bc

Precog

book_age4+
395
FOLLOW
1.2K
READ
sensitive
drama
tragedy
lighthearted
coming of age
friendship
superpower
like
intro-logo
Blurb

Jia hanyalah seorang siswi sekolah menengah kejuruan biasa yang sedang bingung dengan rencana masa depannya. Sedangkan Raisa begitu bersemangat mengejar cita-citanya menjadi penata rambut profesional. Perbedaan keduanya tidak menghalangi mereka berdua untuk bersahabat erat.

Suatu hari, Jia mengalami rentetan precognitive dreams, yaitu mimpi-mimpi yang memprediksi hari esok. Awalnya mimpi-mimpi itu hanya menimbulkan kesialan sepele di hari-hari Jia sebelum berubah menjadi bencana. Dalam salah satu mimpinya, Jia melihat Raisa meninggal dalam sebuah kecelakaan. Buruknya lagi, mimpi itu hadir saat Jia sedang berada di Kota Bukit Tinggi, ribuan kilometer dari Raisa yang berada di Jakarta.

Setelah meyakinkan guru-gurunya, Jia pun melakukan perjalanan untuk kembali ke Jakarta bersama Syano salah satu teman yang baru dikenalnya dan Pak Chandra, gurunya. Namun cuaca buruk dan bencana alam membuat perjalanan itu sangat penuh rintangan. Berhasilkah Jia menyelamatkan Raisa? Dapatkah perjalanan berat membuat Jia menjadi seorang yang berani menghadapi masa depannya dan merengkuh kembali cita-cita lamanya? Atau justru sebaliknya?

chap-preview
Free preview
Hopeless
Jia menimbang-nimbang kedua kabel jaringan di tangannya. Di tangan kiri, seutas kabel telah terpasang dengan konektor di kedua ujungnya. Jia telah menguji kabel itu dengan alat cable tester dan lampu hijau yang berkedip di alat itu menandakan bahwa tak ada yang salah dengan kabel itu. Artinya, seharusnya kabel itu bisa menyambungkan kedua laptop menjadi sebuah jaringan komputer. Akan tetapi, yang terjadi tidak demikian. Perintah ping yang Jia coba lakukan di kedua laptop tersebut terus mengeluarkan sebaris tulisan bernama Request Time Out. Gagal dengan kabel pertama, Jia mencoba lagi dengan kabel kedua yang ada di tangan kanannya. Ia telah menderetkan kabel-kabel kecil di dalam kabel jaringan itu sesuai dengan warnanya. Oranye muda, oranye, hijau muda, biru muda, biru, hijau, cokelat muda dan cokelat tua. “Pinjam crimping, dong!” Jia menoleh kepada Raisa, satu-satunya peserta praktek yang masih tersisa selain dirinya. Anak itu masih sibuk membuka lapisan luar kabel dengan gunting. Sepertinya dia terus-terusan ragu apakah panjang kabel yang terbuka sudah cukup atau masih kurang. Jia ingin membantunya dengan mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia urung melakukannya. Jangankan untuk membantu, dia saja masih kesulitan menyelesaikan perkabelan di atas mejanya. Jia masih sering tidak bisa membedakan mana yang disebut kabel jaringan dan mana kabel power. Bahkan setelah hampir genap satu tahun menjadi siswa sebuah SMK teknik, Jia masih belum mampu menerima kenyataan itu. Semua ini terlalu pahit baginya. “Cepat, cepat! Sampai kapan saya harus menunggu kalian? Sudah diberi waktu tambahan masih juga lamban. Cepat selesaikan!” Bu Chomy yang kelihatannya sudah bosan membaca novel yang dia bawa, mulai tak sabar menunggu Jia dan Raisa. Jia memasang konektor ke ujung kabel. Alat crimping dia genggam erat-erat. Beratnya langsung terasa di tangan kurus Jia hingga dia harus menarik napas dalam-dalam. Jia memasukkan kabel yang terpasang konektor ke lubang crimping, kemudian menekannya dalam-dalam untuk mengencangkan konektor itu ke kabel. Krak. Terdengar bunyi seperti kulit telur retak akibat dibenturkan ke pinggiran mangkuk. Bunyi itu bisa berarti dua. Pertama, proses crimping yang Jia lakukan berhasil dan sebuah tonjolan pada konektor telah menekan kabel dengan kuat sehingga konektor itu tak akan terlepas. Kedua, proses crimping itu gagal karena tonjolan yang harusnya menekan kabel jadi patah saking terlalu kuatnya Jia menekan alat crimping. Kedua hasil itu ditentukan oleh seberapa keras bunyi kulit telur retak itu. Jika bunyinya lembut, berarti hasilnya gagal. Jika bunyinya terlalu keras cenderung menyalak, berarti sebaliknya. Jia lupa seperti apa persisnya. Jadi dia ingin melepaskan alat crimping dari kabel untuk melihat hasilnya. Tapi Bu Chomy menghampirinya. “Sudah, sudah. Bereskan semuanya. Kalian hopeless.” Setelah menuliskan kata “remedial” pada secarik kertas di dalam mapnya, guru muda berwajah seram itu berlalu dari hadapan Jia. Jia melirik Raisa dan menemukan sahabatnya itu tersenyum riang sambil membereskan kabel-kabel ke dalam kotak alat prakteknya. Sedangkan Jia, tangannya masih menggenggam alat crimping yang berat itu. “Cepet kita beresin, Jia. Gue laper. Ayo kita ke kantin!” Raisa berseru dari mejanya. Jia mengangguk setuju. Jia melepaskan alat crimping dan melihat telapak tangannya merah akibat terlalu kencang memegang alat itu. Dia melihat tonjolan di konektornya. Patah. Pantas saja Bu Chomy langsung menghampiri dan menyuruhnya menyudahi begitu saja sesi praktek ini. Jia memang hopeless. Seperti yang tadi dikatakan ibu guru itu. Selesai membereskan barang-barang, Jia dan Raisa punya tugas mengunci ruang praktek dan memberikannya kepada seorang juru bengkel bernama Pak Giman. Seorang kakek enam puluh tahunan yang selalu tersenyum ramah kepada Jia dan Raisa. Satu dari sedikit sekali senyum tulus dan tak mengejek yang Jia rasakan sejak dia datang ke sekolah yang mayoritas dihuni lelaki ini. “Gimana tadi, neng? Bisa prakteknya?” sapa Pak Giman dari celah loket pengembalian kunci. “Yang ngajar Bu Chomy, Pak. Sampai maghrib pun aku nggak bakal selesai,” jawab Raisa sambil terkekeh. “Kalau kamu? Eee, siapa namamu?” Pak Giman menunjuk Jia dengan pulpennya. “Jia, Pak!” jawab Jia sambil tersenyum. “Iya, Jia. Aduh, maaf ya. Saya lupa terus namamu. Gimana tadi?” tanya Pak Giman lagi. Jia pikir, Pak Giman memang belum pernah menanyakan namanya, jadi seharusnya dia tak perlu meminta maaf. Sebentar kemudian, Jia mengabaikan pikiran itu dan menjawab dengan ringan, “Saya juga belum selesai, Pak. Gagal terus.” “Yaa, ndak masalah itu. Namanya juga belajar.” Jia dan Raisa mengiyakan lalu berjalan meninggalkan loket menuju pintu keluar bengkel. Sampai di depan pintu keluar, banyak siswa bergerombol di depan papan pengumuman. Jia tahu pengumuman apa itu. Penjurusan. Setiap orang yang berdiri di depan papan hitam yang konon berpanjang delapan meter itu, pasti sedang mencari nama mereka di program studi yang mereka incar. “Mau lihat?” tanya Raisa. Jia menggeleng sambil menatap lesu kerumunan orang-orang itu. “Oke, ayo kita ke kantin!” Raisa berseru girang. Perut Jia pun sudah keroncongan. Dia mengeluarkan kotak bekal dari tas hitamnya lalu mengintip isi kotak bekal itu. “Bawa apa hari ini?” Raisa menempelkan kepalanya ke kepala Jia sambil berusaha ikut mengintip. Jia segera menutup kotak bekal itu dan hampir membuat hidung Raisa terjepit. “Aduh, gila lo. Kalau hidung gue patah gimana?” keluh Raisa. Wajahnya memperlihatkan raut kesal. Jia tertawa puas. Inilah salah satu sebab mengapa Jia masih sanggup bertahan. Raisa. Mulut Jia yang terasa kaku karena praktek tadi akhirnya bisa membuka bebas karena Raisa. Kapanpun itu, kebersamaannya dengan Raisa selalu bisa membuat Jia tertawa. Entah itu dengan saling menjahili, atau sekedar mengobrol sedikit-sedikit tanpa pembahasan yang jelas maknanya, mereka berdua saling mengisi. “Jia!” Sebuah suara dari belakangnya mengembalikan Jia ke jalan kecil beraspal menuju kantin. Jia menoleh dan menemukan seorang teman sekelas yang ia belum ingat betul siapa namanya, berlari-lari menghampirinya. “Dipanggil Pak Agus!” Jantung Jia terasa copot. Selama beberapa detik, dia mengingat-ingat kesalahan apa yang dia buat sehingga seorang Kepala Jurusan memanggilnya. Jia tak berhasil mengingat apapun. Dia menoleh kepada Raisa yang melepasnya dengan anggukan. Jia berlari mengikuti anak lelaki itu menuju sebuah gedung hijau besar tempat berkantornya kepala sekolah dan jajarannya, termasuk Pak Agus Kepala Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan yang konon tak segan-segan memberi hukuman. Sampai di depan ruangan dengan pintu kaca bertuliskan “Ruang Kepala Jurusan TKJ”, Jia masih ngos-ngosan. Dia menoleh kepada anak lelaki di sampingnya. “Lo dipanggil juga?” tanyanya. Anak lelaki itu hanya mengangguk sambil mengatur napasnya. “Kira-kira ada apa ya?” tanya Jia lagi, tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. Anak lelaki itu menggeleng, kemudian menjawab asal-asalan, “Nggak tahu.” “Fauzia, masuk!” Sebuah suara menyentak terdengar dari dalam ruangan. Jia heran bagaimana penghuni di dalam bisa tahu dia sudah sampai sana. Tapi dia segera membuka pintu kaca itu, pelan-pelan. Berusaha sekuat tenaga tak menimbulkan suara. “Duduk!” Suara menyentak dari Pak Agus Siswanto yang tinggi besar dengan seragam safarinya, mengagetkan Jia. Dia cepat-cepat duduk di sebuah kursi di depan meja besar bertaplak hijau. Di seberang meja, Pak Agus menatapnya lekat-lekat. “Iya, Pak?” Jia memandang takut-takut kepada sosok di depannya. Pak Agus membuka sebuah laci di kolong mejanya lalu mengeluarkan sebuah map berwarna oranye. Tertulis nama lengkap Jia di atasnya. Jia menahan napas. Dia ingat, apa kesalahannya sekarang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Istri Muda

read
391.9K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Hubungan Terlarang

read
500.8K
bc

Papah Mertua

read
530.0K
bc

Bukan Istri Pilihan

read
1.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook