bc

Living with sexy CEO

book_age18+
43.9K
FOLLOW
277.7K
READ
billionaire
independent
CEO
boss
sweet
bxg
office/work place
slice of life
virgin
wild
like
intro-logo
Blurb

[ADULT CONTENT!]

Axelle Orlando menarik napas panjang begitu merasakan belaian itu semakin turun ke arah perutnya. Tangan terampil menyingkap kaus dan mulai melajukan jemari di atas tubuhnya, lalu sentuhan itu terus naik ke atas, menyentuh dadanya yang bidang dan erangan manis itu keluar dari mulut Celia Alexandra.

"Kenapa lo masih tidur aja, sih, Xel?"

Nada manja penuh godaan itu sukses membuat Axel mengucapkan ribuan jampi-jampi dengan nama hewan dari kebun binatang, sebelum dia berdoa supaya Celia lekas melepaskan dirinya dan pergi dari kamarnya.

Namun, harapannya sirna begitu ia merasakan tangan halus itu mulai menggerayangi benda kebanggaannya.

Cukup sudah kesabarannya diuji!

"Ahhh ...."

Celia menggeliat gelisah, bibirnya mendesah. Wajahnya memerah dan hal itu membuat Axel merasa puas.

"Makanya, jangan godain macan sembarangan," gumamnya di antara dua bukit yang kini berada dalam cengkeraman kedua tangannya.

"Emh ... enak, Xel ... enak banget ...."

"Hmhh, bakal lebih enak lagi kalau kita terusin sampai selesai," katanya yang mendapat anggukan persetujuan, ditambah dua kaki jenjang yang kini melilit pinggangnya erat.

"Lanjutkan, sampai selesai ... sampai ...."

[Cuplikan bab 18]

___

All right reserved by Dark Lavender

chap-preview
Free preview
01
"XEL! Axel!" Laki-laki berambut hitam jabrik itu tersenyum tipis saat melihat sang Nenek tiba-tiba mengambil tempat duduk di sebelahnya sambil mepet-mepet ke tubuhnya. Senyuman mengembang di bibirnya menyebarkan aura yang membuat Axel merasa tidak nyaman. Dia menatap neneknya dengan senyum senormal mungkin, walau hatinya sedang meringis. Ia sedang membayangkan sesuatu yang mungkin akan dibahas neneknya kali ini. "Kenapa, Nek?" tanyanya tenang, mencoba menyembunyikan semua emosinya seperti biasa. "Kamu ... nggak bawa calon gitu ke sini?" tanyanya sembari mengedipkan mata kanannya. Tiba-tiba saja sisi lain Axel sudah ditempati oleh bibinya dan membuat pria itu berada di tengah-tengah mereka. Dua wanita yang selalu sibuk merecoki kehidupannya soal asmara. "Iya, nih, udah sukses gitu, masa belum mau bawa calon istri ke sini?" sahut sang Bibi dengan senyuman serupa neneknya. Mereka seperti berniat sekali memojokkan Axel kali ini. "Iya ... belum ada yang pas," sahutnya kalem. "Yakin?" Neneknya menatap Axel curiga. "Bukan karena kamu memang tidak punya niatan untuk menikah?" "Bukan, Nek. Memang belum ketemu calonnya aja," jawabnya mencoba tenang. Bibinya tiba-tiba mengambil satu tangan Axel dan menggenggamnya erat. "Sayang banget, lho, Xel. Kamu udah dewasa gini, ganteng, mapan pula, tapi calonnya nggak ada." Tatapan bibinya berhenti pada anak laki-laki Tante Fera yang bulan lalu mengumumkan pertunangan dengan kekasihnya bulan depan. Donny tidak ganteng-ganteng amat, fisiknya pun biasa saja, dewasa, sih, iya, tapi kalau masalah mapan ... kastanya terlalu jauh lebih rendah daripada Axel. "Lihat, tuh, masa kamu kalah sama Donny yang diam-diam udah mau nikah?" Neneknya ikut menyambung. Axel benar-benar yakin mereka sengaja memojokkannya begini. "Atau jangan-jangan, kamu sudah punya calon, tapi belum mau bawa ke sini, ya?" Axel tersenyum masam. Dia tidak pernah berpikir untuk pacaran di usia dua puluhan. Dia masih ingin bekerja, meneruskan usaha ayahnya, dan semakin mensukseskannya sebelum ia mengurus soal asmara yang kabarnya lebih pelik dari masalah perusahaan yang hampir gulung tikar. Dia mendengar beberapa curhat teman-temannya dari SMA. Terutama si James yang diam-diam menyukai teman masa kecilnya, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Revan yang hampir punya pikiran buat merebut istri teman baiknya sendiri, tapi mundur karena ngeri. Lalu Raffa yang diam-diam menikah dan jadi bucin setengah mati pada istrinya—yang kata Revan aneh bin ajaib. Axel belum siap mengalami semua itu, walau sekarang pekerjaannya sudah lebih dari cukup untuk bisa menghidupinya seumur hidup. Kekayaan keluarganya tentunya sangat banyak, tapi di balik semua kesuksesan itu tidak ada satu nama wanita pun yang membayangi hidupnya dengan sang Ayah. Ibunya meninggal dunia saat ia melahirkan adik perempuannya. Tak berselang lama, adiknya pun pamit dan mengikuti jejak ibunya. Pada akhirnya, dia hanya hidup berdua dengan ayahnya, terlebih ayahnya memang tidak mau menikah lagi dan mengalami sakit hati lantaran ditinggal istri dan anaknya dalam waktu singkat. Axel pun tidak pernah meminta lebih, apalagi keluarganya termasuk keluarga besar yang tidak mungkin tiba-tiba merasa kesepian. Terlebih, setiap tiga bulan sekali, mereka akan berkumpul seperti sekarang. "Kamu mau Bibi carikan?" Axel menggeleng tegas. Dia tidak mau dijodohkan. Dia bisa mencari pasangannya sendiri, walau sosok itu sekarang belum terlihat batang hidungnya, tapi ia yakin orang itu akan datang pada saatnya. "Kenapa nggak mau?" tanya Bibi Sandra sambil mengernyitkan dahi. Satu-satunya bibi yang paling peduli dengan Axel sejak kematian ibunya adalah Bibi Sandra, tidak jarang ia akan berlaku seperti orang tuanya, bukannya bibinya. "Masih ada banyak waktu, Bi." Axel tersenyum, dia pun bangkit. "Nanti kalau udah ketemu yang pas, Bibi sama Nenek yang akan Axel kasih tahu pertama kali." Axel pergi dari sana, tentunya menyelamatkan diri dari celotehan Bibi Sandra dan neneknya yang klop sekali walau usia mereka berjarak puluhan tahun. Laki-laki itu baru saja menghela napas lega, sambil menyugar rambutnya, saat tepukan di bahunya ia terima dan membuatnya terlonjak. Dia menoleh dan menatap orang itu dengan wajah dingin. "Kaget, lo?" Laki-laki yang memakai jaket mahal berwarna army dengan rambut klimis panjang sampai melewati telinga itu menatapnya penuh senyum mengejek. "Jadi, mana cewek lo?" "Nggak ada," jawabnya datar. "Nggak ada?" Dante tertawa terbahak-bahak sambil memukuli bahunya lagi, kali ini lebih keras dari yang tadi. "Aduh, Bro! Lo udah dua enam, tapi nggak pernah pacaran, nggak pernah dekat sama cewek beneran. Jangan-jangan lo punya gangguan?" "Udahlah, Te! Lo jangan gangguin dia mulu!" Josh bergabung dengan mereka. "Axel itu sibuk kerja keras, lo nggak tahu apa gimana? Kalau si Axel sekarang, kan, jadi direktur utamanya AOC." Axel menatap Josh sinis. "Kenapa?" Josh memang tidak suka dengannya. Axel tidak kaget kalau laki-laki itu siap mencari gara-gara kapan saja. "Lo itu cuma boneka, yang jalanin perusahaan tetap Om Kellan, lo nggak akan bisa apa-apa tanpa dukungan Om Kellan." Axel menatapnya tidak senang. "Emang lo tahu semuanya?" "Alah, semua orang juga tahu kalau selama ini lo dijadiin boneka sama bokap lo sendiri. Kenapa, lo nggak mau ngaku? Malu?" Dante langsung menahan d**a Josh. "Tenang ... tenang, kita di sini buat kangen-kangenan, bukan buat berantem apalagi musuhan begini." Axel dan Josh menatap Dante tajam. "Diem lo!" Gue belain dia, tapi gue juga yang kena, batin Dante merana sendiri. "Gue nggak malu, terus ngapain gue harus ngaku. Ngaku apaan? Gue kerja-kerja sendiri, meras otak sendiri, sejak kapan gue jadi boneka bokap kalau gue bisa jalanin semuanya dengan tangan gue sendiri?" balas Axel yang sudah termakan provokasi. "Oh, yang bener? Bukannya lo masih dititah Om Kellan di mana-mana, ya?" Josh menyeringai, karena ia akhirnya bisa meruntuhkan ketenangan seorang Axelle Orlando yang paling terkenal kalem di seluruh keluarga besar mereka. Dante harus terpaksa jadi wasit. Dia memutar otak, lalu ia teringat salah satu masalah internal di salah satu lini AOC yang ada di luar kota. "Ah ... gini aja!" serunya yang mendapat delikan dari dua orang yang sedang mengadu tatapan maut. "Xel, lini perusahaan lo kabarnya ada yang mau bangkrut, kan?" "Hm, jadwal gue masih tiga bulan lagi buat ngecek. Sekarang gue fokus buat nanganin masalah proyek pembangunan hotel di wilayah puncak. Kenapa?" Josh sepertinya tertarik dengan ide Dante kali ini. "Gini aja, lo tinggalin posisi lo sekarang dan pindah ke sana. Lo harus balikin lini perusahaan lo kayak semula atau malah sukses, soal biaya modal, gue bisa bantu. Gimana? Bukannya lebih cepat lo buktiin aja kalau lo bukan boneka, daripada adu debat, tarik urat, nggak jelas begini?" Axel menatap Josh. "Lo gimana?" Josh mengangkat bahunya. "Gue, sih, setuju aja." Axel menghela napas panjang. "Oke, gue izin ke dulu sebelum gue ninggalin posisi gue sekarang." Dante tersenyum senang, sedang Josh tersenyum puas. Dengan begini, Axel tidak akan lagi dipuji-puji ayahnya karena prestasinya di usia muda sungguh sangat membanggakan. Josh iri, ayahnya selalu membanding-bandingkannya dengan Axel. Dan ia akan membuktikan, kalau Axel tak sejenius yang dibicarakan orang-orang. Sedangkan Axel mulai memikirkan masalah internal perusahaan yang akan ia ambil alih itu. Bukan masalah yang pelik, karena masalah terbesarnya adalah pegawai perusahaan itu yang kurang kompeten dalam melayani pelanggan. Itu artinya, dia di sana akan menjadi bos yang cerewet dan kerap marah-marah. Ah ... membayangkan dia yang biasanya kalem, pendiam, dan tenang, akan kumur-kumur mengocehkan banyak hal, langsung membuat perutnya mulas dan kepalanya pusing bukan main. Sepertinya ia harus siap-siap obat sebelum dia mulai terkena hipertensi. _____ Revisi : 03-03-2021

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Hot Boss (Indonesia)

read
660.7K
bc

My Sexy Boss ⚠️

read
539.5K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

SEXY LITTLE SISTER (Bahasa Indonesia)

read
307.8K
bc

Sexy game with the boss

read
1.1M
bc

Papah Mertua

read
530.0K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
923.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook