1 : Tentang Jingga

1193 Words
"Tentang dia yang berhasil membuat diriku berubah sedikit lebih baik." -Haris Johanta Pahevi- --- Jingga Ayu Mentari. Itu nama gadis berbaju blouse berwarna peach. Berambut panjang kecoklatan. Duduk di ujung kelas. Sedang tertawa santai bersama teman-temannya. Senyumnya manis. Semanis wajahnya. Beberapa kali ia harus mengibas rambutnya. Sekedar menatanya agar tidak menutupi sebagian wajahnya yang cantik. Sekali lagi ia tertawa. Jingga menutup mulutnya dengan tangan lentiknya. Sungguh Tuhan menciptakan Jingga dengan seribu kesempurnaannya. "Ris tugas bu Sarah udah belom?" Pecah. Lamunan Haris Johanta Pahlevi sirnah. Hanya karena seonggok laki-laki yang menepuk bahunya pagi ini. "Udah," jawab Haris cuek lalu kembali bermain ponselnya. Mendengar jawaban Haris, laki-laki bernama Alfian Juno Ananta mulai duduk di sebelah temannya itu. Sembari mengangguk-angguk mengerti dan berusaha tenang diantara kegalauannya tentang tugas mata kuliah hari ini. "Lu sendiri udah?" tanya Haris tampa beralih dari ponselnya. Fian menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sebelah kanannya itu. Ia menggeleng. Sungguh ia lupa tentang tugas rangkuman itu. "Kebiasaan." Bukan. Ini bukan Haris yang berujar. Tapi satu laki-laki berperawakan tinggi dengan jaket boombernya yang baru saja masuk kelas. Abimanyu Satriya Perkasa. Panggil saja Bima. Dengan cengiran khasnya, ia duduk di sebelah Fian yang masih bingung dengan tugasnya. Sekaligus menyesal kenapa ia harus masuk hari ini. "Emang lu udah bim?" tanya Haris yang sudah beralih etensi ke arah temannya itu. Sekali lagi, Bima cengar-cengir. Bisa di tebak lah apa yang sebenarnya terjadi. "Halah bilang aja belom." Timpal Haris lalu kembali bermain ponselnya. "Tenang aja al, gue juga belom kok." Bima berujar sambil menepuk bahu Fian beberapa kali. Tidak lupa dengan senyum khasnya. Lega. Setidaknya tidak hanya Fian disini yang belum selesai merangkum. Bima juga belum. Setelahnya pun hanya ada suara tembakan diantara ketiganya. Bukan karena ada perampok yang menembak tiga bocah laknat seperti mereka. Tapi karena dunia mereka sudah berganti dengan game pubg. "Selamat pagi," sapa seorang wanita muda berumur tiga puluh tahunan yang mulai masuk ke dalam kelas sambil membawa tas dengan brand ternama dan beberapa tumpukan buku di tangan kirinya. "Selamat pagi!!" jawab semua mahasiswa serempak. Tidak. Tidak semua mahasiswa. Hanya tiga serangkai saja yang enggan merespon sapaan dosen muda yang sudah memiliki satu anak itu. Pubg nya terlalu berharga. Mata kuliah pun di mulai. Semuanya mulai bersiap. Wait, tidak semua. Bima, Haris dan Fian masih belum beralih dari ponsel mereka. Meskipun sesekali Haris terus mengawasi sekitar mereka. Takutnya mendadak Bu Sarah berdiri di sebelah mereka dengan senyum manis lalu berkata- "Hayo maen apa itu?" Kan enggak lucu. Sekilas Haris melihat ke arah dua temannya yang masih belum beralih itu. Beberapa kata nista sudah mereka ucapkan meskipun dalam hati seperti Fian atau seperti Bima yang berujar tampa suara. "Gue udahan ya? Mau dengerin bu Sarah," bisik Haris pada keduanya. "Ah cemen lu ris, bentar lagi deh." Bima kini menimpali. Tampa beralih dari layar ponselnya. Haris lalu menggeleng. Lalu menekan tombol di pinggir ponselnya. "Gue mau jadi mahasiswa rajin," ujarnya. "Dih entar siang pasti kumat lagi tuh." Fian tidak yakin. Terlebih ucapan Haris tidak ada yang bisa di percaya. Siapa yang tidak tahu Haris. Bilangnya saja ingin menjadi mahasiswa rajin. Tapi saat matahari mulai di atas kepala, rasa kantuk mulai datang dan lapar mulai menyerang, laki-laki itu bisa saja pulang dan meninggalkan mata kuliah. Lebih parah daripada Fian yang mendadak pulang hanya karena belum mengerjakan tugas makalah atau tidak siap persentasi. "Gue serius nih. Gue mau jadi mahasiswa rajin," yakin Haris sekali lagi. Bima melihat sekilas ke arah temannya itu. Tidak yakin sebenarnya. Tapi percuma saja berdebat dengan si laknat itu. Tidak akan membuatnya menang pubg. "Terserah lu deh sat," umpatnya lalu kembali bermain ponselnya. Haris menghela nafas panjang. Lalu mengambil tas ransel berwarna biru dongkernya yang ia geletakkan di atas lantai. Mengambil buku dan sebuah pena berwarna hitam milik Haris satu-satunya. Bersiap menerima materi mata kuliah pagi ini. Sorot matanya mulai berkeliling. Sembari mendengarkan ceramah pagi dari Bu Sarah. Lalu berhenti pada satu gadis yang duduk di deretan kedua dari depan. Jingga. Sekali lagi ia berhasil menghentikan dunia Haris Johanta Pahlevi dalam sekali kedipan mata. Gadis bernama Jingga itu memang sudah mendiami otak Haris sejak lama. Jingga berhasil membuat laki-laki itu terkagum-kagum. Melebihi ratusan gadis yang mengaguminya. Rasanya memang hanya Jingga yang berhasil membuat Haris berhenti di posisinya. Berkelana dan memutuskan untuk menyukai Jingga. Jingga gadis yang berbeda menurut Haris. Hanya dia yang tidak terlalu tertarik padanya. Hanya Jingga. Diantara ratusan gadis di kampus yang menyukainya. Hanya Jingga yang tidak. Ia akan berbalik dari kerumunan para gadis yang melihatnya saat bermain basket. Memilih untuk masuk ke dalam perpustakaan dan menyambungkan ponselnya dengan wifi. Lalu tertawa dengan asyiknya, melihat tingkah menggemaskan pacar halunya. Ya hanya Jingga. Hanya Jingga. Sekali lagi Haris menghela nafas panjang. Lalu kembali fokus dengan mata kuliah Bu Sarah pagi ini. Semoga saja niat Haris untuk menjadi rajin bisa meluluhkan sosok Jingga. Semoga. *** Bu Sarah keluar lebih cepat hari ini. Alasannya hanya karena ia harus menjemput anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sayangnya itu tidak di sambut baik oleh semua warga kelas saat ini. Wanita tiga puluh tahunan itu meninggalkan tugas merangkum yang lebih banyak daripada sebelumnya. "Ris lu mau kemana?" Haris yang hendak beranjak dari bangku sambil membawa buku garis bergambar kucing itu mengurungkan niatnya sejenak. Melihat ke arah kedua teman sekelasnya yang menatapnya penasaran. "Mau ke Dita, minta ajarin buat makalah," ujarnya lalu kembali beranjak dari bangkunya. Mendengar itu Fian mengangguk mengerti. Meskipun sebenarnya ia agak heran kenapa temannya begitu ingin menjadi mahasiswa rajin. Sementara Bima nampak acuh tak acuh. Lagipula tugas makalah yang di maksud Haris sudah ia kerjakan dan sudah ia persentasikan minggu lalu. Jadi ia tidak perlu peduli lagi tentang hal itu. "Dit," panggil Haris pada gadis yang kini tertawa kecil pada beberapa temannya itu. Gadis yang di maksud Haris adalah Dita Elissa Anjani. Biasa di panggil Dita. Selalu di tuakan karena memang setahun lebih tua daripada lainnya. Seumuran dengan Bima. Namun meskipun begitu tetap saja Haris memanggilnya dengan sebutan Dita. Tampa embel-embel Kakak, mbak, teteh, atau lainnya. Terlalu ribet katanya. "Apa ris?" tanya gadis itu. Haris lalu duduk sejenak di sebelah Dita. Dengan senyum khasnya ia nampak terlihat memohon pada gadis itu untuk menolongnya. "Bantuin gue kerjain tugas makalah pak Toni dong dit. Gue belom nih," mohonnya. "Belom sama sekali?" tanya Dita dan langsung di jawab anggukan kecil oleh Haris. Mendengar itu Dita mengehela nafas panjang. Sungguh ini sudah hampir ujian akhir semester dan laki-laki itu masih belum bergerak sama sekali. "Kok enggak dari kemaren-kemaren aja sih ris?" tanya Dita lagi dengan nada sedikit kesal. "Gue enggak tau mau mulai darimana, jadi gue stuck disitu mulu deh." Haris menjelaskan sambil cengar-cengir tampa dosa. "Ya udah deh kalau gitu gue bantuin." Dita mensimpulkan dan berhasil membuat Haris bersorak riang dalam hatinya. "Makasih loh dit, sumpah gue enggak tau deh mau minta bantuan ke siapa lagi selain lu," ujarnya dengan senang. Mendengar itu Dita hanya mengangguk. Di sisi lain, ada seorang gadis yang penasaran kenapa sosok Haris begitu bahagia saat ini. Gadis yang duduk di sebelah kanan Dita mulai menyikut temannya itu. "Kenapa mbak?" tanya Jingga yang kini ikut masuk ke pembicaraan mereka. "Haris minta bantuin gue ngerjain tugas pak Toni," jelas Dita lalu di sambut anggukan mengerti oleh Jingga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD