bc

Rubber Band

book_age18+
7.4K
FOLLOW
54.6K
READ
arranged marriage
arrogant
dare to love and hate
drama
icy
city
office/work place
rejected
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Menganggap Nadira menikahinya demi harta membuat Kai murka. Pria itu telah bersumpah untuk membuat hari-hari istrinya lebih mengerikan daripada di neraka.

Luka mendalam yang ditorehkan oleh suaminya membuat Nadira begitu tersiksa. Dia tak lagi melihat adanya cinta yang terpancar dari sorot mata Kai. Segalanya berubah dan hanya menyisakan kebencian yang tak berujung.

"Selamat tinggal. Jika tahu akan sesakit ini, aku tidak akan pernah mencintaimu terlalu dalam." Nadira.

"Kau tidak akan pernah bisa lari dariku. Sampai kapanpun kau akan selalu terikat denganku, seperti Tuhan yang mengikat kita satu sama lain layaknya karet gelang." Kai.

12 Oktober 2020

chap-preview
Free preview
1. Batal
Pagi itu angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambut seorang gadis yang tengah bersepeda mengelilingi kompleks perumahannya. Peluh mulai membasahi tubuhnya yang bermandikan sinar mentari pagi yang terasa hangat menyentuh kulit. Sampai di ujung jalan, gadis cantik yang kerap di panggil Nadira itu menghentikan laju sepedanya. Pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang terduduk di atas aspal sambil menangis. Nadira bergegas memarkir sepedanya dan berlari mendekat. "Bagaimana kau bisa jatuh?" tanyanya begitu melihat lutut dan siku si anak yang berdarah. "Dia tadi mengebut, karena tidak hati-hati sepedanya menabrak batu hingga akhirnya dia jatuh, Tante." Nadira mengamati seorang anak laki-laki yang saat ini sedang memberikan penjelasan atas kejadian yang baru saja menimpa temannya. "Ya sudah. Ayo ikutlah denganku!" Gadis itu kemudian menggotong tubuh anak kecil yang masih menangis dan membawanya pulang ke rumah. Kebetulan rumahnya berada tak jauh dari sana. "Siapa dia, Nak?" Mutia, Ibunda Nadira yang sedang menyiram bunga pun bertanya karena melihat putrinya pulang dengan membawa seorang anak kecil yang menangis dalam gendongannya sementara ada seorang anak lagi yang mengikutinya. "Nggak tahu Mah, tadi aku lihat dia terluka makanya aku bawa pulang," Nadira menyahut. "Biar Mamah suruh Bik Surti untuk membawakan kotak P3K nya, ya," tawar Meutia. Wanita paruh baya itu bergegas memasuki rumahnya, ia terlihat bangga ketika melihat putri semata wayangnya itu bertindak layaknya seorang dokter pada umumnya. Ya ... Nadira, gadis berusia 27 tahun yang saat ini sedang memberikan pertolongan pertama pada anak kecil yang terluka itu memanglah seorang dokter. Awalnya Arif, sang ayah menginginkan putrinya untuk mengambil mata kuliah jurusan manajemen bisnis saja agar bisa mengikuti jejaknya dan kelak menjadi penerus bagi perusahaannya. Namun, karena Nadira yang sejak kecil telah bercita-cita menjadi dokter, sebagai ayah yang baik akhirnya dia menekan egonya dan mendukung keputusan Nadira. "Nanti, minta tolong Ibumu untuk menebus obat ini di apotek ya," pesan Nadira pada anak kecil itu sembari menyodorkan secarik kertas. "Ya, Tante. Terima kasih," lirih bocah tersebut. "Ayo, Tante antar kalian ke rumah." Gadis itu bangkit bersamaan dengan Ibunya yang kembali berujar. "Memang kamu nggak terlambat ke rumah sakit, nanti?" "Enggak, Mah," balas Nadira. Perempuan itu terus melihat mobil putrinya meninggalkan pelataran rumahnya. . . Nadira berlari kecil menyusuri lorong rumah sakit, jam prakteknya akan segera dimulai. Jika saja tadi ibu dari anak kecil yang di tolongnya tidak memintanya untuk duduk menikmati jamuan sebagai tanda terimakasihnya, mungkin dia tidak akan terlambat. Mau bagaimana lagi, dia bisa saja menolak tadi tapi takut dikira tidak sopan mengingat tuan rumah begitu ramah padanya. "Dok," panggil suster Risa setengah berbisik. "Ya." Nadira segera menghampiri suster yang selama ini banyak membantunya di rumah sakit tersebut. "Aku terlambat ya?" tanyanya pelan. "Sudah banyak pasien yang menunggu, Dok," sahut Risa. "Ya sudah, bersiaplah! Aku akan siap dalam 3 menit," perintah Nadira. "Apa Anda tidak akan istirahat terlebih dulu?" "Tiga menit cukup untukku, aku hanya perlu minum, mencuci tangan dan memakai snelli, selesai." "Baiklah," balas Risa singkat. Nadira terus tersenyum ramah pada pasien pertamanya hari ini. Setelah memeriksa riwayat kesehatan pasien ditambah dengan hasil dari serangkaian tes yang dilakukan olehpasiennya, Nadira sedang berusaha untuk menjelaskan perihal operasi yang harus segera dilakukan sebagai tindakan yang tepat untuk mengobati penyakit pasiennya. "Apa tidak ada jalan lain selain operasi, Dok?" Nadira kembali mengulum senyum ketika pasiennya menanyakan hal tersebut. "Dari hasil tes MRI Anda menunjukkan bahwa tumor yang ada di bagian otak kiri Anda sudah semakin membesar. Akan sangat membahayakan nyawa Anda jika tidak segera dilakukan tindakan operasi," papar Nadira. Sebuah keputusan yang berat, Nadira paham betul apa yang saat ini tengah dirasakan oleh pasiennya. Untuk beberapa saat lamanya dokter muda itu membiarkan pasiennya untuk berpikir. "Berapa tingkat keberhasilan operasinya, Dok?" "Tingkat keberhasilan operasinya sekitar 99%, Nyonya. Perkembangan teknologi sudah semakin canggih ditambah dengan banyaknya dokter kompeten dalam bidang ini yang telah menangani banyak pasien dengan latar belakang kasus yang berbeda." "Lalu berapa besar kemungkinan saya bisa sembuh." Gadis itu kembali menarik nafas panjang sebelum akhirnya bibir mungilnya kembali terbuka. Dengan sabar ia memberikan penjelasan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh pasiennya. Melelahkan rasanya jika setiap hari harus berkutat dengan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Ada begitu banyak orang yang dia temui dengan kasus yang berbeda sepanjang dia mengabdikan dirinya di Rumah Sakit Permata Mitra Husada tersebut. Namun itu semua tidak membuatnya menyesali pilihannya, dia justru terlihat begitu bersemangat ketika mendapatkan kabar kesembuhan dari banyaknya pasien yang berhasil dia tangani. Nadira meneguk segelas air putih untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Sudah hampir tiga jam lamanya dia berada di ruangannya. Gadis itu masih harus berkeliling untuk mengecek kondisi pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut. "Ra ...." Nadira menoleh ketika mendengar seseorang memanggil namanya kemudian gadis itu pun tersenyum. Seorang gadis yang seumuran dengannya sedang berlari ke arahnya. Moza, teman semasa SMA hingga kuliah sekaligus teman seprofesinya. Bedanya, Moza memilih menjadi dokter spesialis anak sementara dirinya memutuskan untuk menjadi dokter bedah saraf. "Bagaimana pekerjaanmu? Sudah selesai kan? Makan siang yuk! Lapar," cerocos Moza begitu jarak diantara keduanya sudah terkikis habis. "Kebiasaan kalau nanya borongan. Ayo, mau makan di kantin rumah sakit atau ...," "Nggak ... nggak. Gimana kalau kita makan di restoran Jepang, saja. Bosan makan makanan kantin, melulu." "Ide bagus," sahut Nadira. Kedua gadis itu berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit tersebut. "Omong-omong, bagaimana persiapan pernikahan kamu?" Moza membuka suara tepat ketika pelayan restoran khusus makanan Jepang itu pergi dari sana, setelah mencatat pesanan keduanya. "Sudah beres semuanya, tinggal menyebarkan undangan saja," balas Nadira. "Aku masih tidak menyangka, tinggal dua minggu lagi dan kamu akan berganti status. Aku doakan semoga semuanya berjalan dengan lancar tanpa halangan suatu apa." "Aamiin. Aku juga mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga kamu segera menikah," balas Nadira. "Bagaimana mau nikah, pacar saja tidak punya," kilah Moza. "Jangan bicara begitu! Kita tidak pernah tahu dengan siapa kita akan berjodoh kan? Barangkali saja sebenarnya Tuhan sudah menyiapkan pria terbaik yang dikirim untuk menjadi pendamping hidupmu, di suatu tempat. Hanya saja belum waktunya untuk kalian berdua dipertemukan," oceh Nadira. "Semoga saja." "Aku tahu masih memikirkan tentang Ibra, kan?" celetuk Nadira. "Tidak mudah melupakan orang yang telah bertahun-tahun mengisi hati kita dalam waktu sekejap, Ra." "Aku paham, tapi kamu juga berhak bahagia, Za. Lagian dia juga kan sudah bahagia sama istrinya, buang-buang waktu kalau kamu masih terus memikirkan dia." "Aku tahu maksud kamu ngomong begitu, kamu hanya tidak ingin melihatku tersakiti kan? Tapi aku juga butuh waktu, Ra," cicit Moza. "Ini semua pasti sangat berat buat kamu." Nadira mengusap bahu temannya, berusaha memberikan sedikit kekuatan pada perempuan yang telah menjadi bagian dari hidupnya itu selama lebih dari 20 tahun. "Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di samping kamu dan akan mendukung setiap keputusanmu," lanjut Nadira. "Terimakasih," balas Moza singkat. Setelah suasana mengharu biru yang sempat terjadi disana, kini keduanya pun mulai menikmati makan siangnya. Bukankah untuk menghadapi kenyataan hidup yang terkadang tak sesuai harapan, mereka juga perlu mengisi tenaga? "Kapan terakhir kali kita makan sushi? Ini enak sekali," kata Moza sambil mengunyah sepotong sushi yang telah masuk ke dalam mulutnya. "Waktu Ibra memutuskanmu dan mengatakan jika dia akan segera menikah. Waktu itu kau sampai mabuk, aku ingat betul aku sampai menelepon Bobby untuk membantuku membawamu pulang ke apartemenmu," sahut Nadira. "Hah ... apa perlu kau mengatakan hal yang bisa membuatku terluka lagi? Lukaku bahkan belum sembuh betul dan kau malah kembali menaburnya dengan garam. Sakit ...." cicit Moza sembari memegangi dadanya. "Dasar." gadis itu mencebik. Nadira terkekeh geli sementara Moza melanjutkan makan siangnya sambil memasang wajah cemberut. "Mau sampai kapan kamu akan terus menekuk wajah seperti itu? Sungguh sangat jelek," goda Nadira. Tangannya terulur untuk mencubit kecil pipi temannya. "Eh, seharian ini aku belum melihat Bobby. Jadi kangen, biasanya kita makan bersama," celetuk Moza. Mendadak gadis itu teringat akan temannya. "Memangnya dia sudah pulang?" Nadira bertanya. "Pulang dari mana?" Moza balik bertanya. "Astaga, mendadak kamu amnesia atau bagaimana? Bukankah dia sedang menghadiri seminar di LA." "Ah, iya ... ya. Dia kan rencananya baru akan pulang besok sore." Moza menepak dahinya. "Gara-gara kepikiran Ibra jadi ...," "Please deh, Ra. Jangan mulai!" sambar Moza. Keduanya saling beradu pandang dan sedetik kemudian tawa mereka pecah bersamaan. "Bercanda, jangan diambil hati," ucap Nadira. Keduanya masih tertawa saat tiba-tiba terdengar ponsel yang berdering nyaring hingga akhirnya mereka menghentikan tawanya. Moza menunjuk ponsel tersebut dengan dagunya, seolah berkata pada temannya bahwa ponsel miliknya berbunyi. Mulut Nadira kemudian bergerak menyebutkan sebuah nama begitu gadis itu melihat nama yang muncul pada layar ponselnya. "Hallo." "Dira." "Ya, Al. Ada apa?" Nadira sempat melirik temannya. "Nanti malam, bisa kita bertemu?" "Kenapa tidak datang kerumah saja?" "Tidak bisa, Ra. Aku tunggu di restoran biasa ya, jam delapan malam." "Memangnya ada apa sih? Kedengarannya penting sekali." "Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu Ra," sahut Alby. "Soal?" kening Nadira berkerut. "Nanti juga kamu akan tahu." "Ya sudah," balas Nadira. Gadis itu kemudian menaruh ponselnya. "Ada apa?" Moza tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya begitu melihat perubahan wajah temannya. "Entahlah." Nadira menggendikan bahunya. "Dia memintaku untuk menemuinya di restoran nanti malam," sambungnya. "Memang mau membahas soal apa lagi? Kamu bilang persiapan pernikahan kalian sudah selesai. Lagi pula kenapa dia tidak datang kerumahmu langsung, kenapa malah minta bertemu di restoran?" oceh Moza panjang lebar. "Ya mana aku tahu, Moza." "Jujur, terkadang aku sering tidak habis pikir dengan Alby. Kalian sudah mau menikah tapi aku merasa seperti ada yang aneh." "Maksudnya?" tanya Nadira, tatapan matanya menelisik. "Ya, aku melihat kalian berdua itu berbeda. Tidak seperti kebanyakan pasangan lain yang hendak menikah. Kalau aku lihat, pasangan yang mau menikah itu biasanya mereka antusias mengurus segala sesuatu keperluan menjelang pernikahan dan kalian itu kebalikannya. Alby tidak datang pada saat fitting baju pengantin, dia juga menyuruh orang untuk menemani kamu pergi ke toko perhiasan. Belum lagi soal undangan dan sewa gedung untuk resepsi." "Mungkin itu hanya perasaanmu saja," sanggah Nadira. "Dia selalu absen disetiap kejadian yang seharusnya melibatkan dua orang yang mau menikah. OK lah untuk masalah perhiasan, undangan atau sewa gedung. Masalahnya dia sampai tidak datang waktu jadwal kalian fitting baju pengantin. Apa itu wajar?" cetus Moza. "Dia kan juga sibuk dengan pekerjaannya, Za." Dengan berat hati Nadira melontarkan ucapan tersebut. Sejujurnya, jauh di lubuk hatinya pun dia merasakan keraguan yang sama seperti yang dirasakan oleh temannya tapi dia sendiri berusaha untuk menyangkalnya. Dia dan Alby sudah saling mengenal untuk waktu yang cukup lama, mereka juga menjalin kedekatan dalam waktu tiga tahun terakhir jadi Nadira yakin jika Alby tidak mungkin merahasiakan sesuatu ataupun mengecewakan dirinya. "Dia selalu berkata begitu. Alby selalu menjadikan pekerjaannya sebagai tameng," lanjut Moza. Nadira tak bisa berkata-kata lagi. Apa yang dikatakan Moza adalah sebuah kenyataan meskipun tak semuanya benar. .. Malam itu sesuai janjinya, Nadira telah berada di restoran. Sebuah rumah makan mewah yang dia jadikan sebagai tempat khusus untuk menghabiskan waktu berdua bersama tunangannya. Sudah tak terhitung berapa banyak kenangan yang mereka ukir disana. Tempat itu menjadi saksi bisu ketika Alby melamarnya pada malam romantis kala itu. Nadira terlihat begitu cantik mengenakan mini dress warna hitam yang mengekspos keindahan pundaknya. Gadis itu sengaja datang lebih awal. "Hai." Lamunan Nadira buyar ketika mendengar sapaan dari seorang pria yang dicintainya. Gadis itu melirik jam tangannya sekilas. Seperti biasa, Alby selalu saja terlambat datang. Makan malam yang dipesan olehnya bahkan telah dingin karena terlalu lama dibiarkan begitu saja. "Maaf telah membuatmu menunggu," kata Alby. Nadira memasang senyum yang dipaksakan, pria di depannya memang mudah sekali mengucapkan maaf namun ekspresi wajahnya datar, cenderung biasa-biasa saja tanpa rasa penyesalan seperti wajah kebanyakan orang jika melakukan kesalahan. "Tak masalah. Mau makan dulu? Tapi maaf, makanan kesukaanmu sudah dingin sekarang," balas Nadira. "Tidak perlu, ada hal yang lebih penting dari ini." "Apa?" tanya Nadira begitu tak sabar. Memang hal penting apa yang membuat Alby sampai sebegitunya? Nadira meneguk minumannya, ekor matanya masih terus mengawasi pergerakan pria di hadapannya. "Maaf ... maafkan aku," cicit Alby tiba-tiba. "Maaf? Untuk apa?" Nadira kembali meletakkan gelasnya. "Aku rasa aku harus mengatakan ini sebelum semuanya terlambat." "Apa maksudmu?" Nadira masih belum bisa menebak kemana arah pembicaraan tunangannya. "Aku tahu kamu pasti akan sangat terkejut, tapi inilah kenyataan yang sebenarnya. Aku tidak ingin memaksakan hatiku lagi." "Katakan terus terang, apa maksudmu!" desak gadis itu. "Dira ... maaf, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita lagi." "Apa ...." pekik Nadira. Untuk sesaat gadis itu mematung, manik mata bak kacang almond miliknya masih masih terus menatap tajam pada manik mata Alby. Berusaha mencari kejelasan disana. "Aku baru menyadari kalau ternyata aku sudah tidak mencintaimu lagi, akan sangat menyiksa jika aku harus hidup bersama dan menghabiskan sisa waktuku dengan wanita yang sama sekali tidak aku cintai dan itu pun pasti akan membuatmu menderita." Kata-kata yang dilontarkan oleh Alby bagai belati yang menikam Nadira tepat di jantungnya. Bagaimana mungkin pria itu begitu tega bicara seperti itu padanya di saat hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari. "Kam ... kamu pasti bercanda kan?" Nadira terbata. "Aku juga tidak menginginkan ini, Ra. Tapi ... aku benar-benar tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita lagi. Mumpung masih ada waktu untuk kita berpikir sebelum semuanya terlambat." "Apa? Terlambat katamu? Pernikahan kita tinggal dua minggu lagi dan kau bilang ...," Nadira meradang mendengar ucapan Alby. Gadis itu sama sekali tak mengerti dengan apa yang telah terjadi hingga membuat Alby memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. "Justru itu, mumpung masih ada kesempatan untuk berpikir," ulang Alby. "Sudahkah kau memikirkannya matang-matang?" Nadira menyesal telah menanyakan hal yang dia tahu betul jawabannya dan detik berikutnya air matanya menerobos begitu saja tanpa bisa dia tahan lagi begitu melihat Alby mengangguk. "Justru karena aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku sampai berpikir berhari-hari dan ... aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita. Sungguh, aku mohon maafkan aku." "Jadi keputusannya?" Nadira kembali bertanya, dia ingin memastikan kalau kejadian yang menimpanya saat ini bukanlah mimpi. "Batal, pernikahan kita batal," lirih Alby. Nadira masih duduk termenung di tempatnya. Air matanya bagai manik-manik yang putus talinya, terus mengalir tanpa bisa dia hentikan. Sudah satu jam yang lalu sejak kepergian Alby dari sana dan dia belum juga berniat untuk meninggalkan restoran tersebut. Gadis itu menyesal telah datang ke restoran itu malam ini. Bukan makan malam romantis seperti yang bisa dia rasakan pada malam-malam sebelumnya melainkan sebuah kenyataan yang membuat batinnya merintih pedih. Bersambung ....

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
48.8K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.2K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.0K
bc

Love You My Secretary

read
242.6K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.1K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook