bc

Senandung Rima Masa Lalu (Indonesia)

book_age16+
896
FOLLOW
9.6K
READ
fated
second chance
drama
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana jika mantan kekasihmu, yang telah menghancurkan hidupmu, merenggut masa depanmu, dan menempatkanmu dalam masa-masa tersulit di hidupmu setelah ia mencampakkanmu; kembali muncul di hadapanmu? Sekali lagi mencoba mengejarmu. Tapi mungkin bukan karena dia masih mencintaimu seperti di masa lalu, melainkan karena dia mengklaim dirinya sebagai ayah biologis dari putri kecilmu.

chap-preview
Free preview
1. Yang Datang Dari Masa Lalu
(Jogja, Sekarang) "Rima, sudah dengar berita, belum?" sekretaris bos yang sudah cukup lama menjadi sahabatku menghampiri bilik kerjaku. Pastinya dia ingin mengajakku bergosip seperti biasa. "Soal bos baru ya, Lin?" tanyaku, menoleh padanya. Alina mengangguk dengan wajah tampak sumringah menatapku. Beberapa hari ini para karyawan memang mulai membicarakan isu yang sedang hangat itu. Berita tentang kepala kantor cabang tempatku bekerja sekarang ini yang katanya mau pensiun. Jadi sudah dipastikan akan ada penggantinya yang ditarik dari perusahaan pusat. Dan sikap bos yang lama yang cenderung otoriter memang membuat para karyawan menghela napas lega begitu mendengar kabar itu. Termasuk juga sahabatku yang heboh mengajakku bergosip ini. "Segitu senangnya kamu, Lin?" tanyaku sembari terkekeh pelan. "Ya senanglah, Rim. Kamu 'kan tau sendiri gimana garangnya Pak Sultan. Beuh, aku benar-benar nggak tahan lagi sama sikap arogannya, Rim. Makin tua malah makin suka perintah sembarangan. Ck!" jawab Lina yang kemudian mendengus kesal. Aku tertawa pelan mendengar curhatan Lina itu. "Kamu bicara hati-hati loh, Lin. Nanti kalau kedengeran Pak Sultan gimana?" tanyaku. "Lagian siapa yang tau kalau bos baru kita nanti lebih galak daripada Pak Sultan? Bisa-bisa kamu mendadak ngemis sama Pak Sultan minta dia nggak pensiun..." "Ah, Rim. Segalak apapun, aku yakin deh nggak mungkin lebih galak dari Pak Sultan si raja galak!" seru Alina dengan yakin. "Terus kalau misalnya dia genit gimana? Terus godain kamu? Mau, kamu?" tanyaku menggodanya. Alina tampak berpikir keras, sebelum kemudian wajahnya tampak seperti baru mendapatkan sebuah ide yang sangat brilian. Dia terkekeh pelan sebelum mulai berbicara. "Kalau dia genit sih, aku suruh genitin kamu aja, Rim. Kan kamu yang belom laku. Kalo aku sih, sudah punya Leon," ucapnya sambil mengibaskan tangan. Mau tidak mau aku menatap horor pada sahabatku yang berwajah cenderung Chinese itu. "Ck! Lin, kamu lupa, ya? Kalau dekatin aku berarti dapat bonus. Mana ada coba yang mau sama janda anak satu kayak aku ini?" balasku cepat. "Rima, siapa bilang nggak ada yang mau?" tanyanya, menatap lurus padaku. Alina semakin mendekat padaku, berdiri di samping kursiku dan membuatku memutar kursi itu agar bisa langsung berhadapan dengannya. Dia menunduk, menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Kamu cantik, Rima. Serius, sangat cantik malah. Kamu juga pintar berpenampilan. Kamu menarik. Kamu juga cerdas. Kamu sendiri yang menganggap anak adalah kekuranganmu. Tapi aku yakin akan ada pria yang mau menerimamu lengkap dengan anakmu, Rim. Kamu aja yang nggak mau membuka diri. Ayolah, Rima. Kamu bahkan sudah sendiri sejak aku belum mengenal Leon, dan kini kami sudah menikah, Rim. Kapan kamu akan mencari ayah baru untuk anakmu itu?" Aku hanya bisa diam mendengar ucapan Lina yang lagi-lagi menohok hatiku. "Kamu selalu pasang wajah seperti itu setiap kali aku ajak bicara serius tentang mencari pasangan baru. Apa yang membuatmu ragu sih, Rim? Memangnya anakmu nggak pernah ingin punya ayah? Atau, apa kamu masih menunggu ayah kandungnya untuk kembali? Bukankah ini sudah terlalu lama, Rima?" dia masih saja mendesakku. Padahal dia tau aku sangat enggan membahas topik ini. Andai saja kamu tau kenyataannya, Lin. Kenyataan yang selama ini kusimpan dari semua orang. "Udahlah, Lin. Mungkin belum waktunya aja sekarang. Aku mau fokus ngurusin anakku. Kalau punya suami malah nanti waktuku akan tersita..." kilahku, mencoba menghentikan pembicaraan tentang ini. "Kamu emang harusnya punya suami, Rima. Jadi kamu bisa berhenti bekerja dan duduk di rumah aja mengurus suami dan anakmu..." ujarnya dengan gaya menggurui. "Emangnya nikah bikin kamu berhenti kerja? Enggak kan, Lin?" aku membalik pertanyaan padanya. Lina kembali berdiri tegak dan mengibaskan tangannya dengan bosan. "Sekarang aku belum punya anak, Rima. Kalau aku udah punya anak nanti, aku pasti berhenti kerja. Leon juga udah setuju kok. Dan kalo saat itu kamu nggak juga punya suami, kamu akan nggak punya teman untuk bergosip lagi di kantor, Rim..." terangnya dengan nada mengancam. Aku benar-benar heran dengan sahabatku satu ini. Masih saja dia gigih menyuruhku mencari suami. Padahal sudah dua tahun selama kami saling mengenal dan aku tak pernah setuju dengan idenya itu. "Ya udah kita bahas lain kali deh, Lin. Sekarang mendingan kamu balik ke tempatmu, deh. Udah setengah dua nih, bentar lagi pak Bos pasti nyampe kantor." "Kamu selalu aja punya alasan buat ngeles, Rim..." Lina berkacak pinggang dengan wajah sebal mendengar kilahanku lagi, yang hanya kubalas dengan kekehan pelan, dan mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran padanya. "Hus-hus. Sana balik ke kandang!" ucapku. Dan Lina melenggang pergi, kembali ke ruang kerjanya, yang hanya berbatas dinding gypsum dengan ruangan bos kami yang super galak itu. Aku kembali bersandar pada kursiku dan mulai memikirkan kalimat Lina. Bukannya aku nggak pernah berpikiran untuk punya suami. Aku juga ingin menghadirkan sosok ayah untuk putri kecilku. Tapi, siapa yang mau menerimaku? Dengan masa lalu kelamku, yang berbuah putri kecil yang bertahun-tahun menjadi tanggung jawabku sendiri? Rasanya semua ketenangan yang kini kumiliki bersama putri kecilku saja sudah cukup. Aku tak berniat untuk mengharapkan yang lebih. Tak ada lagi hinaan, cacian, dan tatapan murka dari orang-orang, bahkan dari keluarga sendiri. Ini sudah cukup untukku. Bisa memberikan kehidupan yang baik dan cukup untuk putriku saja, aku sudah bahagia. Maka biarkanlah kebahagiaan ini hanya milik kami berdua saja. * "Bundaaa!" terdengar suara mungil itu memanggilku saat aku memarkirkan sepeda motorku di halaman rumah. Kaki kecilnya melangkah cepat menghampiriku. Putri cantikku yang baru beranjak lima tahun, dengan wajah ayunya yang tampak imut, dan rambutnya yang sedikit bergelombang yang menjuntai menutupi punggungnya berayun tertiup angin. Tiara. "Iya, sayang..." aku turun dari motor, berjongkok di hadapannya, meraihnya dalam pelukku dan menggendongnya. "Bunda kok cepet pulangnya?" tanyanya, menatapku dengan mimik wajah bahagia. Aku tertawa pelan melihat ekspresi wajah itu dan mengecup kedua pipinya dengan gemas. "Ada acara kantor, jadi bunda bisa pulang cepet, deh. Bisa nemenin kamu main sore ini, sayang..." jawabku sambil berjalan pelan menuju teras rumah, menghampiri Hana, anak tetangga yang biasa menjadi tempatku menitipkan putriku selama aku bekerja. Sore ini kantor memang mengadakan acara perpisahan dengan pak Sultan yang mulai besok tidak akan masuk ke kantor lagi. Sekalian juga acara penyambutan bos yang baru. Tapi setahuku, acara seperti itu tak pernah wajib didatangi. Yang datang biasanya hanya mereka yang suka makanan gratis. Kalau aku, tentu saja lebih memilih pulang untuk bertemu putri kecilku. Tak peduli walaupun Alina membujukku untuk tidak pulang, dengan alasan sudah ada Hana yang menjaga Tiara di rumah. Semata untuk melihat langsung bos yang baru. Padahal besok juga bos baru sudah mulai bertugas dan bisa kami temui. Tapi juga kalau ketemu, sih. Biasanya staf biasa sepertiku jarang sekali bertemu bos. Tapi 'kan tak masalah, kapan-kapan juga bisa. "Hana, hari ini boleh pulang aja. Istirahat, ya. Tante bisa jaga Tiara sendiri..." ucapku sambil tersenyum pada Hana, gadis yang barus masuk SMA itu, yang setiap pulang sekolah selalu dengan senang hati menjaga Tiara yang memang biasanya kutitipkan pada ibunya yang hanya bekerja di rumah. "Oke, tante... Tiara, kak Hana pulang dulu, ya..." pamit Hana kemudian mengecup lembut wajah Tiara. "Bunda, kita mau main apa?" tanya Tiara, setelah selesai berdadah ria dengan Hana yang kini sudah menghilang ke rumah sebelah. "Terserah... Tiara mau main apa?" tanyaku, membawanya masuk ke dalam rumah. "Main salon aja, nda..." sahutnya girang. "Tiara mau krimbat rambut bunda..." sambungnya dengan wajah sumringah. Aku terkekeh pelan dan menurunkannya di ruang tengah. "Gimana kalo bunda aja yang jadi tukang salonnya? Biar bunda kepang kecil-kecil rambut Tiara, biar besok pagi pas dibuka rambutnya jadi keriting lucu. Mau, ya?" aku membujuknya. Sejenak putriku tampak ragu sampai akhirnya dia mengangguk pelan. "Tiara tunggu di sini, bunda mau ganti baju dulu, ya..." "Jangan lama-lama, ya, bundaa.." pekiknya riang begitu aku melangkahkan kaki menuju kamarku, menyambar daster sederhana dari dalam lemari dan segera mengenakannya. Selanjutnya aku kembali ke ruang tengah, melihat Tiara yang mulai asyik dengan boneka-bonekanya yang berserakan di lantai. "Ayo sini, bunda kepang rambutnya..." panggilku setelah mengambil duduk di sofa. Wajah gadis kecilku tampak sumringah saat dia berpindah duduk di sebelahku dan tangannya menyerahkan kotak berisi ikat rambut kecil-kecil dan jepitan rambut warna-warninya padaku. Dia mulai berceloteh riang selagi aku mengepang seluruh rambutnya menjadi kepangan-kepangan kecil yang lucu. Sesekali aku menimpali celotehannya, atau hanya tertawa mendengarkan ceritanya tentang teman TK-nya yang menangis karena memanjat pohon tapi nggak bisa turun. "Bunda..." panggilnya setelah selesai menceritakan banyak hal dan terdiam sejenak. "Ya, sayang..." jawabku, masih mengikat kepangan terakhir di rambutnya. "Kenapa Tiara nggak punya ayah, bunda?" tanyanya, yang seketika membuat tanganku berhenti bergerak dan membeku pada tempatnya. "Teman-teman TK Tiara kalo pulang dijemput ayahnya. Kenapa Tiara nggak punya ayah, bunda?" tanyanya lagi. Kali ini dia sudah membalikkan badannya menghadapku, menatapku dengan penuh harap. Mengharapkan jawaban yang mungkin aku tak punya. "Tiara..." hanya itu yang mampu kugumamkan ketika kupandangi wajah cantiknya itu. "Teman-teman sering cerita, mereka kalau jalan-jalan ke kebun binatang sama ayah bundanya. Tiara bilang, Tiara ke kebun binatang cuma sama bunda. Terus mereka tanya, kemana ayah Tiara..." sambungnya. Aku hanya bisa terus menatapnya dengan mataku yang mulai berkabut tipis karena air mata yang memaksa untuk menyeruak keluar. Gadis kecilku yang kini berusia lima tahun, mulai mempertanyakan keberadaan ayahnya. Ayahnya yang bahkan tak pernah mengetahui bahwa dia memiliki seorang putri. "Tiara bilang, Tiara nggak tau, nda..." lanjutnya lagi, masih dengan sorot penuh harap yang kulihat sebelumnya. "Kenapa Tiara nggak punya ayah, bunda? Kata teman-teman, setiap anak pasti punya ayah. Tapi, kenapa Tiara nggak punya ayah, bunda? Kemana ayah Tiara? Kenapa nggak ada ayah yang tinggal bersama kita, bunda?" dia masih masih saja memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tak mampu kujawab. Apa sebenarnya yang harus kukatakan padanya? Kenyataan bahwa ayahnya tak pernah tau keberadaannya? Atau kenyataan bahwa aku pun tak tau lagi dimana ayahnya berada? Haruskah aku mengatakannya? Jawaban yang bahkan tak akan memuaskan rasa penasaran putriku itu. Hingga aku tak sanggup lagi menahan air mata yang sekarang sudah mengaliri pipiku. "Bunda... Kenapa bunda nangis?" tanya Tiara ketika dia menyadari airmataku. "Bunda sedih karena Tiara nanyain ayah? Bunda nggak suka ya, nda? Maaf, bunda. Tiara janji nggak akan nanyain tentang ayah lagi, bunda. Janji. Tapi bunda jangan nangis. Tiara nggak mau bunda nangis..." tangan mungilnya terulur mengusap airmata yang mengalir semakin deras di pipiku. Bahkan isakan kecil mulai meluncur dari bibirku. Kutahan tangannya yang masih sibuk menghapus airmataku yang tak kunjung mengering. Kukecup kedua tangannya itu dan kudekap tubuh mungilnya dalam pelukku. "Maafin bunda, nak... Maafin bunda..." hanya itu yang mampu kuucapkan padanya disela isakan tangisku. "Maaf..." lirihku lagi. Maafkan kesalahan bunda di masa lalu, nak. Yang membuatmu hadir di dunia ini tanpa seorang ayah yang menjaga kita. Maafkan bunda, nak. Maaf... "Kenapa bunda minta maaf? Tiara yang bikin bunda nangis..." ucapnya pelan, teredam dalam pelukku. "Tiara nggak salah, nak. Bunda yang salah... Maafin bunda..." bisikku padanya. Dan samar kudengar sedu sedannya di dadaku. Tubuhnya berguncang pelan dalam pelukku. Dia ikut menangis bersamaku. Putriku, maafkan bunda... * "Rimaaaa!" suara pekikan itu membuatku segera menoleh pada Alina yang tampak berlari kecil dari arah pantry. "Masih pagi udah heboh, deh!" protesku, melanjutkan langkah menuju bilikku "What!? Pagi? Pagi kamu bilang? Ini udah jam delapan tepat, Rima. Nggak biasanya kamu telat gini..." Alina berkacak pinggang di hadapanku sebelum aku sampai di bilik kerja. Memang biasanya sebelum jam delapan aku sudah duduk manis di sana. Aku hanya nyengir lebar dan berjalan pelan melewatinya memasuki bilik kerjaku dan duduk di kursi di balik meja. "Tadi nganterin Tiara ke TK dulu..." jawabku. "Loh, tumben? Bukannya biasa naik jemputan?" tanya Lina, yang sekarang sudah duduk di tepi meja kerjaku dan mulai menyeruput teh dari cangkir yang sejak tadi dipegangnya. Aku menghela napas. Kepada siapa lagi aku akan bercerita kalau bukan kepada Lina, sahabatku satu ini? "Kemarin, dia nanyain soal ayahnya, Lin..." jawabku pelan. Alina batuk-batuk tersedak tehnya, kemudian dia meletakkan cangkir tehnya di atas mejaku. "Terus?" tanyanya setelah selesai terbatuk, sementara aku masih mengusap-usap punggungnya. "Kurasa aku harus lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Supaya dia nggak kepikiran tentang ayahnya lagi..." jelasku padanya. "Ya ampun, itu tuh pikiran paling bodoh yang pernah muncul dari otak cerdasmu, Rima! Mestinya itu, kamu cari suami, cari ayah baru buat Tiara!" pekik Alina nyaring. "Lin! Masih pagi berisik, deh!" protesku. Beberapa karyawan lain juga tampak mulai terganggu dengan suara berisik kami. "Eh deketin bos baru aja... Seriusan dia kece, masih muda ternyata..." Lina menunduk dan berbisik padaku. Astaga, Lina. Pikiran bodoh macam apa itu? "Aku nggak minat, Lin!" desisku padanya. "Lagian bukan gayaku deket-deketin cowok tau, Lin... Lagipula kalau orang muda bukan berarti nggak punya bini, kali!" selorohku. "Sotoy deh, Rima!" suara Lina mulai nyaring kembali. "Sssttttt!!" desisku padanya. Kulihat karyawan lain mulai senyum-senyum melihat tingkah sekretaris satu itu. Nggak ada manisnya sama sekali sih sikapnya itu. "Pak Atma tuh nggak pake cincin di jari manisnya!" bisik Lina lagi. "Atma?" tanyaku. Lina mengangguk antusias. "Nggak minat ah, Lin..." aku menggeleng bosan, mulai menyiapkan berkas yang perlu kukerjakan dari dalam laci, memusatkan pandangan dan perhatian pada pekerjaan yang pasti akan menguras energiku. "Lina, bisa tolong ke ruangan segera? Beritahu jadwal saya hari ini..." suara bariton yang cukup familiar terdengar di telingaku. Tapi memang biasanya suara pria itu mirip-mirip kan, ya? "Eh, iya, Pak. Siap!" Alina gelagapan menjawab, dan bergegas melangkah pergi. Aku mengangkat kepalaku dan mengalihkan perhatian dari berkas-berkas tadi, menatap punggung lebar pria berbaju jas yang melangkah mantap menuju ruangannya. "Ceileh, liatin. Katanya nggak minat?" Entah ada apa Lina kembali ke bilikku lagi. "Ya ampun, udah dipanggil masih mau gosip?" desisku padanya. "Pak Atma itu baik tau, Rim. Lagian aku cuma mau ambil cangkir tehku. Hehe. Dah, Rima!" pekiknya setelah menjauh, medekati pria berbaju jas yang tampak menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangan mereka. Itu pasti bos yang baru. Ya, semoga saja Lina bisa akur dengan bos yang ini. Beberapa menit setelah memperhatikan pekerjaan, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju pantry. Secangkir kopi rasanya cukup untuk mengisi kerongkonganku pagi ini, untuk menghilangkan semua wajah tangis dan juga penuh harap milik Tiara yang terus membayangiku sejak tadi. Kurasa siang ini aku akan menjemputnya pulang, mengajaknya makan bersama sebelum kembali lagi ke kantor. Dengan membawa secangkir kopi, aku kembali duduk di bilik kerjaku, kembali memusatkan perhatian pada berkas-berkas pekerjaan. Suasana kantor di lantai dua ini mulai hening karena kesibukan masing-masing karyawan terhadap pekerjaan mereka. Suara langkah kaki dengan sol kayu terdengar di dekatku, tapi tak membuatku mengalihkan pandang dari pekerjaan di hadapanku. Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan bilikku. "Ri... Rima..." suara yang kudengar sebelumnya terdengar lagi. Bukankah itu suara bos yang baru? Dia menyebut namaku? Mungkin ingin minta dibuatkan kopi, ya? Memang tak tampak OB yang bertugas di sekitar sini dan mungkin Lina juga sibuk. Dan bilik yang paling dekat dari luar ya bilikku ini. Wajar saja dia menghampiriku, kan? Aku berdiri cepat dan menatap sosok yang berdiri di depan mejaku itu. Dan seketika aku tertegun memandangi sosok itu. Pria itu? Dia? Bukankah dia pria yang pernah mengisi hari-hariku? Dulu. Di masa lalu. Memang tampak berbeda, tapi aku bisa mengenalinya sebagai dia. Bahkan tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa mengenali wajah itu. Mata teduhnya juga menatapku dalam. Seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya di depan matanya saat ini. Tapi, apakah ini nyata? Apa mungkin aku bertemu kembali dengan dia sekarang ini? "Pak Atmaaa!! Ini berkasnya ketinggalan..." Terdengar suara nyaring Lina bersamaan dengan suara sepatu heelnya yang beradu dengan lantai. Membuatku menoleh melihat dia yang berlari menghampiri pria di depanku itu. Pria ini yang dipanggil Atma? Apa aku salah orang? Sejak kapan Ridwan berubah menjadi Atma? Apa memang hanya terlalu mirip? Tapi pria di hadapanku tak bergeming dengan suara berisik yang ditimbulkan Lina. "Rima... Itu kamu?" tanyanya lagi, membuatku kembali menoleh padanya yang masih menatapku lurus. "Loh, bapak kenal Rima?" Lina bertanya padanya. "Rima Setia Ningsih?" tanya pria itu lagi. "Rim? Kenal?" Alina mengalihkan perhatiannya padaku. Aku mengerjap, mencoba mencerna keadaan saat ini. Pria itu benar-benar menyebut nama lengkapku? Bukan sekedar nama depan yang tertulis di bet namaku. Berarti, itu memang dia, kan? Bagaimana bisa? Apakah pertanyaan Tiara kemarin adalah pertanda akan ini? "Ri... Ridwan?" tanyaku pelan. Pria itu tersenyum dan menghela napas seakan merasa lega akan sesuatu. "Ternyata benar kamu, Rima..." gumamnya lagi. Aku masih terdiam memandangi wajah itu, mulai merasakan rasa sesak yang menjalari dadaku. Rasa apa itu? "Saya kenal Rima saat SMA, Lin..." ucapnya, menoleh pada Lina. Aku hanya tersenyum canggung pada Lina yang menatap bingung padaku. Aku tak bisa mengambil sikap saat jantungku berdebar hebat seperti saat ini. Ada perasaan yang tak bisa kuartikan saat ini, berdiam di dalam perutku, membuat perutku terasa bergejolak. Ridwan, atau Pak Atma itu mengambil berkas dari tangan Lina, lalu kembali menatapku dengan senyuman manisnya. Senyuman manis yang mengingatkanaku akan sosoknya dulu. Dulu. Ketika itu... "Rima, nanti makan siang sama saya, ya?" ucapnya, yang entah kenapa kujawab dengan anggukan pelan, meskipun kepalaku terasa linglung. Pria itu lalu melangkah pergi. Dan selanjutnya yang kulihat adalah wajah melongo Lina, yang menatapku dengan bingung. "Rimaa!! Jelasin, deh!" ucapnya. Apa yang harus kujelaskan pada sahabatku ini? Bahwa pria itu adalah seseorang dari masa laluku? Masa lalu yang sudah sangat jauh kutinggalkan. Masa lalu yang perlahan kulupakan. Dan setelah waktu yang terasa lama kulalui dalam diam, aku merasakan sebuah kesadaran yang menghantamku ketika ingatan itu menyerangku. Itu Ridwan Atmaja Dwijaya. Bukan sekedar bagian dari masa laluku. Tapi, dialah penyebab segala kesulitan yang bertahun-tahun kualami. Yang membuatku dibenci oleh keluargaku sendiri. Dan yang membuatku harus berpindah kesana-kemari demi dapat memberikan kehidupan yang tenang untuk puteri kecilku yang tak berdosa. Dia! Dialah penyebabnya! Dia yang nama tengahnya kusandangkan pada nama putriku, hanya untuk mengingatkanku siapa manusia b***t yang darahnya mengalir dalam darah putriku. Juga dia yang telah dengan teganya mencampakkanku! Dan sekarang, setelah enam tahun lamanya, dia kembali muncul dalam hidupku? Dan membuatku harus melihat tampang tak berdosanya itu di depanku? Kepalaku terasa berdenyut dan dadaku terasa semakin sesak saat pikiranku mulai menampilkan wajah Tiara didepan mataku, dengan pertanyaannya yang terasa menusuk-nusuk tepat pada hatiku kembali terngiang di telingaku. "Kenapa Tiara nggak punya ayah, bunda?" Tiara... Kamu punya ayah, nak. Seorang ayah yang tak pernah tau bahwa dia memiliki seorang putri. Seorang ayah yang dengan tega meninggalkan bundamu, nak. Tak mempedulikan bunda. Seorang ayah yang mencampakkan bunda bahkan sebelum bunda menyadari kehadiranmu di dunia. Dia ayah yang sama sekali tak pantas kau panggil ayah. Dia ayah yang akan selalu dibenci oleh bundamu ini. Tapi kini, pria itu, ayahmu, dia muncul lagi di hadapan bunda. Apa yang harus bunda lakukan, Tiara? * * *

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

Rujuk

read
908.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook