bc

KOMA

book_age0+
672
FOLLOW
3.5K
READ
friends to lovers
sensitive
drama
like
intro-logo
Blurb

Sejak kematian ibunya, Candy berubah. Ia sering murung dan senang bertengkar dengan teman-temannya. Namun keberadaan Dirga, sahabat masa kecilnya, perlahan-lahan membuatnya kembali seperti dulu. Di saat Candy mulai bangkit dari keterpurukan, ia harus merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya. Pada saat itulah ia harus memutuskan untuk kembali bangkit atau berada dalam kubangan keterpurukan.

chap-preview
Free preview
SATU
CANDY   Kehilangan adalah salah satu hal yang paling mengerikan. Apalagi jika kehilangan orang yang penting dalam hidup kalian. Bisa diibaratkan mengarungi samudra luas sendirian, yang membuat kalian merasa takut setiap ada rintangan yang menghampiri. Bahkan bisa saja rasanya seperti kehilangan sebagian dari anggota tubuh, atau kehilangan salah satu potongan puzzle yang hampir diselesaikan. Mungkin jika kalian pernah merasakan kehilangan itu, kalian tahu bagaimana rasanya. Namun jika kalian belum pernah merasakannya, pasti tidak bisa membayangkannya. Banyak orang menganggapku aneh karena aku menyukai kesendirian. Menurutku, sendiri itu bukanlah untuk orang-orang aneh. Di saat kalian tidak memiliki orang yang benar-benar mengisi hidup kalian, kalian akan merasakan kesendirian itu. Aku selalu dihantui beragam pertanyaan yang terlintas di otakku. Seperti, mengapa mereka membedakanku? Atau mengapa aku berbeda dari yang lainnya? Atau juga mengapa aku tidak tumbuh seperti gadis normal lainnya? Aku sering merasa kalau ada sesuatu yang salah dengan kehidupan dan diriku. Seolah aku terkena kutukan dan semua orang menyalahkanku atas kutukan itu. Ketika aku melihat banyak orang yang tertawa bahagia, dunia justru mengurungku ke dalam kesepian. Dunia justru mengajarkanku apa itu kesakitan. Pertanyaan yang selalu terbayang di benakku, mengapa harus aku?   *   Sudah beberapa jam aku duduk di bangku panjang, mengamati kilauan air danau yang sudah lama menjadi tempat bersantaiku selama ini. Aku hanya mengayun-ayunkan kakiku, mendengar bisikan pelan angin di sekitarku seolah mengajakku untuk bercengkrama. Walaupun di telingaku sudah ada headphone yang memutarkan lagu kesukaanku, aku tidak bisa menghilangkan konsentrasiku pada alam di sekitarku, seolah-olah aku ditakdirkan hanya untuk merasakan keindahan alam ini. Rasa nyaman pun bahkan tak membuatku merasa bosan, meskipun mentari telah mengubur diri di balik cakrawala jingga. Langit makin petang. Dengan hentakan kepala pelan, kualihkan perhatianku dari kilauan air ke arah pohon besar tak jauh dari tempatku duduk kini. Kuputar ulang semua kejadian di masa laluku. Kejadian yang kuanggap terlalu indah untuk dilupakan maupun cepat menghilang. Bahkan aku perlu mengeluarkan sebuah benda dalam tasku. Kubuka benda berbentuk kotak tersebut dengan senyuman yang merekah. Sepasang boneka kecil menari-nari diiringi musik yang mengalun dari dalam kotak. Aku membagi pandanganku, antara pohon yang menjadi pusat perhatianku, dengan kotak musik di tanganku. “Candy? Sudah sore nih, masih di sini rupanya,” sampai sebuah suara yang tak asing menegurku secara tiba-tiba. Meskipun aku menoleh untuk melihat seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku, aku tidak membalas. Masih tetap diam dan segera melepas headphoneku. Bagi orang yang sudah mengenalku dekat mungkin sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Namun bagi yang baru pertama kali melihatku, bisa saja merasa jengkel. Dirgantara adalah salah satu yang mengenalku sangat baik. Sejak kami masih kecil, kami sering bermain bersama. Ketika masih tujuh tahun, Dirga dan keluarganya pindah dari Melbourne ke Bandung; ayahnya berkebangsaan Australia sedangkan ibunya asli Indonesia. Sejak kedatangan Dirga, aku tidak lagi mengenal apa itu kesepian. Dirga selalu datang untuk mengajakku bermain. Terkadang kami bermain piano bersama di rumaku. Terkadang pula bermain di danau yang tak jauh dari rumah kami. Sejak kepindahannya ke Bandung, Dirga berkata padaku kalau dia berharap keluarganya tidak lagi pindah rumah. Dia hanya ingin berada dekat dengan sahabatnya; aku. Dan sampai sekarang pun dia masih tinggal di Bandung, entah sampai kapan. Tetapi, aku sungguh berharap dia tidak pergi meninggalkanku. “Kamu nggak mau pulang? Ini sudah sore. Nggak dicariin orang rumah?” Aku hanya menggeleng. Tatapan lekat bagai cakram masih kulayangkan untuk pemuda di sampingku. Namun akhirnya aku menyerah. Rasanya lidahku gatal dan menuntutku untuk membalas. “Di rumah sepi,” balasku lirih. Sebenarnya Dirga tahu dan bisa menebak kalau aku akan membalas seperti itu. Setiap ditanya seperti yang tadi, aku cukup memberikan jawaban singkat ‘di rumah sepi’. Aku tak pernah merasakan keramaian di rumah sehingga bagiku tidak ada masalahnya memberikan jawaban seperti itu. Toh memang, tak ada yang mampu memberikan hiburan di rumah. Aku lebih senang menyelami pikiran di tempat ini daripada duduk di dalam kamar tanpa melakukan apapun. Terlebih jika bertemu dengan orang-orang asing yang sudah mengobrak-abrik hidupku. Hidup ibuku. Tiap kali memikirkan nama itu—bahkan jika bayangan mereka dengan kurang ajar menyembul dari sudut pikiran—, tanganku praktis terkepal. Ada denyut aneh di d**a. Seolah ada yang menyengat jantungku berkali-kali. Untuk mengendalikan diri, aku perlu mengatur pernasapan dan mencoba mengalihkan pikiran menuju hal yang lain. Yang sekiranya tak membuatku terbawa emosi. “Dari tadi Nada nyari tuh.” Mendengar nama adik tiriku disebut, aku pun menutup kotak musikku secara kasar. Kuhela napas pendek, mengubah ekspresiku seketika. “Bodo.” Dirga menanggapi dengan senyuman. Senyum itu yang selalu berhasil membuat hatiku tenang. Senyumnya ibarat matahari yang menyusup keluar dari balik awan kelabu pasca hujan. “Pulang bareng yuk, mumpung belum gelap nih. Gimana juga kan tante Rosa ngasih amanat ke aku buat jagain kamu.” Mataku berkedut tegang secara tiba-tiba. Kumasukkan kotak musik dan iPodku ke dalam tas sekolah. Kemudian tanpa bicara sepatah kata pun, aku mulai beranjak mendahului Dirga. Dirga mengikuti di belakang dengan senyuman simpul namun penuh kemenangan. Meskipun aku selalu cuek jika berdekatan dengan Dirga, dalam hati aku merasakan perasaan yang sebelumnya tidak pernah mampir dalam kehidupanku. Aku bahagia. Aku senang. Dan kebahagiaan itu kuanggap sebagai suatu hal yang langka. Aku bahkan berharap waktu bisa berhenti, hanya untuk mengagumi betapa indah pemberian Tuhan padaku saat ini. “Jadi… kamu nggak bikin ulah lagi, kan?” Dirga bertanya ketika kami berjalan bersama menjauhi danau. Aku dan Dirga sudah terbiasa berjalan kaki. Jarak antara rumah kami dengan sekolah tidak terlalu jauh. Dulu sewaktu kami masih kecil, kami selalu naik sepeda. Sedangkan saudari tiriku diantar Papa naik mobil. Aku sudah terbiasa hidup mandiri. Aku hanya tidak mau hidup sebagai bantalan pin bagi mereka. “Suka banget sih tanya begituan? Kepo,” balasku sarkastis. Memang sudah menjadi kebiasaan Dirga menanyakan hal itu saat bertemu denganku sepulang sekolah. Dirga hafal betul sifatku. Aku, anak yang suka mengajak ribut. Namun di balik topengku, aku menyimpan dunia yang tak akan kubagi dengan orang lain. Tiap hari aku selalu bermasalah dengan guru BK. Terkadang pula aku pulang dengan tubuh yang penuh luka karena sibuk bertengkar dengan teman-teman jahatku. Tidak hanya itu, aku lebih suka kabur dari rumah, membuat orang khawatir, sampai akhirnya Dirga pergi mencariku, menenangkan hatiku dan membujukku untuk pulang ke rumah. Semua orang menganggapku brutal. Semua orang menganggap aku gadis berotak kriminal. Padahal mereka tidak tahu bagaimana tersiksanya hidup seperti ini. “Ya kalau nggak mau bales sih nggak apa. Kan aku cuma nanya.” Dirga tersenyum seraya mengacak rambutku gemas, dan rambut yang sudah kusisir rapi jadi berantakan. “Ih, rese banget sih,” erangku sambil berusaha menjauh. Kurapikan kembali rambutku dan berjalan lebih cepat, meninggalkan Dirga di belakang. “Jangan ngambek dong…” seru Dirga berlari mengejarku. “Maaf deh.” Meskipun Dirga selalu menggodaku, sebenarnya aku tidak merasa terganggu. Aku hanya berpura-pura apatis, walaupun hatiku selalu berontak dan ingin mengajak Dirga bercanda, seperti dulu ketika kami masih kecil. Sekarang aku memiliki duniaku sendiri, dimana hanya akulah yang menjadi wayang sekaligus dalangnya. Kami masih melanjutkan perjalanan dalam diam. Kami selalu berangkat dan pulang bersama. Dirga bahkan hafal apa yang harus dilakukannya bila dia berada di dekatku. Dia tak peduli apapun yang akan kukatakan atau kulakukan padanya, karena dia sudah terbiasa. Meskipun aku sering bertengkar dengan banyak anak, aku masih menghargai persahabatanku dengan Dirga. Aku tahu bahwa posisi Dirga saat ini sebagai sahabatku. Aku tidak akan sebodoh itu bertindak kasar pada Dirga. Meskipun sering kali Dirga membuatku jengkel, rasa jengkelku tak pernah berlarut lama. Karena rasa sayangku padanya melebihi apapun di dunia ini. “Dy, kamu mau nggak cerita sama aku?” Dirga mencoba menyamai langkahnya di sebelaku. Beruntung ia mendapatkan aku yang dalam mood baik. Aku bisa berjalan sangat cepat atau bahkan berlari kalau sedang dalam mood yang jelek. Tanpa menoleh atau melirik sedikit pun, aku membalas dengan nada datar. “Apaan?” “Kadang, kamu tuh tertutup banget sama aku. Kamu mau kan berbagi sakit sama aku? Kita udah lama bersahabat, Dy.” Sambil menghentikan langkah, mataku melirik ketus ke arah Dirga. Aku paling tidak suka jika ada yang mencampuri duniaku. Aku memang senang kalau Dirga ada di sampingku, menemani kesendirianku, namun aku sendiri tak begitu suka jika ada orang yang ikut terjun ke dalam duniaku seolah duniaku dapat dinikmati untuk umum. “Asal kamu tahu ya, aku bukan orang yang melankolis. Aku nggak suka nangisin hal yang nggak penting. Aku nggak pernah sakit.” Jantungku berdenyut-denyut kencang dan nyeri saat mengatakan kalimat terakhirku dengan mulus—walaupun aku berusaha menutupi tekanan yang ada pada kalimat itu—seakan-akan aku tidak diberi kesempatan untuk berbohong apalagi di depan Dirga. “Aku tahu kok. Aku paham.” Dirga mencoba berhati-hati. Sudah lama dia berusaha untuk mengetahui apa yang sebenarnya kurasakan setelah kepergian ibuku. Dia bisa menebak kalau aku pasti merasa bahwa semua orang menjauhiku, membenciku, membuatku lemah. Namun Dirga bukanlah salah satu orang yang bisa ditipu oleh kepura-puraanku. Dia tahu kalau aku berusaha menutupi semuanya. “Ya udah kalau kamu paham nggak usah tanya-tanya lagi.” Sejurus kemudian kulanjutkan kembali langkahku. Aku berjalan lebih cepat daripada tadi, berusaha agar lepas dari pengawasan Dirga, atau sekedar membuat Dirga berhenti mengikutiku untuk saat ini. Dalam hati aku berdoa agar Dirga melepasku hanya sebentar saja. Namun rupanya, langkahnya lebih cepat dariku. Dan akhirnya aku menyerah saat dia menyamai langkahku. “Nggak usah berusaha kabur deh. Aku nggak bakal ngelepas kamu.” Dirga tertawa kecil tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Aku hanya mengerang kesal. Dan akhirnya kubiarkan dia berjalan di sebelahku sambil mengoceh tidak jelas.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.0K
bc

Romantic Ghost

read
161.9K
bc

Bad Prince

read
508.1K
bc

A Boss DESIRE (Ganda - Gadis)

read
983.0K
bc

CEO Mesum itu Suamiku

read
5.1M
bc

HELP ME - BAHASA INDONESIA (COMPLETE)

read
9.9M
bc

The Seed of Love : Cherry

read
111.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook