bc

Jodohku, Kamu

book_age16+
3.3K
FOLLOW
30.6K
READ
dark
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Terkadang kita terlalu mudah jatuh hati, namun ketika berpikir tentang JODOH semua terasa rumit. Dan akhirnya memilih pergi sebagai jawaban paling benar.

-Keysha Amora-

Tidak peduli setinggi apa mendaki, untuk melihat cinta di matamu dan akan aku katakan pada dunia bahwa Jodohku, Kamu.

-Prasetyo Nugroho-

chap-preview
Free preview
1. Jodoh
Prasetyo Nugroho adalah pemuda rantauan yang ingin sukses di ibu kota dengan berbekal ijazah sma dan tekad yang kuat. Jatuh cinta pada Keysha Amora, seorang pemilik perusahaan jins ternama dan terbesar di Indonesia. Keysha Amora, dia seorang gadis yang cukup dewasa. Ia mendambakan cinta sejati yang selama ini belum juga ia temukan. Namun akhirnya ia temukan cinta itu pada seorang Tyo, Prasetyo Nugroho. Namun, semua berubah ketika rahasia mereka masing-masing terbongkar. Rahasia tentang apakah yang menghalangi cinta mereka? *** Prasetyo Nugroho sedang bersantai di kursi berkaki tinggi dengan dua temannya, Joko dan Salim sesama bartender di Well's Cafe. Resto and coffee shop bergaya dinamis, di daerah Senayan. Hari masih terlalu pagi, belum ada satu pun juga tamu yang datang untuk dilayani. Mereka menikmati waktu untuk melayani diri sendiri dengan cappuccino panas. "Yo, gimana menurut pendapat lo kalau bicara tentang jodoh?" tanya Joko datar, seperti tak berharap. "Jok, elo sedang menanti jodoh?" Tyo balik bertanya pada pria Jawa berkulit hitam, bertubuh kecil itu. "Nggak, cuma ... kepikiran aja. Itu sekedar pertanyaan." "Oke, gue jawab. Ehm, menurut gue jodoh adalah cinta, dan cinta adalah jodoh." Tyo mengangkat gelas dan menghabiskan cappuccino-nya. Joko mengerutkan kening, "menurut elo, Lim?" Salim pria berperawakan tinggi, kulit kuning langsat khas orang Sunda. Tangannya terjulur meletak-kan gelas yang sudah kosong. "Nggak. Gue nggak setuju. Gue keberatan dengan pendapat elo, Yo!" Tyo melipat tangan di d**a. "Keberatan diterima." Salim menjilat sisa cappuccino di bibirnya. "Begini, menurut gue jodoh belum tentu cinta. Dan cinta belum tentu jodoh," katanya cukup yakin. Joko memicing, ingin bertanya tapi tak jadi. "Sebab," Salim melanjutkan penjelasannya, "... jodoh kita belum tentu orang yang kita cinta. Begitu pun dengan orang yang kita cinta, kita pertahankan benar-benar mencintanya tiba-tiba ... putus. Pikir deh! Itu sebabnya untuk membuktikan kita benar-benar berjodoh dengan seseorang, diperlukan waktu seumur hidup. Sampai maut yang memisahkan." Joko tersenyum puas mendengar-nya. "Nah, ini baru penjelasan namanya!" pandangannya berpindah pada Tyo, "elo bisa mendefinisikan pendapat elo tadi, Yo?" mengangkat alisnya. "Yeah! Itu menurut Salim," masih menganggap enteng. Merubah posisi duduknya, satu kaki diangkat bertumpu pada kaki yang lain, dan satu tangan menopang dagu dengan percaya diri. Demi Tuhan, dia tidak seperti karyawan kafe, melainkan seperti seorang Coverboy majalah Sport, ehm lebih tepatnya majalah playboy. "Menurut gue, dua-duanya harus gue dapatkan. Cinta, ya harus jadi jodoh gue. Jodoh gue haruslah orang yang gue cinta." "Sok yakin, lo! Dasar sinting!" "Iya Lim, gue juga ragu kalau teman kita ini masih waras." "Hei..., akan gue buktikan nanti!" kata Tyo dengan sangat yakin. "Dia lupa, rasanya patah hati," Salim mengingatkan. "Eh, Lim--siapa bilang gue pernah patah hati? Gue cuma kesal, selama di Jakarta gue udah dua kali kecewa ama yang namanya cewek. Stop dulu deh, mikirin cewek! KERJA-KERJA-KERJA!!! Joko pun meninggalkan kursinya untuk membuka kafe. Membalikan tulisan OPEN yang menggantung di pintu. "Gue tau, elo orang yang nggak tega mutusin cewek, itu sebabnya lo lebih milih kecewa." Beranjak ke dapur. Tyo menyusul ke dapur. "Ah, ternyata elo pada perhatian sama gue. Dengerin ni, entar gue pasti akan menemukan bidadari untuk jadi jodoh gue. Itu baru bisa bikin gue berpikir tentang jodoh. Pegang omongan gue, oke!" ungkapnya tanpa beban. "Dasar songong!" umpat Salim. Tyo tertawa. "Santai bro..., gue juga belom kepikiran soal kawin." *** Kesejukan pagi berganti keringat siang hari. Pengunjung datang dan pergi. Seluruh karyawannya kafe sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Tyo sedang meracik minuman menggunakan shaker dengan gaya keren khas bartender. Kemudian menuangkan ke dalam coffee glass. Mengantar ke meja nomor 5. "Segelas espresso ice with perisa strowbery untuk wanita cantik di hari sepanas ini." "Thanks...." Tyo berlalu dengan senyum. Kembali ke meja coffee bar. Jam-jam seperti ini kafe didominasi oleh para karyawan kantor. "Lumayan," kata Joko. "Apanya?" tanya Tyo. "Wanita itu, lumayan juga. Apa dia jodoh lo?" "Ah, sepertinya seorang ibu muda. Lagi pula gue nggak tertarik dengan wanita yang lebih tua." "Ah, masak? kalau lebih kaya gimana?" goda Joko. "Sori bro, gue nggak akan ngejar wanita demi hartanya." Tyo terus saja menanggapi dengan serius. Joko meramu pesanan baru, sementara Tyo membersihkan meja bar dengan cekatan. Kafe mulai sepi. Tyo bersiul merdu mengikuti musik home band yang sedang melantunkan lagu Kala Cinta Menggoda dari suara khas penyanyi legendaris Crisye. Tiba-tiba gerakan tangannya melambat, siulannya pun membisu. "Yaasalam...! Ini baru namanya bidadari," gumamnya saat melihat seorang wanita keluar dengan anggun dari dalam mobil mewahnya. Sesaat kemudian senyum di bibirnya memudar melihat seorang pria keluar dari balik kemudi, melepas kaca mata hitamnya lalu menghampiri dan menggandeng wanitanya. "Kecantikan kamu meninggikan selera pria, tapi sayang--selera kamu rendah sekali," katanya lagi. "Sst, kenapa?" tegur Salim. "Seperti lumpur dan salju." "Siapa?" tanya Salim heran. "Pasangan itu. Tamu istimewa kita." "Huh, ada-ada aja lo! Tamu tuh, ladenin, yang lain lagi pada sibuk." Tyo menyeringai sambil membawa pulpen dan nota pesanan. Setidaknya ia bisa memandangi si cantik itu dari dekat. Tapi sayang, Cindy merampas tugasnya. "Kembali ke meja bar, Kang!" kata Cindy sambil lalu. Tyo mematung di tempatnya, memandang langkah Cindy yang baru saja merampas kesempatannya. Kemudian matanya berpindah pada gadis cantik itu. Sayang hanya tampak samping saja. Aku nggak rela melihatmu memandang kagum pada pria jelek itu! Dumalnya. Tepat saat si cantik itu menoleh padanya, Tyo sudah berbalik badan. Andai saja ia tahu bahwa si cantik itu sedang memperhatikan langkahnya yang menawan. Cindy membawa nota pesanan ke dapur. Tyo menyusul, ia tak bisa menahan rasa ingin tahu. "Apa yang mereka pesan?" Tyo menatap menu yang berbeda dengan tampang mencibir. "Selera mereka saja berbeda. Gue yakin yang pesan jus melon dan spaghetti aglio oglio itu si cantik. Hm..., seleranya aja sama dengan gue!" "Kenapa lo peduli banget, tumben?" Joko menonjok lengannya. "Sadar bro, yang sama seleranya itu banyak, bukan elo doang!" detik itu juga senyum bangga di wajah Tyo menghilang. Joko mengantar pesanan, sementara Tyo kembali ke meja bar. Kafe semakin sepi. Hanya tersisa beberapa pengunjung yang masih menunggu atau pun masih menikmati pesanan. Tyo berdiri di balik meja bar, berharap tak ada lagi tamu agar ia bisa menikmati waktu memandang tamu istimewanya. Tyo ikut tersenyum melihat wanita itu tersenyum pada Joko yang mengantar pesanan. Hati Tyo tak berhenti bicara menilai segala keindahan yang ada di hadapan kedua matanya saat ini. Wanita itu tersenyum manis pada lawan bicaranya. Dia cantik sekali, manis, mempesona, wajah oval, klasik, dipadu dengan dagu yang lancip, hidung mancung. Sayang, Tyo belum bisa menilai dengan jelas bagaimana bentuk bibirnya. Sejauh ini ia sudah tahu pasti--sebelumnya ia tak pernah merasakan seperti ini. Ah, sial, andai saja pria jelek itu tak lahir ke dunia! Dan andai aku yang memiliki mobil mewah itu, pastilah aku yang ditatapnya saat ini. Tapi aku tak tega menuduhmu sama seperti wanita lainnya yang mementingkan harta dalam cinta. Aku benci melihatmu memandangnya setiap kali ia bicara padamu. Dia sungguh tak pantas untuk kamu. "Kita bisa menikmati hidangan yang sama andai...," "Jangan terlalu mengkhayal, teman!" tiba-tiba Joko sudah ada di samping Tyo dan nyaris membuat Tyo jantungan. "Ah, bikin kaget aja!" Tyo menyiku lengan Joko. "Hei, gue ini bukan ngayal. Gue sedang merancang mimpi. Lo lupa tadi pagi gue bilang apa? Gue bilang, gue bakal berjodoh dengan seorang bidadari. Lo liat, bidadari itu sudah Tuhan kirim saat ini juga, Jok!" kata Tyo dengan antusias dan percaya diri. "Gue ngeri sama khayalan elo, Yo." "Joko..., mamen..., percayalah kalau wanita cantik itu jodoh gue." "Salim datang menengahi posisi mereka, "apa sih, yang diributin?" "Lim, kita harus hati-hati sekarang!" "Kenapa?" Salim berkernyit. "Teman kita ini sudah nggak waras!" "Hei, dalam masalah ini gue justru yang paling waras! Ini urusan perempuan men...!" "Perempuan mana?" tanya Salim. "Itu, tamu meja nomor 6," jawab Joko sedikit malas. Salim tertawa, "Elo nggak liat yang duduk di depannya siapa, ha?" "Kaliankan yang bilang, pacar belum tentu jodoh," Tyo mengingatkan. "Si jelek itu boleh jadi pacarnya sekarang--tapi nanti, yang jadi jodohnya pasti gue...!" katanya sombong. Salim menepuk kuat pundak sahabatnya itu, "Sadar bung, profesi kita seperti ini, hanya seorang pekerja rendahan, pelayan. wanita itu pasti bukan dari kalangan biasa seperti kita. Kelasnya adalah para pengusaha tajir, direktur." Tyo diam beberapa saat seperti berpikir. "Pada jaman kerajaan dulu, seorang Putri sering terlibat cinta dengan pekerja istana. Di jaman sekarang--terjadi di mana saja di luar istana. Apa bedanya?" "Terserah elo! Elo atur semua khayalan lo, sama kayak lukisan lo yang nggak pernah lewat dari kendaraan impian lo!" kata Salim setengah bercanda sekaligus meledek. "Yeah..., kalian liat aja nanti, dia bakal jadi milik gue!" Tyo tetap percaya diri. "Oke. Berharaplah setinggi-tingginya kami sahabat akan selalu mendukung dan mendo'akan," Joko menepuk pundaknya kemudian diikuti oleh Salim. Pintu masuk terbuka, seorang wanita masuk dengan wajah muram. Sontak tiga pria tadi menatap mengikuti langkahnya yang sedikit dipaksakan. Kemudian duduk di meja nomor 7. Wanita yang cukup cantik, berambut keriting warna coklat keemasan, dan make-up yang sedikit berlebihan. Sangat berbeda dengan wanita di meja 6 yang cenderung elegan dan anggun. Baru saja duduk wanita itu kemudian bangkit lagi, seperti mengenali seseorang di meja 6. Begitu pun pria yang ada di meja 6 tadi, dan mereka berdua sama-sama berdiri di tengah. Si pria menatap wajah sedih si wanita, lalu bertanya, "Kris, ada apa?" sambil membelai rambutnya. "Kamu benar Ben, dia sudah punya istri," jawabnya sambil tersedu. "Lalu?" tanyanya, sangat peduli. "Lalu kami--berpisah," ia tersedu di pelukan lawan bicaranya. Kemudian matanya terpaku pada seorang wanita di meja 6 yang sedang menyaksikan adegan mereka dengan wajah geram. Lalu dengan berat hati ia melepaskan pelukan. Pria itu menghapus air mata wanita di hadapannya tanpa menghiraukan wanita yang ada di belakang. "Dan--kamu masih ingat pesan aku, kan?" "Iya. Sangat," jawabnya lirih. "Aku akan menepatinya. Tenang saja." "Terima kasih, telah memberi aku kesempatan." Ia berusaha senyum di balik air mata, dan bulu mata palsunya hampir saja terlepas. "Bisa antarkan aku pulang?" "Oke. Mm, tunggu sebentar," pria itu kembali pada wanita di meja 6. "Ehm, Keysha, maaf aku harus..." "It's oke. Lakuin semua yang menurut kamu itu benar," katanya seperti tak peduli. "Mau pulang bareng?" katanya tanpa dosa. "Terima kasih untuk makan siangnya, terima kasih untuk tawarannya. Aku masih ingin di sini," jawabnya berusaha tenang meski terasa sakit di tenggorokan. "Oke, kalau begitu aku duluan," lagi-lagi tanpa merasa bersalah. Wanita anggun di meja 6 tadi membuang pandangannya ke jendela kaca yang besar menampakkan pelataran parkir dan jalan raya yang cukup ramai. Akhirnya ia bisa menangkap kedua orang tadi memasuki mobil. Tak lama kemudian mobil melesat di jalan raya. Saat itu juga ia memejamkan mata menahan sakit yang luar biasa namun tak terlihat. Meski berusaha membendung namun air mata tetap mengalir seenaknya saja, ia pun tetap tak memalingkan wajah dari jendela agar pengunjung lain tak melihat air matanya. Berbeda dengan tiga orang pelayan yang sejak awal menyaksikan, mereka tahu benar apa yang terjadi. Terutama Tyo tentu saja, ia tahu wanita itu menangis, dan sangat ingin tahu, mengapa. "Berengsek! Kenapa dia menyakiti perempuan secantik itu?" gerutu Tyo. Kemudian mengambil sebuah kotak tisu dan membawanya kepada wanita itu. Kedua sahabatnya hanya bisa melihat tanpa berkata apa-apa. Tyo sengaja berhenti di sisi yang ber-lawanan untuk menghargai wanita yang sedang menyembunyikan tangisan. "Maaf. Permisi..." "Ya, ada apa?" tanpa menoleh sedikit pun. "Saya rasa, Anda butuh sesuatu." "No, thanks!" Tyo tetap meletakkan kotak tisu yang dibawanya di meja meski wanita itu masih bergeming. "Saya selalu siap, jika Nona membutuhkan sesuatu--panggil saja." Tyo sengaja meninggalkan tanpa permisi. Samar-samar terdengar suara isakan tangis yang berusaha ditutupi, seketika tangan Tyo mengepal mendengarnya. Entah apa dasarnya ia merasa tak terima melihat wanita itu disakiti? Ia tahu persis ini bukan hanya sekadar iba melihat wanita disakiti. Andai ia punya hak untuk mematahkan rahang pria jelek tadi? "Benar, si cantik itu menangis?" tanya Joko begitu Tyo sampai di sampingnya. "Hah, sehebat apa dia berani membuat bidadari patah hati?! Andai gue punya hak--gue patahkan rahangnya!" geramnya dengan gigi gemerutuk lalu meninju meja yang tak berdosa. "Hei, tenang men! Sabar dulu. Belum tentu pria itu yang sudah membuatnya menangis." Tyo tak menjawab. Pandangan kedua matanya terpaku pada sosok wanita yang mempesonanya. Joko menepuk pundaknya dan memberikan segelas coffee late ice. Hanya itu yang bisa ia lakukan jika Tyo sudah seperti ini. Tyo orang yang mudah tersentuh dan sangat penyayang, terlebih pada wanita. Sejauh ini hanya itu yang bisa Joko pahami. Berbeda dengan Tyo yang merasa bahwa telah terjadi sesuatu di luar dugaannya. Wanita itu begitu karismatik, mempesona. Tyo kembali menilai lebih saksama sebatas apa yang bisa ia lihat dari sorot tajam matanya. Ia memiliki rambut yang indah hitam tergerai, seperti model iklan shampoo. Kulitnya bagai s**u bercampur madu, tubuhnya yang ideal dan cara berpakaian yang anggun. Tyo suka warna lembut yang dikenakan wanita itu sekarang. Meski belum bisa memandang wajahnya dengan jelas, sejauh ini di matanya wanita itu terlihat, "... Perfecto!" "Apa?" tanya Joko mendengarnya. "Sangat perfect--dia harus jadi milik Prasetyo Nugroho!" desis Tyo, tak tahu malu. "Oke jagoan..., sepertinya si cantik itu membutuhkan pertolongan. Biar gue yang ke sana. Dia sedang sensitif, gue takut elo salah bicara," kata Joko sambil membawa bill-nya. Tyo memperhatikan wanita itu yang kini sedang membayar tagihan pada Joko. "Hah, bahkan dia nggak membayar bill-nya!" Wanita itu mulai beranjak. Tyo merasa tak rela, ia pun memandang lebih lekat agar dapat mengingat terus sosok yang telah mempesonanya. Cara berjalan yang Tyo sukai, langkah kedua kakinya membentuk satu garis yang lurus. Banyak wanita yang rela membayar mahal dan menyakiti kakinya demi untuk bisa berjalan dengan cara seperti itu. Rambut indahnya melayang-layang indah seiring entakan langkahnya. Ia mengenakan blus berwarna senada dengan tas jinjing dan sepatu high heells. "Dia pergi. Bidadari itu pergi. Kapan aku bisa melihatnya lagi, Tuhan? Aku yakin nona, kita akan bertemu lagi!" Tyo berdecak sambil menggeleng skeptis, "hhhmm..., gini ya ternyata rasanya liat bidadari." ____

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.2K
bc

Fake Marriage

read
8.3K
bc

The Unwanted Bride

read
110.9K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
14.6K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
310.0K
bc

His Secret : LTP S3

read
649.3K
bc

Broken

read
6.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook