bc

Sebening Hati

book_age16+
522
FOLLOW
3.3K
READ
dark
family
submissive
goodgirl
aloof
sensitive
drama
twisted
bxg
city
like
intro-logo
Blurb

"Kakak, dimana kamu?" tangis Bening tak terbendung saat menyadari kalau kakaknya menghilang entah kemana.

Ia sudah menunggunya sejak beberapa jam yang lalu, tapi ia tak juga menunjukkan batang hidungnya.

"Bening! Ayo pulang sekarang!" seru ayahnya yang tiba - tiba menyeretnya keluar dari terminal.

***

Bertahun-tahun Hardy mencari adiknya, tapi semua usaha terasa sia-sia. Bahkan ia menyewa jasa seorang detektif swasta untuk melakukan pencarian terhadap adiknya.

Saat mengetahui adiknya berada dalam sebuah sindikat perdagangan manusia, dunia Hardy seakan hancur berkeping-keping.

chap-preview
Free preview
Hubungan Persaudaraan Yang Sangat Dekat
PROLOG Bening tak menyangka akhirnya bisa bertemu dengan kakaknya setelah terpisah selama bertahun – tahun. Tangis, tawa dan pelukan erat mengakhiri kerinduan yang selama ini menekan hatinya. Ini hari bersejarah dan takkan pernah bisa dilupakan. Rasanya semua penderitaan yang pernah ia alami tidak lagi berarti. Bahkan ia yakin kalau hidupnya akan bahagia selama – lamanya, seperti sebuah kisah dongeng yang pernah ia lihat dulu. “Kak Hardy. Oh Tuhan, apakah ini mimpi?” tanyanya sambil membolak – balik sang kakak seakan lelaki itu adalah selembar kertas dalam sebuah buku. Hardy meringsut airmata sambil tertawa. Ia sendiri juga masih tak percaya bahwa hari itu akhirnya tiba juga. “Bening. Ini bukan mimpi, Dek!” ucapnya seraya mencubit kedua pipi adiknya. Bening mengerucutkan bibir namun kemudian tertawa terbahak – bahak. Sekali lagi sebuah pelukan erat mengakhiri penantian yang begitu panjang. Seluruh usaha dan kerja keras Hardy tak sia – sia. Meski beberapa kali hampir putus asa, namun ia bersyukur karena tetap berusaha mencari Bening meskipun itu bukan perkara mudah. Jika mencari sebuah jarum dalam setumpuk jerami itu sulit. Maka mencari Bening seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami se lapangan bola. Hardy mengacak – acak rambut Bening dengan gemas lalu merangkul pundaknya dengan erat. Mengajak sang adik untuk kembali ke rumahnya dan merenda kisah seperti dulu saat mereka masih kecil. Memandang dua pengamen cilik yang sedang berteduh di bawah pohon yang rindang, Hardy mengingat saat mereka berdua ada dalam posisi yang sama. Dengan spontan ia merogoh saku lalu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Bening terkejut karena kakaknya memberikan uang itu kepada dua pengamen yang kini melongo saat melihat lelaki jangkung itu menyerahkan lembaran uang seratusan ribu. Hardy bahkan memaksa sang bocah hitam manis yang masih tak menyangka sedang mendapat rejeki dari orang asing yang tiba – tiba datang seperti malaikat penolong. Hardy mendekati Bening sambil nyengir kuda. Merangkul pundak sang adik dan berjalan sambil bersiul. “Kakak sinting. Kenapa ngasih uang sebanyak itu ke dia?” tanya Bening masih memandang dua bocah yang kini tertawa riang. “Nggak apa – apa. Aku hanya sedang berbagi kebahagiaan,” ujar Hardy kepada sang adik. “Tapi….” “Bening. Uang itu nggak ada nilainya disbanding dengan pertemuan kita.” Hardy memotong pembicaraan Bening. Sesaat Bening masih mengerutkan kening, masih merasa berat dengan uang yang ia taksir sekitar lima ratus ribu rupiah namun kemudian mengembuskan napas berat. Teringat bagaimana dulu mereka berdua selalu kelaparan karena tidak bisa membeli makanan. Bening tiba – tiba menyadari satu hal. Bisa saja dua anak itu juga mengalami seperti apa yang mereka berdua alami saat masih kecil. Saat kepala gadis itu penuh dengan kenangan masa kecil, tiba – tiba saja ia kembali merasa heran karena Hardy membawanya ke sebuah mobil besar berwarna putih. Pajero sport yang harganya ratusan juta dan keluaran terbaru itu … ah, bisa saja Hardy seorang sopir bos besar, pikirnya. Bening sering duduk di dalam Pajero sport milik Bowo, namun kali ini terasa istimewa. Tidak hanya karena ia duduk di sebelah pengemudi, tetapi karena mobil dikemudikan oleh orang yang tersayang. Air mata tiba – tiba mengalir, kali ini karena alasan yang berbeda. “Syukurlah semuanya sudah berakhir,” ujarnya sambil memandang sang kakak yang sesekali mencuri pandang kepadanya. *** Seorang pria tinggi dan tegap kini tampak begitu konyol saat melihat perempuan yang diajak Hardy masuk ke rumahnya. Cewek itu bukan saja cantik, tapi sudah memenuhi hatinya dengan gambar berbentuk hati yang begitu besar. “Jangan bilang kalau….” “Dia Bening. Dia adik yang kucari!” Hardy tak bisa membendung rasa bahagia yang tiada terkira. “Wow, selamat bro,” ujar lelaki itu sambil mendekati Hardy lalu memeluknya. Bening melihat kedekatan dua pria itu sambil tersenyum. Tak menyangka kalau dunia ternyata tak selebar daun kelor. “Bening, maafkan aku. Aku hanya ikut bahagia karena akhirnya kalian bisa bertemu,” ujar lelaki itu sambil mendekati Bening dan membuka kedua tangannya. Tingkah lelaki itu tentu saja terbaca oleh Hardy. Ia menepuk kepala sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. “Jaga tingkahmu. Jangan sembarangan sama adikku,” ujarnya, membuat lelaki tampan itu terkekeh. “Ayo Bening, aku tunjukkan kamarmu,” ajak Hardy sambil mendorong pundak sahabatnya dengan kasar. Lelaki yang sudah lama memiliki perasaan khusus pada Bening itu hanya bisa tersenyum melihat punggungnya yang menghilang setelah pintu kamar ditutup rapat. Satu hal yang pasti, langit sepertinya sedang berpihak padanya hingga mendekatkan gadis yang ia sukai. *** Hardy dan Bening berjalan di depan lelaki yang tiba – tiba merasa seperti obat nyamuk. Padahal hubungan mereka kakak adik, tapi tampak seperti pacar. “Kamu mau nonton apa, Bening?” tanya Hardy saat mereka masuk ke gedung bioskop. “Aku mau nonton yang lucu – lucu aja, Kak,” ujar Bening sambil memandang jadwal film yang terpajang di dinding. “Kamu beli tiketnya, Hard. Biar Bening dan aku beli popcorn disana!” ujar sahabat Hardy yang membuat kedua alis Hardy terangkat. “Yaelah, kan bisa beli bareng – bareng,” ujar Hardy. “Kamu nggak lihat antriannya?” Lelaki itu menunjuk ke arah mesin tiket berupa layar sentuh yang ada di ujung kiri gedung. “Kan bisa beli online. Jangan katrok, Bro!” sindir Hardy yang segera mengeluarkan gawai dari sakunya. Lelaki itu menahan gawai Hardy dan memberikan kode agar pria itu segera melakukan perintahnya. Hardy mengernyitkan dahi, segera sadar ada sesuatu yang diinginkan lelaki itu darinya. Seketika ia memandang Bening yang masih memandangi jadwal film lalu memandang sahabatnya dengan penuh selidik. “Bening kamu beli popcorn dan coke ya. Aku beli tiket dulu,” ujar Hardy. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan meskipun sebuah pukulan mendarat di perutnya. Hadiah dari calon kakak ipar, pikirnya. Yang penting bisa mengajak Bening membeli popcorn berdua saja. Sebelum tahu kalau Hardy dan Bening adalah saudara, mengajak Bening saja sudah sulit. Sekarang setelah ketahuan kalau mereka kakak adik, meskipun sering bersama namun selalu ada Hardy di tengah mereka. Si*al! *** “Tiga popcorn dan tiga coke ukuran besar!” pesan Bening kepada pramuniaga yang sekaligus merangkap sebagai kasir. Lelaki itu berdiri di samping Bening, tetapi kehadirannya seperti hantu yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Berdiri dengan satu tangan menyandar pada bar yang berbahan kaca, lelaki itu memandangi Bening dengan saksama. “Totalnya seratus tiga puluh enam ribu, Kak,” ucap sang pramuniaga. Bening segera membuka tasnya untuk mengambil dompet dan membayarnya namun tiba – tiba tangan besar sahabat kakaknya menyentuh punggung tangannya. Secara spontan Bening menarik diri darinya, seakan sentuhan pria itu adalah setrum jutaan volt yang sangat menyakitkan. Lelaki itu sempat terkejut dengan respon Bening yang berlebihan. Matanya membulat dalam satu detik namun kemudian mengembuskan napas untuk menenangkan dirinya sendiri. “Biar aku yang bayar!” ujarnya sambil merogoh saku celana. Bening tak mempedulikan ucapannya dan segera menyerahkan uang kepada sang kasir. Sejak kejadian itu, tiba – tiba gadis itu menjaga jarak darinya. Ada sesuatu hal yang membuat Bening tak ingin terlalu dekat dengan pria. Semacam trauma yang membuatnya merasa tersakiti bahkan sejak menyadari kalau lelaki itu memiliki perasaan khusus kepadanya. Bening tak ingin dekat dengan lelaki manapun selain Hardy, Ayah Tulus dan Kakeknya. Andai lelaki itu bukan sahabat Hardy, pasti ia segera menyerangnya dengan kata – kata ketus agar tidak mendekatinya. Karena itu, ia harus mencari cara supaya lelaki itu tidak lagi mengganggunya tapi tidak juga merusak hubungannya dengan sang kakak.        BAB 1 - BAG 1. HUBUNGAN PERSAUDARAAN YANG SANGAT DEKAT Bel sekolah pertanda jam pelajaran selesai baru saja berbunyi. Seluruh siswa yang ada di dalam ruang kelas dua SD Sekar Wangi bersorak. Guru perempuan berjilbab lebar berwarna putih sudah berpamitan. Anak-anak sudah membereskan meja mereka dan bersiap untuk segera pulang. Panas mentari benar-benar menyengat, memberi rasa gerah dan baju penuh keringat meskipun waktu masih menunjuk angka sepuluh pagi. Bening menghapus peluh yang ada di dahinya, memakai ransel merah muda dan berlari menghampiri guru untuk mencium punggung tangan sebelum ia keluar kelas. Namun gadis berlesung pipit itu tidak segera pulang ke rumah. Duduk di sebuah bangku yang ada di depan kelasnya. Dengan sabar, Bening menunggu sang kakak yang akan keluar dari kelasnya pada jam dua belas siang. *** Bu Wanto, guru bahasa Indonesia baru saja menyelesaikan pelajarannya. Bel tanda pelajaran berakhir sudah menggema beberapa lama. Lima menit terlambat dari jadwal pulang, membuat anak-anak kelas enam SD tersebut mengeluh. Bu Wanto hanya bisa mengembuskan napas, murid-muridnya sudah mendekati UNAS tapi mereka tetap saja terlihat santai kecuali satu-satunya murid kebanggaan. Seorang anak lelaki dengan postur cukup tinggi untuk anak seusianya. Masih duduk tenang di bangku paling belakang, memindahkan tulisan di papan tulis ke dalam bukunya. “Ingat anak-anak. Belajar lebih giat! Sebentar lagi UNAS.” Untuk ke sekian kalinya guru berpostur gemuk dan sedikit pendek itu mengingatkan. “IYA BU....” Seluruh siswanya menjawab serentak. Meski tidak yakin dengan kesungguhan siswanya. Namun Bu Wanto tetap saja tersenyum. Murid - murid memakai seragam putih merah ini, berebutan maju ke depan. Menjabat tangan sang guru dan mencium punggung tangannya sebelum mereka meninggalkan ruang kelas. Sampai pada barisan terakhir, anak lelaki yang duduk di belakang masih saja bergeming. Masih duduk tenang di atas bangkunya sekalipun sudah tidak lagi mencatat tulisan di papan tulis. “Hardy, apa kamu belum selesai?” tanya Bu Wanto. Membuat bocah yang dipanggil Hardy, mendongak. “Sebentar lagi, Bu.” Hardy menyempatkan diri membaca bukunya. Menyerap ilmu yang baru saja ia dapatkan hari ini. Bu Wanto membereskan mejanya. Ia menumpuk buku absen, buku paket dan LKS. Menggendong tumpukan itu dengan tangan kanan dan menambahkan sekotak kapur di atasnya lalu mengambil tas dan menentengnya di tangan kiri. Sekali lagi, Bu Wanto mengamati Hardy. Senyum bangga terselip. Sangat jarang ada siswanya yang begitu giat belajar seperti Hardy. Entah mengapa, Bu Wanto merasa kelak Hardy akan menjadi orang yang cukup sukses. Dengan kecerdasan dan ketekunannya. Bu Wanto yakin, Hardy akan mencapai cita-citanya. “Hardy, Ibu tinggal dulu ya.” Masih banyak tugas yang harus ia selesaikan. Wanita itupun akhirnya keluar kelas masih dengan senyum terpahat di wajahnya. Hardy tersenyum, ia sangat menghormati gurunya terlebih Bu Wanto. Setelah melihat Bu Wanto keluar dari kelas. Hardy kembali membaca buku pelajarannya sebelum seseorang datang. “KAKAK....” Terlambat sudah, suara bernada tinggi Bening merusak segalanya. Hardy mengembuskan napas berat, jika sang adik sudah menjemputnya maka tidak ada yang bisa ia lakukan selain menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Bening duduk di bangku yang berada di depan Hardy, “aku tadi dapat nilai enam puluh lo.” Bening melepas ranselnya, membuka resleting dan mengeluarkan sebuah buku bersampul coklat yang sudah sedikit koyak di ujung-ujungnya. Dengan penuh semangat, Bening membuka buku lalu menunjukkan sebuah halaman yang terdapat nilai enam puluh dalam lingkaran bertinta merah. Hardy terkekeh, nilai enam puluh saja dibanggakan. Bagi Hardy, angka enam puluh adalah sebuah mimpi buruk. Tapi bagi Bening, angka enam puluh adalah berkah. Enam puluh adalah nilai yang cukup tinggi yang bisa dicapainya dalam pelajaran matematika. “Kakak. Ajari aku kali-kalian. Susah banget deh.” Bening menautkan dua alisnya, mengerucutkan bibir dan menggembungkan pipinya. Gadis berkulit putih ini terlihat sangat menggemaskan. Tangan Hardy terulur, ia mengacak-acak rambut sang adik. “Ayo pulang! Aku harus jualan.” Hardy menarik ransel sambil berdiri. Melangkah meninggalkan Bening begitu saja. Bening segera berlari, berusaha berjalan sejajar dengan Hardy. “Aku bantu ya, Kak.” Bening suka menempel pada Hardy, kemanapun anak lelaki itu pergi hampir selalu diikuti sang adik. Tetapi tidak demikian dengan Hardy. Ia sudah kapok mengajak Bening berjualan. Adik kecilnya mudah lelah dan suka mengeluh. Memperlambat langkahnya dan secara otomatis pendapatannya ikut berkurang. “Kamu belajar saja di rumah! Kalau kamu mendapat nilai seratus. Aku beri hadiah.” Hardy berharap Bening menerima tawarannya. Kedua mata Bening melebar, ada sinar suka cita berpendar di kedua matanya namun sebentar kemudian sinar itu memudar. “Aku tidak butuh hadiah. Aku kan bisa belajar berhitung sambil jualan.” Bening menunjukkan jajaran gigi kecil putihnya yang rapi. Meski sebal, tapi entah sihir apa yang dipakai anak itu sampai membuat Hardy sulit menolak keinginan Bening. Ia sangat menyayangi adiknya. Satu-satunya orang yang membuatnya bersemangat meniti kehidupan. Andai Bening tidak ada maka ... Hardy menggeleng, ia membuyarkan pikiran negatif yang baru saja menghampirinya. *** “Aku muak denganmu! Dasar istri tidak tahu diri! Aku sudah pernah memberimu kekayaan. Tapi kenapa saat aku sudah jatuh, kamu tidak pernah lagi membuatku senang.” Sardi memandang istrinya dengan tatapan garang. Indah, istri Sardi. Hanya bisa meneteskan air mata. Sardi, pria yang telah dinikahinya empat belas tahun lalu, telah berubah perangainya sejak kena PHK besar-besaran sembilan tahun lalu. “Bukan begitu, Mas. Tapi aku benar-benar tidak punya uang. Aku mohon, Mas mengerti kondisi kita.” Indah hendak menggenggam tangan Sardi namun Sardi menepisnya. Amarah sudah membelenggu pria itu hingga ia tidak mampu membedakan mana benar mana salah. Aku butuh alkohol. Hanya itu yang ada dalam kepala Sardi. Kepenatan hidupnya hanya bisa disembuhkan oleh alkohol. Alkohol adalah sahabatnya, alkohol adalah pelipur laranya, alkohol adalah teman terbaik seorang Sardi. Mantan pengawas di pabrik sandal yang akhirnya benar-benar gulung tikar delapan tahun lalu. Perasaan miris memenuhi hati Indah. Wanita berparas cantik, berkulit putih dan terlihat rapuh ini selalu saja berlinang air mata bila sang suami pulang. Bukan dia tidak ingin sang suami pulang, tetapi kepulangan Sardi selalu berakhir luka. Batinnya tersiksa, hatinya teriris tapi untuk berpisah dari pria ini, ia tidak sanggup. Ada anak-anaknya yang membutuhkan keutuhan rumah tangga yang dulu dibangun dengan cinta. Alangkah indahnya kala itu. Seorang buruh pabrik dinikahi pengawasnya, membuat iri buruh-buruh lain. Meski kehidupan mereka sederhana, namun dengan pendapatan rutin setiap bulan dari keduanya. Mereka mampu membeli rumah sederhana ini dan membeli perabotnya. Mampu memenuhi gizinya saat hamil anak pertama, sangat berbeda saat ia hamil anak kedua. “Mas. Kenapa Mas jadi seperti ini?” Air mata kembali leleh. Bukan seperti ini kisah yang ingin ia toreh dalam hidupnya. Tidak masalah hidup dalam serba keterbatasan asalkan sang suami bisa sabar seperti dulu. Selalu ada saat anak-anaknya terjaga. Hanya itu yang ia inginkan. “Aku yakin kamu sembunyikan uang daganganmu. Aku tahu daganganmu itu laris. Tidak mungkin kamu tidak punya uang.” Sardi mendekati lemari berbahan papan triplek yang sudah mengelupas. Membuang baju-baju yang sudah dilipat rapi. Membuka koran yang menjadi alas baju-baju tersebut. Tidak menemukan sesuatu, ia berpindah pada tumpukan di bawahnya, melakukan hal yang sama hingga pada tumpukan paling bawah. Di pojokkan lemari itu, sardi menemukan berlembar-lembar uang yang cukup tebal dengan pecahan seribuan, dua ribuan, lima ribuan dan sepuluh ribuan. Indah terkejut, uang itu dikumpulkan dengan susah payah. Ia ingin membelikan tas yang bagus sebagai hadiah saat Hardy naik ke jenjang SMP. Tapi sekarang, musnah sudah harapannya. Tidak. Aku tidak boleh menyerahkannya! Uang itu milik Hardy. Anakku sudah bersusah payah mengumpulkannya. Setiap hari ia sudah kelelahan berdagang. Aku tidak boleh memberikannya pada Mas Sardi! Indah merebut uang itu, ia berusaha untuk mempertahankan hasil jerih payah sang anak. Namun sekuat apapun ia berusaha, tenaganya masih kalah besar dibanding dengan Sardi. Sardi menarik uang dengan cukup mudah, mendorong badan Indah sampai wanita itu terjungkal. “Istri sialan! Kamu sudah durhaka padaku.” Mata Sardi melotot, memandang Indah yang masih dalam posisi telentang. Mata Sardi mengelilingi kamarnya, mencari sesuatu yang ia butuhkan untuk memberi pelajaran bagi sang istri. Tidak ada sesuatu yang bisa ia gunakan disini. Ia keluar dengan langkah lebar dan sesaat kemudian ia sudah kembali dengan membawa sebuah sapu ijuk bergagang kayu. “Dasar perempuan tidak tahu diuntung!” Sardi memukul Indah dengan menggunakan gagang sapu. Wanita itu berteriak histeris, dua tangannya berusaha merebut sapu namun Sardi dengan mudah menarik dan memukulkannya ke tubuh Indah. *** Hardy mengorek telinganya, ia lelah mendengar celoteh sang adik sejak bertemu dengannya hingga sekarang saat sudah di pertengahan perjalanan menuju tempat tinggalnya. “Kakak tahu. Denis itu suka bikin sebel. Masa setiap hari dia bawa pensil baru. Dia suka pamer.” Bening mengisahkan tentang salah satu teman sekelasnya. Seorang anak bernama Denis, anak Pak Lurah di kelurahan mereka tinggal. “Kemarin dia bawa pensil yang ada penghapus bentuk buah eh sekarang dia bawa pensil yang ada bulu-bulu ayamnya. Besok mungkin dia bawa pensil yang ada anak ayamnya.” Bening tertawa terbahak-bahak, membayangkan seekor anak ayam menempel pada kepala pensil. Bening memandang seekor ayam yang dikurung dalam kandang di depan rumah seseorang. Ia memiliki sebuah ide untuk mengumpulkan bulu-bulu ayam dan menempelkannya pada pensilnya sendiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari ayam yang mungkin saja berkeliaran di sekitarnya. Tapi di pinggiran kota, tidak banyak orang memelihara ayam. Kalau toh memelihara, ayam-ayam itu tidak akan berkeliaran seperti halnya ayam-ayam yang ada di desa. Bening mendongak, memandang gumpalan awan besar yang menutupi birunya langit dan teriknya matahari. “Kakak. Gula-gula kapas pasti enak ya. Tadi Lia cerita, dia kemarin beli gula-gula kapas di pasar malam. Nanti malam, ajak aku ke pasar malam buat beli gula-gula kapas ya.” Hardy melirik sang adik, semudah itu Bening merubah topik pembicaraan. Baru saja membahas pensil dan sekarang membahas tentang gula-gula kapas. Hardy tersenyum kecil, dasar anak kecil, ucapnya dalam hati. Setelah berjalan lima belas menit, mereka telah sampai di depan rumah. Hardy menahan pergelangan tangan Bening saat melihat ayah mereka keluar dengan tergesa-gesa melewati mereka. Melihatnya, perasaan Hardy tidak enak. Ia bergegas masuk ke dalam rumah, mencari sang ibu berada.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Match (Indonesia)

read
172.8K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.5K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.0K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.7K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook