bc

Innocent Girl

book_age16+
839
FOLLOW
3.6K
READ
possessive
comedy
sweet
humorous
shy
like
intro-logo
Blurb

"Btari," panggilnya, lagi.

"Aku nggak mau nikah kalau bukan sama Abang!"

Bang Hans menarik napas panjang. Sebelah tangannya ia letakkan di belakang lehernya, kemudian yang kulihat laki-laki itu memijatnya pelan.

"Kamu yakin mau sama Abang?" tanyanya, tatapannya terarah lurus ke manik mataku.

Aku mengangguk penuh keyakinan.

"Usia kita berbeda jauh."

"Kata Kak Chua, usia bukan masalah selama saling menyayangi," kataku, kemudian mengangguk.

Kuperhatikan raut wajah Bang Hans. Tampak sekali laki-laki itu sedang berpikir keras. Ada yang salah dengan kata-kataku barusan?

"Abang cukup tua buat kamu yang masih remaja," gumamnya.

Aku menegakkan badan, menatap Bang Hans, kesal. "Nggak masalah!"

"Kamu siap menghadapi Ayah sama Ibu kalau seandainya mereka nggak setuju?"

"Iya. Asal Abang juga mau berjuang sama-sama aku."

Bang Hans mengembuskan napas panjang, dan menatapku kembali. "Kasih Abang waktu, sebentar aja."

"Oke." Kepalaku mengangguk, menyetujui keinginan Abang. "Tiga hari!" aku menunjukkan ketiga jariku di depan wajahnya. "Lebih dari tiga hari, aku minta izin sama Ayah dan Ibu sendiri kalau aku mau nikah sama Abang!" kataku, terdengar final.

Cover by: Canva

chap-preview
Free preview
Prolog
Harusnya, sih, Btari dengan semangat menambah keramaian makan malam karena ada Nao. Adik bungsunya, itu, tahu-tahu muncul di depan rumah sore tadi, dan masih mengenakan seragam sekolahnya. Nao mengoceh, cowok itu nggak berhenti menggerutu karena Abang dan kedua Kakak perempuannya tidak ada yang menjemputnya di Stasiun. Btari mengerutkan dahi, ternyata, apa yang dibilang Nao beberapa hari lalu tidak bercanda. Adiknya benar-benar pergi ke Jakarta sendirian. Nggak takut nyasar kayaknya. Ini sebuah keajaiban, lho. Nao yang biasanya takut buat pergi ke mana-mana dan selalu minta diantar oleh Btari, atau ketika Hans pulang ke Surabaya, maka Nao tidak akan berhenti merengek dan memborbardir kakaknya agar mau menemaninya ke mana pun. Cuma mau pergi ke minimarket seberang rumah aja, Nao guling-guling, nggak mau pergi sendirian katanya. Takut diculik. "Siapa yang mau culik lo, sih. Makan lo, tuh, banyak! Ngabisin beras." kata Kak Chua setiap kali Nao nggak berhenti merengek diantar buat pergi. Di antara keempat saudara tersebut. Hans, Chua, Btari sama Nao. Chua yang paling blak-blakan. Dia paling nggak bisa kayak Abang atau adik perempuannya, Btari yang kadangkala masih punya sisi lembut kalau lagi ngomong sama Nao. Sejahil-jahilnya Btari, masih aja bisa ngalah ke Nao, sedangkan Chua? Jangan harap. Kayaknya dia musuh banget sama Nao. Padahal Nao adik kandungnya sendiri. Meja makan malam ini nggak cuma ketambahan si Nao aja. Ada satu tamu yang sejak tadi bikin Btari panas hati. Siapa yang mengundang, sih? Kayaknya dia sama Chua nggak pernah berhubungan lagi sama Nora. Kenapa perempuan ini tahu-tahu muncul di depan rumah sambil membawa tentengan? "Wah, kamu bawa tempe mendoan?" Hans tampak semangat begitu membuka tentengan yang dibawa Nora. Nora mengeluarkan kotak dari dalam kantong yang dia tenteng sejak tadi. Isi dari kotak tersebut adalah tempe mendoan. Kesukaannya Hans. Nora terkekeh, memandangi Hans sesekali membuka tutup kotak. Seketika ruangan yang mereka tempati, penuh dengan aroma dari tempe mendoan di atas meja. "Dapurnya di mana?" tanya Nora melirik Hans. "Di sana, tuh," satu jari Hans menunjuk ke arah kanannya. "Mau ngapain, Ra?" "Mau ambil piring." jawab Nora. Hans akan berjalan menuju ke dapur, niatnya mau mengambil piring, tapi ditahan sama Nora. "Aku aja yang ambil. Kamu duduk sama adek-adek kamu aja," Hans mengangguk. Laki-laki ganteng itu mengacungkan Ibu jarinya kepada Nora, mantan terindah Hans, kata Btari. Seharian ini mood Btari sudah terganggu sama tugas kampus, belum lagi seorang kating yang akhir-akhir ini gencar menggodanya. Kata teman-temannya, kating tersebut naksir sama dia. Btari menggeleng, merasa aneh ditaksir sama seorang kating ganteng, populer, dan penggemar yang bejibun ngalahin artis. Dan, mood Btari makin anjlok gara-gara Nora. "Ayah sama Ibu kabarnya gimana, Adek?" Nora bertanya di sela-sela makannya. "Ba—" "Dilarang ngomong di meja makan!" Semuanya menoleh ke arah Btari. Cewek itu menunjukkan raut masam sejak tadi. Nao cemberut, padahal, dia mau menjawab pertanyaan Nora soal kesehatan Ayah sama ibunya. Tapi Btari malah menyela dengan wajah judesnya. "Iya. Bener kata Btari." Chua menunjuk Btari. Cewek itu senyum sumringah, merasa senang Kakak perempuannya membela dirinya. "Tapi, awas aja lo besok-besok ngoceh di meja makan!" Hans tertawa melihat kelakuan adiknya yang satu itu. Btari makin manyun. Dia lupa kalau Chua nggak pernah bersikap lunak sama adik-adiknya. Dikira si Chua mau belain Btari, nggak tahunya malah ngomelin Btari. "Wa, jangan gitu sama Btari, ah." Nora geleng-geleng kepala heran. Chua menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Yang suka ngoceh di meja makan kerjaan si Btari, Kak," kata Chua. "Bang Hans aja yang sabar banget dengerinnya." Nora meletakkan sendok dan garpunya ke atas piring. Perempuan itu mengulum senyum. Tatapan matanya tertuju kepada Hans. "Abang kalian orangnya emang telaten," gumam Nora. "Waktu kita masih sama-sama, Abang kalian orang yang paling sabar dengerin aku ngoceh. Kadang sampe ngantuk." Nora menahan tawanya. Hans ikut tertawa, begitu pula si bungsu Nao. Cowok itu menyahut. "Abang emang paling baik. Paling sabar. Nggak kayak Kakak Chua. Galak banget!" "Jangan makan!" Chua mendelik. "Ngatain gue, jangan berani-beraninya makan masakan gue, ya!" "Ya udah, nih!" katanya, kemudian mendorong piringnya yang sudah kosong. Hans dan Nora tertawa kompak. Mereka berdua merasa lucu setiap kali melihat interaksi Nao dan Chua yang berbanding balik kalau sama Hans. Chua kayak musuh banget sama si Nao. Ada aja yang bikin mereka adu mulut, ribut di setiap kesempatan. Seumur-umur Nora kenal sama adikadiknya Hans, belum pernah sekali pun dirinya melihat Chua dan Nao akur. Minimal nggak ribut, gitu. Penghuni meja makan malam itu tampak ceria. Mereka saling bersahutan dan nggak jarang Nora menceritakan momen kebersamaannya dengan Hans sewaktu mereka masih berpacaran. Nora sama Hans memang sudah putus sekitar satu tahun yang lalu, belum jelas penyebab putusnya mereka berdua, tapi, hubungan Abang sama mantan pacarnya masih baik-baik aja sampai sekarang. "Abang sama Kak Nora nggak ada niatan balikan aja?" "Uhuk!" Btari yang sedari tadi memilih diam, tersedak makanannya sendiri. Hans meraih gelas kosong lalu menuangkan air, berniat memberikannya kepada Btari yang sekarang batuk-batuk. "Ri, itu punya Kak Nora," tegur Chua. "Nggak apa-apa, Wa," Nora menatap Chua sambil tersenyum. Hans menurunkan gelas yang telah diisi dengan air kembali ke atas meja. Btari menghabiskan minuman punya Nora hingga tandas lalu meletakkan gelasnya yang telah kosong ke atas meja dengan keras-keras. Tak! "Mau ke mana?" tanya Hans begitu Btari mendorong kursinya ke belakang, hendak beranjak meninggalkan meja makan. "Kamar." jawab Btari tanpa menoleh. "Ih, nggak sopan Kakak Btari!" Si bungsu Nao mulai nyinyir. "Bodo!" Btari menendang kaki kursi dengan kesal. "Ri, nggak mau makan tempe mendoannya dulu? Kamu juga suka, kan?" Nora menolehkan kepalanya ke belakang, menghadap ke Btari yang sudah meninggalkan meja makan. "Udah nggak level!" sahut Btari, ketus. Lagi-lagi Nao nyinyir. "Sombong banget! Baru beberapa bulan tinggal di Jakarta udah nggak mau kenal sama tempe mendoan! Abang, balikin aja Kakak Btari ke Surabaya. Biar diomelin sama Ayah, Ibu." "Btari..." panggil Hans, tapi cewek itu tetap melenggang pergi. "Btari kenapa, Hans?" tanya Nora. Perempuan itu ikut heran dengan Btari yang nggak kayak biasanya. Hans menatap Chua. "Apa?" Chua balas menatap abangnya. "Kamu yang jemput Btari, kan, Dek?" "Iya." Chua menggigit tempe mendoannya. "Btari, kenapa? Ada masalah di kampus?" Chua memasukkan gigitan terakhirnya. "Nggak, tuh. Cuma, udah dari tadi emang mukanya asem gitu." jawab Chua sambil mengelap tangannya dengan tissue. "Udahlah, Bang. Biarin aja. Besok juga balik kayak biasanya. Palingan si Btari lagi PMS hari pertama." Hans bergumam, "Nggak deh Dek. Ini bukan tanggalnya Btari PMS." Jangan heran kenapa Hans bisa tahu. Bukan cuma jadwal bulanan Btari aja yang Hans ketahui. Dia juga tahu jadwalnya Chua. Gimana ya, dulu-dulu Hans yang paling sering direpotin sama dua adik perempuannya ini. Pernah suatu hari Hans menemukan Chua berbaring di atas sofa sambil memegangi perutnya. Katanya, Chua sakit perut karena efek PMS. Pas Hans tanya, ada obat atau minuman peredanya nggak. Chua bilang ada. Dan nggak lama Hans keluar membeli minuman pereda nyeri haid kayak yang dibilang Chua. Jadi, setiap tanggal-tanggal yang mendekati kedua adiknya PMS, Hans sudah menyiapkan berbagai macam keperluan Chua sama Btari. Yang pasti pembalut, minuman pereda nyeri. Hans menambahkan makanan manis untuk menaikkan mood kedua adik perempuannya. Entah itu cokelat, s**u kotak berbagai rasa, snack, dan nggak ketinggalan es krim sampai empat kotak. Gimana? Enak punya Abang kayak Hans, kan? Nao aja iri lho, tiap kali Hans jadi ekstra perhatian sama kedua Kakak perempuannya. "Sayang aja Nao nggak bisa PMS juga." gitu katanya. Waktu Nao bilang gitu, dia masih awal-awal masuk SMP. Ibu, Ayah, sama Hans nggak berhenti tertawa mendengar gerutuan Nao. Ada-ada aja, kan, si Nao. Pake iri segala sama Kakak perempuannya. Dikira PMS enak kali, ya. Belum tahu aja nyerinya sampe ke pinggang-pinggang. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook