bc

Infinity

book_age0+
3.7K
FOLLOW
44.3K
READ
possessive
friends to lovers
arrogant
others
badboy
drama
comedy
sweet
EXO
like
intro-logo
Blurb

Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau memeluk Dinda, karena percayalah, sejak awal Bani dan Dinda duduk bersisian di balkon, satu-satunya hal yang ingin Bani lakukan adalah menarik Dinda ke dalam pelukannya. Meskipun memang alasan utama Bani ingin memeluk Dinda adalah karena sweater hitam milik bundanya yang dikenakan Dinda menguarkan wangi tubuh bunda. Seolah dengan memeluk Dinda, Bani seperti sedang memeluk kembali bundanya.

Tetapi Bani tidak melakukannya. Alasannya hanya satu. Karena Bani takut ketika dia sudah memeluk Dinda, dia tidak ingin lagi melepaskannya.

€€€

chap-preview
Free preview
Prolog
Hari pertama Dinda di sekolah barunya cukup lancar. Setidaknya tidak ada kejadian tidak diingankan yang terjadi padanya. Dari awal Dinda diantar kepsek ke kelas barunya yaitu XI-IPS 2, Dinda diminta memperkenalkan dirinya sebagai murid pindahan dari Bandung, Dinda diperintahkan untuk duduk di kursi barunya yang terletak di deretan ke tiga barisan terpojok dekat jendela yang menghadap ke halaman, Dinda berkenalan dengan teman sebangkunya bernama Reta, Dinda berkenalan lagi dengan beberapa teman sekelasnya yang mengajaknya ke kantin bersama sampai akhirnya hari pertama Dinda di sekolah barunya berakhir. Nggak sepenuhnya berakhir sih sebenarnya, karena Dinda saat ini masih berada di sekolah meskipun bel sudah berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Itu semua karena Dinda yang harus mengurus seragam barunya di koperasi sekolah. Sambil Dinda berjalan ke arah koperasi yang saat istirahat tadi ditunjukkan Reta, Dinda memikirkan kata-kata Audy, salah satu teman sekelasnya sebelum meninggalkan sekolah yang menanyakan kepadanya apakah Dinda bawa baju ganti atau tidak. Dan saat Dinda menggeleng dan bertanya balik kenapa dia harus membawa baju ganti, Audy terlihat terkejut. Tetapi gadis itu tidak berkata apa-apa lagi dan hanya pamit pulang setelah sebelumnya meremas pelan bahu Dinda dengan tatapan...kasihan? Entahlah, Dinda juga tidak mengerti. Ruang koperasi sudah ada di depan mata Dinda dan hanya tinggal beberapa langkah lagi Dinda menggapai gagang pintunya saat tiba-tiba Dinda mendengar sebuah teriakan yang membuatnya refleks menoleh. Dan byur! Dinda mengerjapkan matanya. Tidak sempat berteriak ketika seember air disiramkan ke arahnya. Tunggu, apa?                                                                        Dinda menatap tubuh bagian depannya yang basah kuyup. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi tetapi Dinda gagal paham. Suara tawa terdengar membuat Dinda akhirnya menegakkan kepalanya untuk menatap siapa orang yang sedang menertawainya dan menjadi kandidat terkuat sebagai pelaku aksi penyiramannya itu. Damn, it. Dinda bisa melihat ada sekitar tujuh orang campuran cewek dan cowok berdiri bergerombol di depannya. Dengan center seorang cewek berambut panjang tercatok rapi memegang ember di tangannya yang Dinda yakini isinya baru saja berpindah ke tubuhnya. Iyalah, apa lagi. Dinda tidak berkata-kata, karena sejujurnya dia masih nggak ngerti apa yang baru saja menimpanya. Apa ini merupakan salah satu aksi pembullyan terhadapnya? Karena kalau iya, Dinda ingin teriak, "KENAPA WOY? GUE SALAH APA?" tetapi tentu saja Dinda tidak melakukannya, dia ingin tau dulu alasan sebenarnya. 'Kan siapa tau mereka salah sasaran dan Dinda akan memaafkan mereka jika memang begitu. "Heh, anak baru, udah seger belum? Lo kepanasan 'kan ngerasain udara Jakarta? Tuh udah gue ademin, gimana? Seger 'kan?" tanya cewek yang masih memegang ember tersebut. "Masih kaget dia Fris, liat aja tuh sampe gak bisa berkata-kata," ucap seorang cewek yang rambutnya di kuncir kuda. Tunggu, anak baru? Ah, jadi mereka memang nggak salah sasaran? Mereka emang menargetkan gue? Dinda menyeka air yang ada di wajahnya. "Ini apa-apaan, sih?" tanyanya tanpa merasa takut sama sekali. Iya, Dinda nggak takut, dia 'kan masih ada di lingkungan sekolah. Yang ada orang-orang ini yang harusnya takut karena baru aja melakukan aksi bullying di daerah sekolah. Cari mati apa? Seorang cowok yang juga merupakan bagian dari gerombolan itu tertawa meledek. "Duh, kayaknya ini anak bener-bener clueless deh. Bos, gimana bos?" tanya cowok itu entah kepada siapa. Mungkin kepada cewek yang memegang ember barusan? Cewek yang memegang ember itu bergeser, tidak menyahut, sepertinya bukan dia yang dimaksud cowok tadi karena tiba-tiba seorang cowok yang entah sejak kapan berdiri menyandari tembok dekat tujuh orang gerombolan itu menempati posisi cewek ember. Cowok itu jangkung, tubuhnya tampak tegap dan bagus untuk ukuran anak SMA, menurut Dinda cowok itu pasti doyan olahraga, antara basket atau renang, intinya cowok itu punya badan yang bagus dan cocok buat jadi model pakaian dalam Calvin Klein. Dinda, sadar woy! Dia abis ngebully lo. Dinda membatin. Cowok itu kelihatan dingin, cuek dan nggak cocok ada di antara gerombolan geng pembully tersebut. Apa jangan-jangan cowok itu memang bukan bagian dari mereka tetapi penyelamat? Dinda masih menatap tidak mengerti orang-orang di depannya itu. Dinda juga melihat bagaimana cowok itu menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan kedua tangan yang bertengger di kantung celananya. "Siapa nama lo?" tanyanya pada Dinda. Dinda mengerjapkan matanya. Tidak tau apa harus menjawab atau apa. "Dinda." Akhirnya Dinda memutuskan untuk menjawab. Siapa tau cowok ini memang ada untuk membantunya. Mungkin nggak ,sih? "Mau dilanjut, Ban? Ni anak kayaknya emang bener-bener nggak tau apa-apa," ucap seorang cowok yang lain. Cowok yang dipanggil 'Ban' itu masih memandang ke arah Dinda ketika menjawab, "tradisi tetep tradisi. Do it." Ucapan tadi jelas perintah meskipun Dinda tidak tau apa maksudnya dengan tradisi, tetapi Dinda tau kalau kata-kata tadi perintah karena setelah cowok itu mengatakannya dan dia pergi entah kemana, dua orang cewek yang ada di gerombolan itu langsung memegangi tangan Dinda membuat Dinda tidak sempat lari dan hanya bisa berontak. Tetapi jelas saja percuma, tubuh Dinda yang mungil kalah dibanding tubuh dua cewek itu yang tinggi dan semok bagai model. "Ih, ini apa-apaan si—h!" Tubuh Dinda kini berbalut tepung. Gila, memangnya dia sedang ulang tahun apa sampai harus dilempari tepung begini? Dua cewek itu akhirnya melepaskan tangan Dinda yang sedang sibuk mengucek matanya yang kelilipan tepung. "Sorry not sorry ya, tapi kita Cuma jalanin tradisi," kata seorang cowok yang sejak tadi belum bicara sepatah katapun. Dinda menatap kesal ke arah orang-orang itu. Sebenarnya mereka siapa sih? Kenapa tidak ada yang membantu Dinda sama sekali padahal aksi bullying ini dilakukan di koridor. Bahkan murid-murid yang masih ada di sekolah dan tidak sengaja melihat malah pergi begitu saja. Ini sebenarnya sedang syuting acara 'super trap' atau gimana, sih? "Ini tradisi untuk setiap anak baru spesial dari kita, The Fabs, kalau lo nggak tau biar kita kasih tau," kata si cewek ember. "The Fabs itu adalah geng turun temurun yang ada di SMA Angkasa. Total kita ada tujuh orang di setiap angkatan dan satu orang ketua, which is saat ini di sekolah kita ada dua puluh satu orang anggota. Kita bukan geng bullying tenang aja, kita nggak akan bully orang yang TAU DIRI dan nggak macem-macem sama salah satu dari kita ataupun nggak jadi pengacau di sekolah." NGGAK NGEBULLY? NYIRAM GUE PAKE AER SEEMBER BUKAN BULLY NAMANYA?HAH? "Yang kita lakuin barusan ke lo itu itung-itung adalah pengganti MOS buat lo. Iya, kenapa kita adain itu Cuma buat anak baru ya karena nggak adil aja rasanya kalau semua yang masuk sini dari awal kelas satu harus ngerasain MOS tapi anak yang masuk sini gak dari awal bebas gitu aja. Iya, 'kan?" "Dan lebih bagus lagi kalau lo nggak protes ataupun ngelawan kita karena urusannya bakal makin panjang. Kalau lo terima ini dengan lapang d**a, urusan kita kelar sampai di sini," jelas cowok yang mengenakan hoodie abu-abu itu. Menerima dengan lapang d**a? Mana ada orang yang terima dirinya dibully! Ok, walaupun kata orang-orang ini mereka nggak lagi membully Dinda, tetap saja Dinda tidak terima diperlakukan begitu. Dia memang anak baru, tapi memangnya keinginan dia apa untuk pindah kesini? Kalau bukan karena Ayahnya yang dipindah tugaskan, mana mau Dinda meninggalkan sekolah dan teman-temannya yang sudah sangat nyaman di Bandung sana. Jika mereka mengira Dinda akan takut dengan omongan mereka, jelas mereka salah. Dinda bukanlah tipe yang takut pada apapun selama dia merasa dirinya tidak salah. Dinda hanya takut pada Tuhan dan orang tuanya. Iyalah, Dinda hanya takut kepada Tuhan yang sudah memberikannya kehidupan dan takut kepada orang tuanya yang memberinya makan dan merawatnya hingga sebesar ini. Selain itu? Ya nggak ada! Apalagi sama cecunguk berjumlah tujuh orang ini yang menyebut diri mereka—apa tadi? The tabs? Kok mirip merk minuman, ya? Tapi kalau di pikir-pikir lebih baik saat ini Dinda mengalah saja deh. Toh orang-orang ini yang bilang sendiri kalau urusan mereka akan selesai jika Dinda menerima kejadian ini dengan lapang d**a. Iya, Din, kali ini lo gak usah sok jagoan dan sok berani, kali ini lo diem aja ya Din. Karena melihat Dinda yang tidak memberikan perlawanan atau bantahan apapun cewek ember kembali berkata, "udahan aja kali ya, ni anak kayaknya nggak—" "Kalian pikir kalian hebat?" Tunggu, itu kenapa mirip suara gue? Cewek ember itu menatap Dinda—ok, nggak Cuma cewek ember, tetapi semua anggotanya menatap Dinda membuat Dinda ingin sekali tewas saat itu juga. Sepertinya sifat sok pemberaninya memang sudah mendarah daging. Padahal dia sudah berkata pada dirinya sendiri untuk nggak melawan tetapi mulutnya dengan sangat entengnya malah bertanya dengan nada menantang. Cari mati. "Wah, rupanya dia mau cari gara-gara, Fris." Si cewek ember yang sejak tadi dipanggil 'Fris' menatap Dinda dengan nyalang. "Keluarin telurnya!" perintahnya kepada temannya yang memegang kantung plastik. Dinda waspada. Dinda paling benci sama bau amis telur. Benci banget. Makannya sih doyan, tapi kalau mentah-mentah dilempar ke badannya ya nggak mau lah. "Panggil Bani dulu deh, mendingan," saran cewek yang memegang plastik. Cowok berhoodie abu-abu berdecak, "yaelah, kenapa apa-apa si Bani, sih? Dia kan—" "Gue ketuanya." Sahut sebuah suara dengan dingin. Rupanya cowok model Kalvin Clein—menurut Dinda—itu balik lagi. Atau memang cowok itu nggak benar-benar pergi? Entahlah. Intinya dia kembali berdiri di barisan terdepan. Hanya beberapa langkah saja dari Dinda. "Iya lo emang ketuanya, Ban, tapi kita juga udah tau apa yang harus kita lakuin, maksud gue biar kita gak sedikit-sedikit nanya sam—" "Bacot. Kenapa sama cewek ini?" potong cowok bernama Bani itu sambil menunjuk Dinda dengan tidak sopan. Iyalah, mana ada nunjuk-nunjuk orang lain itu dibilang sopan. "Dia nantangin, Ban. Katanya 'emang kalian pikir kalian hebat?' gitu." Brengsek! Batin Dinda pada si cewek ember. Bener-bener mirip ember mulut cewek itu. Tukang ngadu! Dinda lalu menatap cowok bernama Bani yang katanya ketua dari geng tidak jelas ini dengan tatapan tidak takut. Pura-pura tidak takut sih sebenarnya. Cowok itu menatap Dinda dengan tatapan datar yang tidak berubah sejak tadi. Dinda jadi bertanya-tanya, apa otot wajah cowok itu nggak pegal apa ya harus mempertahankan tampang flat begitu? "Gue kasih lo satu kesempatan. Lo minta maaf atau urusan lo sama kita bakal panjang." Dinda berkedip. Minta maaf? Ini cowok gila kali, ya? Yang ada dia dan cecunguknya yang harus minta maaf udah nyiram Dinda. "Gila ya lo?" Dinda langsung menutup mulutnya sendiri.  Tunggu, maksud Dinda 'kan dia hanya mau mengumpat dalam hati, tapi kenapa malah dia mengucapkannya dengan suara sebesar itu, sih? Liat bagaimana muka orang-orang di depan Dinda itu menatapnya seolah Dinda adalah alien yang mengenakan kebaya. Ya bayangin aja sendiri seberapa anehnya. Bani masih bertahan dengan wajah datarnya. Si cewek ember maju mendekati Bani. "Ban, udah langsung aja!" kata cewek itu mengompori. Tetapi Bani masih terlihat tenang. Cowok itu malah menatap si cewek ember dengan tajam membuat si cewek ember langsung ciut dan mundur kembali ke tempatnya semula. "Lo gak sadar lagi berhadapan sama siapa?" tanya Bani datar. Dinda tampak berfikir apalagi yang harus dia lakukan karena sejak tadi semua yang Dinda rencanakan tidak ada yang berhasil. Ah bodo deh lanjut aja, toh di mata mereka gue udah terlanjur dianggap songong. "Sadar. Gue lagi berhadepan sama orang-orang kurang kerjaan dan kurang perhatian. Pada nggak diperhatiin ya sama ortu kalian?" Anjir Dinda, nggak gitu juga, itu mah cari mati! Wah bener, mati nih abis ini gue. Liat aja muka si Bani-Bani itu bahkan keliatan kaget denger kata-kata lo. "Wah...ngelunjak ya?!" bentak si cewek ember. "Ban, udahlah tunggu apa lagi, sih?! Langsung aja!" "Nggak. Telur-telur itu bahkan gak cukup buat nyadarin ini cewek kalau dia salah milih lawan." Mendengar kata-kata dingin itu Dinda jadi merasa takut. Sepertinya si cowok bernama Bani itu sangat tersinggung dengan kata-kata Dinda barusa. Lihat saja bahkan cowok itu sudah tidak lagi mempertahankan tampang datarnya dan kelihatan marah. "Terus enaknya diapain dong, Ban?" tanya cowok yang juga anggotanya. "Kita kasih dia hadiah." Jawaban Bani menerbitkan kernyitan di dahi para anggotanya begitupun Dinda. Hadiah? "Hadiah?" tanya para anggotanya hampir bersamaan. Bani menatap Dinda, tajam. "Ya, hadiah. Setiap hari."  "Hah?" Si cowok berhoodie tampak tidak setuju. "Tunggu deh, Ban, aturannya 'kan..." "Aturannya emang nggak ada. Tapi kuasa ada di tangan gue, ketua The Fabs." Mendengar kata-kata Bani, cowok itu langsung bungkam. Tetapi jelas wajah cowok itu kelihatan kesal. Seorang cowok lain yang ada di samping cowok berhoodie menepuk pelan bahunya seolah menyuruhnya sabar. Setidaknya itu lah yang Dinda tangkap. "Ban, bukannya mau ngelawan lo nih tapi..." "Yang nggak setuju atau nggak suka, silahkan keluar. Masih banyak orang yang mau dan lebih pantes masuk The Fabs daripada lo semua yang bisanya Cuma ngelawan." Semua langsung bungkam. Dan Dinda tau kalau tidak akan ada lagi yang berani protes tentang keputusan Bani. Bani lalu melangkah mendekati Dinda membuat Dinda terpojokkan di tembok koridor. "Selamat berurusan sama The Fabs, terutama gue buat waktu yang lama, Dinda." Dan setelah mengatakannya Bani pergi diikuti para anggotanya meninggalkan Dinda yang mematung meratapi nasibnya yang salah masuk sekolah. Iya, bahkan Dinda bukan masuk sekolah, tetapi masuk neraka!!!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.0K
bc

You're Still the One

read
117.3K
bc

MOVE ON

read
94.9K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.0K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

Perfect Marriage Partner

read
809.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook