bc

Dear, Dosen Pembimbingku

book_age18+
8.0K
FOLLOW
75.2K
READ
teacherxstudent
goodgirl
drama
bxg
nerd
campus
like
intro-logo
Blurb

Chelstya Winda tak pernah mengenal apa itu cinta. Baginya mewujudkan keinginan orang tuanya adalah hal yang paling utama di dalam hidupnya. Diberkahi dengan kecerdasan yang di atas rata-rata, Winda mampu meraih gelar Profesornya di usia muda.

Namun segala keangkuhan dan kesombongannya luluh dengan mudah pada pelukan Bima Pandawa muridnya sendiri. Setiap sentuhan Bima membawa pengalaman baru bagi tubuh Winda. Bahkan setiap kali Winda bertekad untuk menjaga kehormatannya sebagai seorang guru. Justru dirinyalah yang meminta Bima untuk membawa tubuhnya ke kenyamanan yang membuatnya ingin merasakannya lagi dan lagi.

Tapi Susi ibunda Winda yang juga seorang peneliti, ingin menjodohkan anaknya dengan seorang pengusaha bernama Hendrik yang akan membiayai penelitian terbarunya. Kemanakah Winda akan merebahkan segala hasratnya? Muridnya yang nakal atau si pengusaha kaya?

chap-preview
Free preview
Hasrat Terpendam
Winda terkejut dengan aksi Bima, yang berani mendekatinya dengan sangat dekat sehingga hanya beberapa inchi saja jarak yang tersisa diantara mereka. Winda hanya bisa berharap lelaki berbadan tegap ini tak menyadari suara degub jantungnya yang sudah tidak karuan. Napas Winda tercekat saat paha lelaki di hadapannya ini secara perlahan menyelusup bagian dalam kedua pahanya. Ada desir halus yang merambat dari pangkal pahanya menuju otaknya. Membuat Winda reflek menarik napas lebih dalam lalu mengeluarkan suara desah perlahan yang segera saja berusaha ia tutupi dengan menggigit bibir bagian bawahnya. Suara erangan halus Winda membuat Bima menyadari sesuatu. Wanita itu belum pernah berada sedekat ini dengan makhluk bernama lelaki. Dari pengalamannya berdekatan dengan para wanita, jarak seperti ini hanya menimbulkan rangsangan pembuka untuk rangsangan yang lebih menggoda. Justru biasanya, para wanita itulah yang menerkam Bima seakan ingin melahap setiap bagian tubuh atletis miliknya. Namun wanita ini berbeda, Winda berusaha menjauh dari setiap sentuhan yang berusaha mendekati tubuhnya. Bima pun baru menyadari betapa mulus kulit dosennya dan wanita itu hanya setinggi dagunya tanpa sepatu high heels yang biasa dikenakannya. Rahang Winda pun terukir tajam dengan dagu mungil dan bibir merah. Bima ingin melihat matanya. Dengan secara serampangan, pria itu melepas kacamata Winda. Tentu saja hal itu membuat Winda terkejut dan menolehkan wajahnya, berusaha mengambil kacamata yang dinaikkan tinggi-tinggi oleh Bima. Sempurna! Wanita ini memiliki wajah sempurna. ltulah pikiran pertama yang ada di kepala Bima. la heran karena selama ini tidak menyadari daya tarik yang dimiliki oleh wanita di hadapannya. Apalagi dengan karakternya yang super dingin selama berada di area kampus. Bima benar-benar terpukau dengan kecantikan alami dosennya ini. "Profesor," panggil Bima. Suaranya terdengar tertahan, terdengar suara saliva yang ditelan. Mendengar panggilan lemah Bima membuat Winda tersipu dan memalingkan wajah menatap lantai, membuat tatapan Bima jatuh pada garis lehernya yang terbuka karena wanita itu mengikat rambutnya rapi di ujung kepala. Sambil kembali menelan salivanya, Bima dapat mencium aroma sabun dari tubuh Winda dan wanginya menggoda hasratnya yang mati-matian berusaha ditahan. "Apa yang sedang kamu lakukan, Bima?" tanya Winda sembari berusaha mengendalikan diri dan menapakkan sifat ketusnya. Winda mencoba meraih kacamatanya yang diambil Bima. Uh-uh, Bima tidak bisa membiarkannya. Dengan satu tangannya yang bebas, Bima menangkap kedua tangan wanita itu yang masih berusaha menggapai kacamatanya. Posisi Winda semakin menggoda bagi Bima, tapi tidak bagi Winda. Dengan kedua tangannya yang terkunci diatas kepalanya oleh satu tangan kokoh milik Bima. Membuat setiap lekuk bagian tubuh sensitif Winda terekspos begitu saja bagi Bima. Winda mencoba menggeliat untuk melepaskan diri. Namun setiap gesekan yang terjadi justru membuat dirinya semakin lemah pada getaran aneh yang semakin menguasai dirinya.  Perubahan ekspresi Winda membuat jantung Bima melompat. Saat dosennya itu berusaha melepaskan genggaman tangannya dan hal itu justru membuat wajahnya memerah. Bima bahkan baru menyadari bahwa sedari tadi dosennya tidak pernah menatap matanya langsung. Kesimpulan yang didapatkan oleh Bima membuat pria itu mendapatkan ide busuk. Tanpa benar-benar memikirkan ide serta konsekuensi yang mengikuti nantinya, Bima secara spontan melangkah maju menutupi sisa jarak di antara keduanya. Dengan satu dorongan, ia menahan wanita itu merapat ke dinding dan mendekatkan wajahnya. Bima menatap penuh arti mata Winda yang tampak lucu dengan pipi memerah karena godaannya. Bima sungguh tak menyangka niatnya yang hanya ingin membantu sahabatnya agar tugas akhir miliknya di terima oleh dosen killer ini justru membuatnya mengalami kejadian yang sungguh mendebarkan hatinya. Sudah cukup lama Bima tidak merasakan sensasi penuh warna saat berdekatan dengan seorang wanita seperti saat ini. Sudah seharusnya setelah ia kembali dari apartemen dosennya ini, Bima mengucapkan terima kasih kepada Utomo. Karena sebab dialah, Bima merasakan sensasi yang begitu menggairahkan dalam petualangan percintaannya. *** Hari itu berjalan seperti biasanya, Chelstya Winda sang Ratu Es mengajar di kelas dengan aura ketegasan yang membuat seluruh mahasiswa yang berada di kelas tersebut terdiam. Tapi, beberapa kali Bima melihat ke arah Catur Utomo yang tampak tak tenang selama mengikuti kegiatan belajar di kelas. Lelaki berkacamata tebal ini biasanya selalu dapat mengikuti dan menyerap segala mata kuliah dengan mudah. Karena merasa aneh dengan tingkah sahabatnya itu, Bima pun mencoba mengajaknya bicara dengan perlahan. “Ya, Bima Pandawa. Apakah ada yang kurang jelas dengan penjelasan saya?” Suara Miss Winda memecah keheningan kelas. Seluruh isi kelas memandang ke arah Bima yang kaget dan tampak kikuk. Mereka berusaha menahan tawa saat melihat wajah Bima yang kebingungan. “Maaf Profesor, pulpen saya jatuh.” Jawab Bima sekenanya. “Saya maafkan, lain kali jangan dipakai lagi alasan bodoh seperti itu.  Baik, cukup sekian untuk hari ini. Jangan lupa untuk menyelesaikan tugas kalian tepat waktu!” Ucap Winda dengan nada tegas. Satu per satu mahasiswa yang mengikuti kelasnya mulai berjalan keluar meninggalkan ruangan. Winda sendiri mulai membereskan buku-bukunya dan menyimpannya dalam rak buku yang berada di sudut ruangan. Dari sudut matanya, ia dapat melihat seorang mahasiswa yang terburu-buru meraup semua barang bawaannya dan memasukkannya dalam tas, tidak peduli bahwa buku-bukunya berantakan. Dengan setumpuk kertas di tangannya, mahasiswa itu setengah berlari melewati deretan bangku dan meja yang ada di depannya. Lalu, lelaki itu berhenti tepat di hadapan Winda dan ia sudah tahu apa yang ingin diucapkan mahasiswa itu, bahkan sebelum bibirnya terbuka. "Profesor, mengenai batas waktu pengumpulan tugas…”  "Batas waktunya adalah pagi ini, Utomo." Potong Winda tanpa menoleh pada Utomo yang tampak menyesal dan lanjut berkata, "Saya akan melihatmu lagi semester depan." "Tapi…" Wajah Utomo semakin tampak lemas. Winda mengambil tas tangannya dan berjalan keluar menuju lapangan parkir universitas tanpa mendengarkan ucapan Utomo selanjutnya. la menyesali keterlambatan pengumpulan tugas Utomo, karena lelaki itu sebenarnya cukup cerdas dan selalu meraih nilai yang memuaskan. Tapi apa daya, ia adalah orang yang terlalu tegas dan disiplin. Memberikan toleransi keterlambatan seperti ini tidak akan pernah dilakukannya. Bima menghampiri sahabatnya karena melihat dirinya menjadi lesu setelah berhadapan dengan sang dosen yang sepertinya tak memiliki ekspresi apapun selain mukanya yang datar. Padahal kalau diperhatikan wanita itu cukup cantik, jika saja tak bersikap sedingin cuaca di kutub utara. Bima menepuk pundak Utomo secara perlahan. Mencoba memberi semangat walau ia tak tahu ada masalah apa dengan sahabatnya itu. Bima pun menyeret Utomo menuju kantin untuk menenangkan diri dan berharap ia mau menceritakan masalahnya. “Sial!” Maki Utomo. Bima terkejut dengan makian Utomo. “Hei,” Ucap Bima saat kembali dengan dua piring Siomay bang Jalu yang terkenal nikmat di seantero kampus. Sahabatnya itu hanya tersenyum masam menanggapinya. “Ada apa, Tom?” Tanya Bima ketika melihat wajah Utomo yang putus asa dan letih. "Si Ratu Es menolak memberikan tambahan waktu untuk batas waktu pengumpulan tugas dan aku harus bertemu dengannya lagi semester depan.” Ujar Utomo lesu. Kedua alis Bima terangkat membentuk dua lengkungan tajam yang menunjukkan kebingungannya. "Bukankah tugasmu sudah selesai?” Bima bertanya heran. Utomo menggerakkan bahunya pasrah. "Sudah, hanya saja aku terlambat mengumpulkannya karena masalah Sinta.” Bima mengumpat keras. Sahabatnya ini tidak membutuhkan masalah lain di hidupnya setelah segala sesuatu yang sudah menimpanya, terutama masalah Sinta. la memahami perasaan Utomo dan turut kesal terhadap Profesor Winda yang tidak memberikan waktu tambahan bagi Utomo. “Apakah kamu tidak mencoba menjelaskan situasinya?” Tanya Bima memburu. “Sudah. Tapi seperti yang kamu lihat tadi, dengan ketus dia tetap menolak tugasku. Dan juga menolak semua alasan yang ku berikan.” Utomo melahap somay dengan perasaan marah. Melihat wajah Utomo, membuat Bima prihatin dan ingin membantunya. Sebelum ia sempat berpikir baik-baik, ia berkata, “Berikan tugasmu padaku.” Utomo memandang tangan kanan Bima yang terulur ke arahnya, meminta tumpukan kertas yang masih berada dalam genggaman tangannya. Sekumpulan kertas yang akan menentukan nasibnya apakah harus mengulang semester ini atau tidak. “Apa yang kau rencanakan, Bima?" Utomo was-was melihat ekspresi Bima. Bima menarik kertas tugas Utomo dan memasukkannya ke dalam tas. la belum tahu apa yang akan dilakukannya, yang pasti, ia tidak bisa diam saja melihat Utomo mengalami kesulitan. "Abisin dulu nih siomaynya, kalau dingin nggak enak. Untuk tugasmu, Aku akan memastikan Profesor Winda menerimanya," Ucap Bima dengan senyuman penuh rasa optimis. Utomo menatap Bima tak mengerti. Setelah menghabiskan sepiring siomay dengan cepat, Utomo berusaha mengambil kembali kertas tugas miliknya. Namun dengan mudah Bima berkelit dan berdiri untuk pergi meninggalkannya. “Tenang kawan, ada Bima disini. Semua masalah pasti beres!” Ucap Bima tersenyum sembari menepuk perlahan pundak Utomo. Sementara itu Utomo hanya bisa melihat punggung sahabat yang perlahan pergi, meninggalkan dirinya. Ada perasaan lega tapi juga ada perasaan khawatir atas apa yang akan dilakukan Bima. Baginya, Bima bukan hanya seorang sahabat, atau lebih tepatnya seorang saudara. Bima Pandawa adalah salah satu mahasiswa unggulan Universitas Old Batavia. la memiliki wajah maskulin yang selalu berhasil menarik perhatian orang lain, baik lawan jenis ataupun sejenis. ltu terbukti dari tatapan yang selalu dilemparkan ke arahnya setiap kali ia melangkah melewati lorong-lorong kampus yang luas. Meskipun begitu, Bima tidak terlalu memikirkannya. Berkebalikan dengan pemikiran orang lain, ia bukanlah seorang playboy meskipun memiliki kepribadian menyenangkan dan spontan. Tapi, ia juga bukanlah orang suci, ia pernah menjalani masa-masa nakalnya. Dengan personalitas ramah dan hangat, ia jelas tidak pernah mengalami kesulitan dalam mencari pasangan. Selalu ada wanita-wanita yang mengantri di belakangnya untuk menjadi kekasihnya. Dan mengingat Bima adalah seorang pria cerdas dan sehat, ia tentu saja pernah memanfaatkan kelebihannya itu. Bima tersenyum menggoda menanggapi tatapan memuja dari beberapa mahasiswi yang tidak ditutup-tutupi. Ada kalanya, sifatnya itu yang membuatnya terkesan liar dan nakal, dan Bima tidak beniat repot-repot meluruskannya. Dan seringkali dengan tubuhnya yang atletis Bima melindungi Utomo dari segala gangguan. Mengingat itu semua Utomo hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Apa jadinya dirinya jika tanpa Bima sahabatnya sejak kecil itu. *** Utomo tidak mengetahui kalau sebenarnya Bima tinggal di gedung apartemen yang sama dengan dosen killer itu. Ia yakin Profesor Chelstya Winda langsung pulang ke apartemennya. Karena sepengetahuan Bima, wanita itu tidak memiliki kehidupan sosial. Suara bel pintu yang nyaring mengalihkan perhatian Winda dari kompor. Wanita itu sedang memasak makan malamnya yang lebih awal. la berniat untuk mengakhiri harinya yang sibuk secepat mungkin. Setelah mematikan kompornya, Winda meninggalkan area dapur menuju pintu depan. Tanpa melihat lubang pintu, Winda langsung membuka pintu dan berhadapan langsung dengan salah seorang muridnya yang tergolong pintar dan populer. Bima Pandawa. “Bima? Ada apa?” tanya Winda. la sedikit terkejut melihat kedatangan Bima, namun tidak menunjukkannya. “Bolehkah aku masuk, Profesor? Ada hal yang ingin kubicarakan,” jawab Bima. lni bukan pertama kalinya Bima datang ke tempat Winda. Sebelumnya, pria muda ini pernah datang beberapa kali untuk menanyakan soal pelajaran ataupun bimbingan tugasnya. Tapi, biasanya dia tidak pernah meminta untuk masuk ke dalam apartemennya. Winda menoleh ke belakang dan melihat ruangan tamunya yang kecil, tidak tahu apakah ia harus   membiarkan pria itu masuk atau tidak karena khawatir akan menyalahi etika mengajarnya. Menyadari Winda sedang berpikir, Bima memberikan tatapan memelasnya yang selama ini selalu berhasil meluluhkan hati para wanita. la pun berharap kali ini jurusnya juga berhasil meluluhkan hati dosennya. Dilihat dari ekpresinya, Winda tahu kalau Bima memiliki sebuah hal penting yang ingin disampaikan. Sepertinya tidak masalah jika kali ini ia mengizinkan Bima untuk masuk ke kediamannya. “Baiklah, silahkan masuk dan duduklah,” Winda mempersilakan Bima untuk duduk di atas sofa ruang tamunya. Bima melihat ke sekeliling ruang tamu yang minimalis itu dan duduk. “Terima kasih, Profesor.” Winda sendiri mengambil posisi duduk tepat berseberangan dengan pria itu dan menyilangkan kakinya, mencari posisi yang nyaman berusaha untuk duduk sesantai mungkin, ia tidak menyadari bahwa posisinya itu memperlihatkan dengan jelas tungkai telanjangnya yang bersih dari bulu-bulu halus. Mata Bima perlahan menelusuri bentuk kaki wanita itu. “Apakah kamu menemukan kesulitan di dalam kelasmu?” Tanya Winda tanpa ekspresi, mengembalikan wajah serius Bima. Bima berdeham dan memandang dosennya itu dengan perasaan tidak enak, meskipun sepertinya Winda sama sekali tidak menyadari tatapannya tadi. la lalu memikirkan cara paling baik agar Winda mau menerima tugas milik Utomo. lnilah hal yang selalu membuatnya berada di posisi sulit, spontanitasnya. “Ehm, saya ke sini untuk membicarakan tentang tugas milik Utomo,” Bima memulai kata-katanya. Ekspresi yang terukir pada wajah Winda setelah mendengar perkataannya berhasil membuatnya mengumpat. Bima berpikir ini akan menjadi misi yang sulit. Chelstya Winda dikenal sebagai dosen termuda dan killer di kampusnya. Wanita itu selalu mengikuti kelas akselerasi dan mengantongi gelar PhD saat usianya baru menginjak 25 tahun. Sudah dua tahun terakhir ini ia bekerja sebagai dosen di Universitas Old Batavia, salah satu universitas ternama di kota Jakarta. Selama 2 tahun lebih wanita itu mengajar, seluruh penghuni kampus menjulukinya "Si Ratu Es" atau menambahkan kata 'killer' pada nama apa pun yang dipakai untuk memanggilnya. Semua itu bukan tanpa alasan. Winda memiliki sikap sedingin es dan setenang hutan di malam hari. Bima ingat bahwa teman-temannya suka mengejek bahwa Winda hanya memiliki tiga ekspresi; ekspresi datar, ekspresi dingin, dan ekspresi marah. Dan sekarang, Bima menyadari bahwa ia sedang mendapatkan ekspresi marah wanita itu.  Ia lebih memilih dosennya itu tidak memberikan ekspresi apapun atau bahkan ekspresi dinginnya akan lebih mudah untuk dihadapi. Tapi marah? Semua orang pasti akan memilih pergi. “Apa kamu berniat membuang waktuku, Bima?” tanya Winda. Bima menggelengkan kepalanya cepat. “Tentu tidak, Profesor. Saya hanya berpikir bahwa setidaknya anda harus mendengarkan alasan Utomo dan mengambil keputusan dari sana.” “Kamu mencoba mengajariku?” Oh s**t! Bima menelan salivanya. “Dengar Bima, jika kamu tidak ingin mengulang semestermu, lebih baik kau pergi selagi aku berbaik hati.” “Ta-tapi itu tidak adil” seru Bima masih belum mau menyerah. la tidak tahu dari mana datangnya sifat keras kepalanya sehingga ia berarti membantah ucapan sang ‘Ratu Es’. Memandang muridnya dengan tatapan bosan, Winda menyilangkan tangannya di depan d**a, menarik perhatian Bima pada dua bukit kembar wanita itu yang tercetak di balik blouse putihnya. “Kamu mau bicara tentang keadilan? Bukankah kamu ke sini mencoba untuk menyelamatkan tugas temanmu? Apakah itu adil bagi yang telah mengumpulkan tugas mereka tepat pada waktunya?” “Tapi ini berbeda!” bantah Bima dan ia kembali memalingkan matanya ke wajah Winda yang sekarang sudah berubah dingin. “Bukan salahnya bila adik perempuannya harus menjalani operasi hingga pagi tadi dan ia harus menjaganya. Adiknya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, apa kau tahu!” Winda mulai mengetukkan kakinya di lantai dan Bima kembali mengumpat. Artinya, dosennya itu merasa bosan atau tidak mau mendengarkan perkataan lawan bicaranya lagi. Keputusan sudah diambil. “Dan apakah kamu tahu berapa banyak orang yang tidak mengumpulkan tugas mereka? Aku yakin sebagian dari mereka juga memiliki alasan valid. Tapi, terlambat adalah terlambat, Bima.” Winda bangkit dan berjalan melingkari Bima, memutuskan bahwa pembicaraan mereka selesai sampai disini. Namun, Bima tidak bisa menyerah sekarang setelah ia berjanji pada Utomo bahwa ia akan membuat Profesor mereka menerima tugasnya. Maka, dengan nekat ia menarik tangan dosennya itu untuk memohon. Bima tidak tahu siapa yang lebih terkejut antara dirinya dan dosennya ketika Winda menarik tangannya keras dan memeluknya di depan d**a. Bima tidak tahu apa yang terjadi, namun wanita itu menggenggam tangannya sendiri dan memberikan ekspresi terkejut. Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya Bima memutuskan untuk ikut berdiri agar tubuhnya sejajar dengan tubuh Winda. Itu akan memudahkannya untuk melanjutkan permohonannya. Namun Winda terlihat panik dan menunjukkan telapak tangannya untuk menghentikan Bima. “Ke-keluar!” ucap Winda terbata. Bima menaikkan alisnya bingung dan melangkah mendekat. la memperhatikan bagaimana Winda melangkah mundur ketika ia mendekat. Apakah ia takut? pikir Bima. Tidak, jika diperhatikan baik-baik, Winda bukanlah takut, tapi lebih terlihat gugup. Bima berpikir keras. Wanita ini langsung berubah ketika ia menyentuh tangannya. Apakah berarti dosennya itu gugup karena sentuhannya? Bima tidak tahu apa yang merasukinya, tapi ia kembali mengambil langkah mendekat. Winda pun melangkah mundur menjauhinya. Ketika punggung wanita itu menabrak dinding, Bima sudah berada tepat di hadapannya dan hanya berjarak satu langkah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Sexy Boss ⚠️

read
538.6K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
310.0K
bc

Living with sexy CEO

read
277.5K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
287.6K
bc

My Soulmate Sweet Duda (18+)

read
1.0M
bc

Nafsu Sang CEO [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

read
884.4K
bc

Over Protective Doctor

read
473.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook