bc

Iparku Wanitaku

book_age18+
292
FOLLOW
3.8K
READ
drama
Writing Challenge
like
intro-logo
Blurb

Jika ipar adalah maut, itu benar adanya. Namun, bagaimana jika maut itu akibat dosa masa lalu yang tak kau ketahui? Novel ini akan membahas hal itu. Tentang sosok Aldo, Naima, dan Rafly. Dijamin mengaduk emosi.

chap-preview
Free preview
Hamil
“Hamil? Serius?” Rafly menarik tubuh Naima dalam dekapan. Berkali-kali dikecup pucuk kepala istrinya. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan. Setelah menunggu hampir dua tahun, apa yang mereka nantikan akan segera hadir. Rafly sungguh sangat bahagia, hingga air matanya perlahan turun. Namun, hal berbeda justru terlihat dari raut wajah Naima. Wanita itu terlihat cukup terkejut melihat hasil dari benda pipih yang ia pegang. Terutama saat melihat sosok yang tengah berdiri di depan pintu kamar. “Humm ... sayang. Terima kasih, ya. Mas sayang kamu.” Rafly melepaskan dekapan, membingkai wajah Naima sambil tersenyum. Lalu mengecup lembut keningnya lama. Binar kebahagiaan tergambar jelas di bola mata lelaki itu. “Hai. Mengapa gitu wajahnya?” tanya Rafly sambil menatap netra Naima. Ada sesuatu yang aneh di dalam binar matanya. “Enggak, Kok. Cuma kaget. Gak nyangka bakalan begini.” Naima mengulas senyum sambil kembali melirik ke sisi luar. Lelaki yang berada di luar melangkah kembali ke kamarnya. Merebahkan diri dengan kasar di pembaringan. Dirinya sungguh tak menyangka jika apa yang pernah terjadi malam itu membuat sebuah janin hidup di rahim Naima, iparnya sendiri. Aldo membuang napas kasar. Sebenarnya, ia pun belum yakin siapa ayah dari janin tersebut. Toh, mereka hanya melakukannya sekali. Apa mungkin langsung berhasil? Sedangkan Naima juga sering melakukannya dengan Rafly. Lelaki itu bangkit. Berjalan ke sana ke mari sambil menggenggam ponsel. Peluh membasahi seluruh tubuh. Kemungkinan buruk siapa ayah dari janin itu mengganggu pikirannya. Bagaimana kalau ia adalah ayah biologis janin itu? Ia menghentikan langkah, meremas rambutnya erat. Sesekali lelaki itu berteriak sambil menendang kesegala arah. “Ada apa, Bang?” tanya seseorang tiba-tiba. Aldo menoleh seketika. Di saat Rafly dan Naima ingin melangkah masuk, tangan Aldo lebih dulu menginstruksikan mereka untuk keluar. Sepasang suami-istri itu saling tatap hingga Rafly mengangguk dan meninggalkan Aldo. Secepat kilat Aldo menutup pintu dan menguncinya. ***** "Eh, Bang. Mari sarapan," ajak Rafly sambil tersenyum. Tak ingin menanggapi, Aldo memilih menyeruput kopi dan langsung berangkat kerja. Tak dipedulikan panggilan dari Rafly dan tatapan Naima yang sempat dilihat. Pikirannya telah tersita oleh janin dalam rahim Naima. Aldo melajukan kendaraan dengan kencang. Tak peduli suara klekson dan makian yang mengotori pendengaran. Berkali-kali ia nyaris saja menabrak kendaraan lain. Merasa pikirannya menjadi tidak fokus. Lelaki itu menepikan kendaraan. Ia memukul-mukul kendali. Lalu melipat kedua tangan di atasnya sambil menenggelamkan kepala. Pikiran lelaki itu berkelana pada kejadian dua bulan lalu saat Rafly tengah melakukan perjalanan keluar kota. Malam itu, hujan turun deras. Aldo tengah disibukkan dengan berkas yang harus diselesaikan untuk esok hari. Diseruputnya kopi herbal kesukaan. Awalnya semua berjalan biasa. Hingga tiba-tiba listrik padam dan membuat dia melonjak kaget. Bukan. Semata-mata bukan listrik yang padam yang menjadi penyebabnya. Melainkan suara teriakan Naima. Secepat kilat ia mengambil ponsel dan menyalakan senter. Dilangkahkan kakinya menuju kamar Naima dan Rafly. Awalnya Ia sedikit ragu untuk masuk. Namun, teriakan Naima kembali memaksa tubuh itu Masuk. Digoyangnya handle pintu. Di saat pintu terbuka. Secara tiba-tiba Naima berlari dan menjatuhkan tubuh kepelukannya. Aldo yang kaget perlahan sempat mundur satu langkah. Aroma tubuh Naima benar-benar memanjakan penciuman. Dihirupnya aroma tubuh itu hingga tanpa sadar tangannya terangkat dan mulai mendekap tubuh Naima. Mereka terhanyut dalam dekapan. Hingga Aldo terlebih dahulu sadar dan melepas rangkulan. Mereka saling tatap. Terasa ada sedikit getaran saat kedua netra itu beradu. Naima menundukkan kepala dan menatap dalam ubin yang berjejer. Begitu juga Aldo. Namun, ada sedikit yang berbeda dengan lelaki itu. Tatapannya memang mengarah ke bawah, tetapi tepat ke kaki mulus Naima. Perlahan pandangannya naik hingga menyadari tubuh itu tengah dibalut piyama satin yang sedikit membentuk tubuh. Aldo mengerjab seketika. Naima yang menyadari pandangan itu hanya menunduk. Wanita itu merapatkan kedua tangan dan menutupi dadanya yang tengah membuat Aldo meneguk saliva. "Ada apa?" tanya Aldo seketika dengan pandangan tetap mengarah ke bawah. "Naima kaget, Bang. Takut." Aldo menarik napas panjang. Pikirannya melayang kepada pesan yang diutarakan Rafly sebelum pergi. Adik semata wayangnya itu, mengatakan bahwa Naima phobia akan suara petir dan gelap. Sehingga, tak heran jika wanita itu sempat histeris tadi. "Huh! Abang kira apa. Ya sudah. Ponselmu mana? Nyalahin senternya." Tanpa bersuara, Naima mengangkat ponselnya tinggi. Layarnya terlihat gelap. "Lowbet," ujar Naima polos. "Ya, sudah. Ini pegang ponsel Abang. Tetapi, temani ke dapur dulu untuk cari lilin." Naima mengangguk. Dirangkulnya lengan kekar Aldo. Lelaki itu kembali merasakan sebuah desiran hebat. Sesekali matanya melirik pada kaki mulus adik ipar. Hingga ia harus kembali meneguk saliva. Aldo membongkar semua laci dan almari untuk mencari lilin. Namun, benda yang dicari tak ditemukan. Dengan langkah berat akhirnya mereka memutuskan menunggu lampu menyala di ruang keluarga. "Kamu ... gak mau ganti baju dulu?" tanyanya sambil melirik. "Takut ah, Bang. Entar kalau ada petir gimana?" Aldo melirik ke arah Naima. Tanpa sengaja pandangannya mengarah pada bibir tipis wanita itu. Ia kembali meneguk saliva. "Kamu nyaman menggunakan pakaian seperti itu di depan Abang?" Naima menggeleng. "Terus?" "Takut," jawabannya santai. Aldo menggeleng mendengar jawabannya. "Ya, sudah. Kamu bawa ponsel Abang. Abang akan tunggu di luar." Naima mengangguk dan mulai melangkah menuju kamar. Di belakangnya, Aldo tengah berjalan dengan tidak fokus. Berkali-kali ia nyaris tersandung. Piyama yang digunakan benar-benar membentuk tubuh Naima dengan sempurna. Ceklek! Langkah Aldo terhenti saat melihat pintu kamar tertutup. Ia menunggu dengan setia tepat di depan pintu. Tak bergerak sedikitpun. Perlahan rasa bosan mulai menyerang. Dengan hanya mengandalkan rabaan. Ia melangkah kembali ke kamar yang berada tepat di sebelah. Dirapikan seluruh berkas di ranjang dengan pencahayaan seadanya. Setelah selesai, direbahkannya tubuh letih itu perlahan. Lalu menutup mata. Sekelebat bayangan kemolekan Naima muncul saat mata itu mulai terpejam. Desir dalam darah semakin kuat diikuti darah yang memanas. Aldo menarik napas panjang. Netranya kembali terbuka. Diliriknya jam yang menempel di dinding. Dengan kesulitan ia berusaha melihat waktu yang ditunjukkan oleh jam itu. Pukul 01.30 dini hari. Lampu belum juga menyala. Suara rinai hujan semakin keras terdengar. Udara dingin juga semakin terasa. Aldo berdiri menatap jauh ke depan. ''Rafly benar-benar beruntung,'' gumamnya sambil melipat kedua tangan di depan d**a, berharap bisa mengurangi rasa dingin. "Bang. Bang Aldo." Lelaki itu menoleh. Lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Naima dengan pakaian sama tengah berdiri dengan wajah sendu. "Astaga! Kau belum juga berganti pakaian?" tanya Aldo sambil menahan darah yang mulai memanas. "Ini." Naima mengangkat tangannya. Lelaki itu berdecak kesal. Ternyata ponselnya tak jauh berbeda. Kini tak ada penerangan yang membantu mereka. Duar! Seketika Naima melompat dan memeluk tubuh Aldo erat. Kini tak hanya harum tubuh wanita itu, aroma rambutnya juga telah memanjakan penciuman lelaki yang tengah mematung. Dihirupnya aroma itu dalam. Perlahan tangan Aldo naik dan mendekap erat wanita itu hingga rasa hangat mulai menjalar disertai embusan angin yang masuk melalui celah fentilasi. Lama mereka saling dekap. Hingga rasa hangat semakin menjalar. Perlahan Aldo melepas dekapan. Ditatapnya wajah ayu Naima. Pandangannya mulai turun ke bibir tipis itu. Mendekatkan wajah dan mengirimkan kehangatan pada bibir adik iparnya. Ia sempat melepas kecupan dan menatap Naima lama. Lelaki itu khawatir jika iparnya tersinggung. Sejenak mereka saling tatap dan berusaha mentralisir desiran dalam d**a. Tanpa di duga, Naima mendekatkan wajah dan mulai mengecup lembut bibir Aldo hingga tubuh mereka semakin menghangat dan  perlahan Aldo menarik Naima ke dalam. Malam itu, kedua insan saling memberikan kehangatan. Udara dingin serta listrik yang padam membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Bagi mereka, kehangatan jauh lebih penting dari apapun. Naima berada dalam dekapan Aldo. Lelaki itu menatap lekat wajah ayu iparnya yang tengah tertidur dengan tubuh polos. Ia begitu gembira bisa menghabiskan malam bersama. Walau tahu apa yang dilakukan tidak benar. Toh, ia hanya lelaki dewasa yang normal. Yang jelas bisa tergoda dengan kemolekan tubuh wanita. Sehingga apa yang telah mereka lakukan membuatnya cukup menikmatinya. Terutama saat mendengar sang adik ipar mendesah. Seperti sebuah nyanyian merdu yang memanjakan telinga hingga ia terlena. Mereka benar-benar lupa bahwa apa yang baru saja mereka lakukan bisa saja menimbulkan masalah dikemudian hari. Dering ponsel membuyarkan lamunan Aldo. Ia mengangkat kepala, mengambil ponsel dan mengangkat panggilan. Tertera nama Sheila, sang sekretaris di sana. "Halo, Pak Bos. Di mana?" tanya Sheila. "Di jalan. Macet," jawab Aldo singkat. Dari obrolan dengan Sheila, diketahui bahwa para klien yang akan melakukan rapat dengan Aldo telah tiba. Mereka sedang menunggu di lobi kantor. Dengan rasa campur baur Aldo menantikan ponsel dan kembali melajukan kendaraan. Setengah jam berlalu. Aldo kini tiba di sebuah gedung bertingkat. Diparkirnya kendaraan di tempat yang tersedia. Turun dan langsung masuk ke dalam. Di lobi kantor, telah berkumpul beberapa orang yang menunggunya. Seketika mereka bangkit saat melihat kedatangan Aldo. Seluruh yang hadir menjabat tangannya. Sheila, sekretarisnya sudah berdiri di samping lelaki itu sambil membawa beberapa map. “Selamat pagi semua. Maaf saya terlambat,” uajr Aldo sambil melihat jam tangannya. Para tamu membalas sapaannya dengan tersenyum. Mereka langsung menuju ruang rapat mengikuti arahan Sheila. Rapat dimulai dengan khitmah. Hari ini ialah jadwal pemaparan tawaran proyek dari PT. Perkasa Abdi yang dimiliki oleh Broto Laksana. Salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Utusan perusahaan itu telah menyampaikan beberapa tawaran prihal proyek yang akan segera dimulai. Pikiran Aldo kembali tak fokus. Ia berkali-kali meremas kepala sambil meneracau tak jelas. Pikirannya kembali pada Naima dan janin yang dikandung. Entah mengapa ia sangat yakin jika ayah dari janin yang dikandung ialah dirinya sendiri. Terlintas bagaimana wajah Naima terlihat sangat menikmati kekhilafan mereka saat itu. Ada rasa ingin mengulangi hal itu. Namun, Aldo sadar. Apa yang mereka lakukan saat itu hanya kebetulan yang sungguh menyenangkan baginya. Ia menarik napas panjang. Pikirannya kembali ke masa kini saat lengannya disikut oleh Sheila. Aldo tak menyadari jika sejak tadi sekretarisnya tengah menatapnya heran. “Bagaimana Pak Aldo?” tanya seorang lelaki yang merupakan utusan kliennya setelah persentasi. "Humm. Terima kasih atas pemaparannya. Semoga kita dapat bekerjasama dengan baik. Selanjutnya, kabar akan dikirim oleh sekretaris saya." Aldo berdiri dan menjabat tangan dengan kliennya. Mereka akhirnya berpisah. Aldo melangkah menuju ruangan. Saat pintu dibuka, terlihat jelas ruangan yang cukup besar di sana. Sofa empuk, AC, laptop, dispenser di sudut ruangan, TV plasma tertata rapi. Tingginya jabatan yang ia emban jelas saja membuat begitu banyak fasilitas pada ruangan itu. Aldo merebahkan diri di sofa. Menutup mata dengan lengan dan perlahan mulai tertidur. Dalam benaknya, memori malam itu kembali muncul. Terlihat jelas bagaimana raut wajah Naima setelah mereka melakukannya. Saat itu, ia dan Naima hanya diam dan saling tatap. Naima tengah memegang selimut yang menutupi tubuh polosnya. Tak ada gurat penyesalan di sana. Malah, ia yang dirundung rasa bersalah. Walau naluri lelakinya menuntut lebih dan ingin mengulanginya lagi. Lama mereka saling diam hingga Aldo memutuskan beranjak dan memungut pakaian yang ada. "Maaf. Abang mandi dulu. Kembalilah ke kamarmu dan bersihkan diri." Aldo melangkah menuju kamar mandi yang terdapat di ruang tidur. Sejenak membalik badan dan melihat Naima yang tengah kesulitan menutupi tubuhnya dengan selimut. Hingga selimut itu sempat terjatuh dan memperlihatkan tubuh mulusnya. Wanita itu berbalik dan kembali terasa desiran halus saat netra itu beradu. Secara serempak mereka memalingkan wajah dan melanjutkan tujuan mereka. Aldo menarik napas panjang. Jantungnya memompa lebih cepat saat matanya terbuka dan melihat seorang wanita yang menatap dirinya tajam. Ia mengerjab seketika dan mulai menyadari bahwa Sheila tengah berdiri sambil membawa beberapa berkas. "Ini, Pak. Harus diselesaikan hari ini." Sheila tersenyum dan meletakkan berkas di atas meja kerja Aldo. Lelaki itu mengangguk dan mempersilahkan sekretarisnya pergi. “Shel,” panggilnya. “Ya, Boos.” “Buatkan saya kopi seperti biasa.” Sheila mengangguk. Ia kembali menarik napas panjang saat melihat tumpukan berkas yang nyaris memenuhi meja kerja lelaki itu. "Banyak banget lagi." Ia mulai membuka satu per satu. Rasa jenuh menyerang saat ia sampai pada berkas kelima. Ditutupnya map itu, bangkit dan melangkah menuju jendela. Menatap langit dengan sinar mentari yang mulai meninggi. Di tempat lain, seorang wanita tengah melamun sambil tangannya mengelus perut yang masih rata. Pikirannya melayang jauh ke kejadian malam itu. Naima sendiri tak menyangka hal itu akan terjadi. Saat Abang iparnya meminjamkan ponsel untuk menyinari ruangan agar membantunya mengganti pakaian. Entah mengapa, ia malah tertarik membuka sosmed. Hingga terbuai dan tak menyadari baterai ponsel yang kian menipis. Saat baterai habis sedangkan ia belum mengganti pakaian, Naima menjadi bingung. Tetap mengganti pakaian dalam gelap atau meminta bantuan Aldo untuk solusi lainnya. Saat itu, ia akhirnya nekad keluar kamar dan mengetuk pintu Aldo. Tak lama abang iparnya keluar. Lelaki itu sempat bertanya mengapa ia belum juga berganti pakaian. Saat rasa dingin mulai menyergap. Suara petir terdengar menggelegar hingga tanpa sadar ia melompat dan mendekap erat tubuh kekar Aldo. Aroma maskulin iparnya seperti menghipnotos wanita itu untuk mengeratkan pelukan. Naima bena-benar terlena dengan aroma itu. Perlahan dekapan itu dilepas Aldo. Netra mereka saling beradu hingga bibirnya terasa hangat berkat sapuan bibir Aldo. Ia mengerjab. Tak menyangkan hal itu bakal terjadi. Di saat kecupan itu mulai menghangatkan tubuh. Aldo melepaskannya. Netra mereka kembali beradu. Tubuh Naima menghangat. Setelah nyaris sebulan ia tak merasakan sentuhan. Apa yang baru saja mereka lakukan menuntun Naima untuk meminta lebih. Perlahan ia mendekat dan mendaratkan kecupan hangat pada Aldo hingga tindakan mereka berakhir di atas ranjang. Bibir Naima mengulas senyum. Ia sangat tahu kejadian malam itu ialah pengalaman pertama bagi Aldo. Namun, perlakukan lembut Aldo tanpa sadar membuatnya merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sosok abang iparnya itu. Bahkan, terlintas dalam benaknya untuk melakukan kembali dengan lelaki itu suatu saat. "Hai, Sayang. Kok melamun?" Naima menoleh seketika. Rafly tengah tersenyum, perlahan duduk sambil menariknya ke dalam dekapan. Wanita itu tersenyum. "Gak kenapa-napa, Kok. Lagi bahagia aja. Gak nyangka akhirnya Naima hamil. Semoga sehat-sehat sampai lahiran, ya?" "Aamiin ...." ucap mereka bersamaan. "Nanti kalau pas jadwal periksa Mas kerja. Kamu pergi bareng Bang Aldo, ya? Nanti Mas yang minta tolong. " Naima mengangguk. Ia tersenyum bahagia. Setelah ini, mereka akan kembali memiliki waktu bersama. Meski ada sedikit rasa kecewa menyergap saat mendengar penuturan Rafly. Kesibukan yang Rafly lakukan jelas membuat Naima sering merasa kesal. Apalagi saat ini ia tengah hamil. Jelas saja membutuhkan perhatian ekstra. Namun, kesibukan sang suami kembali menyita waktu mereka. Bahkan sering kali Aldo lah yang membantunya melakukan hal-hal kecil seperti meletakkan galon ke dispenser dan lainnya. Aktifitas sederhana itu terkadang membuat Naima merasa nyaman saat berada di sisi Aldo. *****          

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bermain Panas dengan Bosku

read
1.2M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Sexy game with the boss

read
1.1M
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

PEPPERMINT

read
369.7K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
161.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook