Episode 3 -

1618 Words
Tak terasa ini sudah jam 12 tepat. Meski pun kedai masih ramai, tapi si Bos bukan lah orang yang serakah. Dia akan tetap menutup kedainya. Dia juga kasihan pada Lintang bila terus bekerja. Setelah sukses membuat para gadis itu pergi, atau lebih kasarnya mengusir mereka secara halus, si Bos pun segera memberi Lintang bonus untuk hari ini. "Terima kasih," kata Lintang segera, setelah menerima gaji sekaligus bonusnya. Setiap hari dia memang mendapat bonus seperti ini. Hitung-hitung balas budi, karena Lintang, kedai ini jadi ramai pengunjung. "Tidak perlu berterima kasih. Itu hak kamu. Nanti kalau pendapatan kedai sudah lebih banyak, aku juga akan memberimu lebih banyak. Doakan saja kedai ini ramai terus!" "Iya, Bos. Pasti." "Ya sudah, pulang lah! Adik kamu pasti sudah menunggu. Lagi pula kau terlihat lelah. Jaga lah kesehatan, jangan sampai sakit! Kau, kan, asetku yang paling besar." Si Bos terkekeh mengakhiri kata-katanya. Lintang hanya tertawa mendengar candaan bosnya. Meski tersirat kesedihan di matanya. Entah karena apa. "Iya, Bos. Aku permisi." Lintang mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kedai. Menunggu bus yang akan mengantarkannya pulang. Sampai rumah, Lintang selalu sempat menengok Kian dulu di kamarnya. Ia sudah tidur. Lintang tersenyum tipis memandang wajah damai adiknya saat tertidur lelap seperti itu. Dia juga senang karena ternyata Kian memainkan game pemberiannya. Bahkan hingga detik ini pun, Game console itu masih berada di tangan Kian. Pasti tadi Kian asyik bermain sampai ketiduran. Lintang pun segera mengambil game console itu. Lintang iseng melihat isi game-nya. Ternyata Kian sudah mencapai level yang lumayan tinggi. Cepat sekali. Padahal hanya salam kurun waktu satu hari. Kemampuan anak itu dalam bermain game memang luar biasa. Ajaibnya, prestasinya tak pernah turun meskipun dia jarang sekali belajar. *** Rutinitas pagi Lintang; membangunkan Kian, bersih-bersih, dan membuat sarapan. Salah Lintang memang, karena dia terlalu memanjakan Kian. Hingga ia melakukan semua urusan sendiri. Suasana sarapan selalu monoton. Hanya suara sendok yang menari di atas piring. Saat sarapan habis, Kian segera pergi tanpa pamit. Hal itu sudah biasa dihadapi Lintang. Dia hanya menatap nanar Kian yang sudah melenggang pergi. Selanjutnya, Lintang juga segera beranjak. Setelah membereskan meja makan, dia juga keluar. Almarhum orang tuanya mewariskan sebuah perpustakaan sederhana. Setiap hari Lintang pergi ke sana untuk membantu pamannya mengelola perpustakaan itu. "Paman!" sapa Lintang begitu dia sampai. "Pst ... pelankan suaramu!" seru sang Paman. "Hehe." Lintang hanya terkekeh dan segera ikut duduk dengan pamannya di bangku pustakawan. "Tumben kau datang siang!" Sang Paman membuka pembicaraan tanpa mengalihkan mukanya dari buku yang sedang dibacanya. Tentu saja dia juga mengontrol volume suaranya selirih mungkin. Takut mengganggu pengunjung. "Iya. Hari ini aku bangun kesiangan." "Apa semalam kedai kopi tutup terlalu larut?" "Tidak. Tutup seperti biasa, kok." "Hmh ... pasti Kian membuatmu pusing lagi, kan?" "Tidak." "Anak itu butuh dididik, Tang!" Sang Paman menutup bukunya. Dia mulai memperhatikan keponakannya. Dia mengernyit heran. "Paman perhatikan, kau semakin kurus." "Benar kah?" Lintang sok tak menyadari perubahan dirinya sendiri. Padahal ia tahu dengan betul setiap perubahan dalam dirinya. "Kau pasti terlalu lelah. Sudah lah, biar paman saja yang jaga perpustakaan. Kau istirahat lah di rumah. Bukannya seperti itu lebih enak?" "Tidak enak, Paman! Aku terlihat seperti orang tak berguna kalau di rumah saja." Sang paman segera berdecak kesal. "Kau benar-benar menuruni sifat ayahmu seratus persen! Keras kepala, dan sok kuat! Seorang pekerja keras yang bekerja dengan terlalu keras." "Tidak. Aku mirip Ibu, kok. Hehe." Pasangan paman dan keponakan itu segera berhenti ngobrol saat seseorang datang. Mereka segera berdiri untuk melayani orang itu. "Aku mau pinjam buku-buku ini. Satu minggu, ya!" kata anak berkacamata itu. "Oke." Lintang segera menstempel kartu member yang dibawa anak itu dan mendaftar bukunya. Sementara Lintang sibuk, sang Paman malah asyik memperhatikan bocah berkaca mata itu. Sang Paman juga mencuri pandang melihat nama di kartu member anak itu. Namanya Dion. Bocah itu mulai merasa tak nyaman karena terus-menerus diperhatikan. "Apa ada yang salah denganku, Paman?" "Tidak. Tidak ada yang salah. Kau bukannya siswa SMAN 6? Namamu Dion, kan?" "Iya. Aku sering ke sini, kok, Paman!" "Iya aku tahu. Makanya aku menghapalmu," jawab Paman. "Ini, kan, masih jam pelajaran, apa kau tidak sekolah?" "Sekolahku libur empat hari. Karena kelas 12 sedang UAN." "Benar, kah?" Lintang segera menyahut. "Tapi tadi adikku masuk sekolah!" bingungnya. "Siapa? Kian, ya?" tanya Dion. Lintang segera mengangguk. Ia sebenarnya heran kenapa anak ini bisa tahu kalau Kian adalah adiknya. Tapi ia lebih penasaran, kenapa tadi Kian berangkat dengan seragam? Lalu ke mana anak itu pergi? "Kau jangan heran kenapa aku mengetahui tentang Kian, Mas Lintang!" ucap anak itu penuh percaya diri. "Mas itu sangat populer di sekolah kami. Banyak teman wanitaku yang naksir sama Mas. Hehe. Mungkin Kian sedang main ke game center." Lintang hanya memberikan senyuman pada anak itu. Ia sebenarnya sangat ingin berterimakasih karena telah memberitahunya informasi penting ini. Tapi ia hanya sedih, kenapa Kian tidak terus terang saja padanya kalau hari ini libur. Padahal, kan, tidak apa-apa kalau dia main keluar. Kenapa harus keluar dengan seragam sekolah, layaknya ia benar-benar akan sekolah. Setelah Dion pergi, sang Paman segera menyenggol bahu Lintang. "Sudah, jangan dipikirkan! Adikmu sudah besar. Dia pasti bisa jaga diri." Paman berusaha keras menenangkan Lintang. Lagi-lagi Lintang hanya tersenyum. Meskipun Paman tahu kalau senyuman itu palsu. Paman berjanji dalam hati kalau cepat atau lambat, dia akan menemui Kian. Mereka harus bicara empat mata. *** Lintang langsung menuju ke kedai kopi setelah perpustakaan tutup. Saat itulah sang Paman memiliki kesempatan untuk pergi ke rumahnya tanpa sepengetahuan pemuda itu. Ia menjalankan niat untuk bicara empat mata dengan Kian. Lelaki paruh baya itu memiliki kunci duplikat rumah ini. Jadi, ia tak perlu repot-repot mengetuk pintu. Dilihatnya keponakan bungsunya yang lagi-lagi sedang asyik main game. "Paman Ichal!" seru Kian. "Iya ini aku. Paman ingin bicara." "Ya sudah bicara saja!" Hening. Sang Paman sengaja mendiamkan Kian agar anak itu sedikit merasa. Sekaligus memberinya pelajaran. Bahwa bicara dengan orang tua harus sopan. Setidaknya ia harus menatap muka lawan bicaranya. Untung lah, ternyata Kian bukan manusia berhati batu. Ia akhirnya menyudahi game-nya, kemudian menatap sang Paman. "Oke, bicara lah, Paman! Akan aku dengarkan dengan saksama dan sepenuh hati!" Kian melipat kedua tangan di d**a, muka datarnya terlihat kesal, ditambah nada sarkasme yang kentara. "Ini tentang Lintang!" tegas Paman. Air muka Kian berubah. Bukan membaik, justru semakin buruk. Rasa kesalnya naik dua kali lipat. Kenapa akhir-akhir ini orang-orang sering sekali membicarakan Lintang? Apa tidak ada topik bahasan lain? Apa di dunia ini yang mereka tahu hanya Lintang? "Kenapa lagi, sih, Paman? Aku sudah lelah membicarakannya!" "Hey, Anak Kecil, dia itu kakakmu. Kalian tinggal seatap. Mana bisa kalian hidup seperti ini terus menerus?" omelnya. Ia lalu terdiam, membiarkan Kian untuk berpikir. Kemudian melontarkan dua kata sebagai eksekusi. "Maafkan lah dia!" "Memaafkan orang yang sudah membunuh orang tuaku? Cih ... tidak akan pernah! Kalau alasan Paman adalah karena kami tinggal seatap, aku bisa pergi dari rumah ini." "Bicara apa kau ini? Mana boleh kau bersikap seperti ini? Oke. Kau boleh marah padanya. Tapi ingat lah satu hal! Setiap orang mempunyai hak untuk dimaafkan. Dia sudah menyesali perbuatannya. Maka kau harus memaafkannya. Sangat tidak adil bila kau memperlakukannya seperti ini terus-menerus. Lagi pula, kau tahu dengan pasti kalau kejadian itu memang kecelakaan, bukan? Itu semua sudah takdir yang digariskan. Kau mau menghakimi Tuhan?" "Cih ... Paman sama saja dengan semua orang. Kenapa semua membelanya, sih?" "Paman tidak membela. Aku hanya memintamu memperlakukannya seperti seorang kakak. Mengerti lah! Kau sudah dewasa, bukan? Paman tahu kalau sekolahmu libur. Paman juga tahu kenapa hari ini kau memakai seragam layaknya akan pergi sekolah. Kau tidak mau Lintang menanyaimu macam-macam, kan? Kau tidak ingin Lintang bicara padamu, kan? Kau ini kenapa, sih, Kian?" "Terserah Paman saja, deh! Dari dulu Paman memang hanya peduli pada perasaan Lintang. Mana pernah peduli pada perasaanku." Kian mendengkus kesal dan kembali sibuk memainkan game-nya. Sesungguhnya Kian sedang berusaha menutupi kebingungannya. Bagaimana sang Paman bisa tahu kalau hari ini dia tidak pergi sekolah? Tentang alasan di balik kenapa ia memakai seragam, layaknya dia akan pergi sekolah. Kian memencet tombol yang ada di game-nya sembarangan. Sampai permainannya yang sudah sampai jauh itu game over. "Paman pamit. Paman harap kau bisa memikirkan kata-kata Paman." Paman benar-benar melenggang pergi setelahnya. Ia benar-benar berharap bahwa kali ini Kian mau mengerti. Seperginya Paman dari sana, Kian melampiaskan kekesalan tertahan. Ia melempar game console-nya ke tembok dengan sepenuh tenaga, hingga menimbulkan suara yang keras. Alhasil benda berbentuk persegi panjang itu hancur. Kian marah. Benar-benar marah. Kian pergi ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia merebahkan diri ke kasur. Berharap dengan begini, amarahnya bisa mereda. Ia ingin menenangkan diri. Sejujurnya, Kian juga tak ingin marah sampai berlarut-larut pada Lintang. Tapi egonya berkata lain. Egonya lebih besar dan kuat. Ingin rasanya dia mengatakan bahwa dia sudah tidak marah pada Lintang. Tapi setiap akan mengatakan itu, ia selalu mundur. Rasanya tak sanggup. Seakan kata-katanya tercekat di tenggorokan. Ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Ia selalu marah bila orang lain membicarakan Lintang. Apa karena ia iri? Kian merasa tidak seperti itu. Dia tidak pernah iri dengan kakaknya. Kian selalu merasa sakit saat tahu kakaknya pulang larut setiap hari. Mengingat kondisinya yang sudah tak seperti dulu lagi. Cara berjalannya selalu membuat Kian merasa sedih. Kian ingin Lintang memiliki waktu yang panjang untuk beristirahat. Ia ingin bermanja-manja seperti dulu. Ia ingin membantu Lintang membereskan rumah. Sayang semua keinginan itu, hanya bertahan sebagai sebuah keinginan. Karena Kian tidak pernah bisa merealisasikannya. Semua sudah terlanjur. Sudah terlalu lama ia bersikap dingin pada Lintang. Ia ... tidak tahu bagaimana caranya memulai lagi dari awal. Meski Lintang sering sekali mengajaknya bicara. Tapi Kian tak pernah bisa mengontrol lidahnya untuk tidak menjawab dengan ketus pada Lintang. Jujur Kian sendiri selalu sakit saat dia menyakiti hati Lintang. Kian menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Berharap akan datang sebuah keajaiban yang bisa memberinya kekuatan untuk saling memaafkan dengan kakak satu-satunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD