Episode 5 - Golongan yang Dibenci

1145 Words
Garlanda baru saja terlepas dari kesakitannya menjalani hidup sebagai seorang Lintang. Dalam mimpi yang termasuk baik. Meski dalam mimpi itu ia ternyata mati juga. "Tuhan ... tolong bangunkan aku. Kembalikan aku ke dunia nyata! Tapi jika aku masih harus terjebak di sini lebih lama. Tolong masukkan aku ke dalam mimpi yang indah lagi. Tolong jangan seperti mimpi aneh biasanya. Tolong, Tuhan ...." Garlanda terus memohon dalam mimpi itu. Namun .... Tiba-tiba ia sudah tersadar dengan kesakitan baru. Bukan pada otak seperti pada diri Lintang. Namun beralih pada bagian tengah tubuhnya. Lebih tepatnya di area perut sampai pinggang dan bahkan panggul. Perasaan Garlanda sudah tak enak. Ini lah mimpi aneh yang ia maksud. Yang paling sering ia alami. Dan selalu berharap semoga tidak mengalaminya lagi. Ia menatap bagian perutnya yang membesar. Terlalu besar hingga ia tak dapat menatap bagian kakinya sama sekali. Ia juga berada di dalam sebuah ruangan gelap dan lembab, di balik jeruji. Ingatan-ingatan baru mulai muncul. Ia kini hidup dan sebagai seseorang bernama Nar. Anak muda yang teramat sangat menderita, dikurung oleh keluarganya sendiri di dalam sebuah penjara di bagian belakang rumah mereka. *** Ia menyesal, tentu saja. Tapi ia tak membenci bayi ini. Tidak. Semua adalah salahnya sendiri. Dan dia. Tapi hanya Nar pihak yang menanggung beban. Semenjak keluarganya tahu, Nar dikurung dalam ruang kosong yang kotor. Tak layak untuk ditempati manusia. Keluarga menganggapnya sampah. Terlebih Ayah. Nar tak menyalahkan mereka. Karena sekali lagi ini adalah salahnya sendiri. Dan dia. Andai Nar tak menentang apa yang sudah alam atur. Apa yang sudah Tuhan ciptakan. Pasti hidupnya tak akan hancur. Kenyataan sudah terjadi, membuktikan segalanya. Bahwa masa depan yang lama diimpikannya, berhenti saat itu juga. Berubah menjadi amat kelam, bahkan ia tak bisa hanya membayangkannya saja. Hari ini Nar mencapai puncaknya. Ia menghapus satu tetes air mata yang baru saja jatuh. Perutnya kembali mengencang. Sakit sekali. Perutnya terasa sekeras batu saat disentuh. Dan bayi di dalam sana terus bergerak mendesak, ingin keluar. Sejak semalam Nar tak bisa tidur barang sebentar. Rasa tak nyaman menguasai. Bagaimana pun posisinya, Nar tetap merasa tak nyaman. Hingga akhirnya rasa tak nyaman itu berubah menjadi kram kecil di perutnya dan rasa menusuk yang tajam di sekitar pinggangnya. Sekarang rasa kram yang tadi kecil berubah menjadi kontraksi kasar yang frekuensinya semakin dekat. Panggulnya terasa amat sakit. Seperti ada yang membelahnya dari dalam. Nar tahu apa yang akan ia hadapi. Inilah proses puncak dari awal perubahan hidupnya. Ia akan melahirkan. Satu tangan Nar bertahan menyangga perutnya dari bawah. Ia bersandar pada dinding dengan kaki yang ia luruskan. Berusaha bernapas dengan baik kala kontraksi tak lagi menyerangnya. Karena saat kontraksi datang, napasnya seperti hilang. Sesekali Nar melenguh sakit. Ia berusaha tak berteriak. Ia tak ingin Ayah semakin menganggapnya menjijikan. Nar sudah mengandung bayi ini selama 9 bulan lebih. Nar cukup takut saat ia tak kunjung lahir. Bahkan usia kandungannya hampir menginjak 10 bulan. Nar cukup lega saat tahu karena ia akhirnya mau keluar. Namun rasa sakitnya tak terbendung. Membuat Nar ingin menyerah. Nar mengejan setiap kontraksi datang, namun nihil. Bayi itu tetap belum keluar dari sana. Tenaga Nar terkuras habis, lemas dan kelelahan. Seseorang datang membawa satu nampan makanan. Ia terkejut melihat kondisi Nar dan melihat apa yang sedang dilakukannya. Seketika nampan itu terjatuh. Nar menoleh padanya. Itu kakaknya, Yehira. Nar segera menatapnya memohon. Meminta pertolongan. Yehira menatapnya denga angkuh. Ia terpaku di sana beberapa saat. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan Nar. Nar sudah menduganya. Jangankan melahirkan, bahkan jika Nar mati, mungkin mereka akan membiarkan mayat Nar membusuk di sini. Kontraksi kembali datang. Tubuh Nar menggeliat kasar. Ia mencengkeram apapun yang bisa ia raih. Kukunya memutih. Perutnya mengencang dan kepala bayinya mendesak. Nar mengejan lagi sekuat yang ia bisa. Satu erangan lolos dari bibirnya. Ia tak sanggup menahannya. Ini adalah rasa sakit terburuk yang pernah ia rasakan. Suara derap langkah kaki datang. Nar tak terlalu memperhatikan. Ia hanya fokus pada perjuangannya. Yehira dan Yemima — ibu Nar datang. Yemima membuka pintu besi itu, kemudian melangkah masuk. Ia melihat anak bungsunya dengan iba. Ya. Anak bungsunya yang selalu ia sayangi, namun terpaksa ia kucilkan karena sebuah kesalahan. Nar tak bisa mehahan tangisnya ketika sang Ibu membelai perutnya. Kini ia menatap kakaknya. Tersirat sebuah rasa terima kasih di matanya. Yemima perlahan melepas celana leging Nar. Ia kemudian menyibak kaos Nar sebatas d**a. Mengekspos perut besarnya. Ia meletakkan tangannya di bagian bawah perut Nar. Yemima adalah seorang bidan, ia tahu apa yang ia lakukan. Yemima melebarkan kedua kaki Nar. Memasukkan satu jemarinya ke sana. Yemima menggeleng. "Jangan mengejan dulu, Nak. Jangan!" serunya. "Pembukaanmu masih 5 senti, kalau kau memaksa mengejan terus, kau bisa sobek." Satu kalimat itu. Membuat Nar tercekat beberapa saat. Lalu apa yang harus ia lakukan. Ia sudah kesakitan lama sekali. Ia hanya ingin semua segera berakhir. "Yehira, ambilkan handuk-handuk di dalam lemari." Yehira mengangguk dan bergegas keluar. Ia kemudian kembali membawa banyak sekali handuk bersih. Yemima mengambil 3 helai, Menatanya dan meletakkannya di bawah Nar. Yemima mengelap keringat di kening Nar dan merapikan rambutnya yang berantakan. Yehira beringsut berlutut di samping adiknya. Rasa benci itu masih ada. Tapi biar bagaimanapun, Nar tetap lah adiknya. Ia meraih tangan adiknya dan menggenggamnya. Cukup lama penantian Nar. Hari sudah sore. Dan Nar sudah lelah dengan sakit yang ditanggungnya. Hingga akhirnya pembukaannya lengkap. PRAK .... Suara itu membuat Nar kaget. Di saat yang bersamaan, Nar merasakan cairan hangat yang keluar darinya. "Ketubanmu sudah pecah," ucap Yemima. Nar cukup lega mendengarnya. Namun tak terlalu lama hingga rasa sakitnya memuncak. Menjadi beberapa kali lebih ekstrem. Nar menggenggam tangan Yehira dengan amat kuat. "Ayo mengejan, Nar!" Nar mengikuti instruksi sang Ibu dengan baik. Meski dalam setiap tarikan napas, ia serasa memilih lebih baik mati, dibanding terus merasakan sakitnya. Ia mengejan setiap kontraksi datang. Nar berteriak kesakitan. Air matanya meluncur dengan deras. Nero sayang Ayah di luar sana hanya mengawasi. Kebencian masih utuh. Sekitar satu setengah jam hingga kepala bayi Nar sudah terlihat. Nar melanjutkan perjuangan menyakitkannya. Tubuhnya sudah amat lemah. Ia banyak kehilangan darah. Yemima sangat khawatir. Ia takut ia akan kehilangan Nar. Namun Nar tak menyerah. Ia terus berjuang demi bayinya. Sekitar dua jam kemudian akhirnya kepala bayi Nar sudah keluar. Menggantung di liang lahir. Nar beristirahat sejenak menunggu kontraksi berikutnya dan ia mulai mengejan lagi. Kali ini rasanya amat menyakitkan. Saat ia mengejankan bagian pundak. Liangnya terbuka lebih lebar. "Ayo Nar ... ayo!" Yemima terus menyemangatinya. Napas Nar seakan habis. Ia mengejan dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya bayi itu lolos dari perutnya. Nar menatapnya beberapa saat. Anaknya perempuan. Mereka masih dihubungkan oleh tali pusat yang masih belum dipotong. Nar tersenyum hingga akhirnya semua gelap. *** Rasa sakitnya masih terngiang. Namun Garlanda sudah tersadar. Ia tidak lagi berada dalam tubuh Nar. Namun ia juga belum kembali ke dunia nyata. Ia masih terus harus menjelajah di dalam sini. Sedang menunggu ... apakah ia akan berada dalam mimpi yang tergolong baik, atau dalam golongan yang ia benci.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD