Episode 2 - Tak Terima Kado

1633 Words
Dunia mimpi pun melempar Garlanda dalam dimensi lain yang misterius. Dimensi yang sangat Garlanda hindari untuk datang ke sana lagi. Namun ia selalu terjebak sangat lama di sana. Dan kesulitan untuk menemukan jalan kembali. "Aku berada di sini lagi. Kenapa? Di sini terkadang begitu nikmat. Tapi lebih banyak deritanya. Ini hanya mimpi. Namun terasa sangat nyata. Karena setiap sakit yang aku dapat, aku benar-benar bisa merasakan betapa tersiksanya. Aku harap ini adalah mimpi yang baik." Garlanda terbangun dalam sebuah rumah yang asing. Ia memiliki ingatan-ingatan baru. Kemudian ia mulai mengenali rumah ini. Mengenali kisah-kisah yang pernah terjadi di sini. Mengenali kenangan-kenangan pedih yang pernah ia alami di rumah ini. Mengingat setiap peristiwa dan kesakitan yang menimpanya di rumah ini ... dengan nama Lintang. Lintang yang malang. Lintang yang hidupnya begitu miris. Sebagai seorang kakak, yang setiap kebaikannya, tak pernah dihargai oleh adiknya sendiri -- seseorang yang selalu Lintang perjuangkan hidup dan mati, di tengah keterbatasan fisiknya. *** Lintang tersenyum tipis menatap sesuatu yang baru saja dibelinya untuk Kian. Anak itu pasti senang karena akhirnya memiliki benda ini. Lintang tahu bahwa sudah lama sekali adiknya itu menginginkan benda pipih berbentuk persegi panjang yang dapat digunakan untuk bermain game. Lintang sendiri tak tahu cara memainkannya. Memang karena ia tidak hobi. Sekitar 200 meter sebelum sampai perempatan, Lintang segera berdiri. Ia berjalan terseok dan orang-orang di dalam bus menatapnya. Ada yang menatap jijik, ada pula yang menatapnya dengan iba. Pemandangan seperti ini sudah biasa untuknya. Lintang memang tak sesempurna anak lain. Kaki kirinya sedikit lebih pendek dari kaki kanannya. Membuatnya sedikit kesulitan untuk berjalan. Cara berjalannya tertatih-tatih. Membuat sangat kentara bagi orang lain, untuk mengenali Lintang sebagai seseorang yang berkebutuhan khusus. "Kiri, Pak!" serunya pada sang Supir kendaraan umum. Seketika bus kota ini berhenti dan Lintang keluar dengan sedikit tergesa. Takut bus itu akan tancap gas duluan sebelum ia sempat turun. Karena pernah dulu, karena Lintang bergerak dengan lelet, supir bus yang sedang kejar setoran tidak tahu keterbatasan Lintang. Menganggapnya sama dengan penumpang yang lain. Sehingga segera tancap gas. Mengira Lintang sudah turun. Ternyata baru satu kaki saja yang turun. Lintang pun harus terjatuh. Sudah menanggung rasa sakit. Masih harus pula ditertawai oleh orang-orang yang melihatnya terjatuh. Apes sekali. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. "Huff ... tidak apa-apa. Ini sama sekali bukan masalah besar. Aku sudah dalam hitungan tahun hidup dalam kondisi baru seperti ini. Harusnya aku sudah bisa beradaptasi sepenuhnya." Masih dengan senyumnya, Lintang berjalan pulang. Ini belum terlalu larut. Pasti lah Kian belum tidur. Setiap selesai belajar, anak itu pasti main game dulu. Kian memang sangat hobi main game. Lintang dulu sempat khawatir. Tapi ternyata kebiasaan Kian itu sama sekali tidak mempengaruhi prestasi Kian di sekolah. Adik Lintang itu memang genius. Bisa tetap rangking 1, walau pun tidak pernah belajar. "Kian!" Lintang segera mencari-cari adiknya selepas masuk rumah. Tidak ada jawaban. Jangan-jangan Kian sudah tidur! Tapi tak biasanya Kian seperti itu. Kian kan termasuk salah satu manusia yang hobi begadang. Makanya ia jadi sulit dibangunkan untuk sekolah pada pagi harinya. Lintang pun memutuskan untuk masuk ke kamar Kian. Dilihatnya anak itu yang sedang asyik bermain game dengan benda serupa yang sedang dibawa olehnya, namun dalam versi terdahulu. Benda itu dulu yang membelikan juga Lintang. Dan Lintang merasa senang, sebab Kian mau memakainya. Karena Lian tidak tahu kalau yang membelikan adalah Lintang. Seandainya ia tahu, jangankan menggunakan, mungkin menyentuh saja Kian tak mau. Karena memang sebenci itu Kian pada Lintang, kakaknya sendiri. Kebiasaan! Kian terlalu berkonsentrasi bermain game, sampai ada orang lain masuk kamarnya pun ia tak sadar. "Hey!" sapa Lintang. Kian sedikit tersentak. "Kenapa? Tumben jam segini sudah pulang!" ketus Kian. "Ini. Selamat ulang tahun!" Lintang memberikan kado yang sudah ia beli. Berbeda dengan tahun lalu di mana Lintang memberikan kado secara anonim. Tahun ini, Lintang ingin mencoba memberikan secara langsung. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Kian. Apakah sudah mau menerima pemberian Lintang, atau masih tetap seperti dulu. Kian menatap kotak kecil berbungkus kertas motif pesawat terbang yang dibawa kakaknya. Dengan ragu ia menerima hadiah itu. "Ulang tahunku, kan, masih besok!" protesnya. "Aku tahu." "Lalu kenapa kau memberiku kado sekarang?" "Aku hanya ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu." "Iya pertama. Tapi tidak tepat waktu!" jawab Kian lagi, masih dengan ketusnya. "Baik lah, nanti jam 12 tepat akan aku ucapkan lagi. Sekarang buka lah kadonya!" ucap Lintang penuh kasih sayang. "Aku harap kau suka dengan kadonya." Meski masih ditanggapi dengan ketus, tapi setidaknya tahun ini, Kian tidak menolak mentah-mentah pemberiannya. Lintang senang, karena itu adalah sebuah perubahan yang sangat positif. Tapi apa yang didapatnya? Ternyata Kian tidak kunjung membuka kadonya. Hanya mendiamkannya saja. Hening. Kian sama sekali tak bergerak untuk membuka kado itu. Dan akhirnya Lintang memutuskan untuk memakluminya. Ia tak berharap banyak bahwa adiknya itu akan berubah. Lintang pun tak ingin memaksanya. "Ya sudah. Buka lah setelah aku pergi. Aku harap kau suka isinya." Lintang mulai beranjak dan meninggalkan kamar Kian. Berharap adiknya akan Sudi menerima kado itu, kalau ia sudah pergi dari kamar Kian. Lintang kini duduk termenung di ruang tamu. Sudah hampir tiga tahun Kian bersikap seperti ini padanya. Sampai sekarang, Lintang tetap berharap bahwa Kian akan berubah seiring berjalannya waktu. Lintang paham betul dengan semua kejadian ini. Andai dulu ia sedikit berhati-hati. Pasti lah kedua orang tua mereka sekarang masih hidup. Kakinya juga tentu akan masih normal seperti dulu. Dan tentunya dia tidak akan diperlakukan seperti ini oleh adik kandungnya sendiri. Kedua orang tua mereka memang meninggal saat berusaha menyelamatkan Lintang. Seharusnya Lintang yang tertabrak truk itu. Tapi tidak. Kedua orang tua mereka lah yang akhirnya menjadi korban. Dan sejak saat itu, Kian jadi membencinya. *** Jam kosong membuat para siswa amburadul di kelas. Tak ada satu pun yang sedang berusaha mengerjakan tugas yang dititipkan sang Guru Ajar pada Guru Piket. Mereka asyik dengan dunianya masing-masing. Termasuk Kian. "Kian, woah ... akhirnya kau dapat game itu!" seru salah seorang temannya. "Tentu saja!" sombong Kian di depan teman-temannya. Iya benar. Itu adalah kado ulang tahun dari Lintang semalam. "Dari mana kado itu? Apa dari Mas Lintang?" tanya anak itu lagi. Tapi ia tidak mendapat jawaban dari yang ditanyai. Karena merasa tak diacuhkan, ia pun beralih pada teman di sebelahnya. "Andai aku punya kakak sebaik dia!" harapnya. "Dia siapa? Mas Lintang, ya?" jawab temannya tadi. "Iya. Mas Lintang itu sebenarnya tampan. Tapi sayang karena kakinya begitu, jadi banyak yang mengucilkannya." Anak itu mengangguk paham, kemudian menjawab. "Tapi aku tetap suka padanya. Bila dia menjadikanku pacarnya, aku tetap mau." Beberapa teman wanita Kian mulai heboh membicarakan Lintang. Padahal tadi Kian tak menjawab apa-apa. Mereka menyimpulkan sendiri bahwa kado itu ia dapat dari Lintang. Meski pun hal itu memang benar, tapi Kian merasa kesal. Entah lah. Ia hanya tidak suka bila tahu Lintang dipuji - puji. Mana bisa seorang pembunuh dipuji? Banyak teman Kian yang mengenal Lintang. Dan tahu ia adalah kakaknya Kian. Karena Lintang memang cukup terkenal di sana. Sebab Lintang kerja di salah satu cafe hits. Menjadi barista di sana. Parasnya yang tampan membuatnya dengan mudah memikat customer wanita. Banyak yang merekam aksi Lintang yang memukau saat membuat kopi. Yang menjadikan video itu diunggah, dan banyak dibagikan di media sosial. Baik Lintang atau pun cafenya sama-sama jadi terkenal. Berbeda dengan Kian yang malu punya kakak seperti Lintang. Lintang justru sangat bangga dan percaya diri, selalu membanggakan Kian setiap kali ia bekerja. Makanya jadi banyak orang yang tahu, jika Kian adalah adiknya Lintang. Telinganya terasa gatal dan panas. Dengan sengaja, Kian melempar sebuah pulpen yang entah milik siapa di atas mejanya. Meski bunyi jatuhnya pulpen itu tak terlalu keras, tapi cukup untuk menghentikan obrolan teman - temannya tentang Lintang. "Hey, itu, kan, pulpen aku!" seru bocah berkacamata. Namanya Dion. Dia tak tahu apa - apa, tapi ikut menjadi korban. "Maaf, deh. Aku tidak sengaja," jawab Kian cuek, seraya melangkah pergi. "Kenapa, sih, anak itu? Selalu saja seperti itu kalau sudah membahas Mas Lintang!" "Iya. Katanya dia masih belum mau memaafkan Mas Lintang atas kecelakaan yang menewaskan orang tua mereka. Padahal itu, kan, murni kecelakaan." "Keterlaluan sekali, sih, dia!" "Iya. Padahal kado dari Mas Lintang itu dimainkannya juga, kan?" "Dasar tidak tahu malu!" Bisik-bisik obrolan temannya masih bisa didengar oleh Kian. Ya. Ia mendengar semuanya dengan jelas. Dan ia semakin kesal. Kian pun melangkah keluar dari kelas. Ia tidak mau lagi mendengar hal-hal memuakkan semacam ini. *** Seorang kasir di salah satu kedai kopi bernama Shining Star, sedang sibuk melayani para pelanggan yang sedang mengantre. Untung lah hari ini mereka mau tertib. Parasnya nyaris sempurna. Hidungnya, matanya, bibirnya, ditambah senyumannya yang manis. Bisa dibilang wajahnya itu merupakan pahatan Tuhan yang sempurna. Tak heran bila pelanggan yang kebanyakan gadis remaja itu mengelu-elukannya. Sampai rela setiap hari datang ke kedai kopi ini. "Mas Lintang, aku mau Americano satu. Sama Tiramisu Cake!" pinta pelanggan itu dengan senyuman termanisnya. "Okay." Lintang segera menuangkan apa-apa saja yang merupakan resep Americano. Tak lupa diambilkannya Tiramisu Cake yang dipesan tadi. "Semuanya tiga puluh ribu rupiah. Ada lagi yang dipesan?" tanya Lintang dengan sopan dan diakhiri dengan senyuman. "Tidak. Nanti aku akan mengantre lagi. Terima kasih!" jawab si Pelanggan. Kadang Lintang ingin tertawa menghadapi gadis-gadis itu. Mereka rela datang ke sini setiap ada Lintang. Dan sengaja pesan sedikit demi sedikit. Agar nanti bisa mengantre lagi kalau makanan dan kopi mereka sudah habis. Padahal mereka tahu persis seperti apa kondisi kaki Lintang. Antrean pun berlanjut. Begitulah pekerjaan Lintang setiap hari. Dia adalah pekerja part time di kedai ini. Lintang hanya bekerja dari jam enam sore sampai tutup. Dulu hanya kedai ini yang mau menerima orang cacat sepertinya. Itu juga atas belas kasihan bosnya. Meskipun gajinya tak seberapa, tapi dia sangat bersyukur dengan ini semua. Setidaknya dia bisa menyekolahkan Kian. Sebenarnya Lintang juga ingin kuliah. Tapi dikuburnya impian itu jauh-jauh. Tak apa bila pendidikannya tak tinggi. Yang penting adiknya bisa sekolah dan mendapatkan nasib yang lebih baik dari dirinya di masa depan kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD