengambil alih proyek yang sudah kita incar. Tapi aku akui perusahaan mereka memang lebih besar daripada perusahaan kita."             "Jadi apa rencana Anda, Pak?"             "Entahlah, aku belum memikirkannya. Aku tahu sekeras apa pun kita berusaha, tidak mungkin bisa mengalahkan mereka."             "Kenapa kita tidak mencoba berdamai dan bekerja sama dengan mereka, Pak?"             Pria itu mendelik tajam pada sang bawahan yang memberikan saran yang tak masuk akal menurutnya. "Haah ... itu mustahil, kan? Bagaimana bisa bekerja sama dengan perusahaan yang sudah lama menjadi saingan kita? Itu tidak mungkin terjadi." Terlihat ekspresi yang dipenuhi dengan kekesalan di wajahnya. Kekesalan pada pemilik perusahaan Cayne yang selalu berhasil mengalahkannya.     ***               Sagita yang telah menyelesaikan sidang dan dinyatakan lulus, sedang merayakan keberhasilannya bersama dengan sahabat baiknya yang bernama Mettalia. Mereka berdua telah berjuang dengan keras selama ini, hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan ujian akhir dan dinyatakan lulus. Tinggal menunggu hari pelulusan maka mereka pun telah resmi menjadi seorang sarjana.             Sambil menyantap makanan yang telah mereka pesan di sebuah restauran yang cukup elit, mereka memulai perbincangan.             "Sagita, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan melanjutkan sekolahmu?" tanya Metta, di sela-sela dirinya yang sedang mengunyah makanan.             "Ya, aku ingin sekali melanjutkan sekolah. Kau sendiri bagaimana, Metta?"             "Aku juga berencana akan melanjutkan sekolah. Eh, Sagita ... apa kau tahu universitas yang bernama Mikelson University?"             Sagita mengangguk antusias, "Ya, tentu saja aku tahu. Itu kan universitas yang sangat terkenal di kota ini, jadi mana mungkin aku tidak tahu."             "Aku sudah memutuskan akan melanjutkan sekolahku di sana?" Jawab Metta yang sukses membuat Sagita terbelalak.             "Apa? Benarkah?"             "Ya, tentu saja benar."             "Tapi aku dengar cukup sulit bisa diterima di universitas itu."             "Ya, memang benar. Mikelson University itu sekolah untuk kalangan elit, hanya anak-anak orang kaya yang bisa diterima di sana. Tapi mudah saja bagi kita untuk bersekolah di sana. Tinggal meminta orangtua untuk mendaftarkan kita ke sekolah itu. Kita pasti diterima."             "Hm, kau benar juga. Tapi aku tidak ingin merepotkan ayahku."             "Merepotkan? Tentu saja tidak merepotkan. Aku yakin ayahmu pasti senang karena kau memutuskan untuk melanjutkan sekolahmu di sekolah yang sangat terkenal seperti itu. Aku yakin ayahmu pasti akan mendukungmu." Metta berujar dengan sangat yakin. Namun, raut wajah Sagita masih menunjukan keraguan.             "Memangnya kau sudah mengatakan hal ini pada ayahmu, Metta?"             "Tentu saja sudah. Ayahku sangat mendukungku. Aku yakin ayahmu juga akan mendukungmu."             Sagita tertegun sejenak, "Hm, aku akan mencoba mengatakannya pada ayah."             "Oke. Itu artinya kita akan bersama-sama lagi menuntut ilmu di sana, kan?"             Sagita mengangguk disertai senyum, "Iya," jawabnya. Kedua gadis itu pun tertawa semringah, memikirkan rencana masa depan, sambil meneruskan melahap makanan mereka.             "Oh ya, Sagita. Kau masih belum menemukan penolongmu itu?"             "Be-Belum ... bagaimana bisa aku menemukannya? Aku bahkan tidak tahu namanya. Lagi pula pertemuan kami waktu itu hanya sebuah kebetulan saja."             "Tapi kau masih memikirkan tentang dia, kan? Sudah mengaku saja."             Sagita tiba-tiba salah tingkah, tebakan Metta sangat tepat sasaran. "Tidak kok." Sagita memilih berbohong.             "Masa? Aku tidak percaya. Wajahmu jadi merah tuh, tandanya kau sedang malu. Hahaha ... berarti kau memang belum bisa melupakannya."             "Sudahlah, jangan mengejekku terus." Sagita mencubit punggung tangan Metta yang ada di atas meja, sontak gadis itu meringis kesakitan.             "Aku akan berhenti mengejekmu jika kau mau mengaku dan berkata jujur. Kita ini sahabat, kan? Tega-teganya kau merahasiakan hal ini dariku." Namun, rupanya Metta masih belum  mau berhenti membahas tentang si pria tampan yang bagi Sagita merupakan pahlawannya.             Sagita menghela napas panjang, "Ya, ya, baiklah. Aku akan mengaku. Sebenarnya aku memang masih sering memikirkannya. Walau bagaimanapun dia benar-benar penolongku. Jika bukan karena bantuannya, aku pasti sudah gagal. Berkat dia, aku berhasil datang tepat waktu dan aku berhasil dalam sidang itu hingga aku dinyatakan lulus. Aku berharap suatu hari nanti, aku bisa bertemu lagi dengannya."             Metta yang mendengar pengakuan Sagita hanya bisa tertawa melihat ekspresi sahabatnya yang sedang bercerita dengan dihiasi rona merah di kedua pipi. Hanya dengan melihat raut wajah Sagita, Metta sudah menyadari bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta saat ini. Inilah pertama kalinya Mettalia melihat sahabatnya berseri-seri ketika membicarakan seorang pria.      ***               Sagita yang baru saja menginjakkan kakinya di rumahnya, berlari menuju ke sebuah ruangan.             "Nona kenapa berlari? Apa terjadi sesuatu?"             "Tidak Bi ... tidak ada apa-apa ... oh iya di mana ayah dan ibu?"             "Tuan dan nyonya sedang berada di ruang tengah."             "Oke ... terima kasih Bi ..." Sagita terus berlari menuju ruang tengah yang dia ketahui merupakan tempat di mana kedua orangtuanya sedang berada saat ini. Sesampainya di ruangan itu, tampak kedua orangtuanya sedang duduk sambil menonton televisi.             "Ayah ... ibu ... aku pulang."             "Oh Sagita ... bagaimana kuliahmu hari ini?"             "Berjalan lancar ... oh iya ada sebuah kabar gembira."             "Apa itu?"             "Aku sudah dinyatakan lulus, tinggal menunggu hari pelulusan saja."             "Benarkah? Syukurlah ... kami sangat senang mendengarnya. Kita harus merayakan hal ini."             "Daripada merayakan hal ini, ada hal yang lebih penting yang ingin aku sampaikan pada ayah dan ibu."             "Apa itu? Katakan saja Sagita!"             "Ayah ... ibu ... aku sudah memikirkannya ... dan sudah ku putuskan, aku akan melanjutkan sekolahku."             "Benarkah? Ayah senang mendengarnya. Jadi apa kau sudah menentukan universitas mana yang akan kau pilih?"             "Iya ayah ..."             "Hoo ... baguslah ... katakan pada ayah. Universitas mana yang akan kau pilih, ayah pasti akan mendukungmu."             "Benarkah ayah?"             "Tentu saja ... cepat katakan nama universitas itu."             "Mikelson University ... aku akan melanjutkan sekolahku di sana."             Sagita merasa sangat heran melihat kedua orangtuanya yang tiba-tiba diam seribu bahasa setelah mendengar nama universitas yang dia incar itu. Bukan hanya diam, ekspresi keterkejutan pun terlihat di wajah mereka berdua.             "Ada apa ayah ... ibu? Kalian baik-baik saja? Kalian terlihat begitu terkejut mendengar aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di Mikelson University?"             "Tidak bisakah kau memilih universitas yang lain Sagita?"             "Memangnya kenapa Bu? Memangnya kenapa dengan universitas itu?"             "Ibu hanya merasa, Universitas itu kurang bagus untukmu."             "Bagaimana bisa ibu bicara seperti itu? Aku yakin ibu tahu bahwa Mikelson University merupakan universitas yang paling terkenal di kota ini. Tadinya aku pikir kalian akan senang dan mendukungku begitu mendengar aku akan melanjutkan sekolah di sana. Aku tidak menyangkan kalian justru melarangku."             "Apa kau benar-benar ingin melanjutkan sekolahmu di sana?" Dengan penuh semangat, Sagita menganggukan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan ayahnya itu.             "Baiklah ... ayah mendukungmu. Ayah akan melakukan apa pun agar kau bisa diterima di universitas itu."             "Benarkah itu ayah?"             "Iya ... tentu saja ..."             Sagita berlari ke arah ayahnya dan menjatuhkan tubuhnya di pelukan ayahnya. Sagita memang seorang putri tunggal yang begitu disayangi oleh kedua orangtuanya terutama oleh ayahnya. Semua permintaannya selalu dikabulkan oleh orangtuanya. Jarang sekali mereka menolak permintaan Sagita.             "Kau cepatlah mandi dan bergabunglah dengan kami. Sudah lama kita tidak menonton bersama."             "Baiklah ayah ... aku sayang ayah ..." Setelah mengecup lembut kening ayahnya, dengan wajah berseri-seri dan sedikit bersiul, Sagita berlari menuju kamarnya.             "Kau yakin akan mendukung Sagita melanjutkan sekolahnya di universitas itu? Kau tahu betul bahwa keluarga Mikelson selalu menganggap kita saingan mereka. Mereka pasti tidak akan menerima Sagita sekolah di sana?"             "Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Sagita, termasuk berdamai dengan mereka." Melihat suaminya yang sudah memantapkan hatinya mendukung keputusan Sagita, Diana hanya bisa ikut mendukung keputusan suami dan putrinya itu.      ***               Hari itu, Edrick Cayne ditemani oleh beberapa orang anak buahnya pergi menuju sebuah tempat yang sebelumnya belum pernah mereka datangi. Edrick sudah memutuskan untuk tetap pergi ke tempat itu meskipun dia tidak yakin akan disambut dengan baik di sana. Perjalanan mereka tidak terlalu memakan waktu yang begitu lama, hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan mereka.             Sesampainya di sana, seperti yang telah dia duga, beberapa orang pria menghadang perjalanannya. Namun ... tentu saja bawahan Edrick tidak tinggal diam melihat bos mereka diperlakukan dengan tidak hormat. Sehingga perkelahian di antara pria-pria itu pun nyaris terjadi jika saja tidak ada seseorang yang menghentikan mereka.             Akan tetapi seorang pria yang usianya hampir sama dengan Edrick menghentikan perkelahian pria-pria itu. Dengan sikap sopan yang terlihat dipaksakan, pria itu menyapa Edrick.             "Direktur utama perusahaan Cayne, tuan Edrick Cayne ... sebuah kehormatan bagi kami, anda datang ke perusahaan kami. Ada hal apa yang membuat anda menginjakkan kaki anda di perusahaan kami?"             "Aku ingin bicara berdua denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."             "Hmmmm ... baiklah ... silakan ikut denganku."             Edrick melangkahkan kakinya mengikuti pria itu. Semua orang membungkukkan badannya dan menyapa begitu melihat pria itu melintas di depan mereka. Itu cukup membuktikan betapa tingginya jabatan dan kedudukan pria itu di tempat ini.             Tak lama mereka berjalan, hingga mereka berhenti di depan sebuah pintu. Setelah memasuki ruangan yang bisa dibilang cukup luas itu, Edrick dan pria itu duduk di kursi yang telah berjajar di sana.             "Hal apa yang ingin kau bicarakan denganku?"             "Aku tahu perusahaan kita selama ini selalu berselisih, kalian selalu menganggap kami saingan kalian. Kedatanganku kemari, aku ingin mengakhiri permusuhan kita ini."             "Hahahaha ... aku terkejut mendengar hal ini. Keluarga Cayne yang dengan bangganya selalu berhasil mengalahkan keluarga Mikelson sekarang meminta sebuah perdamaian. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?"             "Aku tidak merencanakan apa pun, aku hanya ingin kita berdamai."             "Benarkah hanya karena itu? Apa kau pikir, aku akan percaya begitu saja?"             "Baiklah ... aku akan menceritakan hal yang sebenarnya padamu. Aku memiliki seorang putri yang sangat aku sayangi melebihi apa pun, dia ingin melanjutkan sekolahnya di universitas milik keluarga kalian. Demi kebahagiaan putriku, aku rela melakukan apa pun termasuk berdamai dengan kalian. Mari kita akhiri permusuhan ini?"             "Apa keuntungan yang bisa kami dapatkan jika kami berdamai dengan kalian?"             "Aku berjanji, mulai saat ini perusahaan kami tidak akan ikut campur menangani proyek yang akan kalian tangani."             "Itu terdengar sangat menarik."             "Pak ... bisa kita bicara sebentar?" Seorang pria yang merupakan orang kepercayaan Alan Mikelson, tiba-tiba mengatakan itu. Alan tanpa ragu mengikuti keinginan dari sekertarisnya itu.             "Ada apa Sean?"             "Pak ... bukankah ini kesempatan yang sangat besar?"             "Apa maksudmu?"             "Edrick Cayne sengaja datang ke kantor kita hanya untuk mengajak berdamai. Hal itu dia lakukan hanya untuk mengabulkan keinginan putri tercintanya yang ingin melanjutkan sekolah di universitas milik keluarga Mikelson, kenapa anda tidak memanfaatkan hal ini?"             "Aku tidak mengerti maksudmu Sean?"             "Tadi Edrick Cayne mengatakan dia akan melakukan apa pun demi kebahagiaan putrinya. Bagaimana jika anda mengajukan syarat padanya?"             "Syarat?"             "Yaa ... syarat yang harus dia penuhi jika dia ingin anda menyetujui keinginannya ini."             "Syarat apa yang kau pikirkan?"             Sean membisikkan dengan pelan rencana yang dipikirkannya. Mendengar rencana yang dipikirkan oleh bawahannya itu, tentu saja membuat Alan sangat terkejut sekaligus takjub. Dia tidak menyangka sekertaris yang begitu dipercayainya itu memiliki pemikiran yang luar biasa. Tanpa ragu Alan menerima dan menyetujui saran dari sekertarisnya itu. Dia merasa saran dari Sean itu benar-benar akan merubah kesejahteraan keluarga dan perusahaannya di masa depan nanti.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

SHACKLES OF GERALD 21+

read
1.2M
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Living with sexy CEO

read
277.7K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Bermain Panas dengan Bosku

read
1.2M
bc

Yes Daddy?

read
798.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook