Episode 4 - Mimpi yang Indah

1708 Words
Pagi datang, Kian segera melempar bantal yang sampai pagi masih bertengger di atas kepalanya. Ia juga masih memakai seragam. Ah ... Kian baru sadar kalau sekarang sudah tidak pagi lagi. Ini sudah siang! Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan. "Sial ... kenapa dia tidak membangunkan aku?" Kian menggerutu sendiri sembari beranjak dari atas kasur, dengan nyawanya yang belum terkumpul semua. Kian pun menuju pintu keluar. Ia baru ingat kalau kemarin mengunci kamarnya dari dalam. Pantas saja Lintang tak membangunkannya. "Apes memang. Kenapa aku harus melakukan hal bodoh seperti ini?" Kian menghujat kebodohannya sendiri. Saat keluar, Kian yang baru sadar seratus persen, menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sepi. Pasti Lintang sudah berangkat ke perpustakaan. Kian melihat sebuah benda kotak berwarna putih di atas mejadi ruang tamu. Itu, kan, game console-nya yang kemarin sudah remuk. Pasti Lintang yang membenarkannya. Kian sekali lagi merasa bersalah pada Lintang. Pasti kakaknya itu sedih sekali melihat kondisi game console ini tadi — sebelum ia membenarkannya seperti semula. Kian mengambil game console itu, memasukkannya ke dalam saku. Kian mengambil handuk dan memilih untuk mandi. Ia melihat seseorang di meja makan. "Lho ... itu bukannya, Lintang? Jadi dia belum berangkat?" Karena canggung, Kian mengurungkan niatnya untuk mandi. Sebab, untuk pergi ke kamar mandi, ia harus melewati meja makan. Ia terlalu takut kalau-kalau Lintang menanyainya macam-macam. Kian belum mau bicara padanya tentang apa pun. Kian hanya menunggu di balik tembok. Lintang sedang makan sendirian. Raut wajahnya terlihat menyedihkan. Dia terlihat kelelahan dan sedih. Lelah karena pekerjaannya. Dan sedih karena Kian. Itu pasti. Sekali lagi, Kian merasa bersalah. Tiba-tiba saja, Lintang mengambil selembar tisu. Kian tak tahu Lintang akan menggunakannya untuk apa. Dari sini, pun, tak terlalu terlihat. Karena jaraknya dan Lintang cukup jauh. Namun netra Kian segera terbelalak, begitu melihat rembesan warna merah pada tisu itu. "D-darah?" Kian tak dapat menutupi keterkejutannya. Kenapa Lintang bisa berdarah begitu? Tak begitu lama, Lintang pun beranjak. Kian membuntutinya. Lintang rupanya menuju ke kamar mandi. Kian menunggu di luar, tepat di depan pintu. Hatinya merasa gelisah. Dia takut kalau kakaknya kenapa-napa. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Ia hanya diam. Berdiri mematung seperti orang bodoh. *** Setelah memastikan Lintang sudah berangkat ke perpustakaan, Kian segera mengendap kembali ke rumahnya. Ia menunggu cukup lama di depan pagar. Atau lebih tepatnya bersembunyi. Kian ingin melakukan sesuatu dulu. Sesuatu yang sekiranya lebih bermanfaat sebelum bermain keluar. Kian menyobek sehelai kertas dari salah satu buku tulisnya. Entah yang dilakukannya ini benar atau tidak. Ia sendiri masih ragu. Pikirnya, bila ia tak bisa mengatakan secara langsung, lebih baik melalui tulisan. Setidaknya hal itu sedikit lebih mulia dari pada tidak berusaha sama sekali. Kian ingat betul kalau besok adalah hari ulang tahun kakaknya. Ia bukan anak hemat yang suka menabung uang jajan. Jadi ia tidak punya uang untuk membeli kado. Sudah tiga tahun dilaluinya dengan sikap tak sopan pada kakaknya. Mulai sekarang, sedikit demi sedikit ia harus berubah. Benar kata Paman Ichal. Ia tak bisa bersikap seperti ini terus-menerus pada kakak kandungnya sendiri. Kian menarik napas panjang, dan segera menuliskan isi hati di kertas itu. Meskipun ia sendiri ragu akan berani memberikan pada Lintang secara langsung atau tidak. Selesai, Kian segera membungkus surat itu dengan amplop. Karena otaknya yang genius, Kian segera menemukan cara untuk memberikan surat itu pada Lintang. Ternyata tak harus secara langsung. Bunga-bunga malang yang biasanya setia menghiasi halaman rumah, kini sebagian besar harus rela tergeletak di atas meja ruang tamu. Kian menatanya sedemikian rupa sampai terlihat lumayan cantik. Kian tahu benar ini norak. Ia sendiri mengernyit sebal sedari tadi. Tapi tidak apa-apa. Kian tahu, dengan hati Lintang yang seputih kapas, ia tak akan menertawai usaha keras dari adiknya ini. Kian segera menaruh amplop berisi surat itu di tengah meja. Senyum tipis kini menghiasi wajah Kian. Tinggal menunggu Lintang pulang, dan ia akan membaca surat ini. Kian harap esok harinya semua akan kembali seperti dulu — sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka terjadi. Sayangnya, Kian tak cukup berani untuk menyaksikan Lintang membaca surat itu. Biarlah Lintang membaca surat itu seorang diri. Biar Lintang juga yang besok mengajaknya bicara lebih dulu. Yang penting Kian sudah punya niat baik, kan? Katakan Kian pengecut! Tak apa. Kian tak akan tersinggung. Karena memang begitu adanya. Kian berlari keluar. Mungkin ia akan ke game center. Atau ke mana saja yang akan membuatnya betah menginap sampai besok pagi. *** Bosan. Itu lah yang dirasakan Kian sekarang. Ternyata bermain di game center seharian tak membuatnya senang. Justru muak sampai ingin muntah. Bermain dua sampai tiga jam saja ternyata sudah cukup. Ini sudah sore. Kian memikirkan Lintang. Biasanya kakaknya itu dari perpustakaan pulang dulu sebentar, sebelum berangkat ke kedai kopi. Kadang juga langsung pergi ke kedai tanpa pulang. Kalau sampai hari ini Lintang pulang dulu, berarti Kian tak perlu repot-repot menginap di sini malam ini. Karena Lintang pasti sudah membaca surat itu saat ia pulang sebentar nanti. Huff .... Kian lagi-lagi mendengkus bosan. Ia menggeliat dengan bebas. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Segera diambilnya benda hitam itu dari dalam tas. Kian terbelalak begitu mengetahui siapa yang menelpon. "Lintang kenapa telepon aku?" Pikiran Kian segera menyimpulkan bahwa kakaknya itu memang pulang sebentar sebelum ke kedai kopi. Sekarang posisinya Lintang sudah membaca surat itu. Dan sekarang ... ia menelepon untuk membicarakan masalah perdamaian mereka. Butuh sedikit waktu untuk Kian mengangkat telpon itu. Tapi akhirnya dia mengangkatnya juga. "H-Halo." "Kian ...." Kian mengernyit. Itu bukan suara kakaknya. Melainkan suara Paman Ichal. "Paman ... aku pikir Lintang. Kenapa Paman menelepon dari ponselnya Lintang?" "Kian, cepat lah ke rumah sakit! Kakakmu ...." Kian mematung mendengar penjelasan Paman Ichal di telepon. Tanpa tunggu apa-apa lagi, ia segera berlari keluar dari game center. Paman Ichal tak menyebutkan nama rumah sakitnya. Kian juga tak punya waktu untuk menelepon lagi dan menanyakannya. Ia terlalu bingung dan kalut. Kian hanya mengira-ngira mungkin ke rumah sakit itu. Karena rumah sakit itu lah yang paling dekat dengan perpustakaan dan rumah mereka. Sampai di sana, Kian tergesa bertanya pada receptionist. Beruntung Lintang memang dirawat di sini. Dengan tergesa pula, Kian berlari ke ICU -- tempat dimana Lintang sedang berada sekarang. Kian melihat Paman Ichal berdiri dengan gelisah di depan pintu ICU. Paman Ichal segera memeluk Kian begitu ia datang. Kian justru semakin takut setelah Paman Ichal melakukan ini. Apa yang terjadi pada Lintang, sehingga membuat pamannya sekhawatir ini? "Kakakmu ... dia sakit, Kian! Dia ... neuroma. Sudah stadium akhir, dan dia tak mengatakannya pada siapa pun. Dia sudah terlihat sakit saat tiba ke perpustakaan. Aku memintanya untuk beristirahat, tapi dia menolak. Tadi saat dia akan pulang, aku memaksanya untuk mau diantar. Aku tidak tega. Kau tahu? Dia menangis membaca surat darimu. Setelah itu dia mimisan hebat, kemudian jatuh pingsan. Langsung kubawa dia ke sini. Dokter yang memberitahuku kondisinya. Kakakmu itu benar-benar bodoh!" Paman Ichal meluapkan segala emosinya. Jantung Kian seakan berhenti berdetak. Dunia di sekitarnya juga seakan berhenti berputar. Kenangan masa lalu indah saat mereka masih kecil, seakan berputar secara otomatis di otak Kian. Bergantian dengan saat Kian mulai membenci Lintang, hingga kemarin saat ia mengepruk game console pemberian kakaknya, tadi pagi saat Kian melihat Lintang mimisan, juga saat ia menulis surat itu. Semuanya melebur menjadi satu. Seperti bioskop yang memutar beberapa film secara bersamaan. Membuat Kian merasa pusing. Rasanya chaos. Kian sadar dia sudah begitu egois selama ini. 'Tuhan, setelah aku mulai memaafkan kakakku, kenapa semua justru begini? Apa rencana-Mu dibalik semua ini?' *** Lintang yang telah koma selama empat hari akhirnya tersadar. Ia tersenyum saat tahu bahwa Kian - lah yang menungguinya. Kian menggenggam tangan Lintang dengan erat. "Mas ...." lirihnya. "Terima kasih sudah memaafkanku." "Aku yang seharusnya minta maaf, Mas. Maafkan aku." "Kita sama-sama salah, Kian. Aku senang kau memaafkanku. Dan aku sudah memaafkanmu tanpa kau harus memintanya." Air mata Kian kembali menetes. Entah sudah yang keberapa kali. Lintang mengangkat tangannya. Untuk melakukan hal itu dia terlihat begitu kesulitan. Jangankan mengangkat tangan. Bicara saja ia sudah terlihat sangat kesulitan. Lintang menghapus air mata Kian. "Selamat ulang tahun, Mas!" Kian akhirnya mengucapkannya. Meski pun terlambat tiga hari karena Lintang belum sadarkan diri juga selama itu. "Terima kasih," jawab Lintang. "Maaf aku tak memberimu kado." "Kau sudah memberiku. Dengan memaafkanku. Itu adalah kado yang paling berharga. Terima kasih." Kian kembali menggenggam tangan kakaknya dengan erat, seraya mengangguk. "Temani Mas terus, ya! Kau mau, kan?" pinta Lintang. Kian mengangguk mantap. Ditatapnya mata sang Kakak yang perlahan terpejam kembali. *** Lintang dan Kian kecil berbaring di rerumputan di halaman belakang rumah mereka. Sang Ibu sedang memasak, dan sang Ayah sedang membangun tenda. Besok libur hari pahlawan. Mereka semua memutuskan untuk camping sederhana di sini. Bintang-bintang di langit bersinar terang. Memacu sang Adik untuk menyanyikan lagu 'Bintang Kejora'. Suara kecil itu mengalun nyaring sampai lagu habis. Sang Kakak segera bertepuk tangan mengetahui adiknya sudah pintar bernyanyi. "Kau pintar!" pujinya. "Bu Gulu mengajaliku di cekolah. Aku cangat cuka lagu itu kalena judul dan liliknya hampil cama dengan nama, Math Lintang," ucap sang Adik yang masih cadel. Lintang terkikik mendengarnya. "Memangnya judulnya apa?" tanya Lintang. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu dan hapal lagu itu. "Judulnya 'Bintang Kejola'. Dulu aku cempat cebal kenapa, kok, judulnya itu. Kenapa tidak 'Lintang Kejola' caja? Atau, kenapa dulu nama Math, ko. 'Lintang'? Kenapa bukan 'Bintang' caja? Padahal Math, kan, belcinal cepelti Bintang." Lintang dengan sukses terbahak sekarang. Iaa selalu senang mendengar celotehan adiknya yang masih kecil tapi sudah pandai berdebat itu. Ternyata selain pandai berdebat, ia juga pandai menggombal. "'Lintang' dan 'Bintang' itu sama saja, kok," terang Lintang. "Benal kah? "Iya. 'Lintang' itu bahasa Jawa. Kalau dibahasa Indonesia - kan, namaku jadi 'Bintang'." Lintang menjelaskan semuanya dengan sabar. Orang tua mereka terkikik mendengar obrolan anak-anak mereka dari kejauhan. "Wah, ya cudah. Kalau begitu, mulai cekalang, lagu 'Bintang Kejola', Kian ubah judulnya menjadi 'Lintang Kejola'." Lagi - lagi Lintang tertawa keras karena celotehan adiknya. "Baik - baik ... bagaimana kalau kau menyanyikan lagu itu lagi sekarang? Lirik 'Bintang', diganti semua menjadi 'Lintang'!" "Oke!" Kian setuju. Lalu dia mulai berhitung. "Satu, dua, tiga .... Kupandang langit, penuh Lintang beltabulan Belkellap-kellip ceumpama intan bellian Tampak cebuah lebih telang cahayanya~ Itu lah Lintangku, Lintang Kejola yang indah celalu ..... *** Garlanda tersenyum dalam tidurnya. Meski mimpi itu begitu memilukan. Terutama dalam karakter yang merupakan dirinya, Lintang. Tapi ini sudah termasuk mimpi yang indah baginya. Karena ... perasaan Garlanda mengatakan, ia akan segera mengalami ... mimpi yang buruk itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD