Prolog 2

1334 Words
        Tiga hari berlalu setelah Rhea memutuskan untuk mengirimkan salam perpisahan kepada Roman melalui sebuah aplikasi chat. Dan hal tersebut berujung kembali kepada nomor ponselnya yang diblokir oleh sang mantan kekasih.         Sial.         Rhea menyandarkan punggungnya ke kursi dengan kaki yang ia luruskan ke atas meja. Tidak peduli bahwa kakinya bisa saja menjatuhkan laptop atau buku-buku yang masih terbuka dengan alat tulis yang juga berserakan di atas meja tersebut.         Hal itu ia lakukan karena Rhea sudah lelah megumpat di dalam hatinya. Segala jenis sumpah serapah sudah ia lontarkan, tapi rasa kesal tidak juga beranjak dari sanubarinya. Kemarahannya tidak kunjung mereda dan sepertinya tidak akan padam.         Posisikan saja begini, sejak kecil ia selalu ditanamkan untuk belajar, belajar dan belajar. Tidak ada hal lain kecuali membekali diri dengan ilmu yang mumpuni. Semua itu ia lakoni karena menyadari bahwa ibunya seorang diri. Kepergian ayahnya yang begitu cepat membuat ibunya pontang-panting dalam menafkahi Rhea dan kedua adiknya.         Oleh sebab itulah, Rhea menjadikan dirinya mengerti untuk tidak membuat ibunya repot karena kenakalan yang seharusnya lumrah saja bagi dirinya kala itu. Rhea menjaga dirinya dengan baik, ia berprestasi, menjadi contoh untuk kedua adiknya. Bahkan Rhea tidak protes ketika semua yang ia jalani dalam hidupnya adalah hasil campur tangan sang ibu.         Iya, semuanya. Mulai dari ia yang harus sekolah di mana, kuliah di mana, jurusan apa, nanti harus bekerja sebagai profesi yang bagaimana. Bahkan untuk urusan pertemanan, ibunya turun tangan langsung dalam memilihkannya untuk Rhea.         Jadinya tidak heran kalau Rhea melewatkan hal-hal seperti cinta pertama, malam mingguan dan hal lainnya yang berhubungan dengan kasmaran remaja. Rhea tidak memiliki seorang pun untuk ia labeli dengan sebutan pacar sampai ia bertemu dengan Roman.         Sial.         Sekali lagi Rhea mengumpat, mengingat nama bekas pacarnya tersebut membuat Rhea mau tidak mau terlempar ke waktu tiga bulan yang lalu. Hari Senin saat itu, hari tersibuk bagi semua kalangan. Satu hari dalam satu minggu yang kedatangannya tidak diharapkan. Bahkan tak jarang dicela, karena di hari itu biasanya terjadi banyak kesialan dalam kesusahan. Tidak terkecuali pada Rhea.         Pekerjaannya lagi menumpuk saat itu, menyiapkan materi pembelajaran, mempelajarinya, mengingatkan orang tua akan jadwal les anak mereka, menyiapkan lembaran kerja untuk menulis laporan harian. Tidak cukup dengan segala jenis administrasi seperti itu, Rhea harus menyiapkan fisik juga jiwa yang lapang untuk menghadapi anak-anak yang terlalu sering menganggap diri mereka sudah dewasa.         Di tengah-tengah kerisuhannya itulah kemalangan menimpa Rhea. Perutnya sakit luar biasa dan tidak bisa dibujuk hanya dengan minyak angin. Sehingga dengan sangat terpaksa ia ke rumah sakit, lalu bermulalah semua ini.         “Apa keluhannya?” Suara itu terdengar berat, khas suara kaum adam dewasa lainnya.         “Pasien mengeluh sakit perut, Dok.” Rhea mendengar suara perempauan menjawab pria yang ia duga sebagai dokter tersebut. Kemudian dua orang membuka tirai pembatas antara ranjang Rhea dengan ranjang pasien lainnya         “Saya periksa dulu, ya.” Laki-laki itu meminta izin.         “Iya.” Rhea merespons seadanya. Setelah itu dokter yang akhirnya Rhea ketahui bernama Roman tersebut menekan-nekan perutnya. Dan pada beberapa bagian, Rhea akan merintih kesakitan.         “Apa anda punya riwayat maag?”         Rhea menggeleng.         Alis tebal yang membingkai ke dua mata dokter tampan tersebut bertaut sebentar, lalu kemudian bertanya lagi.         “Sejak kapan anda sakit perut?”         “Tadi pagi, Dok.”         “Tadi pagi?” Rhea bisa mengerti nada terkejut tersebut, oleh karenanya ia buru-buru menjelaskan.  “Sebenarnya saya pikir hanya masuk angin biasa, jadi saya oleskan minyak angin. Tapi, ….”         “Tapi sampai sore sakit-sakitnya tidak hilang-hilang?”  Roman menyela.         “Iya,” lirih Rhea.         “Apa yang anda makan sejak kemarin?”         “Mie.”         “Mie instan?”         Dengan ragu Rhea mengangguk.         “Bisa jelaskan apa saja yang anda makan selama satu minggu ke belakang?”         Karena Rhea sedang berhemat, maka selama satu minggu ini ia hapal sekali apa saja yang disantapnya. Maka ia pun mengangguk sebelum memberikan jawaban, “Saya makan mie instan selama satu minggu ke belakang.”         “Tanpa henti?”         “Tanpa henti.”         “Hanya mie instan?”         Seharusnya Rhea menjawab atau merespons dengan anggukan sopan. Namun alih-alih memberikan reaksi, Rhea hanya terdiam kala melihat mata yang tadinya teduh itu menatapnya dengan kilatan marah.         “Hanya mie instan?” Roman mengulang pertanyaannya.         “Sebenarnya ada kue juga.”         “Kue?”         Rupanya Roman ini tipekal orang yang mengulang perkataan orang lain untuk mengintimidasi lawan bicara.         “Kue bakpia kering.”         “Sudah dipastikan expired-nya?”         Rhea menggeleng.         “Kapan  anda memakannya.”         “Itu menjadi cemilan saya selama seminggu ini.”         “Mie dan kue kering yang kemungkinan besar kadaluarsa.”         Rhea hanya terdiam.         “Kekurangan nutrisi dan keracunan makanan.”         “Apa, Dok?”         “Karena tidak mengkonsumsi makanan yang benar, tubuh anda kekurangan nutrisi. Ditambah dengan kemungkinan kue bakpia yang sudah expired, dugaan saat ini anda kercunan makanan. Kita harus menunggu hasil lab supaya lebih jelasnya.”         Rhea tidak bergitu ingat detailnya, tetapi begitu hasil lab keluar, ia benar-benar dinyatakan sebagai pasien dengan kasus keracunan makanan. Ada racun yang terdeteksi dari tubuhnya. Roman menasehatinya layaknya seorang dokter ke pasien. Namun ada satu kalimat yang paling membekas di benak Rhea, kira-kira seperti ini bunyinya.         “Kamu sudah berakal, harusnya sudah bisa membedakan makanan yang layak untuk dimakan atau tidak.”         Tidak cukup dengan kalimat yang seolah mengejeknya tersebut, Rhea harus melotot marah ketika menemukan kenyataan bahwa benar kue bakpia yang ia makan sudah melewati masa produksi.         Setelah puas memandangi kotak kue yang sudah kosong tersebut, lalu merasa percuma saja ia meluapkan emosi pada benda tak bernyawa tersebut, Rhea memilih mengakhiri malamnya dengan cepat. Hari itu terlalu melelahkan sekaligus menjengkelkan.         *         “Sudah baikan?” Begitulah kira-kira pertanyaan yang di lemparkan kepadanya begitu Rhea tiba di kantor pada hari berikutnya.         “Sudah.”         Setelah basa-basi menjelaskan kondisinya ke sesama rekan kerjanya, Rhea berpamitan hendak beranjak menuju ruangannya, ruang yang menjadi kelas lebih tepatnya.         “Mis, hari ini ada trial class untuk anak baru.” Mira atau yang biasa ia panggil Mis Mira, admin di bimbel mereka menghentikan langkah Rhea dari lobi utama kantor.         “Trial class?” Rhea membeo, alisnya sedikit bertaut ketika mendengarkan informasi tersebut. “Saya tidak diberikan informasi apa-apa dari kemarin.”         “Maaf, Mis. Ini saya sesuaikan dengan jadwal Mis Rhea hari ini.”         “Iya, maksud saya kenapa tidak dikonfirmasi ke saya satu hari sebelum trial? Mis tahu, kan, kalau saya harus menyiapkan materi sebelum ada kelas?”         “Maaf, Mis. Kemarin Mis Rhea pulang lebih awal, saya juga sudah mencoba reschedule sama orang tuanya, tetapi mereka sibuk dan hanya bisa hari ini.”         Rhea menghela napas, ingin sekali rasanya ia berteriak kepada admin baru di hadapannya ini. Namun daripada membuang energi untuk meluapkan emosi, ia lebih memilih menyimpannya karena ada hal yang harus ia kerjakan sebelum mengingatkan orang tua tentang jadwal les anak mereka.         “Tolong sampaikan kelengkapan informasinya?”         “Kelasnya jam 11.00 WIB, Mis.”         Rhea melihat jam tangannya, lalu ia bernapas lega saat menyadari masih ada sekitar satu setengah jam lagi untuknya menyiapkan bahan untuk trial.         “Dia sekolah di Cambridge International School, kelas 3.”         “Cambridge International School?” Rhea mengulangi perkataan adminnya, sesaat kemudian ia menyadari kalau kebiasaan ini sama persis dengan Roman saat kemarin pria itu memeriksanya.         Rhea menggelengkan kepalanya, merasa aneh saat ia mengingat dokter tersebut berikut dengan kebiasaannya.         “Iya, Mis.”         “Baiklah, terima kasih.” Rhea bergerak lagi, tapi Mira kembali menghentikan langkah Rhea dengan berbicara.         “Dia mengambil kelas dengan bahasa Inggris, Mis.”         Rhea menghela napas, dengan mengetahui nama sekolahnya saja, ia bisa tahu kalau calon siswanya ini akan mengambil kelas yang menggunakan bahasa Inggris. Dan Rhea sangat tidak ingin diingatkan tentang hal tersebut, membuat lidahnya sudah lelah duluan sebelum mengajar.         “Baik, terima kasih. Saya akan menyiapkan trial-nya, mis bisa mengantarkan dia ke kelas saya saat jam 11.00 nanti.”         Dengan begitu Rhea benar-benar pergi dari lobi utama, menuju kelasnya di lantai dua untuk kemudian terperanjat kaget saat melihat siapa yang menggandeng tangan kecil calon siswanya tersebut.         “Mis Rhea, ini pak Roman dan ini puterinya Cheara,” kata Mira menjelaskan.         *      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD