bc

Clarity

book_age0+
1.3K
FOLLOW
11.0K
READ
love-triangle
second chance
friends to lovers
arrogant
goodgirl
comedy
sweet
EXO
like
intro-logo
Blurb

Axela Devaza, gadis penuh rahasia yang kembali datang dengan wujud dan pribadi yang berbeda untuk sebuah penjelasan. Ia bertekad menjalankan segala rencana yang telah terpikir matang seorang diri, namun kedatangannya justru membuat gadis itu memiliki "teman".

Semenjak kepergian seseorang, hidup Axela berubah. Ia tidak lagi memercayai teman apalagi sahabat. Ia kembali hanya untuk mengetahui kebenaran dan jawaban, lalu pergi. Namun, saat tahu apa arti dari "sahabat" yang sebenarnya, sebuah "penjelasan" yang ternyata menggugah hatinya, juga sebuah "janji" yang di titipkan kepada seseorang dari masa lalunya, sanggupkah gadis itu kembali pergi meninggalkan ketulusan?

Orion Marvando Revian, ia tidak pernah sekali pun mengingkari janjinya. Sebuah janji yang diperuntukkan lelaki itu dari mendiang sang kakak. Ia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

Dengan kehidupan baru, sahabat baru, serta cinta yang baru. Percayakah ia dengan kasih sayang yang berbeda dan begitu tulus saat bersama dengan mereka? Akankah gadis itu kembali menemukan cinta yang telah pergi dalam sosok yang tak jauh berbeda dari masa lalunya?

chap-preview
Free preview
Chapter One
Sudah ketiga kalinya Axela menghela napas. Kedatangan cewek itu membuat seluruh tatapan bengis menghujam ke arahnya. Berusaha keras ia menghalau amarah yang bergejolak di d**a. Apa mereka tidak bosan? Batinnya bertanya. Axela menyembunyikan kepalan tangannya dalam saku rok abu-abu yang telah memudar. Ah, bukan memudar lagi, setelan seragam itu memang sudah seharusnya di bakar. Tapi tidak. Ia hanya ingin dirinya tidak terlihat. Saat kepindahannya ke sekolah ini, ia tidak mau orang-orang memandangnya, menjadikannya pusat perhatian. Tapi dengan penampilan seperti ini justru membuat Axela makin di kenal seantero sekolah. Hell! Entah berapa kali batinnya mengumpat. Sampai orang-orang itu akan berhenti menatapnya seperti amuba? Baru tiga hari sepatu buluk yang ujungnya telah menguning itu menginjak-injak lantai sekolah, tapi Axela sudah tidak tahan ingin menarik rambut-rambut panjang para cewek dan meninju perut para cowoknya yang belagu seolah mereka adalah pemilik sekolah. Cih! Sayangnya, ia tidak berani. Pengecut? Katakanlah seperti itu untuk sementara waktu, toh Axela tidak rugi. BUGH! Bahu kanan Axela tidak sengaja membentur keras seorang cewek dan menyebabkan berkas yang dibawa berjatuhan. Astaga, belum seminggu sudah mempunyai banyak musuh. Great! “Lo nggak apa-apa?” Axela mencoba mengeluarkan suara seramah mungkin, berjongkok untuk membantunya mengumpuli kertas-kertas yang berhamburan. Tak bisa dipungkiri, ia bukanlah orang yang pandai membuat topeng atau bersandiwara. Axela tidak bisa membuat wajahnya terlihat ramah, seberapa pun ia memaksakan dirinya untuk tersenyum, kedua mata serta raut wajah tidak akan turut menyunggingkan senyum. Cewek itu tertegun sejenak sebelum akhirnya tersenyum manis. Bila Axela benar di takdirkan tercipta sebagai cowok, ia mungkin akan terpesona. Hal ini membuatnya teringat dengan senyuman yang teramat dirindukannya. Ia hanya menyukai senyuman itu. Senyuman yang kini menghilang, membuat senyumannya turut memudar seiring berjalannya waktu. “Nggak,” jawab cewek itu seraya menggeleng.  Usai mengumpuli berkasnya, cewek itu berdiri. Postur tubuhnya memiliki tinggi melebihi Axela dan terbilang ideal. “Lo anak baru itu, kan?” tanya cewek itu, basa basi. “Ya.” Axela mengulum bibirnya, menampilkan senyuman kecil yang bergitu samar. Nyaris tidak terlihat bila sang lawan bicara tidak memerhatikan. Ia akui, ia sedikit gugup. Mengingat bahwa cewek inilah satu-satunya orang yang ingin berbicara padanya. Tatapannya begitu hangat seolah mengundang Axela untuk mengenal lebih. Ia tergiur untuk memiliki teman sekarang. Cewek itu megulurkan tangannya. “Gue Diana.” Senyuman manis yang terukir di wajahnya tidak pernah lepas seiring cewek itu berbicara atau mendengarkan lawan bicaranya membuka mulut. Good girl. “Axela,” balasnya seraya menyambut uluran tangan mulus Diana. “Nama yang unik.” Diana menyamai langkahnya dengan Axela. Entah, walaupun kaki Diana begitu jenjang dan indah, namun cara berjalannya terkesan anggun seperti siput sehingga membuat Axela harus memperlambat langkahnya yang panjang dan selalu terkesan terburu-buru. “Unik gimana?” Axela tahu, Diana ingin memulai percakapan dengannya. Kemudian ia menertawai dirinya sendiri dalam hati. Oh, ayolah! Siapa yang ingin berteman dengannya? Mau turut merasakan kebencian yang dilontarkan orang-orang padanya, beralih pada orang itu?  Bermimpilah memiliki sahabat, Axela. Semua yang terlihat baik saat ini hanya kamuflase. Batin Axela berdecak. Kenyataan memang panggung sandiwara termanis. “Axela … Kenapa bukan Alexa?” Kemudian Diana terkekeh. “Sori. Seharusnya gue tanya itu ke orang tua lo ya.” Axela tertegun. Kemudian ia hanya menggeleng samar, tidak menanggapinya lebih lanjut. “Lo kelas berapa?” Axela berusaha mengalihkan perhatian. “Dua belas. Sama kayak lo, kan?” Axela mengangguk kecil. “Secepat itu?” Diana mengernyit samar. “Apanya?” “Kedatangan gue.” Diana memanggut-manggut. “Siapa sih yang nggak mendengar kabar murid baru datang ke sini?” Ia ingin melanjutkan gosip-gosip sekolah tentang Axela yang didengarnya. Tentang cewek kumuh yang dingin dan diam-diam menjadi sorotan publik. Namun, takut menyinggung, Diana hanya melanjutkan, “Gue senang kita berteman. Padahal gue sempat mengira lo cewek yang angkuh dan sombong.” Terdengar nada hati-hati di balik kalimatnya barusan. Axela menghentikan langkahnya, membuat Diana turut menghentikan langkahnya. “Mereka nggak suka sama gue.” Diana mengangguk. “Hal yang sama juga gue alami, kok,” balasnya membuat Axela mengernyitkan dahi. “Seharusnya gue udah lulus. Kemampuan gue bisa di bilang lebih diatas rata-rata. Pihak guru mendukung gue untuk mengikuti akselerasi, tapi mereka membuat protes. Membuat berita murahan di majalah sekolah tentang gue yang selalu menyontek saat ulangan. Meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan PR. Dan bukan hanya itu, beasiswa gue juga di cabut begitu aja. Kedudukan gue sebagai wakil OSIS juga di coret dalam daftar.” Diana tersenyum getir. “Iri,” Axela bergumam pelan. “Sori?” Diana kurang menangkap suara itu. “Mereka iri sama lo yang bisa mendapatkan semua itu. Nggak usah dipikirin. Orang-orang kurang kerjaan kayak gitu cuma bisa jadi penghambat keberhasilan orang lain.” Entah, iblis berwujud malaikat yang seperti apa sedang melekat pada dirinya saat ini. Itu adalah kalimat terpanjang yang di lontarkan Axela! Geez! Adakah obat kumur pembersih mulut? Ia menggeleng samar, mengenyahkan pikiran murahan yang baru saja terlintas itu. Sepertinya Axela tidak sadar akan orang-orang itu yang kini menatap keduanya dengan dahi berkerut samar. Untunglah, sepertinya tidak ada salahnya. Dengan keberadaan Diana, Axela sanggup menganggap semua pandangan pembunuh itu hanya angin lalu. Atau karena kehadiran teman? Axela masih ragu untuk mengakuinya. “Lo laper nggak?” *** Hening. Selama perjalanan ke arah kantin, Axela hanya berjalan tanpa memedulikannya. Mau bagaimanapun pendapat orang, menurut Diana sendiri, cewek disampingnya ini adalah cewek baik yang ramah. Walaupun tak pernah terlihat senang, bahagia maupun antusias dengan pembicaraannya yang merembet kemana-mana, Axela tetap menghargainya dengan  menggumam, menanggapi setiap jeda kalimatnya. Sekali pun itu sangat singkat. Jadi, Diana lebih memilih untuk tutup mulut, takut bila Axela akan merasa tidak nyaman dengan pertemanannya yang baru saja dimulai. Sungguh, Diana ingin berteman dengannya. Entahlah. Menurutnya Axela berbeda dari mereka yang hanya memandang materi dan pergaulan ketika berteman. Hmm, benarkah? Diana pun belum tahu, dan ia penasaran. Itulah alasan mengapa ia mengikuti langkah Axela sekarang. Diana memasuki kantin bersama dengan Axela. Dengan tumpukan kertas dalam dekapannya, membuat Diana mempunyai alasan untuk mendalamkan dekapannya, upaya menyembunyikan debaran jantung yang melonjak setiap ia ingin berpapasan dengan mereka. Siapa lagi yang dimaksud selain cowok-cowok terpopuler seantero sekolah? Ya. Sekolah elit bernama Pradipta Harapan ini memang diisi begitu banyak siswa-siswi yang populer. Bisa karena materi, kecerdasan, keaktifan, jabatan orang tua, pergaulan kelas tinggi, atau hal-hal lain yang tidak bisa disebutkan. Dan tentu saja, Diana dan Axela bukan termasuk salah satunya. Diana tidak mengenal—hanya mengetahui—keempat cowok terpopuler itu, meskipun ia seangkatan dengan mereka. “Lo tau nggak peraturannya?! Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Nih, bersihin sebelum lo gue tendang!” Suara lantang itu memekikan telinga para penghuni kantin. Semuanya berkerumun, membuat lingkaran besar untuk menonton pertunjukan gratis yang tak bermoral pada pusatnya. Diana segera mengikuti Axela yang mengintip dari sela kerumunan penghalang itu. Oh tidak, sekarang ia seperti menonton sebuah drama. “Ayo, cepat!” Cewek cantik yang paling terpopuler sepenjuru sekolah menggerak-gerakan pergelangan kaki kirinya yang di bungkus oleh wedges ternama, sekarang terlihat seperti bakiak dengan adanya cairan berwarna yang menodai sepatunya. Heran, bukankah tidak pantas dikenakan saat sekolah? Ini tempatnya orang menuntut ilmu, bukan untuk bergaya! Tiffany. Cewek itu disebut The Most Wanted Girl of the Years, juga cewek terkejam di sekolah itu. Tentu saja karena harta kedua orang tuanya yang berlimpah, juga tampang cantik dan gayanya bak selebriti luar negeri itu menjadikan semua cowok tunduk padanya, tak terkecuali keempat cowok populer yang turut menyaksikan insiden itu dengan seringai dan tatapan menantang, seakan mewakili Tiffany. Tunggu! Itu bukan pujian. Cewek mungil di depannya berlutut. Axela juga Diana tidak dapat mengenalinya, karena dia memunggungi kami. Namun Axela bisa melihat kilatan licik dalam kedua mata cokelat Tiffany yang berdiri dihadapannya dengan senyum iblis. “Tunggu apa lagi?!” bentak Tiffany. Cewek bertubuh mungil yang malang itu sepertinya akan mempunyai masalah besar. Huh, hati kecil Diana ingin membantunya. Tapi apa daya, bisa-bisa ia terkena cipratan masalah, dan dampaknya amat sangat merugikannya. Axela mengatupkan bibirnya. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi sedikit pun. Namun hatinya tergerak, bagaimana pun juga cewek bertubuh mungil yang sekarang tengah menahan malu di depan semua orang termasuk dirinya yang paling memalukan dari semua yang memalukan seantero sekolah itu. Ia menajamkan pandangannya pada adegan tidak bermoral itu. Batinnya berharap, ini bukanlah tindakan konyol yang dapat merusak rencana awalnya. “Apa masalahnya nggak bisa diselesaikan dengan kata maaf?” Astaga! Mulut Diana ternganga melihat Axela yang berusaha membelah kerumunan. “Axela,” gumamnya lirih lantas menggigit bibirnya. Pandangan cewek itu tidak lepas dari punggung Axela yang telah menerobos kerumunan dengan mudahnya. Tiffany menoleh keasal suara dengan mata menyipit. Ia berpura-pura terharu dengan meletakan telapak tangannya di depan d**a. “Aw, sweet. So… ada yang ingin berperan sebagai pahlawan rupanya, ya?” Matanya menyipit ke arah Axela. “Sepenting apa perannya, sampai mau berurusan dengan gue?” sindirnya. Tiffany menghampiri Axela yang kini berposisi memunggungi Diana. “Bukan masalah apa perannya, tapi apa peran lo?” Mata hitam Axela menatap mata cokelat Tiffany di hadapannya. Menembus dinding pertahanannya. Tatapan itu. Axela berdiri dengan sedikit mendongak menatap Tiffany yang lebih tinggi darinya. Ia dapat menyadari kedua mata cewek bengis di hadapannya sedikit terbelalak karena tatapannya yang begitu mengintimidasi. Tentu saja Tiffany menyembunyikan keterkejutannya akibat tatapan itu. Mata hitam itu. Diana berani bersumpah, kalimatnya sedikit menggoyahkan reputasi Tiffany. Ia menyadari kebekuan Tiffany saat kalimat Axela itu meluncur tajam. Diana melihat di sekitar Tiffany dengan was-was, terdapat kedua temannya yang selalu mengekorinya dan berposisi di belakang kanan kirinya. Juga… Oh, Axela. Pergi sekarang juga! batin Diana. “Menantang gue rupanya.” Tiffany tertawa sinis. “Lo tau akiba—” “Nggak akan hidup tenang selama sekolah di sini?” Selak Axela dengan nada meremehkan, sanggup membuat Tiffany merasa sedikit tertohok dengan kalimat itu. Axela berdecih keras. Adegan itu benar-benar membuat semua orang tertegun dan nyaris menganga. Astaga, Axela bisa dikeluarkan dari sekolah itu! Ayolah Diana, bantu mereka. Namun, jujur saja Diana takut. Ia ingin menghampiri dan menarik Axela pergi, tapi ia takut… “Sori, basi.” Axela tersenyum miring. “Alasan basi saat lo gunain harta orang tua buat mengangkat derajat dan menjadi penguasa di sekolah. Lo boleh jadi ratu di mana pun. Tapi di sekolah, lo tetap seorang siswa…” Kedua matanya menyipit. “Tiffany Maxwell.” Axela tersenyum tipis, terlihat puas dengan kebekuan Tiffany karenanya. Senyuman samar yang membuat Tiffany menatapnya tajam seolah dapat menembus jantung Axela dan mematikannya telak. Axela tidak peduli. Ia menghampiri cewek mungil yang tidak kunjung berdiri, sehingga Axela harus menariknya paksa. Terlihat jelas sekali wajah pucat cewek tersebut. Axela tidak menyadari, keempat cowok yang menatap adegan itu memandang Axela dengan berbagai arti. Salah satu di antaranya keluar dari kerumunan, mencoba mengejar cewek itu. Sayangnya, Axela terlalu cepat menghilang. Sampai ia melihat cewek itu. Cewek yang pernah menjadi saingannya dalam memperebutkan juara umum dan ranking teratas, melangkah berusaha menyusul Axela. Axela telah membawa cewek mungil itu keluar dari kerumunan, Diana terkesiap dan segera mengekorinya dari belakang. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat merasa sebuah sepatu menghalangi langkahnya. Ia mendongak, nyaris memekik saat cowok manis itu tersenyum padanya. “Diana, kan?” *** “Jadi dia temen lo?” “Ehm, baru kenal sih, tadi.” Ia gugup. Sungguh. Maximilian merupakan bagian dari keempat cowok paling terpopuler di sini, kecerdasannya juga merupakan tandingannya. Dan… Mimpi apa Diana semalam? Seorang Diana bisa bertatap muka seperti ini dengannya. Max merupakan tipikal cowok yang paling pendiam dari keempatnya. Meskipun begitu, Max memiliki aura yang menyenangkan dan hangat. Memang sih, topiknya hanya membicarakan Axela. Entahlah, semoga cowok itu tidak menyukai temannya sendiri. Huh! Jujur saja, Diana menyukai cowok ini. Oh ayolah! Siapa yang tidak tergiur dengan Max? Tapi ia harus bersyukur dengan kehadiran Axela. Kalau bukan karenanya, ia mungkin tidak akan pernah diajak berbicara seperti ini dengan Max. Bisa berdekatan seperti ini saja sudah membuat… ah, tidak dapat diekspresikan bagaimana gembiranya Diana saat ini, seolah ia tengah dikelilingi ratusan kupu-kupu cantik yang menaburkan kelopak-kelopak bunga di atas kepalanya. “Dia anak baru itu, kan?” Lagi-lagi Diana hanya mengangguk. Diana tidak terlalu fokus mendengarkan karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Tapi ia juga tidak tahan untuk bertanya, mengapa cowok itu selalu menanyakan tentang Axela? Oh, oh! Pikiran buruk menghantuinya. Berpikir positif, Dee. “Memangnya kenapa?” Diana mengeluarkan suara yang terdengar semanis mungkin. “Gue sama yang lain baru masuk hari ini. Jadi… Yah, heran aja ngeliat adegan barusan. Jadi, selama ini belum ada yang berani melawan Tiffany—” “Termasuk lo, Maxy?” Diana bertanya dengan nada hati-hati, takut Max sedikit tersinggung. Tunggu! Maxy?! Diana mengumpat dalam hati. Betapa bodoh dirinya! Mengapa ia mengeluarkan sebutannya untuk cowok itu dalam mimpi penghantar tidurnya setiap malam?! Terkutuk sudah! Max terkekeh pelan. “Nggaklah. Tiffany? Ada juga dia yang takut sama kita, atau lebih tepatnya sih Orion,” ujarnya dengan senyuman. Max berdeham pelan, “Hm, Maxy?—” Astaga, lesungnya! Pekiknya dalam hati. “Kenapa sama Orion?” potong Diana segera. Sungguh, pikirannya sedang bercabang-cabang akibat senyuman dan suara seksi nan lembut cowok itu. Belum lagi jarak di antaranya begitu dekat. Ia juga tidak ingin Max mempermasalahkan panggilan itu. Ia khilaf, sungguh. “Lo nggak tau?” Max menautkan alis tebalnya, sebelum akhirnya ia mengangguk samar dan mulai menjelaskan. “Tiffany itu suka sama Orion dari pertama masuk sekolah ini. Dia pernah nyatain langsung, tapi ditolak sama sahabat gue itu. Yaiyalah, cewek kayak gitu nggak pantas bersanding sama Rion.” “Bukannya cocok? Ehm, maksud gue, Orion dan Tiffany itu sama-sama populer, derajat mereka sebanding. Masa sih Orion nggak mau? Tiffany cantik, pintar, kaya—” “Kenapa lo muji-muji dia?”  Max mengernyit, membuat sepasang alis tebalnya nyaris menyatu. “Ah, bukan. Cuma aneh aja. Kalau Orion nolak Tiffany, kenapa dia selalu ada buat Tiffany?” Diana meringis sendiri mendengar kalimatnya. Max terlihat menarik napas dalam. Ditatapnya Diana beberapa saat sebelum akhirnya ia bersuara, “Ada alasan tertentu kenapa Orion berpihak pada Tiffany. Kami sendiri belum yakin. Dan nggak akan pernah yakin sebenarnya. Gue ragu, kalau Tiffany lah orangnya.” Apa maksudnya? Diana membatin. Kening cewek itu sampai mengernyit, membuat Max diam-diam terkekeh tanpa disadarinya. Max melirik arlojinya. “Sori, gue harus balik.” Cowok itu berlalu mendahului Diana yang menatap punggunya kecewa. Namun, sedetik kemudian ia kembali tersenyum saat Max berbalik memberikan kalimat yang sanggup membuat debaran jantungnya meningkat. “Dan soal nama gue. Lo boleh panggil gue Maxy, tapi saat berdua aja. Itu terlalu cute.” Ia terkekeh. “Gue duluan ya, Dee.” Ya Tuhan! Sepertinya, Axela membawa berkah baginya. *** Gladys hanya dapat menatap miris pemandangan di hadapannya. Begitu jelas. Begitu nyata. Ia memang benar-benar sahabat yang bodoh! Bagaimana saat temanmu merasa tertindas? Bukankah kalian harus membantunya? Namun, apa yang ia lakukan sekarang? Gladys hanya bisa mematung melihat adegan itu. Oh, Tuhan. Rasanya ia ingin menarik Molly keluar dari adegan murahan itu! Tapi bagaimana ia bisa? Mengingat Tiffany-lah yang berurusan dengan sahabatnya tersebut. Hm, masih pantaskah ia mengatakan Molly sebagai sahabatnya? Tiffany sangat kejam dan semaunya. Belum lagi semua orang terlihat berpihak padanya dan mendukung sepenuhnya. Hanya dengan jentikan jari, semuanya bisa ia dapatkan. Brengsek! Seandainya dulu keadaannya tidak seperti ini. Ia pasti akan sanggup membayar beberapa orang untuk menyerangnya! Dan tentunya ia akan mempunyai banyak teman. Tidak seperti sekarang, 180 derajat sangat jauh berbeda. Gladys benar-benar akan mematahkan kakinya yang bergerak-gerak kalau ia mampu. Gladys lantas menoleh penuh pada cewek yang menerobos kerumunan. Astaga, dia anak baru itu! Batinnya. Entah mengapa, setiap kali melihatnya lewat dengan tidak disengaja, Gladys melihat aura berbeda dibalik sisi buruk penampilannya. Tunggu, raut apa itu? Sama sekali tidak terbaca di wajahnya. Tidak takutkah cewek itu dengan Tiffany? Mungkin cewek itu belum mengenal, bahkan mengetahui “siapa” yang berhadapan dengannya kini. Tiffany Rose. Berani sekali cewek itu. Gladys berharap semoga cewek itu tidak dikeluarkan akibat ulah “jiwa penolong”nya sendiri. Dan hatinya berharap, semoga cewek itu dapat membawa sahabatnya pergi dari adegan memalukan itu. Cewek itu bahkan berani menjawab Tiffany? Pendengarannya masih sempurna. Gladys tidak mungkin salah mendengar. Tatapannya langsung beralih pada para penjuru yang sedang menikmati dengan terkatup bahkan ada yang ternganga dengan insiden itu, tatapannya berhenti saat tertuju pada empat cowok yang terlihat semakin antusias dengan adegan tersebut. Ini buruk. Cowok-cowok terpopuler yang juga berteman dengan Tiffany, pasti tidak akan tinggal diam. Anak baru itu pasti akan terkena getahnya! Ya Tuhan, lindungi mereka yang patut dilindungi. Batinnya berharap cemas. Gladys kembali melihat adegan menegangkan tersebut. Saat ini dirinya begitu kagum dengan anak baru itu. Namun, terasa ada yang mengganjal dari kalimatnya sebelum cewek itu mengakhirinya. Wait… Tiffany Maxwell? *** “Mol, gue bener-bener minta maaf soal yang satu itu. Gue nggak bisa berkutik. Lo tau kan gimana kejamnya mereka?” Gladys merutuki dirinya sendiri saat kalimat itu terlontarkan. Bagaimana tidak, seorang sahabat tidak mau melindungi sahabatnya sendiri? Molly tahu, Gladys tidak akan berani terhadap kubu-kubu menakutkan itu. Begitupun juga dirinya. Molly tidak akan marah padanya. Biar bagaimanapun saat Gladys dulu sempat terjebak permainan Tiffany, Molly juga tidak mampu menolong. “Nggak apa-apa kok, Dys,” lirihnya. “Serius Moolll, gue minta maaf.” Gladys memeluknya erat. Astaga, seharusnya ia bertindak. Iya! Tapi tetap saja kakinya tidak bisa bergerak. Ia hanya berdua dengan Molly, bagaimana jika mereka diserbu layaknya hama yang dibasmi tanpa ampun? Belum lagi Orion pasti akan membantunya. Ah, cowok itu. Gladys masih begitu sakit karenanya. Pandangan Gladys beralih pada cewek di antara Molly dan Diana, “Thanks buat yang ini, Axela.” Diana yang memberitahu nama cewek itu. Nama yang terdengar… Unik? Entahlah, ia perlu banyak melatih lidahnya menyebut nama Axela agar tidak tertukar menjadi Alexa. Axela hanya mengangguk datar. “Gue duluan deh, mau ke toilet.” Baru dia mau meninggalkan mereka, namun Gladys mencegahnya agar ia tidak melewati koridor kelas musik di sebrang toilet perempuan. Axela menautkan alisnya. “Kenapa?” “Tiffany pasti merencanakan sesuatu buat lo. Jangan kesana, lo bakal dilabrak mereka.” “Segitu yakinnya?” Sebelah alisnya terangkat. “Xel, kami yang lebih tahu kebusukan Tiffany, dia pasti nggak akan tinggal diam untuk apa yang lo perbuat di kantin tadi,” Diana memperingatkan. “Emangnya apa yang gue perbuat? Menolong, apa termasuk pelanggaran?” tanyanya tetap tenang. “Mengikut campurkan diri lo untuk orang yang berurusan dengan Tiffany sangatlah salah.” Gladys tahu, ucapan itu terdengar menyakitkan untuk Molly, dia pasti akan mengira Gladys tidak menghargainya. Itu salah besar. Namun, yang di perlihatkan Axela bukan perasaan takut. Hanya saja kedua matanya yang sedikit menyipit. “Apa yang biasanya dia lakukan?” Gladys mengangkat bahu, “Tapi semakin elo melawan, dia semakin menjadi.” *** Molly sungguh takjub dengan apa yang dilakukannya. Wow, anak baru itu. Axela. Cewek itu telah menolongnya, dan sekarang Axela terlihat tak acuh dengan peringatan yang diberikan oleh Gladys maupun Diana. Huh, ia pikir ia akan mati tadi, mengingat betapa sakitnya Molly di permalukan banyak orang di kantin. Hanya karena ketidaksengajaan yang membuat minumannya tumpah mengenai sepatu mahal milik seorang Tiffany! Ia pun harus rela berlutut untuk membersihkannya. Molly memang tidak menangis, tapi ia mati-matian berusaha menahan tangis. Mungkin, dirinya sedang bermain drama korea dan beradegan seperti itu, ia akan di tolong oleh cowok ganteng nan menawan. Tapi ini? Molly bahkan tidak menyangka, seorang cewek, anak baru pula, tanpa berpikir panjang mau berurusan dengan Tiffany. TIFFANY! Mendengar namanya saja sudah mampu membuatnya bergidik. Namun ada yang mengganjal. Molly sempat mendengar Axela menyebut nama Tiffany dengan penuh tekanan, dan nama belakangnya ternyata Maxwell? Ah, yang benar saja. Jelas sekali nama belakang Tiffany adalah Rose. Terdengar sangat asing sekali kan? Ya begitulah, dengar-dengar dia itu keturunan Amerika, ayahnya adalah direktur utama perusahaan terbesar yang berdiri di Houston. Ia sangat yakin itu bukan nama Tiffany. Secara, siapa yang tidak mengenalnya? Cewek muda kaya raya dengan paras cantik namun berhati busuk bak iblis. Pantas perilakunya semau jidat! “MOL!” Seraya memutar badan ke asal suara ia mengerang pelan. “Ihh, jangan panggil gue beg—” Kalimatnya langsung menggantung di udara begitu tahu siapa yang memanggilnya dengan ejaan nama depannya. Seakan mengejek Molly dengan membandingkan tubuh mungilnya dengan secuil pisang “molen”. “Hu-Hug-Hug-o… Hugo?” “Jangan gugup begitu, berasa di kasih nama mirip anjing gue,” Hugo berdecak pelan, “Tapi nggak masalah, sih. Ada temennya ini.” “Maksudnya?” “Molly, nama lo mirip mendiang guguk gue yang udah wafat.” Hugo menyengir lebar saat cewek di hadapannya menggembungkan pipinya. Lucu. “Mau menghina, ya?” Molly memajukan bibirnya. “Nggak sepenuhnya,” Hugo berdeham pelan. “Hm, cuma mau tanya seputar wonder woman yang tadi. Itu temen lo?” Sebelah alisnya terangkat. Molly berniat menggeleng, namun entah mengapa ada dorongan untuk mengangguk. “Iya, kenapa?” “Nggak, cuma tanya aja. Dia anak baru itu, kan?” Molly mengangguk kembali. Tentu saja Hugo dan kawan-kawannya belum mengetahui tentang Axela. Saat cewek itu datang ke sekolah ini beberapa hari lalu, mereka berempat sedang bersenang-senang di luar tanpa menghiraukan absen yang menjadi pembantu semua pelajar dalam meningkatkan nilainya yang bernilai ‘nomor punggung’. “Gue rasa dia belum tau tentang siapa Tiffany, atau mungkin udah tahu? Karena baru dia yang berani ngelawan. Dan dugaan gue semakin yakin pas dia mengucap nama panjang Tiffany. Kayaknya dia salah orang kalau memang dia benar pernah kenal Tiffany. Tapi kalau belum, hmm… sayangnya Tiffany yang dia hadapi bukan Tiffany-Tiffany lain yang biasa,” jelasnya panjang lebar. Ah, benar juga. Dugaan-dugaan buruk yang bermunculan di kepalanya membuat Molly cemas. Semoga cewek itu akan baik-baik saja. Molly menunduk mengingat sifat pengecut yang mendominan dalam dirinya. “Hey.” Hugo mengangkat dagunya. “Peringatkan dia untuk berhenti melawan, itu akan membuat Tiffany semakin marah. Dan lo tau? Orion pasti bakalan ngebantuin dia, gue dan yang lain pasti ada di pihaknya. Jangan bermain-main.” Hugo berlalu, meninggalkan debaran di dadanya yang membuncah. Entah, debaran ini karena sikapnya yang tiba-tiba melembut atau karena peringatannya? Ini harus di kasih tau Axela!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

HOT NIGHT

read
605.6K
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook