bc

Unexpected Proposal

book_age18+
751
FOLLOW
2.7K
READ
scandal
manipulative
goodgirl
CEO
drama
comedy
sweet
humorous
mystery
ambitious
like
intro-logo
Blurb

Setelah hamil, bukannya mendapat ketenangan, Caroline harus berurusan dengan kecemasan, dan masalah terhadap Vaye, salah satu sahabatnya. Semula, Caroline kurang tanggap. Ternyata, wanita tersebut dalang dibalik musibah yang ia hadapi.

chap-preview
Free preview
Prologue
Pandangan Caroline jauh. Berdiri dengan nenyilangkan kaki. Menatap bening air, memegang besi pembatas deck kapal. Sesekali, gadis itu menoleh. Memerhatikan satu-persatu yatch bergerak. Meninggalkan labuhan utama, menuju darat. Pestanya berakhir, ditutup dengan pesta sampanye. Caroline tertidur sepanjang waktu. Sadar di pagi hari setelah semua orang mulai berkemas pergi. Edward beserta keluarganya pun, lebih dulu pulang. Mereka sangat sibuk. "Bagaimana tidurmu?" tanya Luiz. Turut menaruh diri. Bersandar di sisi deck, dengan tubuh tegap dengan jarak sekitar satu meter. "Good!" balas Caroline. Ketus. Segera melipat tangan di d**a. Luiz tersenyum tipis. Membuka bungkus rokok. Menarik salah satunya, lalu menghidupkan lighter. "Aku tidak tahu kalau kau sekarang perokok," sindir Caroline. Mendelik malas. Luiz mengangkat alis. Memegang pipa rokok. Aneh. Sama sekali tidak profesional. "Milik tunangan mu," sergah Luiz. Menyusun kembali rokok yang ia pegang. Tidak tertarik. "Aku lihat. Kau bersama Rose berbaikan. Berapa kali kau tidur dengannya semalam?" tanya Caroline. Menatap lugas. Mengangkat sebelah bahunya. Ragu. Luiz mengulum senyum. Lekas, berbalik arah. Turut menatap laut. Sungguh indah. "Kau cemburu?" tanya Luiz. Alih-alih. "Apa katamu? Cemburu? Aku? Cemburu?" tanya Caroline. Berulang. Tertawa kecil. "Konyol!" "Tentu saja kau tidak akan mengaku!" balas Luiz. Sengaja menyeletuk. Caroline menoleh. Berdiam diri, sambil mencebik. "Benar-benar menyebalkan," gerutu Caroline. Membenarkan pakaian, dan sigap bergerak. Mengambil langkah menjauh. "Aku mencintaimu!" aku Luiz. Serak. Menatap Caroline tajam. Gadis itu menelan ludah. Mendadak berdiam diri. Berhenti melangkah. "Really? Luiz, thank you!" mendadak. Suara lain muncul. Terdengar dekat. Tepat di balik punggung Caroline. Rose muncul. Menatap Luiz dengan mata berbinar. Tersenyum pulas. Caroline menoleh. Mencari sumber suara. Ingin memastikan. Menatap Rose dengan tatapan datar. Memerhatikan wanita itu seksama. Kemudian, mengangkat kembali alisnya. Mengenali gaun yang dikenakan Rose. Familiar. "Aku juga mencintaimu," gumam Rose. Percaya diri. Menggerakkan langkah, mendekati Luiz. "Apa yang kau lakukan dengan gaun ku!" teriak Caroline. Berlari. Menarik rambut Rose, sebelum wanita itu berhasil menautkan diri pada Luiz. "Aw. Caroline. Sakit!" leguh Rose. Memegang rambut. "Lepaskan pakaianku!" teriak Caroline. Lantang. "Caroline!" panggil Luiz. Berusaha menenangkan. "Apa kau yang memberikan pakaianku pada wanita ini? Hah?" tanya Caroline berang. Menatap tajam matanya pada Luiz. "Caroline. Please!" "Jawab aku berengsek! Aku meninggalkan pakaian di penthouse mu. Bukan untuk kau berikan padanya!" "Aw. Caroline! Apa yang kau lakukan?" teriak Rose. Lagi. Menahan sakit. Berusaha melepaskan cengkeraman. "Aku bilang lepas! Lepas!!" Srakkk!!! Caroline menarik resleting pakaian yang dikenakan Rose. Sekuat tenaga. Hingga kain itu robek. Menampilkan punggung Rose. Penuh lebam. Caroline membulatkan mata. Terkejut. Takut. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Alexander. Lantang. Menaruh kedua tangan di pinggul. Menatap wajah Caroline tegas. "Dad...." "Aku tidak tanya kau, Luiz!" sergah Alexander. Menolak pernyataan pria tersebut. Lalu mengedarkan mata. Menatap Lorna dan Milla muncul. Turut memerhatikan keadaan Rose. Mereka terdiam. Sama terkejutnya. Caroline mundur. Mengedarkan mata ke tiap orang, sambil memegang kening. Wajah gadis itu pucat pasi. Luka di punggung Rose membuatnya mual. Terlihat baru. "Caroline!" teriak Luiz. Melihat gadis itu berputar. Menghindari orang. "Tetap di tempatmu!" teriak Alexander. Lebih keras. Menghentikan langkah Luiz. Pria itu mengejar Caroline. "Alexander!" sergah Lorna. Memukul d**a pria itu keras. "Luiz! Jika kau bergerak... Maka..." "Aku tidak peduli!" sergah Luiz. Mengepal kedua tangan. Melanjutkan langkah. Rose menelan ludah. Menangis pelan. Luiz mengabaikannya. Bahkan tidak bertanya tentang luka ditubuhnya. "Berengsek! Anak itu...." "Aku tidak akan membiarkan mu kali ini!" sergah Lorna. Menahan pria itu. Menekan dadanya kuat. Menajamkan pandangan. Berdiri tegap, tepat dihadapan Alexander. "Lorna...." "Kau tidak bisa selamanya bertindak sesukamu. Jika begini, kau akan ku tinggalkan. Lagi!" ancam Lorna. Parau. Hampir menangis. "Apa kau bilang?" "Sungguh. Alexander. Aku tidak tahan lagi. Aku muak!" teriak Lorna. Menatap dengan pandangan berkaca-kaca. Alexander menahan napas. Melirik ke arah jarum jam. Billy bergerak, muncul. Menarik Milla. Namun, wanita itu tegas menepis. Bersama melawan. Membela Lorna. "Jangan keterlaluan!" tegas Billy. Berat. "Okay! Kalian harus ikut denganku. Akan ku jelaskan!" "Sir!" panggil Billy. Memperingati. "Mereka memang harus diberitahu agar paham!" leguh Alexander. Menahan Lorna. Mencengkeram lengan wanita itu erat. Milla enggan bersuara. Fokus pada Rose. Ia berpikir. Luka ditubuh wanita itu terlihat aneh. Terkena pukulan. "Akan ku urus kau nanti!" tunjuk Milla, pada Rose. Lantas, berjalan mengikuti langkah Alexander. *** Caroline menekan kran wastafel. Lekas menunduk, lebih condong. Memuntahkan isi perut. Mengeluarkan seluruh makanan yang sempat ia cerna. "f**k!" umpat Caroline. Menekan d**a. Sakit. Mengatur napasnya, setelah membilas mulut. Demi tuhan, kini kepalanya pusing. Terasa begitu menyiksa. "Caroline...." panggil Luiz. Berdiri tegap. Menatap dalam dari ambang pintu. Caroline menoleh. Masih mengatur napas, untuk bicara. "Keluar dari kamarku!" titah Caroline. Bergerak mendekati Luiz. Mendorong tubuh pria itu. "Kita harus bicara!" "Aku bilang keluar!" teriak Caroline. Penuh emosi. Tidak stabil. Sungguh, gadis itu terlihat menggebu. Luiz diam. Memegang kedua lengan gadis itu. Memutar Caroline ke arah tembok, dan menahannya. "Lepaskan aku berengsek! Kau tuli?" "Caroline aku mencintaimu!" sergah Luiz. Serak. Bicara tegas. Menatap Caroline dalam. "Kau akan menahanku bertunangan bersama Edward jika kau mencintaiku." "Dengar!" "Aku tidak mau dengar! Menjauh lah, please!" "Cara itu tidak cukup untuk mendapatkan mu!" tandas Luiz. "Lalu, apa yang akan lakukan untuk mendapatkan ku? Meniduriku? Memelukku? Atau menciumku, lalu pergi tanpa mengatakan apapun yang membuatku semakin tidak mengerti?" "Aku butuh waktu!" harap Luiz. Mengusap sisi wajah Caroline. Menangkup dengan kedua tangan. Menatap lekat. "Waktu? Berapa lama? Setahun? Dua tahun? Empat tahun?" tanya Caroline. "Secepatnya!" janji Luiz. Masih setia, menatap dua kornea mata Caroline. Memperdalam pandangan. Penuh harap. Caroline berpaling. Mendengus berat. Membalas perlakuan Luiz terhadapnya. Luiz menarik napas. Memegang dagu gadis itu, kembali mengangkatnya. Lagi, pandangan mereka menyatu. Saling bertatapan. Lebih dalam. Luiz mendekat, berniat menyatukan bibir. "Jika kau ingin mendapatkan ku. Kau harus lebih berusaha!" tolak Caroline. Memalingkan wajah. Memukul d**a Luiz. Mendorong keras. Hingga pautan pria itu lepas. Caroline menyelipkan diri. Lekas menghindar. Sigap menjauh. Luiz menunduk. Mengulum bibir simpul. Mengigit bibir. Ia mengangguk pelan. Menyelipkan kedua tangan ke dalam saku. Ia menghela napas. Menerima tantangan Caroline. *** "Kapan kau mengatakan sesuatu?" tanya Lorna. Mulai gerah. Alexander melirik. Menarik napasnya dalam. "Kau sebaiknya bicara. Jangan hanya menghabiskan waktu dengan menarik napas!" cerca Milla. Gugup. Tidak berani melihat Billy. Pria itu sejak tadi menghentikannya. "Aku punya tujuan!" tegas Alexander. Memulai percakapan. Menatap hanya pada Lorna. Fokus. "Aku tahu itu, Alex." "Milla!" tegas Billy. Lekas berdiri. Menatap wanita itu, penuh ancaman. Alexander mengangkat salah satu tangan. Memberi izin. "Aku membayar Rami Allgart," ulas Alexander. "Apa? Maksudmu Edward?" tanya Lorna. "Bukan. Hanya Rami. Manager nya." Alexander meraih cerutu. Membakarnya untuk mengatasi perasaan. Tidak di sangka. Ia sebenarnya gugup. Karena rencana miliknya, sedikit jauh dari prediksi. "Lalu? Untuk apa kau membayar Rami?" tanya Lorna. Tidak sabar. "Rami ku gunakan untuk mengatur pertemuan antara Edward dan Caroline. Senatural mungkin." "Aku tidak tahu, kau harus membayar seseorang untuk memisahkan putrimu bersama Luiz," tegas Lorna. Membuat Alexander mengalihkan pandangan ke arah lain. "Ini caraku mendidik mereka. Luiz, dan Caroline. Aku tahu, mereka saling mencintai. Tapi, cinta saja tidak akan pernah cukup bagiku. Cinta butuh kekuatan." Alexander mengeluh. Bersandar di sisi kursi. Lebih santai. "Kau bisa memikirkan cara lain, Alex." "Tidak semudah itu, Lorna. Menurutmu, kenapa aku mempercayakan Luiz untuk memimpin Lux yatch? Mempekerjakannya? Tidak. Aku mempersiapkannya. Aku akan menyerahkan bisnis itu pada Luiz." Lorna terdiam. Melirik Milla sekilas. "Tapi kau, tidak harus membuat Caroline bertunangan," sergah Lorna. "Kau tahu, apa yang membuatku ragu di masa lalu, Lorna? Kau! Cinta. Dan, aku tidak ingin semua itu terjadi pada Luiz. Anak itu belum sepadan." "Apa kau sedang meremehkan putraku?" tanya Milla. "Apa kau ingin, Luiz hidup di dalam namaku? Keluarga Hodgue bisa terlihat sukses karena Alexander Morgan. Beruntung. Luiz mendekati keluarga Morgan, untuk mendapatkan seluruh hartanya. Apa kau ingin, membiarkan putramu hidup dengan headline berita seperti itu? Aku tidak, Milla. Aku tidak akan membiarkannya hidup dengan jalan tersebut." "Kau harus mempercayai Alexander," leguh Billy. Mengambil alih. "Tapi, aku tidak suka wanita yang berada di sisi putraku selain Caroline." "Aku tahu. Keluarga itu kacau. Namun, aku melibatkan Lafayet hanya untuk pengalihan. Dan, kalian juga harus tahu, aku sekaligus mendidik putriku. Dia terlalu manja. Berlebihan. Jika Luiz gagal, Caroline akan mengambil alih." "Kenapa bukan Maxent?" tanya Lorna penasaran. "Aku belum ingin mati, sebelum melihat kedua anakku bahagia, Lorna. Maxent sudah lebih dulu memenuhi jalannya," jelas Alexander. Milla terdiam. Meraih salah satu tangan Lorna. Menggenggam rapat. Saling bertatapan. Memberi isyarat. "Aku menganggap Luiz sebagai putraku. Dan, memang, aku akui, cara yang aku ambil salah. Namun kadang, manusia menjadi kuat di saat mereka merasakan sakit. Terpuruk. Karena jika hanya ada kemudahan, mereka tidak akan pernah belajar." "Baiklah. Aku mengerti sekarang," balas Lorna. Akhirnya bernapas lega. "Milla, dengar! Kau pernah mengalami badai paling buruk di dalam rumah tangga. Kalian hampir bercerai. Kau tahu itu. Billy merasa tidak sepadan, karena kau memiliki kekuatan lebih sebagai seorang wanita. Aku juga tidak ingin Luiz mengulang hal yang sama." "Ya. Aku minta maaf karena salah paham padamu. Kau ternyata hanya ingin yang terbaik untuk putraku," ulas Milla. "Kau dan Billy bukan hanya pekerja di sini. Kalian keluarga. Aku mengenal kalian puluhan tahun. Tanpa kalian, tidak akan ada Lorna di sisiku." "Kau membuatku terkesan," tutur Milla. Hampir menangis. "Mulai sekarang. Aku harap kalian tidak akan merusak rencana ku. Biarkan semua seperti ini. Jika mereka saling mencintai, maka mereka akan melakukan apapun untuk bersama." "Tentu. Aku tidak akan merusak rencana kalian. Benarkan, Lorna?" tanya Milla. Menepuk pundak sahabatnya. "Ya. Of course." "Tapi, sayangnya aku punya cara yang lebih mudah. Jadi, mari jangan saling menghancurkan. Okay!" sambung Milla. Bergerak bangkit. Bersamaan Lorna. "Kau benar. Rasa sakit memang membuat manusia belajar. Namun, kau harus tahu, kalau rasa sakit juga harus setimpal. Tidak ada cinta yang berjalan mulus, jika di dalamnya hanya ada rasa sakit. Biar aku, dan Milla yang memberi kebahagiaan itu pada keduanya," pinta Lorna. "Kalian ternyata lebih licik," aku Alexander. "Kalian yang mengajari nya," balas Milla. Tersenyum lebar. "Mereka sudah dewasa. Biarkan Luiz ataupun Caroline yang memutuskan," pinta Lorna. "Yap. Biarkan mereka melakukan apapun yang mereka inginkan. Duh— keduanya terlalu muda, mereka bukan kau. Putraku harus menikmati hidupnya." "Milla." "Jangan membelanya dengan memanggil namaku seperti itu, Billy. Menurutku, kalian tetap jahat. Meskipun tujuan sebenarnya tidak demikian. Bukan seperti itu cara mendidik. Kita harus bersama-sama." Milla mendelik. Merangkul lengan Lorna. Rapat. "Kita akan bersama-sama," tegas Alexander. "Dengan caraku!" ucap Milla. "Tidak. Aku akan melepaskan dan membiarkan mereka menyelesaikan semua masalah ini," sergap Alexander. Cepat. "Okay. Deal!" "Deal!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook