bc

Terjerat Pesona Kembang Desa

book_age16+
421
FOLLOW
1.6K
READ
others
mate
arrogant
goodgirl
bxg
female lead
male lead
like
intro-logo
Blurb

Perjalanan Kevin ke sebuah desa untuk membangun resort rupanya tidak sia-sia. Berawal dari perjalanan yang dilakukannya dengan setengah hati dan kini berubah menjadi sepenuh hati saat mendengar berita mengenai sang kembang desa.

Kembang desa? Ya, kembang desa biasanya digambarkan sebagai sosok gadis paling cantik dan diidamkan semua lelaki di kampungnya. Awalnya, Kevin tidak pernah percaya akan keberadaan sang kembang desa.

Namun, sekarang tidak lagi. Kini, ia memahami bahwa keberadaan kembang desa memang benar adanya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Kevin pun mencari keberadaan sang kembang desa tersebut yang ternyata bernama Juminten.

Lantas, bagaimana jadinya jika Kevin ternyata harus bersaing dengan semua lelaki di kampung tersebut demi mendapatkan Juminten?

Akankah Kevin berhasil menaklukkan hati sang kembang desa yang menjadi idaman kaum pria? Ataukah Kevin akan menyerah begitu saja?

Cover (edit) by Rliaaan

Bahan cover (foto) by Pixabay

Font: Abhaya Libre Regular, Italianno, dan Jannah Thin

chap-preview
Free preview
01. Proyek Resort
"Pak, tuan muda Kevin bilang bahwa ia akan datang setengah jam lagi." Seorang pria dengan pakaian serba hitam itu berbicara sembari menunduk hormat pada lelaki gagah di depannya. Helaan napas lega terdengar. Lelaki bertubuh gagah, tetapi sudah berusia hampir setengah abad itu pun menatap datar pada orang di depannya. Tangannya kemudian terangkat dan memberi simbol bahwa orang itu sudah boleh meninggalkan ruangan. Begitu mendengar suara pintu ditutup, senyum kecil langsung mengembang di bibirnya. "Bagus. Semoga saja anak itu akan menyetujuinya. Keuntungan yang didapat akan sangat besar." Punggung tegapnya ia sandarkan pada kursi kebesarannya. Kursi yang tidak lama lagi akan diduduki oleh putra bungsunya. Ya, karena hanya Kevin anak lelaki satu-satunya. Tangannya kemudian mengambil bingkai foto yang terpasang apik di atas meja. Memperhatikan bingkai foto itu dengan senyum kecil yang terpatri. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Pangeran kecilnya kini sudah berubah menjadi lelaki yang tampan. Kevin kecil yang dulu menggemaskan pun hilang dan digantikan dengan Kevin yang jenius dan nakal. Nakal? Ah, ya. Kevin memang nakal. Sebenarnya, Kevin tidak benar-benar nakal. Ia hanya sulit diatur dan selalu bertindak sesuka hatinya tanpa memikirkan orang lain. Entah menyakiti atau tidak, Kevin tidak akan peduli. Mungkin sifat keras kepala Kevin ini timbul karena selalu dimanja oleh ibunya. Kevin selalu diperlakukan dengan istimewa dan diberikan kemewahan. Meskipun demikian, Kevin bukanlah tipe pria yang hobi bermain dengan wanita. Ia lebih tertarik untuk berbisnis. Antara bangga dan kesal sebenarnya yang Kenan rasakan saat melihat perubahan Kevin dari waktu ke waktu. Di satu sisi ada Kevin yang membanggakan dan di satu sisi ada Kevin yang selalu bertindak sesuka hati. Sifat buruk Kevin yang satu ini bukan hanya buruk untuk dirinya sendiri, tetapi juga buruk untuk orang yang berada di sekitarnya. Di sisi lain, lelaki dengan pakaian urakan tampak mendesah lelah di depan pintu. Baru saja ia ingin bersantai sejenak, tetapi ayahnya sudah memanggilnya lagi. Ouh, ayolah! Ia selalu tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan ayahnya. "Tuan Kevin?" panggil seseorang membuat Kevin terkejut. "Kamu!" tunjuk Kevin marah pada asisten ayahnya yang sedang berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan lelaki yang hanya berbeda delapan tahun dengannya itu berada di dekatnya. "Apakah anda terkejut?" tanyanya sopan. "Kamu pikir apa?!" geram Kevin sebelum berlalu pergi. "Untung gue enggak punya penyakit jantung, kalau enggak bisa mati muda!" gumam Kevin sambil berjalan masuk. Ia yakin bahwa ayahnya telah menyadari keberadaannya. Ouh, ayolah, ia ribut tepat di depan pintu. Dasar asisten tidak berbudi! Benar saja, kepala keluarga Raditya itu tengah duduk sambil menopang dagunya dengan kepalan tangan. Berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa, Kevin pun dengan santai mendekati ayahnya. "Pah?" panggil Kevin sambil berjalan memasuki ruangan. Kaki panjangnya melangkah lebar mendekati sang ayah yang kini tengah menatapnya tajam. "Kenapa memanggil Kevin?" tanyanya santai sambil mendudukkan dirinya di depan sang ayah. Mereka duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. "Kira-kira atas persoalan apa kamu dipanggil ke sini?" tanya Kenan balik membuat Kevin menajamkan matanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Kevin. "Kamu tidak merasa berbuat salah?" "Enggak, Kevin sama sekali enggak merasa berbuat salah!" elak Kevin. Kenan yang mendengar hal itu pun langsung tertawa berat. Kevin memang tidak berubah ternyata. Tetap menganggap apa yang ia lakukan adalah langkah yang benar dan tanpa adanya pertimbangan. "Kamu memecat lima pegawai dalam satu bulan, Kevin." Kenan menegakkan tubuhnya dan menatap datar anak lelaki satu-satunya itu. "Bisa kamu jelaskan, Kevin Raditya?" pinta Kenan dengan suara datarnya membuat Kevin merasakan ada perubahan suasana yang sangat drastis di sekitarnya. "Kevin rasa Papa sudah tahu yang sebenernya. Jadi, Kevin enggak perlu menjelaskan lagi, buang-buang waktu!" jawabnya sarkas membuat Kenan terdiam mendengarnya. "Kesalahan mereka masih bisa diperbaiki, Kevin." Kenan mengingatkan Kevin. Kevin mendesah malas. "Pah, entah bisa diperbaiki atau enggak, lebih baik mereka dipecat dan mengganti dengan pegawai baru. Menurut Kevin itu lebih baik." "Lalu bagaimana dengan keluarga mereka? Mau diberi makan apa nanti?" tanya Kenan bertubi-tubi. "Terserah, Kevin tidak peduli. Mereka sudah dua kali berbuat salah pada Kevin!" balas Kevin. Kenan memijat pelipisnya pelan. Pusing memikirkan tingkah Kevin yang selalu seenaknya sendiri. Kevin tidak akan pernah takut pada siapa pun. Ia benar-benar akan berdiri teguh di atas pilihannya sendiri tanpa memandang siapa yang sedang ia hadapi saat ini. "Kamu enggak berubah ternyata," puji Kenan yang mengundang wajah konyol Kevin muncul. "Kalau berubah namanya Ultramen!" "Bener juga, coba, deh, kamu jadi Ultramen. Siapa tahu kamu tobat setelahnya," cetus Kenan membuat Kevin memutar bola matanya malas. "Langsung ke inti bisa, Pah? Kevin sibuk!" pintanya malas. Papahnya ini terlalu bertele-tele. Kenan mengangguk pelan. Kemudian menarik napasnya dalam. "Papah ingin kamu menjalankan proyek resort di pedesaan." Kevin mengangguk sekali. Sangat mudah baginya untuk menjalankan proyek ini. Hey, dia telah berpengalaman dalam membangun sebuah resort. Jadi, tentu sangat mudah baginya untuk membangun sebuah resort di pedesaan. Tunggu, pedesaan?! Ouh, tidak. Demi apa pun, Kevin bersedia ditempatkan di mana pun, tetapi tidak dengan pedesaan. Ia tak suka. Tak ada teman dan tak ada fasilitas mewah di sana. Ia tak akan bisa hidup di sana. "Papah berniat membunuhku?!" tuduhnya sarkas. Kenan tergelak di tempatnya. Anaknya ini benar-benar ajaib. Ada saja tingkah lucunya yang selalu menjadi bahan ejekan. Kevin ini sebenarnya nakal dan urakan, ia juga pintar. Sayang, ia memiliki sifat polos yang menggemaskan bagi Kenan. "Kalau sekarang kamu Papah bunuh, kenapa enggak dari dulu aja? Soalnya kamu, kan, buat Papa kesel dari dulu, enggak dari sekarang-sekarang. Tanggung kalau bunuh kamu sekarang, udah pinter bisnis soalnya!" seloroh Kenan santai. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan menatap Kevin yang kini juga sedang menatap wajahnya. Kevin mengepalkan tangannya dan menghembuskan napasnya secara perlahan. Hatinya terlampau kesal mendengar jawaban ayahnya. Ah, ia dan ayahnya memang selalu terlibat keributan. Lebih banyak ribut dibanding akrab. "Bodoh kalau Papah bunuh kamu. Udah pinter bisnis, menghasilkan uang, dan jenius lagi. Sayang banget kalau kamu tidak digunakan sesuai fungsinya." Kenan memasang senyum lebarnya. Ia benar-benar puas saat melihat raut emosi di wajah Kevin. "Lagian, enggak ada, tuh, orang pindah tempat tinggal ke desa malah meninggal. Emang kamu pernah dengar beritanya?!" Kevin membuang wajahnya kesal. "Balik ke topik. Aku menolak." Kevin bangkit dari duduknya dan bersiap untuk meninggalkan ruangan. Mendengar jawaban itu, Kenan menaikkan sebelah alisnya. Kevin menolak? Ouh, tidak. Jika Kevin keras kepala maka ia bisa jauh lebih keras kepala. "Yakin kamu mau menolak? Keuntungan proyek kita kali ini akan sangat besar dan—" "Papah tidak menerima penolakan!" lanjutnya sambil menatap wajah Kevin yang kini merengut kesal. Ia menekuk wajahnya lantaran mendengar kalimat terakhir sang ayah. Jika tidak menerima penolakan, kenapa harus bertanya padanya? "Dasar orang tua, kalau gitu enggak usah nanya. Emosi ujung-ujungnya!" dumel Kevin sambil berjalan meninggalkan ruangan. Masa bodo dengan ayahnya yang mungkin saja akan marah karena tingkah kurang ajarnya. "Beruntung aku tidak punya penyakit jantung." Kenan menghela napasnya lega. Tak ada rasa marah atau kesal karena sikap kurang ajar Kevin barusan. Ia paham Kevin hingga luar dan dalam. *** "Gue ada tugas di desa. Suruh bangun resort katanya," keluh Kevin pada teman-temannya yang kini membelalakkan mata mereka. "Pedesaan? Bukannya lo anti, ya?" celetuk Deni—teman Kevin. Kevin mengangguk pasrah. "Anti banget malah! Dulu, gue pernah diajak sama buyut gue untuk tinggal di desa dan enggak sampai tiga hari di sana, gue udah minta pulang. Gue enggak betah, enggak ada teman main karena semuanya kudet. Gue juga enggak dapat fasilitas lagi dari ortu gue," jelas Kevin kesal. Ah, ia benar-benar tidak bisa tinggal di pedesaan. Ia terbiasa hidup mewah. Sedangkan di desa? Ia hidup dengan sederhana. "Eh, tunggu, deh! Buyut lo itu kaya, kan? Kenapa lo enggak betah, sih? Bukannya ortu lo bisa bangun rumah seperti rumah lo di kota?" celetuk Relio heran. Orang tua Kevin itu kaya. Lantas, kenapa mereka tidak bisa menyediakan fasilitas mewah agar Kevin nyaman tinggal di sana? Kevin tersadar, benar juga. Kenapa setelah bertahun-tahun ia tidak menyadarinya? "Waktu itu gue tinggal di rumah gubuk!" tandas Kevin. "Wah, parah, sih!" seloroh Relio. "Makanya gue enggak betah, tiap malam ada suara kodok sama jangkrik. Mana gue jijik lagi," keluh Kevin. "Halah, lo santai aja, sih. Pedesaan itu enggak seburuk yang lo kira, kok. Lagian, siapa tahu di sana lo bisa dapat rejeki nomplok!" cetus Kiki. Mereka sontak mengernyit heran. Rezeki nomplok? Apa maksud Kiki sebenarnya? "Maksud lo apa?" tanya Kevin heran. Kiki mematikan rokoknya dan mencondongkan tubuhnya, meminta teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Setelah mereka selesai, ia berbicara pelan, "Lo tahu berita tentang kembang desa?" tanyanya pelan. Mereka menjawab dengan anggukan antusias, tetapi tidak dengan Kevin yang justru menampilkan wajah bingungnya. Kevin mengernyit heran saat mendapati senyum lebar teman-temannya. "Kalian kenapa, sih?!" desaknya. "Gini, nih, kalau punya teman hidupnya asik bisnis mulu. Lo jadi enggak berpengalaman, kan!" tandas Kiki sarkas. Ia heran dengan Kevin, Kevin itu memang terkadang bermain bersama mereka. Melakukan hal-hal nakal bersama, walau ia akui Kevin adalah sosok yang paling minim nakalnya di antara mereka. "Lo sewot ama gue?!" tuduh Kevin kesal. Deni menghela napasnya. Ia sudah terbawa emosi saat ini. "Kevin, kembang desa itu biasanya julukan untuk perempuan yang paling cantik satu kampung. Saking cantiknya, dia jadi rebutan lelaki. Intinya, si kembang desa ini bisa buat orang tergila-gila. Nah, maksud Kiki itu, mungkin aja lo dapat kesempatan ketemu kembang desa itu!" jelas Deni pelan membuat Kevin terkekeh dramatis. "Gue enggak percaya. Semua cewek itu punya kecantikan yang sama." Kevin menegakkan tubuhnya dan memijat pelipisnya yang terasa sedikit sakit. "Lagian, waktu gue tinggal sama buyut gue, enggak ada, tuh, istilah begituan!" ejek Kevin. Relio mendesah malas. "Ya, lo, kan, baru tinggal tiga hari di sana." "Kebanyakan di kota, lo," seloroh Deni membuat Kevin melotot. "Ya, emang tempat tinggal gue di kota," balas Kevin santai. "Udah, ah! Gue mau balik," tandas Kevin. "Pesona kembang desa itu beda, lho, Vin! Awas kepincut!" ingat Kiki sambil memperhatikan Kevin yang berjalan meninggalkan mereka. "Ah, gue enggak peduli." *** "Papah, kenapa Kevin ditugaskan di desa, sih?!" protes Renata—Ibu Kevin. Kenan menghentikan suapan nasinya. Demi apa pun, apakah istrinya benar-benar tidak tahu tempat? Ini di meja makan dan ia sudah diprotes sedemikian rupa. "Mah, bisa biarkan Papah makan dulu enggak? Lapar, nih!" kesal Kenan sambil memasukkan suapan nasi ke mulutnya. Ia mengunyah dengan santai tanpa mempedulikan tatapan tajam istrinya. Perutnya sedang berdemo saat ini dan istrinya juga sedang melakukan protes padanya. Jelas saja ia terlebih dahulu memilih untuk mengatasi demo di perutnya. "Pah! Aku lagi ngomong, loh, ini!" desak Renata sambil menarik piring suaminya. Kenan seketika menatap datar istrinya. Ia sedang makan! "Mah, kembalikan!" titah Kenan dan dibalas gelengan oleh Renata. "Enggak, jawab dulu!" tolaknya. "Memangnya kenapa dengan kehidupan di desa?! Mamah enggak suka?!" balas Kenan. "Iya, aku enggak suka!!" teriak Renata di depan suaminya. Kenan menaikkan sebelah alisnya. Jadi, istrinya masih keras kepala seperti dulu? Lupakah Renata dari mana ia berasal? "Ouh, Mamah lupa dari mana Mamah berasal? Lucu, ya. Ada orang lupa daratan setelah jadi orang kaya!" selorohnya membuat Renata terdiam. "Mamah lupa bahwa dulu Mamah juga gadis desa? Ya, walau Mamah lupa diri, sih!" balas Kenan sarkas. Tubuh Renata membeku tiba-tiba. Sial, suaminya mengungkit masa lalunya. "Papah!" teriaknya. "Hey, jangan emosi, Mah. Santai aja," "Papah enggak akan bilang, kok, bahwa Mamah sebenarnya berasal dari desa. Kan, anak-anak tahunya buyut mereka tinggal di desa karena butuh ketenangan, bukan karena memang tempat asalnya." Kenan kemudian beranjak pergi meninggalkan Renata yang mengepalkan tangannya. Tujuan Kenan saat ini adalah kamar Kevin. Ia akan membantu anak itu untuk mengemasi barang apa saja yang akan ia bawa. Sudah dipastikan bahwa Renata tidak akan membantu Kevin. Ia menolak keras keputusan Kenan. "Hey," panggil Kenan pada Kevin yang sedang duduk melamun di kasurnya. "Hhmm?" gumam Kevin. "Belum bersiap?" tanya Kenan. "Udah, Pah." "Ada apa?" tanya Kenan saat menyadari gelagat anaknya yang berbeda. "Apa keputusan ini enggak bisa diubah, Pah?" tanya Kevin pelan. Ia benar-benar merasa berat pada tugas yang ayahnya berikan kali ini. "Terkadang, kamu harus terjun ke suatu medan untuk membuka wawasan." Kenan menatap dengan teduh wajah Kevin yang menunduk. "Papah percaya sama kamu dan Papah harap kamu tidak mengecewakan Papah," tukas Kenan membuat Kevin mendesah pasrah. Ah, ayahnya memang selalu memenangkan dirinya. Ayahnya selalu berhasil membuat dirinya patuh. "Kehidupan di desa tidak seburuk yang kamu kira. Di sana ada ketenangan dan kamu dapat mempelajari banyak hal di dalamnya. Papah yakin itu." Kenan menepuk pundak Kevin beberapa kali sebelum beranjak pergi. "Kamu akan tinggal di sebuah rumah yang sudah Papah sediakan, di sana fasilitasnya lumayan lengkap walau tidak selengkap rumah kita. Jadi, kamu enggak akan tinggal di gubuk!" bebernya sebelum benar-benar meninggalkan kamar Kevin. Ia tidak tega melihat wajah Kevin yang bersedih. Dan Kevin, sepertinya ia sedang senang saat ini. Ah, ayahnya masih berbaik hati rupanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook