Masa Silam

1741 Words
Pertama mula Pungguk merindu, berbunyilah guruh mendayu- dayu, hatinya rawan bercampur pilu, seperti dihiris dengan sembilu.   Pungguk bermadah seraya merawan, “Wahai Bulan, terbitlah tuan, Gundahku tidak berketahuan, Keluarlah tercelah awan,” (Syair Burung Pungguk – Hamzah Fansuri)   Dayang Nilam mencari- cari jalan di antara sesak riuhnya pasar induk di Hari Pasar –dimana segala macam pedagang datang dan berkumpul menjual barangan mereka di Sepinang. Tak peduli apatah mereka adalah nelayan atau petani negeri yang menawarkan hasil pekerjaan mereka sepagi petang; atau saudagar- saudagar jauh yang acap datang ke pulau itu menggunakan pencalang membawa kain, minyak wangi, gading, dan keramik. Nilam tiadalah sebenarnya bertugas membeli barang untuk istana; sebab ia merupakan dayang bagi Tuan Putri Syahidah. Memang kadang ada jugalah dia masuk dapur istana bila ada hari- hari besar dan pekerjaan memasak butuh banyak bantuan – itu pun atas seizin Engku Putri. Semua kebutuhannya, sandang dan pangan telah dipenuhi istana sehingga hidup Nilam sangatlah berkecukupan. Akan tetapi hari itu, Nilam teringin hendak membeli beberapa barang keperluannya sendiri. Selain itu pula Engku Putri tengah belajar hari itu, jadi tiada perlu baginya mengawankan Engku Putri kala bersama guru beliau itu. Nilam berputar- putar berkeliling pasar yang ramai. Sebagaimana Tuan Putrinya pula, bukan masalah bagi Nilam kesesakan itu karena dia suka sangat keramaian pasar. Terlebih, pasar yang penuh berarti lebih banyak barang yang dapat dibeli. Nilam berjalan- jalan sekitar orang yang mendagangkan pernak- pernik sebagaikan kalung dan gelang. “Berapakah yang ini satu buah, Pakcik?” tanya Nilam pada si pedagang seraya mengamat- amati sebuah gelang berwarna kuning yang cantik rupanya. Pedagang itu sudah agak tua tampaknya dan bungkuk, namun tatkala Nilam datang menanyai dagangannya, si bapak tua itu menegakkan punggung dengan senyum tersungging. Matanya menatap Nilam tanpa puas, sebagaikan seekor harimau yang akan menerkam mangsa. “Hanya lima belas koin tembaga, saja, gadis cantik,” sahutnya, “Akan tetapi saya bisa turunkan harganya untukmu saja menjadi lima koin.” Pedagang perhiasan itu menjamah tangan Nilam yang sedang berkisar- kisar antara kalung dan gelang. Sontak Nilam terkejut, dan menarik tangannya. “Kenapa Pakcik ini?” tanyanya berang. “Kalau Pakcik tiada mau menurunkan harga bagi saya, tiada mengapa! Tapi jangan sembarangan sentuh saya!” “Amboi, sombongnya gadis ini,” kata tua bangka tak tahu diri itu. Tanpa malu ia lalu meraih pula lengan Nilam dan memegangnya kuat- kuat. “Engkau jangan berlagak sebagai bangsawan, he? Aku tahu pakaianmu bagus, entah- entah kau ini tinggal di istana, ya?” “Benar, Paktua!” tegas Nilam, masih meronta- ronta minta tangannya dilepas. “Saya bisa adukan perbuatan Paktua bila berani terhadap saya!” “Adukan semaumu bila dapat!” balasnya pula. Nilam berteriak minta tolong, namun baik pedagang atau pembeli di pasar itu seakan takut dengan si pedagang kalung itu –seakan- akan ia memang berkuasa di pasar dan tiada seorang yang mampu menentangnya. “Tolong! Lepaskan saya! Tiadakah yang dapat menolong?” teriak Nilam. “Apa yang kalian hanya berdagang sajakah di sini? Tulikah kalian?” Namun, tak seorang pun mengacuhkan kemarahan dan permintaan tolong Nilam. Sekitar los perhiasan itu sepi sekali, dan pedagang lain hanya bisa menunduk. Bila ada satu- dua yang hendak bergerak menolong Nilam, pedagang yang semena- mena itu menghardik mereka. “Apa yang akan kau lakukan, he? Kau berani menentang aku, yang sudah bertahun- tahun berdagang di sini? Hendak cari mati?” Tepekurlah pedagang yang hendak melawan itu, namun matanya masih melirik- lirik benci pada si bapak tua bangka itu—begitu pulalah orang lain di sekitar. Nilam meronta- ronta lagi marah, namun si tua penjual perhiasan itu dengan kuat menarik Nilam agar makin mendekat. Begitu putus asanya Nilam, hampir menghambur air matanya jika saja tangannya tidak dipegang seseorang yang lain. “Hentikan, Pakcik,” kata suara yang dalam nan tegas itu. “Pakcik menyakiti gadis ini, dan saya tidak terima Pakcik seenaknya berbuat seperti itu.” Nilam menoleh, mendapati pemuda yang hampir sebaya dengannya menahan tarikan dari pak tua penjual perhiasan. Kulitnya gelap sebagai sawo matang, tapi pandang matanya tajam menusuk sebab kemarahan. “Siapa engkau, anak muda?” tanya paktua itu sambil menyingsingkan lengan bajunya. Ia hendak menyarangkan tinju pada pemuda ini, namun si pemuda lebih sigap menangkap tinju itu dan memuntirnya sehingga mengaduh kesakitanlah ia. “Saud, bawalah pedagang kurang ajar ini pada pengawas pasar,” kata pemuda itu pada salah satu temannya. “Benarkah ini, Hamid Yusuf?” tanya Saud nan tampak ragu- ragu. “Baiknya jangan kita mencari masalah di negeri orang. Bila ini Seperca, tiadalah mengapa bagiku.” “Lalu apakah engkau akan membiarkan Paktua ini berbuat buruk pada gadis ini, Saud?” “T—tentu tidak, kawan.” “Jangan engkau takut,” tegas pemuda berkulit coklat yang dipanggil Hamid Yusuf itu. “Aku akan ikut menyusul engkau nanti untuk menjelaskan duduk perkaranya.” Ia menyerahkan si Paktua pada Saud dan beberapa kawannya yang lain, sementara ia sendiri masih tinggal bersama Nilam. “Bagaimana keadaaan Puan?” tanyanya. “Apa ada yang terluka akibat ulah bapak tua itu?” Nilam masih terkejut dengan kejadian barusan, namun ia tetap sanggup menggeleng. Tubuhnya gemetar karena tidak percaya dengan perbuatan si pedagang padanya. “Puan,” kata Hamid Yusuf pada Nilam, “Janganlah Puan pergi seorang diri walau siang sekalipun. Memang tidak baik untuk seorang perempuan bepergian di pasar ramai seperti ini.  Bawalah teman, dan kalau perlu Puan membawa sanak Puan yang lelaki agar ada yang menjaga Puan dari sasaran lelaki tidak sopan dan kurang akal sebagai tadi.” Nilam hanya diam seribu bahasa, sebab lidahnya masih kelu untuk berbicara. Hamid Yusuf melihat wajah Nilam yang masih pucat, lalu berujar, “Puan tidak usah khawatir. Kawan saya Saud tentu telah membawa Paktua itu pada pengawas pasar, dan ia akan mendapat ganjaran yang setimpal karena telah menyakiti Puan. Hati- hatilah Puan, semoga selamat sampai tujuan.” Yusuf membalikkan punggungnya hendak pergi, namun suara Nilam membuat ia berbalik. “Tunggu, Tuan,” panggil Nilam. “Saya—saya ucapkan terimakasih atas segala bantuan Tuan pada saya. Sungguh saya berutang budi pada Tuan.” Hamid Yusuf menganggukkan kepalanya, sebelum benar- benar pergi menjauh. Dan itulah, kala perjumpaan pertama Nilam dengan Hamid Yusuf sebelum pemuda itu benar- benar menjauh darinya. Sebelum cincin tunangnya dengan Syahidah akan tersarung di jarinya. *** Nilam mencengkeram dadánya yang perih, menyabak dalam tangis. Ia mesti cepat- cepat membuang semua rasa itu. Benarlah sebagaikan pepatah, bahwa kini ia hanya pungguk yang merindukan bulan. Tiada pernah bertemu, tiada akan bersatu. Tapi haruskah rasanya bila ia harus menerima pinangan Zainal? Dia tiada pernah mencintai pemuda berwatak kasar itu, dan tiada ia melihat apapun dalam sorot mata Zainal selain sifat buruk dan memikirkan diri sendiri. Tidakkah ia dapat menyukai dan disukai orang yang baik lagi bagus akhlaknya –semacam… Tuan Hamid Yusuf? Bila setiap orang yang baik ditakdirkan akan bersama orang yang baik pula, apakah dengan demikian artinya ia juga orang yang buruk? Sebagaimana Zainal? “Tuhan Allah, tidakkah Engkau menyisakan seorang yang bertabiat semacam Tuanku Hamid Yusuf?” batinnya dalam hati. “Bukankah Engkau Maha Adil?” Nilam masih sesenggukan dalam isak tangisnya, dan tidak sedikitpun apa yang ada di sekitar mampu membuat ia lega. Tanpa ia menyadari, ada seseorang lain yang melangkah menuju halaman belakang dapur. Nilam baru tahu ketika bunyi tapak- tapak kaki terdengar makin mendekat. Cepat- cepat ia menghapus sisa air matanya di pipi, lalu menoleh. Ada gadis muda yang membawa seperiuk beras untuk dijerangkan. Gadis muda itu diam melakukan pekerjaannya di tungku luar, sedang Nilam mengamati gerak- geriknya. Aduh, bagaimana pula ia bisa lupa? Itu gadis yang baru ditinggal mati ibunya beberapa minggu lalu. Ia sempat dihardik oleh kepala pelayan sebab pulang tanpa memintai izin, sehingga Nilam dan Syahidah ikut membantunya kala itu. Nilam hendak berbalik pergi, tapi rasanya tidak sopan pula. Ia tunggu hingga gadis muda itu selesai menghidupkan api, sehingga mereka berhadap muka. “Encik,” kata gadis muda itu menundukkan kepala. “Saya berterimakasih sekali untuk bantuan Encik dan Tuan Putri dahulu kepada saya, tak terkira banyaknya. Dan –astaga, ampunkan saya, bagaimanakah saya semestinya memanggil Encik?” Nilam tersenyum. “Tak mengapa, panggil saja saya Encik. Bagaimana keadaaanmu sekarang?” “Alhamdulillah baik sekali, Cik. Saya dapat beristirahat menenangkan diri saya sehabis kepergian ibu, dan Encik telah bersusah payah menggantikan kerja saya selama beberapa hari,” “Tidak usah berterimakasih. Lagipula, bukan saya seorang yang membantu engkau kala itu. Engku Putri Syahidah pun ikut serta.” Gadis muda itu mengiyakan dan mengangkat wajahnya sekali. “Saya mohon ampun kepada Encik bila saya ini terlalu lancang. Tapi ada yang ingin saya tanyakan pada Encik.” “Apa itu?” “Jika—jika  saya boleh bertanya,” ungkapnya bimbang, “Adakah sesuatu yang terjadi pada Encik? Sebab saya lihat Encik tampak dirundung sedih, bersusah hati. Saya hendak menanyai Encik dari tadi, tapi nanti dikira saya mengganggu.” Nilam diam sejenak. “Engkau ini baik hati. Terimakasih telah peduli padaku. Tiada apa yang membuatku susah hati, hanya sedikit masalah saja.” “Encik, saya paham benar bahwa kita dapat menangis karena suatu masalah, meski lidah kita berkata itu bukan masalah besar,” kata gadis muda itu. “Saya pun wanita, Encik. Saya bisa lihat rasa sakit di hati Encik.” “Encik, janganlah sering- sering memendam rasa sedih dan sakit, karena nanti akhirnya tiba di diri Encik jua. Jagalah kesehatan Encik, sebab Encik masih muda lagi,” sambung gadis itu. “Almarhumah ibu saya juga suka benar memendam masalah, pening akibat bersusah hati sendiri. Itulah saya kira musabab ibu saya begitu lemah dan mudah sakit, sehingga tak panjang umurnya.” Nilam menggeleng. “Anak muda, panjang umur sudah diagak-gantangkan semenjak sebelum kita lahir. Sudah ditekuk ukurannya oleh Tuhan Allah. Lagipula bukankah engkau dulu berkata bahwa ibumu sakit karena salah memakan ubi liar yang beracun?” “Betul sekali, Encik,” sahut gadis itu dengan wajah muram. “Tapi ibu sudah tiada bersemangat lagi hidupnya sejak dulu. Beberapa kali salah terambil ubi beracun, walau kala itu baru satu- dua yang terbawa. Bila saya bersama beliau, dapatlah saya pisahkan dan buang jauh ubi itu. Tapi entah mungkin ibu pernah salah termakan juga sebelumnya meski hanya seumbi kecil, sebab ibu saya begitu lemah beberapa hari sebelum kepergiannya.” “Malang benar nasib ibumu,” kata Nilam ikut prihatin. “Tapi penderitaannya di dunia ini habislah sudah, dan beliau tidak perlu berpening lagi memikir masalah dunia. Yang terpenting engkau doakanlah yang terbaik untuknya, sebab tiada juga yang akan mengalir pahalanya di kubur selain doa anak. Saya ucapkan terimakasih sekali lagi, engkau jagalah dirimu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD