bc

My Mate 2

book_age18+
791
FOLLOW
3.1K
READ
possessive
family
omega
drama
ABO
illness
mpreg
mxm
naive
stubborn
like
intro-logo
Blurb

[Cerita mengandung konten LGBT+]

Nave Tritas Lebora, anak tunggal turunan dua keluarga Alpha paling elit, Tritas dan Lebora beranjak dewasa dan menemukan beberapa fakta mengejutkan dari keluarganya.

Entah dari sang ibu yang manja, atau ayahnya yang tegas.

Masa lalu kelam yang berusaha mereka tutupi perlahan terkuak seiring waktu. pengkhianatan, rasa takut, dan terror kembali menghantui kehidupan mereka.

Akankah mereka tetap menjadi keluarga yang utuh setelah semuanya?

chap-preview
Free preview
Dewasa
“Nave! Kerjakan semua tugas ini mulai sekarang! Kamu telah dewasa, telah memasuki fase dimana pekerjaan juga akan menjadi tanggung jawabmu mulai sekarang!” Bruk Tubuh Nave terasa sesak tertumpuk kertas-kertas yang dilemparkan ayahnya. Tidak ada sang ibu yang biasanya menolong, yang tersisa hanya ada rasa sesak dan stress yang tidak berujung. Ugh, tapi kenapa perutnya seakan tertindih? Ini berat, dan....... Bergerak? “Nave! Dadmu akan marah lagi jika kamu telat bangun, Sayang!” Mata Nave terbuka perlahan menghadapi teriakan melengking tersebut. Di atasnya, baiklah biar sedikit drama, DI ATASNYA duduk sang ibu manis dengan gaya mengangkangnya yang tengah menindih perut abs Nave sambil bergerak kesana-kemari. Shit, Nave bisa dibunuh dadnya jika sampai melihat istri tersayangnya lagi-lagi melakukan hal ambigu dengan anaknya. Percayalah, Al tidak pernah sedikit pun memiliki niat lain selain membangunkan putranya. Dia hanya melakukan hal yang sama seperti apa yang ia lakukan pada Steve setiap hari. Perut Nave semakin mual saat ibunya bergerak semakin aktif. Nave segera melonjak bangun, masih sayang nyawa sebelum ayahnya datang dan- “CEPAT MANDI DAN JAUHI ISTRIKU NAVE TRITAS LEBORA!” Ya, superhero yang selalu datang terlambat muncul. Nave memandang keduanya datar, sementara Al memandang keduanya bergantian lalu memasang wajah merajuk pada Steve. “Steve jahat! Nave kan anakku! Aku berhak dekat dengannya!” protes Al tidak terima. Kakinya menghentak kasar di lantai, sementara pipinya yang putih lucu menggembung layaknya kelinci kecil yang lucu. Siapa bilang umur merubah segalanya? Lihatlah Al, di umurnya yang menginjak kepala tiga, tingkahnya masih saja polos seperti anak-anak. Entah perawatan apa yang digunakannya, wajah Al bahkan jauh lebih segar dari Nave anaknya sendiri, yang sudah mampu bersikap dewasa di umurnya yang baru menginjak 16 tahun. Steve memeluk istrinya lembut, mengecupi wajah mulus itu sambil memainkan rambut Al yang halus. “Sayang, jika kamu selalu memasang wajah merajuk begitu, keimutanmu bisa hilang loh. Kita ke bawah saja ya? Keva telah membuatkanmu s**u coklat yang kamu pesan waktu itu.” Merasa sudah hafal akan tabiat istrinya, Steve membujuk yang segera dibalas dengan rengekan manja oleh Al. “Gendong…..” Hup Tubuhnya yang tidak berkembang lagi menempel pas digendongan Steve. Dengan hati-hati Steve menuntun istrinya turun ke lantai satu, tempat di mana Keva sudah menyiapkan menu sarapan sehat untuk mereka semua. “Uhh..... Aku ingin makan cherry Steve,” rengek Al tiba-tiba. Steve menaikan alisnya, sedikit kaget dengan permintaan mendadak sang istri di pagi hari begini. “Al, kenapa kau tiba-tiba ingin makan cherry? Kamu hamil lagi ya?” tanya Steve bercanda, tidak sadar diri sama sekali. Garpu makan Al tiba-tiba jatuh, sementara matanya menatap horror Steve seakan sadar akan sesuatu. Steve yang telah sadar dengan apa yang dia katakan segera berdiri dan bergegas untuk memeluk Al, yang mulai gemetaran sebelum anaknya turun dan melihat segalanya. “Tidak mau....... Hiks, takut...” lirih Al pelan. Kepalanya bersembunyi dalam bahu kokoh Steve, menangis gemetar seraya meremas jas mahal Steve yang kini sedikit berantakan akibat gerakan rusuh si empunya. Inilah sebabnya di tahun ke tujuh belas usia pernikahannya, keluarga mereka tidak dikaruniai oleh anak lain. Al terlalu takut, tidak, dia trauma untuk mengandung kembali. Bukan masalah melahirkan yang menyakitkan yang dia pikirkan, tapi masa lalu yang masih menghantuinya sampai sekarang. Al bahkan masih setia menempel pada Steve walau tidak seekstrim dulu, terus sekalipun anaknya bahkan telah beranjak dewasa. Steve ingat saat pertama Al mengantar Nave ke sekolah, di mana kepala sekolah malah menganggap Al kakak Nave dan meminta agar Al menghubungi orang tua Al, yang sukses dihadiahi deathglare dari Steve. Al berusaha menjadi orang tua yang baik, sungguh. Mengabaikan fakta bahwa sikap kenakanakannya tidak hilang sampai sekarang. Untung Nave telah mampu mengendalikan emosinya di umur semuda itu, bertindak sebagai tameng ibunya setelah sang ayah. Steve menunduk sedikit saat mendapati wajah tidur Al yang sedikit gelisah. Yah, dirinya tidak akan bisa ke mana-mana jika Al sudah seperti ini. “Dad akan membawa Papa ke mana?” tanya Nave heran ketika melihat Steve yang tengah menggendong Al yang tertidur dengan mata sembab. Nave baru meninggalkan papanya sebentar, dan tadi Al itu masih ceria di depannya. Mata Nave memandang curiga Steve, dengan aura Alpha dominannya yang matang lebih cepat dari orang pada umumnya. Mungkin terpancing karena ia mampu berpikir kritis sejak umurnya masih belia. Ngomong-ngomong, atas pemaksa -ehem- permintaan Al-lah akhirnya Nave memanggilnya dengan sebutan Papa. Dia ingin terlihat macho, katanya. Walaupun itu seratus persen rencana yang tetap gagal. Steve menghela nafas lelah. Untung kali ini yang protektif hanya anaknya. “Dad tidak melakukan apa pun pada papamu. Pergilah keperusahaan terlebih dahulu, papamu kurang sehat hari ini,” bantah Steve sambil berjalan pergi, namun dihentikan oleh cekalan tangan anaknya. Nave memegang dahi Al lembut, membuat si empunya tubuh bergerak gelisah sambil sesekali meringgis dan menangis pelan. “Padahal Papa masih baik-baik saja tadi. Baiklah, aku mengerti. Panggilah dokter sekarang juga untuk memeriksa Papa, Dad di sini saja menemaninya.” Mata Nave menatap papanya lembut, mengusap pipi kemerahan itu lalu mengecup keningnya pelan. “Cepat sembuh Papa,” doanya tulus sebelum melangkah pergi dengan jas rapihnya. Nave memang telah lulus kuliah sejak umurnya 14 tahun, seperti yang diharapkan dari keturunan Steve. Ini selalu terjadi. Sejak Nave kecil, sesekali papanya akan sakit dan mengigau seperti tadi. Beberapa kali Nave mencoba menanyakan apa yang terjadi pada papanya, yang dibalas pandangan tajam oleh dadnya. Nave sadar diri bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang dapat dia tanyakan pada nenek, bibi, atau pamannya sekalipun. Mereka semua tutup mulut, sehingga Nave tidak dapat menerima informasi apapun hingga saat ini. Jika papanya sakit maka Dad perlu ada di sampingnya. Hanya itu saja yang bisa Nave pahami. Di lain sisi, Steve masih saja asik memandangi wajah Al yang gelisah sambil sesekali menciumnya agar lebih tenang. Trauma itu berakar terlalu dalam, menciptakan lubang hitam tersendiri di hati Al yang cerah. Bulu mata lentik itu bergetar pelan, memandang Steve dengan tatapan sedihnya. “Tujuh belas tahun.” Al dengan sengaja menjeda ucapannya, memandang wajah Steve dengan tatapan yang begitu sulit. “Tujuh belas tahun dan aku masih ketakutan Steve. Aku tidak bisa mengontrol rasa takut itu, aku istri yang buruk, aku-” “Shhh.... Aku di sini Sayang. Tidurlah lagi, aku tidak akan pergi ke mana pun,” bujuk Steve lembut. Al menolak saat Steve hendak memeluknya. Dia kembali menangis, mengucapkan kata-kata sama yang selalu ia ucapkan beberapa tahun ini. “Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik Steve. Kalian semua pantas menerima yang lebih baik. Mungkin sejak awal aku memang seharusnya menghilang. Aku sakit Steve, aku tidak bisa mengontrol emosiku dan cara berpikirku,” ucapnya ketakutan. Benar apa yang dikatakan Ares dahulu, trauma itu kini berubah menjadi parasit yang semakin menempel di jiwa dan pikiran Al. Menggerogotinya dari dalam dan menghancurkan Al yang dulu sangat bahagia. “Al.” Steve menghela nafas sejenak. Dia tidak boleh kehilangan kesabarannya mendengar kata-kata yang begitu menusuk itu. “Kita semua masih baik-baik saja selama ini. Aku tetap mencintaimu apa adanya, dan kau juga sama. Keluargamu bahagia dan oh! Lihatlah Nave, kamu membina anak kita menjadi sosok yang hebat seperti sekarang Sayang. Kamu tidak sakit Al, coba bayangkanlah perasaan anak kita jika kamu mengatakan hal menyakitkan tadi di depannya.” Wajah Al tertunduk emosi. Dia akan baik-baik saja, selama tidak ada yang mengangkat topik yang berhubungan dengan masa lalunya. Dilain sisi, Steve memeluknya erat sambil berkali-kali mendaratkan ciuman kecil pada wajah istrinya. Tidak ada yang perlu ditakutkan, Al akan bersama dengannya tidak peduli apa yang akan terjadi di masa depan. ***** “Kak Nave!!!! Lican rindu Kak Nave……” Nave tersenyum simpul melihat sepupu manisnya yang tengah berlari rusuh di lobby perusahaan. Kemeja biru muda yang digunakannya tampak sedikit kusut, sementara nafas pria yang berumur empat tahun lebih muda darinya itu terengah-engah karena berlari untuk menghampirinya. Di belakangnya, berjalan seorang pria manis dengan kotak makan di salah satu tangannya. Nave hafal kenapa pria tersebut datang pagi-pagi begini. Pamannya pasti sedang bicara tentang pekerjaan bersama kakeknya. “Pagi Uncle Vaye, mengantarkan sarapan untuk Paman Lu?” tanya Nave ramah. Dia boleh dingin dan tegas kepada orang lain, namun untuk keluarganya, Nave tidak berani menyakiti perasaan mereka walau sedikit pun. Vaye, istri dari Lussac mengangguk canggung sambil malu-malu. Tiga belas tahun bersama dengan Lussac tidak membuatnya terbiasa menghadapi para Alpha dominan ini. Apalagi Nave, yang terbilang masih cukup muda namun sudah memiliki feromone yang begitu kuat. “Kak Nave.... Jangan abaikan Lican……” rajuk anak berumur dua belas tahun itu manja sambil bergelayut manja di bahu Nave, mengabaikan beberapa karyawan yang memandangnya gemas. Jika dulu kantor ini punya Al sebagai maskot, kini mereka punya Lican sebagai penghibur mereka ditengah kesibukan. Tingkahnya yang ceria dan kekanakan tidak dapat menahan perasaan semua orang untuk merasa gemas padanya. Entah ini memang berkat pengajaran ayahnya atau apa, Lican tumbuh menjadi anak yang begitu manja dan penurut kepada orang tuanya. Nave membalas pelukan Lican lembut. Ditepuknya rambut halus Lican yang berwarna biru hitam dengan lembut sekali. “Rindu daddymu hmm?” goda Nave lembut. Lican mengangguk semangat, sangat patuh dengan segala pengajaran daddynya. “Lican bosan di rumah! Lican rindu Daddy!” sorak Lican semangat sambil meloncat-loncat kecil seperti kelinci. Seperti papanya dulu, Lican anak yang terlahir sebagai Omega kini tinggal di rumah untuk homeschooling atas titah daddynya. Jika dulu Lussac tidak bisa sebebas yang dia mau dalam mengekang Al, maka kini ketika tahu anaknya adalah seorang Omega seperti istri dan adiknya, segala kehidupan Lican terkontrol penuh dibawah pengawasan daddynya. Vaye sebagai istri juga tidak bisa protes, mengingat dulu juga dia pernah merasakan kepossessifan suaminya. Beruntung Lican adalah anak yang patuh, sehingga dirinya baik-baik saja sekalipun semua hidupnya terkontrol oleh tangan sang daddy. “Lalu, mau Kakak antar bertemu dengan Daddy?” tawar Nave sambil menuntun tangan Lican. Anak itu mengangguk antusias, berjalan senang dengan mommynya yang mengekor di belakangnya untuk mengawasi Lican yang kadang bertindak ceroboh. Di lantai teratas gedung perusahaan tersebut, Nave menuntun mereka untuk masuk ke dalam ruangan besar tempat kakeknya berada. Rod sadar bahwa dia tidak bisa terlalu mengharapkan Steve lagi dengan kondisi Al yang tidak juga membaik, sehingga memilih untuk tetap dalam posisinya sambil berharap Nave dapat memenuhi ekspetasinya. Saat Nave membuka pintu, ia terkejut saat melihat bukan hanya Lussac yang ada di dalam kantor kakeknya, tapi seluruh keluarganya tengah berkumpul di sana sekarang. Aunty Britanny, Paman Lylo, bahkan Gena dan Ryan ada disana sekarang. Semuanya tampak terkejut melihat kedatangan Nave, sebelum suara cempreng Lican mengisi kecanggungan ini. “Daddy!!!” Lussac yang cepat tanggap segera menggendong putra kecilnya yang sungguh imut itu. Lican digendong seperti koala oleh Lussac, sementara Vaye ikut masuk dengan ragu-ragu. “Lican, berikan salam dulu pada keluargamu Sayang,” tegur Vaye lembut pada anaknya. Lican mengangguk lalu turun dari gendongan daddynya. Mengecup pipi masing-masing dari mereka lalu kembali naik kedalam pangkuan Lussac. Brit terkekeh pelan mencairkan suasana yang sempat aneh itu. Mereka semua menghangat, seperti melihat sosok Al dalam diri anak manis tersebut. “Anakmu manis sekali Lu, ajaklah dia sesekali ke rumahku untuk bermain,” tawar Brit sambil memainkan pipi Lican yang dibalas tatapan tajam oleh sang ayah. “Dia tidak ada waktu untuk mengunjugimu Brit. Segeralah punya anak sendiri dengan suamimu agar kau tidak menggangu anakku,” dengus Lussac dingin. Brit tidak tersinggung mendengar sindiran Lussac, yang malah dibalasnya dengan senyuman -yang menurut semua orang yang paham tingkah Brit- sangat menyeramkan. “Suamiku orang yang sangat sibuk Lu, tapi mungkin aku akan mulai mmemikirkannya," ujar Brit santai tanpa mau melepaskan tangannya dari pipi Lican. Inginnya Lussac memotong tangan siapa pun yang menyentuh anaknya, namun urung saat ingat alasan sebenarnya sampai sekarang Brit belum punya anak di usia pernikahannya yang menginjak sepuluh tahun. Suami Brit adalah seorang mafia kelas kakap, sementara Brit sendiri tidak bisa dibilang bersih dari semua bisnis tersebut. Mereka bertemu saat sama-sama punya urusan pada suatu waktu, memulai hubungan walaupun status mereka berdua sama-sama seorang Alpha. Bukan rahasia bahwa hubungan Alpha dengan Alpha sulit untuk menghasilkan keturunan. Untung suami Brit adalah orang yang setia dan mencintai wanita itu dengan sepenuh hati, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang. Keduanya cukup sibuk dan nyaman dengan kehidupannya. Berduaan di rumah dirasa sudah cukup, mereka tidak membutuhkan hal lain lagi untuk saat ini. “Sayang, bisakah kamu bawa Lican ke kafetaria untuk sementara? Ada sesuatu yang perlu kami bahas disini, dan kamu tahu.....” “Aku paham. Lican, ikuti kata daddymu dan kita pergi sekarang right, Baby?” panggil Vaye lembut yang dibalas anggukan oleh Lican yang mencium sekilas pipi Lussac sebelum dengan patuh melangkah keluar. Nave merasa ada yang aneh di sini. Tidak biasanya keluarga mereka yang super sibuk berkumpul dalam satu tempat jika tidak ada hal serius yang perlu dibahas. Apalagi Nave dapat melihat raut keterkejutan di wajah mereka saat dia masuk tadi. “Nave, seorang klien menunggumu untuk membahas proyek kita minggu lalu. Pergilah, jangan buat mereka menunggu lebih lama lagi.” Nave tidak cukup bodoh untuk tahu bahwa kakeknya tengah mengusirnya secara halus saat ini. Sekalipun Nave telah berusaha semampunya untuk membuktikan kepada semua orang bahwa dia telah dewasa, namun dia tahu, masih banyak hak yang disembunyikan oleh orang tua dan keluarganya disini. Nave hanya bisa menurut sekarang, melangkah keluar tanpa mengatakan apa pun lagi. Suatu saat nanti, dia yakin. Dia akan mengetahui semua hal yang disembunyikan oleh keluarganya. To be continued

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
279.4K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook