Begitu Alven dan Nadira pergi, suasana Solaria masih panas. Beberapa pengunjung berbisik, sebagian lagi menatap ke arah Tian yang masih duduk santai di kursinya. Di sebelahnya, Juminten berdiri kaku, wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Tangan perempuan itu gemetar, matanya berkaca-kaca antara marah dan malu. Dia enggak menyangka Alven bakal pergi gitu aja—ninggalin dia sendirian setelah ribut besar. Terlebih lagi, Nadira tadi sempat buka semua aib di depan umum. Nafasnya terasa sesak, apalagi ketika dia sadar semua orang di situ sudah lihat siapa dirinya. Tian duduk bersandar, santai seolah baru selesai nonton pertunjukan lucu. Ia menyilangkan tangan di d**a, lalu menatap Juminten dengan tatapan meremehkan. “Hebat ya, Juminten,” katanya datar tapi penuh sindiran. “Sekarang udah jad

