Bangunan petak panjang itu kosong, sebab memang Yazid meminta agar calon angkatan prajurit keluar terlebih dahulu dari tempat penginapan mereka. Katil- katil yang tersusun memanjang seluruhnya rapi, dan barang- barang para pemuda itu sebagian teronggok di samping tempat tidur mereka. Mereka semua tampak pucat dan agak takut tatkala Yazid beserta Alif masuk ke penginapan itu, kalau- kalau disangka telah berbuat yang tidak baik. Terlebih lagi bila mereka disangkut- pautkan dengan kematian Zainal, salah seorang kawan mereka.
Alif menunjukkan katil yang ditiduri Zainal, dan ia beserta Yazid melangkah kaki dengan tegap ke sana. Tempat tidurnya memang bekas ditiduri, namun tak ada bekas atau bercak darah pembunuhan yang tampak di sana. Kelihatannya orang yang telah melakukan kejahatan itu sudah begitu lihai dan licin menghindari masalah- masalah seperti itu, dan sudah sering pula melakukannya. Alif tampak memeriksa sisi- sisi kasur dan membuka almari kepunyaan Zainal, sedangkan Yazid memusatkan perhatiannya pada buntalan dari kulit yang membungkus barang- barang kecil milik pemuda yang mati itu.
“Lihatlah, Alif,” gumam Yazid seraya mengeluarkan sebuah kantung dari buntalan itu. Ia mengguncang- guncangkan kantung yang berat itu, dan terdengarlah bunyi gemerincing dari sana.
“Emas?” tanya Alif.
“Tepat sekali,” kata Yazid. Ia menarik tali yang mengelilingi bibir kantung itu, sehingga kantungnya membuka. Tangannya menyuruk ke dalam, dan mengeluarkan sekeping logam kuning bercahaya. “Aku tak yakin sama sekali kalau Zainal berasal dari keluarga berada.”
“Memang bukan, Tuanku Yazid.”
“Nah, jikalau pun ia beruntung dari kerjanya sebelum menjadi angkatan muda, tak ada gunanya membawa- bawa sekantung emas dalam lipat barangnya sejak mula mengikuti pelatihan, sebab itu tentu akan memancing orang- orang yang ingin mencuri emas ini. Ia akan diintai bahaya. Dan tiada penjelasan lain perihal ini selain bahwa ia baru memiliki sekantung emas akhir- akhir ini.”
Kening Alif mengernyit. “Apa menurut Tuanku Yazid, ada seseorang yang telah membayar Zainal untuk membakar gudang itu?”
“Kau sependapat denganku, Alif. Engkau tentu ingat bahwa Ayahmu, Panglima Gafar juga mengira bahwa Zainal dibunuh untuk tutup mulut?” ujarnya sambil menimang- nimang emas itu, “Dengan adanya ini, maka jelas sekali ia tak hanya disuruh tutup mulut karena ia yang telah membakar, tapi juga karena ia disuruh untuk melakukan itu dengan bayaran yang teramat besar.”
“Sepertinya orang yang menyuruh itu adalah pejabat istana atau salah seorang menteri, Tuanku. Sebab saudagar sekalipun takkan mau membayar dengan harga tinggi untuk pekerjaan kecil dan remeh begitu.”
“Bukan hanya pejabat istana atau menteri, tapi semua anggota kerajaan patut kita curigai, apapun kedudukannya,” kata Yazid membetulkan. “Alif, aku ingin engkau membantuku untuk beberapa hal.”
“Apapun siap saya laksanakan, Tuanku Yazid.”
“Bagus sekali. Aku ingin gelanggang tetap kita lanjutkan esok hari sebagaimana titah Baginda, dan engkaulah yang akan mengatur persoalan segala pertandingan mulai dari esok hingga gelanggang selesai,” tegasnya.
“Siap, Tuanku,” angguk Alif.
“Aku sendiri akan mempercepat pembuatan kapal bersama Tuan Samir Sajid dan Opu Daeng Majo. Untuk keperluan pembinaan kapal nanti, aku juga akan membutuhkan bantuan dari Ayahmu untuk memusyawarahkan ini dengan kedua perancang dan pembina kapal kita, sebab beliaulah yang paling banyak bercakap langsung dengan ayahku tentang rencana kapal perang kita sehingga tahu benar keinginan Baginda. Ayahmu juga seorang panglima sehingga lebih paham seperti apa kapal yang sesuai dengan kekuatan pasukan Sepinang. Jadi undanglah Ayahmu untuk datang padaku besok dan mohonlah pada beliau agar mengesampingkan pekerjaan yang lain terlebih dahulu. Katakanlah bahwa ini perkara yang sangat penting dan mendesak.”
***
Satu hari itu sungguh hari yang melelahkan dan menguras pikiran untuk kerajaan Sepinang. Sementara Yazid, Alif dan beberapa prajurit utama disibukkan oleh kematian Zainal dan pengungkapan masalah itu, Baginda dan Panglima berbicara empat mata mengenai hal- hal yang tengah berpusar di negeri saat ini. Beberapa kejadian yang mengaru ketentraman Sepinang, serta kebingungan tentang gerak- gerik Sri Diraja Pulau Besar yang masih menjadi teka- teki membuat kedua tetua pemimpin itu berkirim surat ke beberapa negeri jiran. Mereka mencari kabar tentang keadaan jiran mereka, dan kapan terakhir kali jiran itu berhubungan langsung dengan penguasa Pulau Besar. Tepat saat gelanggang negeri dihentikan, Baginda juga meminta penjagaan batas wilayah diperketat dan jumlahnya ditambah. Petang usai penguburan Zainal, Panglima berkelana menyusuri laut menuju pulau- pulau lain yang ada dalam kekuasaan Pulau Besar. Ia menyamar sebagai pedagang, serta berbincang banyak dengan nelayan dan rakyat biasa.
Tak ada yang merasa tenteram saat hidangan makan di malam harinya. Semua berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing- masing. Putri Syahidah juga masih tampak terkejut dengan penemuan mayat Zainal pagi tadi, sebab wajahnya masih pasi. Sementara Badruddin, terus saja mengunyah makanan di depannya, menurutkan keheningan yang menjalar diam- diam bagaikan wabah di meja makan itu.
Lepas shalat Isya, Baginda Syamsir Alam Syah mengumpulkan kedua putranya untuk berembuk di balai pertemuan. Malam itu tiada panas ataupun dingin, tapi rasanya bila kala itu angin bertiup pun takkanlah semencekam keadaan sekarang keadaannya. Muka Baginda tegang, tubuhnya kaku menatap anak lelakinya itu silih berganti.
“Aku tidak akan memperpanjang kata,” Baginda memulai. “Kalian tentu sudah mengetahui, bahwa akhir- akhir ini, dalam waktu yang amat pendek telah terjadi dua kejadian : kebakaran gudang dan ditemukannya mayat salah satu angkatan muda. Ditambah lagi dengan surat mengenai tambahan pajak yang begitu tiba- tiba dikirimkan Sri Diraja Pulau Besar.”
Selagi Ayahandanya berbicara itu, kepala Yazid yang menekur melirik sekali pada adiknya, Badruddin. Pemuda ramping dan bertubuh terlatih itu juga hanya menekurkan kepala, dan Yazid sama sekali tiada dapat menebak raut mukanya tatkala Ayahanda mereka menyebut- nyebut pembakaran dan pembunuhán itu. Yazid memang belum memberitahu Baginda perihal kemungkinan Zainal sebagai pelaku pembakaran. Ia tiada mau bersikap gegabah dan ingin menyimpan dalam dirinya dulu.
Baginda pun melanjutkan, “Meski ini hanyalah hal- hal yang tampak di pelupuk mata, aku yakin benar masih ada yang tersembunyi dari penglihatan kita. Entah itu musuh dalam selimut, kawan ataupun lawan, kita tiada dapat menerka apa sebenarnya yang tengah bergolak sebelum benar- benar mencari tahu. Dan kalian tentu mafhum bahwa kita sudah melakukan banyak usaha untuk menyelesaikan masalah yang tampak tak kait- berkait itu.”
“Maafkan saya, Baginda Ayah,” kata Badruddin menyela, “Saya tidak ingin memotong ucapan- ucapan Baginda Ayah, namun bila berkenan izinkanlah saya menyampaikan beberapa pendapat.”
“Utarakanlah.”
Badruddin menelan ludahnya, dan mulai berbicara. “Baginda Ayah tentu sangat ingat dengan rencana pembinaan kapal perang kita, sebagaimana yang Baginda Ayah sampaikan di masa dulu bahwa kita mesti bersiap- siap dengan segala keadaan. Penguasa Pulau Besar sangat menginginkan Sepinang dan Seperca kembali dalam genggamannya, dan oleh sebab itulah kita mengusahakan kapal kita dibina selekas mungkin.”
“Benar sekali.”
“Baginda Ayah juga tahu pasti pembakaran gudang itu nyaris saja menghanguskan bahan perkapalan kita, bila saja waktu itu satuan keamanan kita tidak bekerja dengan sigap. Ditambah lagi dengan ditemukannya mayat Zainal, yang merupakan angkatan muda prajurit istana. Maksud saya –sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal keamanan –tentu penjaga batas sudah bertindak semampunya. Namun keamanan para prajurit tak hanya ada di tangan mereka sendiri, namun juga menjadi kewajiban pemimpin mereka.”
Baginda Raja menggeleng dengan tidak sabar. “Perjelas maksudmu, Badruddin!”
“Baginda Ayah,” ucapnya lembut, “Saya sama sekali tidak berniat membebankan apa yang sudah berlalu pada siapapun. Namun bila orang yang bertanggung jawab dalam pembinaan kapal dan pelatihan angkatan muda tiada mampu menyelesaikan tugasnya, maka sudah pasti suatu saat semua prajurit muda kita akan terbunuh dan negeri kita akan hancur.”
Yazid mendengarkan kata demi kata yang ditutur adiknya dengan telinga tajam, dan kemarahan mulai menggelegak dalam dadánya ketika mengetahui jalan pikiran Badruddin itu. Namun ia terus duduk dengan tenang tanpa menyela sepatah kata pun.
“Jadi maksud engkau, semua ini seharusnya menjadi tugas si penanggung jawab pembinaan kapal dan pelatihan angkatan muda? Begitukah?” tanya Raja Syamsir Alam dengan alis menaik.
“Benar, Baginda Ayah. Bila bukan karena ketidakpandaiannya, tentu hal semacam ini takkan ada. Dan kalau ini dibiarkan, maka dengan keberdayaannya Sri Diraja Pulau Besar akan dapat mengembalikan kekuasaannya lagi di sini, suatu saat nanti.”
“Hati- hati dengan ucapanmu, Badruddin,” kata Raja Syamsir. “Jangan mengambil kesimpulan sebelum kita mampu menariknya.”
“Tetapi memang begitulah kenyataannya, Baginda Ayah! Dan kita harus segera menempatkan tugas yang sesuai untuk orang yang sesuai sebelum apa yang kita takutkan mewujud.”
“Tidakkah itu artinya engkau menyalahkan aku, Badruddin,” kata Yazid dengan dingin. “Begitu?”
Badruddin menoleh sekejap pada kakaknya. “Saya tidak mengatakan apapun tentang Kakaknda Yazid. Namun bila Kakanda merasa seperti itu, maka saya tidak akan menyangkalnya.”
“Badruddin, kau—“
“Sudah berapa kali aku mengatakan kalau aku tidak suka berbantah- bantahan saat perembukan?!” suara lantang Baginda menggelegar di balai pertemuan itu. “Kita sedang mencari penyelesaian, bukan mencari siapa yang dapat dituduh! Dan engkau, Badruddin, aku tidak memberimu hak untuk berteriak- teriak di hadapanku!”
Badruddin mengerut, lalu mengucapkan permohonan maaf pada Ayahandanya –begitu pula dengan Yazid Alam.
“Kita semua sudah lelah dan berkepala panas. Lebih baik pembicaraan kita lanjutkan besok pagi selepas makan, sebab terus berembuk di saat begini tiada berguna. Yazid?”
“Iya, Ayahanda?”
“Aku tahu kalau engkau sudah bekerja sebaik mungkin, tapi ada kebenaran dalam perkataan Badurddin. Semua masalah ini sudah semestinya ada di pundakmu sebagai orang yang yang kutunjuk dalam hal pembinaan kapal dan pelatihan.”
Yazid menunduk sopan. “Ayahanda, aku masih menemukan siapa pelaku pembakaran gudang itu. Dan malang tak dapat ditolak, pelakunya adalah prajurit muda yang terbunuh itu, Ayahanda.”
“Apa?”
“Benar sekali, Ayahanda. Sebab itulah, aku merasa dua kejadian ini tidaklah terpisah, melainkan satu rupa jua. Pembunuhannya dilakukan oleh orang yang jelas telah menyuruhnya membakar. Aku dan Alif juga menemukan sekantung emas dalam barang- barang prajurit itu, yang artinya ia sudah dibayar sebelum itu.”
Raja Syamsir Alam meremas- remas tangannya sendiri. Jelas semua berita Yazid itu mengganggunya, namun sebisa mungkin ia kembalikan ketenangannya lagi.
“Teruskan pencarianmu, Yazid. Dan mulailah pembinaan kapal secepat mungkin. Engkau, Badruddin, pastikan gelaran gelanggang kita berjalan dengan baik. Awasi pasar induk dan tambah orang- orang yang dapat engkau percaya untuk menjaga tiap sudut- sudut dermaga. Perhatikan dengan cermat saudagar- saudagar dagang yang sering kemari. Semoga saja ini bukan perbuatan orang- orang luar sebagaikan jiran kita atau orang Pulau Besar. Pembicaraan ini akan kita lanjutkan besok.”
***
Sementara itu di salah satu sudut dapur istana, Nilam asyik mengaduk- aduk minuman hangat yang ia buatkan untuk Syahidah. Sendok berdenting- denting, beradu dengan gelas perak tanpa ia perhatikan benar, sebab di kepalanya masih terbayang raut kaku Zainal saat ditemukan di hilir sungai tadi. Mata pemuda itu terbelalak, memancarkan kengerian yang sangat dalam, sedangkan luka menganga di lehernya terus dibasuh- basuh air sungai yang mengalir –menguraikan warna merah yang hanyut terbawa arus.
Sungguh keji sekali orang yang telah melakukan itu pada Zainal.
Setitik rasa iba dan kasih terbit di hati Nilam. Biar bagaimana tabiat pemuda itu, mereka berdua sudah berkawan sejak kecil lagi. Keburukannya seakan menguap bagai asap apabila ia ingat pemuda itu sering menanyai kabarnya. Zainal juga menyukainya, meski Nilam tak mau menerima pinangannya akibat perangai buruk pemuda itu. Ia juga beberapa kali menghasut Nilam perkara kesukaan hatinya pada Tuanku Hamid Yusuf. Ah, tak dapat terlukiskan dalam hati Nilam bagaimana semestinya ia menanggapi kematian kawannya itu.
Dan kini, ada pula orang yang tega menghabisinya tanpa ampun. Tanpa angin, tanpa kabar, tanpa sebab- musabab.
Mendadak Nilam berhenti mengaduk. Ia ingat, bukankah malam sebelumnya Zainal tampak seperti orang yang hilang pikiran? Ia begitu takut dan gelisah. Wajahnya pun pasi dan berkeringat. Zainal juga meminta tolong kepadanya, namun bibirnya langsung terkatup rapat tatkala ada burung yang mengusai- ngusai dedaunan pohon, seakan risau ada orang yang mendengar percakapan mereka. Nilam juga ingat benar betapa terlonjaknya Zainal saat mendengar gemerisik daun waktu itu.
Nilam membawa nampan minuman langsung ke bilik kamar Syahidah beristirahat.
“Ini minumannya, Engku,” katanya sambil meletakkan cangkir perak di atas meja.
“Terima kasih, Nilam,” sahut Syahidah. Ia terbatuk satu- dua kali sebelum menyesap minumannya.
“Saya lihat Engku Putri kelihatan tidak begitu baik. Untunglah masanya tepat dengan saya membuatkan minuman ini. Ada apa gerangan, Engku?”
Syahidah meletakkan cangkirnya lagi. “Entahlah, Nilam. Sepertinya aku sama merasa terguncangnya dengan dirimu ketika melihat mayat Zainal tadi pagi. Kepalaku juga pusing sejak pagi sepulang kita dari gelanggang tadi, dan sulit rasanya bagiku untuk tidur.”
“Memang, Engku Putri. Negeri kita tidaklah acap diterpa musibah ganjil semacam ini. Wajar saja bila kita semua merasa tidak enak. Tapi saya lihat dari rona wajah Engku Putri, sepertinya Engku juga banyak pikiran. Adakah yang terpikir yang ingin Engku bagi cerita pada saya sekarang? Biar berkurang juga beban di hati Engku.”
Putri Syahidah menghela napas. “Memang benar. Kepalaku kini dipenuhi oleh banyak hal, namun sulit bagiku untuk menceritakannya padamu sekarang.”
“Tiada mengapa, Engku. Engku bisa menceritakan pada saya di lain waktu.”
“Nah, sepertinya pula, aku lihat pasal tadi pagi telah mempengaruhi engkau sama banyaknya denganku?”
Nilam mengangguk. “Saya sudah kenal Zainal sejak lama, Engku. Sulit bagi saya untuk mempercayai ia telah meninggal dalam keadaan begitu.”
“Aku paham perasaanmu. Sudah banyak yang kita lewati hari ini, dan seluruhnya sungguh memeningkan kepala. Semoga kita semua dapat terhindar dari badai bencana. Istirahatlah Nilam, masuklah ke bilikmu. Aku pun akan segera tidur setelah menghabiskan minumanku.”
“Baik, Engku. Engku pun beristirahatlah yang baik.” Nilam lalu mengucapkan salam dan menutup pintu kamar Syahidah.