bc

The Last Chef and Her Tempo Segreto

book_age12+
638
FOLLOW
1.7K
READ
independent
inspirational
drama
sweet
humorous
ambitious
self discover
poor to rich
weak to strong
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Merasa tidak memiliki mimpi apa pun untuk dikejar, Rosalind sempat berpikir seumur hidupnya akan bekerja sebagai pramuniaga di Serabut Kertas, sebuah toko alat tulis di Depok. Tapi, lambat laun, belas kasihan dari orang tua kekasihnya, Zeke, terasa semakin mencolok. Mereka menjadikan kedua orang tua Rosalind yang sudah renta sebagai sesuatu yang mereka sebut dengan “target proyek amal”.

Rosalind ingin melepaskan diri dari rasa sungkannya pada keluarga Zeke dengan memberanikan diri keluar dari zona nyamannya di Serabut Kertas, menjajal peruntungan sebagai seorang koki di restoran nusantara bernama Shasta Delicyo yang terletak di Pulau Gili Air.

Nahas, terjadi gempa besar di Lombok Timur, yang menyebabkan terjadinya kemerosotan perekonomian serta runtuhnya sebagian bangunan Shasta Delicyo. Melepaskan diri dari rasa sungkan pada keluarga Zeke jadi tampak semakin mustahil.

Namun, Rosalind berupaya untuk bangkit.

chap-preview
Free preview
1 - Rumah Raksasa Zeke
Rumah Zeke tidak pernah terasa pas. Cukup. Sesuai denganku. Tidak pernah. Rumah ini selalu menunjukkan jati dirinya. Megah, berlebihan, desain eksterior uniknya seperti gedung berbahan bata bermenara di Inggris, dan bagian teras depan yang kususuri ini selalu terasa seperti hanggar. Kegundahanku hampir tak terelakkan seandainya Zeke tidak menatapku secara berkala dengan menunjukkan senyum penuh harapnya. Dia berharap aku akan menikmatinya. Bukan soal rumahnya. Bukan soal bangunan raksasa yang rasa-rasanya cukup untuk mencagarkan dua lusin badak India ganas. Melainkan kunjungan keempatku kemari untuk mengunjungi orang tuanya. Zeke ingin aku fokus pada orang tuanya, Tuan dan Nyonya Hitana yang lebih suka dipanggil Om Erik dan Tante Belinda. Karena mereka tahu ketika aku menyebut mereka Tuan atau Nyonya, aku mulai terlihat minder, tidak nyaman, kurang bersahabat, dan dipenuhi desakan untuk kabur. Tapi, bagaimana bisa aku fokus hanya pada kedua orang tua Zeke saat pintu ganda setinggi tiga meter terbuka bahkan sebelum aku sempat merentangkan tangan untuk menyentuhnya? Tidak bisa. Aku terus-terusan memikirkan betapa kaya keluarga Zeke. "Terima kasih Lina." Zeke mengangguk ke kiri, dan kemudian mengangguk ke kanan. "Popi." Dua pelayan wanita di masing-masing sisi pintu membalas anggukan sopan Zeke dengan senyum yang sangat lebar. Selebar yang mungkin dilakukan mulut manusia yang menempel pada rahang. Pada tengkorak. Mereka sudah dilatih untuk itu. Kini mereka tersenyum padaku. Aku tidak bisa menolak keinginan untuk menilai seberapa licin seragam terusan berwarna abu-abu berkerah putih yang mereka kenakan. Penilaianku mengatakan cecak pun takkan sanggup merayap di sana. Di sudut pintu ketika berbelok ke kanan, aku melewati Lina yang sewangi kerenyahan buah pir. Aku menahan diri untuk mencari-cari remah daging buah putih rapuh basah yang beterbangan di udara karena tahu kalau itu hanyalah esens dalam parfum, dan bukannya percikan buah sungguhan. Kali keempat aku datang kemari dan masih saja merasa terlalu kerdil untuk rumah ini. Rumah yang seharusnya dinobatkan sebagai rumah dengan potongan jendela kaca terbanyak di Depok. Sebagai rumah dengan halaman rumput terluas dan tersubur di Depok. Sebagai rumah dengan jalur masuk mobil terpanjang dan terlebar di Depok. Dan tentu saja, rumah dengan pelayan atau staf (terserah mereka menyebutnya apa) terbanyak di Depok. Dan aku merasakan kombinasi tusukan rasa iri dan kagum di seluruh pori-pori kulitku. Mana yang mendominasi, aku tidak peduli. Aku hanya menjaga daguku tetap terangkat sementara mataku terlalu banyak berkedip dan tanganku terlalu cepat mengayun di sebelah Zeke yang berpembawaan tenang, nyaman, dan luwes. Seandainya aku jadi menikah dengan Zeke, aku akan menjadi Nyonya Hitana selanjutnya, generasi entah keberapa yang dimulai sejak kapan. Kecuali aku bertanya, Zeke tidak akan pernah dengan sengaja bercerita tentang keluarganya secara mendetail karena Zeke begitu mengenalku. Aku terlalu sungkan dan iri untuk mendengarkan legenda kekayaan keluarganya. Mereka bukanlah keluarga terkaya di Indonesia, tapi menurutku mereka kelewat makmur. Banyak keluarga yang lebih kaya dari keluarga Hitana. Namun, Hitana adalah satu-satunya keluarga konglomerat yang kukenal. Dan anak bungsu mereka merupakan kekasihku. Status itu tak henti-hentinya mendebarkanku setiap kali mengingatnya. Seorang pramuniaga toko peralatan tulis berpacaran dengan salah satu anggota keluarga Hitana yang menguasai pasar industri perhiasan di Indonesia. s****n. Sebuah bor listrik tergeletak di dekat baut yang bertebaran di sekitar kontainer plastik berpartisi membuatku tersandung. Zeke dengan sopan memeluk pinggangku dan segera menjauh setelah posisiku kembali stabil. Seketika aku berhenti memandangi kandelir kristal yang cahayanya begitu mentereng di langit-langit dekat tangga dan lebih memilih untuk memandangi lantai granit putih gading di bawahku yang mengilap oleh cahaya kandelir. "Di mana tukangnya, Lina? Kenapa peralatannya ditinggalkan sembarangan?" Senyum Zeke digantikan oleh kerut keheranan di sekitar dahi dan bibir gelapnya. Dia mengaku bukan seorang perokok, tapi oleh karena tone kulitnya yang gelap, pigmen bibirnya pun menyesuaikan. Rambut hitam Lina tampak klimis, disanggul rendah tapi erat. Dagunya yang terbelah di bawah bibir bawah yang lebih maju daripada bibir atas membuatnya tampak selalu cemberut dan ragu-ragu. "Tuan Alan yang menggarap kandelir ini, Tuan." Zeke mengernyit dan memandangku dengan tatapan geli. Kami menoleh ke dinding di dekat tangga setengah melingkar menuju lantai dua dan mendapati tangga lipat disandarkan ke sana dengan sudut yang agak lebar. Ruangan di bagian sini tiga meter lebih rendah daripada ruangan di sebelah kiri, tempat ruang tamu berada. "Di mana Alan?" tanya Zeke lagi. "Tuan Alan naik ke lantai dua tanpa meninggalkan pesan apa pun." Zeke memutar bola mata dan menggeleng-geleng. "Baiklah. Aku ingin meminta tolong padamu. Sampaikan pada Ayah dan Mama bahwa Rosalind telah tiba." "Baik, Tuan." Selagi Lina bergegas menaiki tangga menuju lantai dua, aku menoleh ke belakang untuk memeriksa keberadaan Popi. Gadis yang sepertinya lebih muda empat tahun dariku itu sudah tidak berdiri di dekat pintu dan di rumah seluas ini, dia bisa berada di mana saja. Zeke membimbingku menuju ruang tamu untuk menunggu Om Erik dan Tante Belinda. Aku menunduk. Seperti biasanya, merasa pening oleh kekayaan ini. Zeke sudah sering mengingatkanku. "Hitana nggak sekaya yang kamu pikirkan." Tidak sekaya itu, hanya mahasuperkayaraya. Dan keadaan tak berubah setelah dua tahun. Keluarga Hitana semakin kaya dengan bisnis toko perhiasan mereka sementara aku mengalami stagnasi sebagai pramuniaga di toko peralatan tulis bernama Serabut Kertas. Dan Zeke sungguh rendah hati mendukung karirku tersebut. Karir. Aku tidak malu menyebutnya sebagai karir. Siapa yang tahu aku akan dinobatkan sebagai pekerja terbaik tahun ini atau tahun depan dan kemudian dua tahun dari sekarang aku bisa saja menempati posisi kepala toko di cabang itu sebelum menginfiltrasi perusahaan itu dengan seluruh kemampuan pengorganisasianku yang sangat baik sampai akhirnya aku diangkat menjadi direktur utama, misalnya? Tidak ada yang tahu. Itulah sebabnya, segala pergerakan yang menghasilkan uang dan didorong oleh kepercayaan diri yang tinggi yang menghasilkan manfaat bagi lingkungan di sekitarku akan kusebut sebagai karir. Zeke, masih dalam balutan setelan perak berdasi ungu dan berkemeja putihnya, mempersilakanku duduk di sofa kulit panjang—yang sebenarnya merupakan perlakuan tidak adil. Lantai satu di bagian depan rumah tidak memiliki sekat dinding sehingga tampak sangat luas. Ruang tamu mendapatkan limpahan cahaya pagi dari jendela kaca enam kisi yang dibingkai oleh balok-balok kayu. Kaca itu memungkinkan kami untuk memandang ke luar bangunan, pada rumpun pohon runjung sehat setinggi tiga meter yang dibentuk menjadi kerucut sempurna di halaman berumput yang dekat dengan tepi kebun mangga yang teduh. Aku ingin duduk merenung ke luar jendela, yang hanya bisa kulakukan seandainya aku duduk di salah satu dari dua sofa tunggal—sofa yang lebih pantas diduduki ayah atau ibu Zeke ketimbang diriku. Sofa panjang ini malah melawan kehendakku untuk memandangi kebun mangga karena sofa ini membuatku duduk memunggungi jendela kaca. Mata belo Zeke berseri-seri saat memperhatikanku mengenyakkan diri di sofa. Tanpa Zeke sadari, ujung telinganya yang runcing senantiasa berkedut saat dia tertawa bahagia sehingga kebahagiaan Zeke tidak pernah bisa direkayasa. "Semua orang ada di rumah?" tanyaku. Karena termasuk senior di Serabut Kertas, aku bebas memilih hari liburku. Minggu ini, aku memilih Sabtu sebab Zeke bilang orang tuanya libur total di hari Sabtu sehingga aku bisa mengunjungi mereka pada pukul berapa pun. Termasuk pukul sepuluh pagi. "Aida bermain tenis. Sepertinya belum pulang," jawabnya sambil memeriksa arloji perak di pergelangan tangan kiri. Aida adalah anak sulung Juan, kakak pertamanya. Seingatku bocah cantik itu berumur empat belas tahun. Rumah ini jarang sepi. Kali terakhir berkunjung kemari, anak tunggal Megan—kakak kedua Zeke—yang berumur sembilan bulan sedang merangkak dengan penuh tenaga mengejar mobil hijau plastik yang kata Megan didapatnya dari biskuit telur kemasan. Aku mengingat bagaimana cara keluarga Hitana berpenampilan. Mereka rapi dan ringkas dalam cara yang elegan. Buket bunga dalam vas logam berbentuk gelembung menarik perhatianku. Buket itu terdiri dari dua jenis tanaman: lima kuntum mawar putih dan tanaman berdaun bulat kecil. Ludahku bergumpal di pangkal tenggorokan. Aku menelannya dengan susah payah. Mereka sangat suka membentuk sesuatu. Pertama pelayan, kedua pepohonan runjung, ketiga buket bunga. Mungkin berikutnya aku. "Ada apa?" Aku mendongak, menemui mata belo Zeke yang menatap dengan khawatir. Cukup lama aku hanya memandangnya tanpa berkedip. Zeke mencondongkan tubuhnya padaku dan menyentuh punggung tangan di atas lututku. "Kamu butuh sesuatu, Rosalind?" Pertanyaan itu mengusikku lebih dari apa pun. Karena keluarga Hitana bisa memenuhi segala materi yang kubutuhkan. Namun, di situlah letak permasalahannya. Aku merasa tidak nyaman dengan pemikiran mereka bisa memberiku segala hal yang tampak dan bisa dibeli dengan uang. Aku menggeleng, masih merasa pening oleh kewaspadaan yang tiba-tiba muncul. Mereka akan membentukku. "Nggak apa-apa," jawabku, tak lupa membubuhkan senyum tipis untuk mencegah kekhawatiran Zeke menjalar semakin jauh. "Kamu yakin?" "Seratus persen." Aku mengangguk dengan tegas. Zeke tersenyum. Senyum itulah yang membuatku takluk. "Alan bilang kalau seorang wanita berkata nggak apa-apa, mereka hanya sedang bersikap defensif. Tapi Alan nggak pernah menyinggung tentang wanita yang yakin dirinya baik-baik saja seratus persen." Karena itu merupakan dustaku sehingga Alan pun tak mampu membuat teori masuk akal yang berkenaan dengan itu. Seahli apa pun kakak ketiga Zeke itu dalam menghadapi wanita, aku yakin dia takkan bisa membuat sebuah teori berdasarkan kebohongan. Tak ada seorang pun yang bisa. Langkah kaki sekelompok orang yang menuruni tangga menggema sampai kemari. Mataku terbelalak. Mendadak aku berdiri dan menarik lengan sweter rajut lebih rendah lagi sampai bisa kugenggam ujungnya. Aku menepis kain chino yang dingin oleh suhu pendingin ruangan untuk memastikannya rapi dan bersih dari debu atau remah-remah atau apa pun. Lalu, saat melihat hanya Om Erik dan Tante Belinda serta Lina yang muncul dari tangga, aku langsung mengembuskan napas dengan lega. Kupikir seluruh anggota keluarga Hitana ikut turun untuk menyambut kunjunganku seperti kali pertama aku datang kemari. "Rosalind!" seru Om Erik dari jarak empat meter. Aku membayangkan seandainya isian roti bisa berteriak. Suaranya pasti akan serupa dengan suara Om Erik. Teredam dan bulat. Di atas meja kaca, kami bersalaman dan saling mengentakkan tangan. "Sudah tiga bulan, kan?" Aku berkedip-kedip. Beliau menghitung. Kali terakhir kami berjumpa tepat tiga bulan lalu. "Sudah tiga bulan… Om?" Aku segera memaki. Kenapa aku melengkingkan kata terakhir? s****n. Seharusnya aku memberi penekanan pada sebuah pernyataan, bukannya malah bertanya. Rosalind t***l. Aku tersenyum dengan ragu. "Ya, tiga bulan," ulangku, berharap tidak terdengar terlalu t***l.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Match (Indonesia)

read
172.9K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.5K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.0K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.7K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook