bc

Till We Meet Again

book_age16+
127
FOLLOW
1K
READ
family
goodgirl
confident
comedy
sweet
bxg
city
highschool
childhood crush
chubby
like
intro-logo
Blurb

Ditemani Kairav, sang kakak, hari ini kembali menanti seseorang yang biasa ia panggil Ayam Jago. Sambil memeluk erat boneka pinkie pie pemberian seseorang dengan nama asli Juanali Razevan itu, Gendis terus menatap lekat pintu rumah yang biasanya terbuka setiap pagi. Menampilkan Ayam Jagonya dengan rambut basah atau kadang menampilkan Ayam Jagonya yang tengah berlari menghindari bik Suh, sang pengasuh.

“Ayam jago kenapa liburannya lama banget ya, Pinkie pie?” tanyanya pada boneka yang tengah ia peluk.

“Apa dia punya adik perempuan baru? Padahal kalo boleh jujur, Gendis mau dipacarin sama Ayam Jago lagi dari Andra.” gumam Gendis dengan cairan yang mulai terkumpul di pelupuk mata.

“Kak Irav, apa tempat liburannya Ayam Jago sama kayak Mama Na? Makanya mereka gak balik-balik?”

Kairav menggeleng. “Kalo kamu mau tau, hari ini bakalan ada orang yang nempatin rumah itu.” Seketika pernyataan Kairav membuat mata Gendis membola.

“Ayam Jago pula—“

Kairav menggeleng. “Itu artinya dia gak bakal balik lagi, Kavillya Jagendis!"

chap-preview
Free preview
1. Berawal dari Titik Ini
Siang ini mentari tak secerah biasanya. Hujan di pagi tadi mungkin menjadi penyebab tertutupnya sang surya oleh awan. Namun, justru cuaca seperti inilah yang bumi dan seisinya sukai. Tak terlalu panas hingga membuat keringat terkuras. Tak terlalu dingin yang menyebabkan ketidaksukaan pada hadirnya angin. Seperti ini lebik baik. Sejuk. Alam seakan sedang menawarkan kenyamanan di tengah berbagai macam rintangan kehidupan. Di salah satu titik bumi, seorang anak baru saja menapaki teras rumah temannya, Kairav. Rumah yang sebenarnya berhadap-hadapan dengan tempat tinggalnya sendiri. Anak itu membuka pagar besi berlapis cat hitam tanpa meminta izin sang empunya. Terbiasa, membuat keseganan di bilah hatinya menghilang entah ke mana. Baru satu langkah kaki anak bernama Juan itu bergerak namun gerakan tersebut tak lagi ia lanjuti. Terhenti tepat di saat iris hitam pekatnya menatap lekat satu titik. Ke punggung seseorang yang menjadi alasan mengapa detik ini Juan sudah berada di rumah Kairav. Setelah setengah menit ia memperhatikan anak perempuan yang sedang sibuk dengan sepeda roda tiga juga selipan pita di pojok kiri kepalanya, ia putuskan untuk berjalan mendekati. Sayang, posisi memunggungi yang diterapkan si anak perempuan, mengakibatkan dirinya tak menyadari bahwa ada sesosok lain datang menghampiri. "Pakai pita aja gak tamat kamu, Pao." Dengan posisi masih menduduki sepeda roda tiga anak perempuan tersebut menolehkan kepala. Sambil menampilkan wajah tak senang ia turun dari sepeda. Membalik arah sepeda roda tiga tersebut menggunakan kedua tangan mungilnya, lantas duduk kembali. "Diem kalau gak mau ditabrak!" serunya sambil menaik-turunkan genggaman pada stang sepeda. Seakan tengah mengatur kecepatan. Hanya ada gelengan kepala dari Juan sebagai respon atas ancaman si anak perempuan. "Apa? Ngeremehin, ya?!" tanya si anak perempuan dengan tekukan di wajah. Juan kembali tak mengatakan apapun selain melemparkan pandangan remeh. Anak perempuan itu tampak berpikir sejenak. Sebelum akhirnya mengepalkan tangan kanan lalu meninju udara, lebih tepatnya berusaha meninju ke arah seseorang dihadapannya sambil berujar, "Atau mau ditonjok?" "Kalau sepedanya masih roda tiga, gak usah sok mau nabrak atau nonjok aku yang udah bisa naik sepeda roda dua,” celetuk Juan sambil menampilkan senyum mengejek. Si anak perempuan mendengus sebal. Wajahnya terlihat sudah memerah lantaran menahan emosi yang kian berapi-api. "Kata Kak Irav gak boleh sombong, tau!" Petuah anak perempuan itu dibalas dengan tepukan pelan Juan ke jidatnya. "Kata Bik Suh, anak-anak harus sopan ke yang lebih tua. Kamu ini, aku 'kan udah bilang kalau manggil kakak sendiri itu pakai kata 'Kakak'. Ini masih aja manggil Kairav pakai nama langsung. Kalau aku laporin Bik Suh, pasti kamu bakalan dimarahi." Perihal panggilan si anak perempuan ke kakaknya memang sering menjadi perdebatan di antara mereka berdua. Ini lantaran pada nama Kairav, dua huruf awalnya adalah dua dari lima huruf penyusun pada panggilan 'Kakak'. "Gendis 'kan manggilnya Kak Irav!" ketus si anak perempuan sambil menekan dua kata di akhir kalimat. "Tuh 'kan, masih manggil kakakmu sendiri pakai nama langsung." Gendis, anak perempuan yang sering menjadi sasaran kejahilan Juan, semakin menatap nyalang ke arah bocah laki-laki di hadapannya. Tangannya ia biarkan luruh di samping kanan dan kiri tubuh mungilnya. Tak lagi menggenggam stang sepeda atau mengepal tanda ingin meninju. "Kenapa sih Kak Juan selalu nyebelin? Gendis pernah buat salah apa ke Kak Juan?" Bocah yang dipanggil Juan itu seketika gelagapan. Kalau Gendis sudah memanggilnya dengan sebutan 'Kak Juan' seperti ini biasanya ia akan segera menangis keras. Secepatnya ia pikirkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengalihkan perhatian gadis kecil tersebut. Juan mulai melangkahkan kaki mendekati Gendis. Di mana ia tengah menduduki sepeda roda tiga sambil memilin celana pendek putih yang sedang ia kenakan. Saat sudah sampai tepat di depan anak perempuan itu, Juan melepas pita pinkie pie yang terselip di antara helai rambut coklat tuanya. Sontak hal ini membuat Gendis menengadahkan kepala. Di mata coklatnya terdapat emosi yang coba ia salurkan lewat tatapan tajam. "Mau jahilin Gendis lagi?" "Pakai pita yang benar itu kayak gini." Tanpa menjawab tuduhan Gendis, jemari Juan menyisir beberapa kali rambut coklat tua sebahu milik Gendis. Setelah dirasa cukup rapi, ia menjepitkan pita dengan penuh kelembutan persis di tempat semula. "Nah kalau gini, jadi makin cantik, Pao." Mendengar kalimat terakhir yang bocah laki-laki itu ucapkan membuat mata Gendis berbinar senang. Kilatan emosi yang tadinya sempat menguasai sirna seketika. Si anak perempuan meraba pita yang menjadi penghias kepalanya. "Gendis cantik kalau pakai pita?" tanyanya dengan senyum merekah di wajah. Juan mengangguk sambil tersenyum tipis. "Tapi ... pipimu kenapa makin mirip bakpao?" Bocah laki-laki itu menekan-nekan pipi Gendis dengan jari telunjuk serta jari tengah dari tangan kanan. Kegiatan yang Juan lakukan membuat hidung Gendis bergerak-gerak, seakan bereaksi terhadap sesuatu. "Awas! tangannya bau," keluh Gendis sambil mengusir dua jari yang mengusik pipi tembamnya. "Jelas. Aku 'kan habis pegangin besi berkarat yang ada di situ." Juan menunjuk pagar besi berkarat dari rumah kosong yang berada tepat di samping rumahnya. "Ihhh dasar Ayam jago! Udah deh, sana-sana. Gendis males dekat-dekat sama orang yang hobinya jahilin orang. Jahat! Persis kayak ayam jago!" Gendis jadi teringat sesuatu. Tepatnya dua minggu yang lalu, di mana ayam jago mang Ujang, Sopir ayahnya, ia ajak main karena bosan menunggu mang Ujang buang air kecil saat mereka akan berkunjung ke kantor sang ayah. Kala itu Gendis mengelus punggung ayam jago dengan penuh kelembutan. Namun lantaran tak merasa disambut gadis kecil itu menyentil pelan leher ayam tersebut. Sebab biasanya saat ia mengabaikan Juan, bocah itu akan melakukan hal yang sama di lengannya. Sayangnya bukan mendapat perhatian, sentilan Gendis malah dibalas dengan patukan. Jadilah ia menangis dan beranggapan bahwa ayam jago mang Ujang jahat. Tak seperti Gendis. Sering disentil ringan oleh Juan namun tak pernah membalas dengan patukan. Juan melihat sekitar sebelum akhirnya kembali menggerakkan bibir. "Kairav sama Sefan udah selesai belajar?" Gendis mengangkat bahu tanda ia tidak tahu. "Ayam Jago kenapa gak pernah mau ikut Kak Irav sama Kak Sefan kalau mereka lagi main belajar-belajaran?" "Mereka itu belajar beneran. Bukan main belajar-belajaran," jelas Juan sambil memperhatikan sepeda roda tiga milik Gendis. "Bagus juga sepeda roda tigamu. Tumben mainanmu gak boneka doang." "Emangnya, belajar itu bukan mainan? Tapi Gendis sering liat Kak Irav semangat banget waktu belajar, apalagi main belajar angka-angka. Sama kayak Gendis yang semangat banget kalo lagi main sama boneka Pinkie Pie. Gendis juga sempet loh diajak main belajar-belajaran soal a ... eh, Ayam Jago ngapain naik?" tanya Gendis saat Juan menaiki kursi belakang dari sepeda roda tiganya. Menyebabkan genggaman Gendis pada stang sepeda semakin ia kuatkan. Sembari berpegangan pada pinggang anak perempuan dihadapannya Juan berujar, "Buk Sopir, anterin ke dalem dong. Ketempatnya Kairav sama Sefan." Gendis menggeleng. "Ayam Jago, kata Kak Irav sepeda gak boleh masuk ke dalam rumah. Cukup di teras sama garasi sama taman belakang aja," jelasnya dengan wajah begitu serius. Perkataan Gendis membuat Juan turun dari bangku belakang sepeda. "Ah gak seru. Yaudahlah aku mau ke Kairav sama Sefan dulu." Anak kecil dengan kaos merah jambu bergambar Little Poni itu mengangkat timbulan jari jempol dari tangan kanan yang ia kepal. Kepalanya mengangguk tanda setuju. "Oke! Cepet-cepet punya adek perempuan ya Ayam Jago, biar gak gangguin Gendis lagi," ujarnya penuh semangat. Semangat karena tahu jika sudah bermain dengan Kairav dan Sefan maka bocah laki-laki itu tak akan mengganggunya lagi. Sekaligus semangat menanti adik perempuan Juan, yang sebenarnya mustahil untuk hadir. Belum turun timbulan jempol milik Gendis, Juan tampak membalikkan badan. "Kalo udah bisa naik sepeda bilang, ya. Biar kita balapan. Sama satu lagi, kamu jangan nyesel ya minta aku punya adek cepet. Nanti kamu rindu lagi dijahilin sama orang ganteng," ujarnya lalu membalikkan badan. Gendis hanya mengangguk, meski tak sepenuhnya mengerti tentang apa yang Juan katakan. Lalu ia kembali berkutat dengan sepedanya. Sebenarnya ia bahkan belum pandai menaiki sepeda roda tiga. Dari tadi pedal yang seukuran dengan kakinya pun tak kunjung memperoleh gaya. Ia menjalankan sepeda hanya dengan gesekan antara telapak kaki dan lantai saja. "Siapa, ya, yang bisa bantuin Gendis supaya pandai naik sepeda? Biar Gendis menang balapan terus Ayam Jago malu. Kalo udah kayak gitu, dijamin Ayam Jago gak bakal jahilin Gendis lagi," racaunya pada dirinya sendiri. "Pinkie Pie tau, gak? Siapa yang bisa ajarin Gendis?" tanya Gendis pada gambar yang terdapat di pojok kiri bawah bajunya. * Di rooftop salah satu cabang perusahaannya, Evan meluruh sambil meremas kertas putih beserta amplop yang sempat menjadi pembungkusnya. Teriakan keras terdengar dari bibir pria berwajah ke arab-araban tersebut. Dengan penuh emosi, ia merobek kertas sekaligus amplop tanpa ampun. Seakan tak terima dengan kenyataan yang merupakan buntut dari kecerobohannya sendiri. "Gak mungkin!" Hela napas menjadi jeda untuk sementara. "Dia gak mungkin ada!" Evan memukul kepala berkali-kali. Tampak begitu menyesali kejadian enam tahun lalu. Kejadian yang membuatnya begitu merasa bersalah pada Clara juga Juan. Kejadian yang membuatnya ingin membeli mesin waktu agar bisa merubah apa yang sudah terjadi. Evan begitu mencintai Clara dan Juan. Ia tak ingin keluarga yang sudah ia bina bersama Clara hancur lantaran adanya kehidupan lain yang harus ia tanggung jawabi. Tergambar begitu jelas di pikiran Evan mengenai bagaimana wajah kecewa milik Clara yang akan ia lihat jika istrinya tahu mengenai hal ini. Dan bagaimana mungkin Juan siap menerima apa yang tak ia harapkan. Bocah itu memang menginginkan adik. Tapi yang ia inginkan adik perempuan dari rahim Clara. Bukan adik hasil kecerobohan Evan yang bahkan sama sekali tak Evan duga kehadirannya. Di sisi lain, Clara yang sebenarnya dari tadi mengikuti sang suami menekan d**a. Melihat keadaan Evan saat ini, membuat ngilu hadir di hati wanita tersebut. Tapi ia sadar, pamit Evan padanya di beberapa menit lalu cukup untuk menegaskan bahwa pria itu tak ingin ia tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Atau lebih tepatnya, suaminya itu ingin menyembunyikan apa yang membuatnya hancur. Inilah yang tak Clara suka dari Evan, namun mau bagaimana lagi. Ia juga tak ingin Evan merasa terkekang jika dirinya menuntut untuk diberi tahu, sedangkan Evan sendiri tampak enggan memberi tahu. Clara masih berdiri di sana saat Evan menggenggam sobekan kertas sembari mendekati pinggiran rooftop. Evan menerbangkan semua sobekan kertas tersebut. Dengan air mata yang masih menggenang, tubuhnya ia condongkan ke depan. Jelas semua orang tahu apa yang akan pria itu lakukan. Ya, bunuh diri. Tapi semua urung terlaksana lantaran Clara lebih dulu menarik dengan kuat tangan Evan hingga mereka berdua terjatuh menjauhi pinggiran rooftop. "Gila ya kamu, Mas?! " tanyanya dengan emosi berapi-api. Kali ini amarahnya tak lagi dapat ia kendalikan. Evan menatap lamat ke arah Clara. Tanpa mengatakan apa pun, ia peluk tubuh ramping istrinya. Dalam pelukan tersebut, mereka sama-sama terisak. Hingga dua menit kemudian, keluar lirihan yang begitu memilukan dari bibir Evan. "Aku gak bisa hidup tanpa kamu dan Juan, Ra." Clara merenggangkan pelukan. Ia tatap dalam mata hitam legam milik suaminya tersebut. Berusaha menyelami pikiran guna mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Meski ia tahu, hal itu mustahil untuk dilakukan. Evan meraih kedua tangan Clara yang tadi sempat bertengger di bahunya. Ia genggam erat tangan istrinya tersebut sambil mencium tangan yang tampak lebih kecil dari miliknya itu berkali kali. "Aku gak mau kehilangan kamu dan Juan," lirihnya lagi. Masih dengan genggaman erat pada kedua tangan Clara, Evan lagi-lagi berkata, "Aku gak mau kehilangan kamu dan Juan." Sedikit demi sedikit Clara mulai mengerti meski sebenarnya ia sedang buta informasi. Setelah 8 tahun pernikahannya berjalan dengan Evan, tentu saja ia mengetahui bahwa suatu hal yang benar-benar buruk sedang menimpa suaminya. Tapi satu yang Clara sesalkan, pria itu masih sama tertutupnya seperti Evan kala remaja. Wanita itu dapat merasakan tetesan air mata di permukaan tangannya. Ia tak percaya dengan hal ini. Evan menangis? Tapi karena apa? Siapa juga yang akan meninggalkannya? Dan entah mendapat kekuatan dari mana, Clara mampu menahan rasa penasaran yang sudah mengakar erat di dinding hatinya. Alih-alih menanyakan perihal apa yang sebenarnya terjadi, wanita itu justru berujar, "Aku, Juan, gak bakal ninggalin kamu apa pun keadaannya." Evan menatap lamat retina Clara. Ada kesungguhan juga ketulusan yang dapat ia rasakan. Hal ini membuat rasa bersalah semakin menyeruak ke seluruh jengkal jiwanya. Ditariknya Clara ke dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka masih terisak. Sampai akhirnya Evan memutuskan sesuatu yang sebenarnya hal ini tak hanya berdampak pada mereka saja. Tapi juga pada Juan, serta orang-orang yang berada di sekitar Juan. Evan melonggarkan pelukan agar dapat menatap lekat kedua netra sang istri. "Kita pindah, ya? Cari kota lain. Ke mana aja. Aku yang bakal urus semuanya. Sekolah Juan, rumah, soal perusahaan, semuanya. Secepatnya kita pindah, ya?" Tanpa melontarkan tanya atas dasar rasa ingin tahu Clara mengangguk sembari menyingkap rasa ragu. Anggukan ini jugalah yang menjadi awal dari kerumitan kisah putra tunggal mereka, Juan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.4K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
919.2K
bc

I Love You Dad

read
282.4K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
50.5K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K
bc

SHACKLES OF GERALD 21+

read
1.2M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook